Minggu, 23 November 2025

 ​🕌 Menuntut Ilmu Membutuhkan Perjuangan (Ṭalabul ‘Ilmi Butuh Ijtihād)

​I. Pendahuluan dan Keutamaan Ilmu

​Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah wasalatu wasalamu ala rasulillah wa ala alihi wasohbihi wanwalah. Insyaallah pada kesempatan kali ini, kita akan membahas sebuah tema yang penting, yaitu tentang menuntut ilmu membutuhkan perjuangan. Ṭalabul 'ilmi, sebagaimana perkara yang makruf, memiliki keutamaan-keutamaan dan dalil-dalil yang banyak, baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah. Di antaranya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Yarfa'illāhul ladzīna āmanū minkum walladzīna ūtul 'ilma darajāt (Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan yang berilmu beberapa derajat). Kemudian dari hadis, Rasulullah ﷺ bersabda: Man yuridillāhu bihi khayran yufaqqihhu fid-dīn (Barang siapa yang Allah kehendaki dengan kebaikan, maka Allah akan jadikan dia paham terhadap agama).

​II. Kewajiban Berjuang dalam Menuntut Ilmu

​Seseorang ketika ingin meraih ilmu, ingin belajar, atau menuntut ilmu, maka tentunya ini membutuhkan perjuangan atau ijtihād. Pembahasan ini tidak hanya terbatas pada penuntut ilmu atau santri saja, sebab Ṭalabul 'ilmi farīḍatun 'alā kulli muslim (menuntut ilmu agama itu adalah wajib bagi setiap kita). Jadi, apapun status kita—sebagai orang tua, ayah, atau ibu—mereka tetap wajib menuntut ilmu dan tentunya mereka pun butuh perjuangan. Contohnya, seorang ibu ketika ingin menuntut ilmu, ia harus mempersiapkan urusan anaknya dan suaminya terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa ia butuh perjuangan. Jika kita menunggu pekerjaan selesai, kita tidak akan sempat menuntut ilmu, karena pekerjaan seorang ibu itu banyak. Demikian pula seorang ayah, ia bekerja dan mencari nafkah, dan di sela-sela itu ia harus menyempatkan waktu luang untuk menuntut ilmu. Perjuangan ini akan lebih besar lagi bagi Ṭalibul 'ilmi yang mutafarriġ, yaitu yang mengkhususkan waktunya, sengaja mondok atau datang ke Ma'had, untuk fokus pada ṭalabul 'ilmi.

​III. Enam Bekal untuk Meraih Ilmu (Menurut Imam Syafi'i)

​Al Imam Syafi'i rahimahullāh memberikan cara bagaimana seseorang bisa meraih ilmu, yang dikenal sebagai enam bekal menuntut ilmu. Beliau menyebutkan dalam syairnya, "Wahai saudaraku, tidak akan meraih ilmu melainkan dengan enam perkara. Aku akan beritahu kepadamu tentang rinciannya dengan penjelasan."

​A. Kecerdasan (Zakā'un)

​Bekal pertama adalah kecerdasan. Kecerdasan di sini adalah kemampuan memahami dan menghafal. Kecerdasan terbagi menjadi dua: Ṭabī'at/Ġarīzī (bawaan dari lahir) dan Muktasab (yang diraih dengan usaha). Seseorang yang siap menuntut ilmu harus punya keduanya. Agar kecerdasan Muktasab ini kuat, di antaranya adalah dengan Murāja’ah (diulang-ulang), Bikasratin Naẓar (sering melihat), dan yang penting adalah Tarqul Ma'āṣī (meninggalkan kemaksiatan).

​Imam Syafi'i pernah mengeluh kepada gurunya, Wakī’, tentang jeleknya hafalan beliau, lalu gurunya membimbing beliau untuk meninggalkan kemaksiatan, seraya berkata, "Ilmu itu cahaya (Nūrun), dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat." Jadi, jika kita merasa sulit paham atau menghafal, perkara pertama yang harus kita tuduh adalah diri kita dan kemaksiatan yang kita lakukan (termasuk gibah, mencela, dan berkata kasar). Ukuran kepintaran sejati bukanlah sekadar cepat menghafal, tetapi apakah ilmu itu yanfa' (bermanfaat) atau tidak, yaitu yang melahirkan ketakutan kepada Allah (khasyah). Allah berfirman, Innamā yakhsyallāha min 'ibādihil 'ulamā' (Sesungguhnya yang takut terhadap Allah hanyalah ulama). Ilmu yang bermanfaat melahirkan ketakutan kepada Allah. Untuk meraih kecerdasan yang diusahakan, kita juga perlu berdoa kepada Allah, seperti Allāhumma innī as'aluka 'ilman nāfi'an atau Allāhumma innī a’ūdzubika min 'ilmin lā yanfa'.

​B. Semangat (Ḥirṣun)

​Yang kedua adalah semangat atau ambisi (Ḥirṣun). Semangat datang dari hati, berupa cita-cita yang tinggi (Himmah 'Āliyah). Rasulullah ﷺ bersabda, "Bersemangatlah kepada sesuatu yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah." Gantungkan cita-cita setinggi mungkin, jangan sampai cita-cita kita lemah. Setelah semangat, maka dibutuhkan praktik.

​C. Kesungguhan (Ijtihādun)

​Yang ketiga adalah kesungguhan atau perjuangan (Ijtihādun). Allah berfirman, Wa alladhīna jāhadū fīnā lanahdiyannahum subulanā (Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, maka sungguh Kami akan tunjukkan jalan-jalan Kami). Kesungguhan membutuhkan kesabaran (ṣabr) di atas ketaatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Biṣ-ṣabri wal-yaqīn tunālu al-Imāmatu fiddīn (Dengan kesabaran dan keyakinan akan diraih kepemimpinan dalam agama). Perjuangan ini sudah diuji sejak awal, baik melalui godaan dari diri sendiri (rasa khawatir), dari lingkungan, maupun dari setan.

​D. Bekal (Bulghatun)

​Yang keempat adalah bekal atau biaya untuk membeli kitab, makan, dan keperluan lainnya.

​E. Menyertai Guru (Ṣuḥbatu Ustādz)

​Yang kelima adalah menyertai ustaz atau berguru, karena hal ini dapat menyingkat proses belajar. Apa yang disampaikan oleh ustaz adalah ringkasan dari berbagai kitab.

​F. Waktu yang Panjang (Ṭūlu Zamān)

​Yang keenam adalah waktu yang panjang. Menuntut ilmu itu membutuhkan proses yang lama, yaitu 1, 2, 3, hingga 5 tahun, bahkan lebih, dan harus terus-menerus.

​IV. Contoh-Contoh Perjuangan (Ijtihād) dari Kalangan Salaf

​Kita akan menyebutkan beberapa kisah singkat agar kita bisa menambah semangat dan melihat bahwa perjuangan kita masih belum seberapa dibandingkan perjuangan para ulama salaf.

​Nabi Muhammad ﷺ: Beliau merasakan kesulitan (Tsiqal) saat menerima wahyu, hingga wajah beliau berubah dan keluar keringat di musim dingin, menunjukkan beratnya menerima ilmu.

​'Umar bin Khaṭṭāb: Beliau dan tetangganya dari kaum Anṣār bergantian menghadiri majelis Rasulullah ﷺ karena kesibukan mencari nafkah. Mereka saling memberikan informasi dan faedah yang didapat pada hari itu, menunjukkan usaha keras agar tidak kehilangan ilmu.

​'Abdullāh bin Mas'ūd: Beliau mengatakan, seandainya ia tahu ada seseorang yang lebih paham tentang Kitabullāh darinya dan unta bisa sampai ke tempatnya, maka ia akan datang kepadanya. Ini menunjukkan kesediaan untuk melakukan perjalanan jauh (bisa sebulan) hanya untuk meraih satu faedah.

​'Abdullāh bin 'Abbās: Beliau datang dan menunggu di depan rumah seorang Sahabat, menggelar selendangnya, tanpa mengetuk pintu, karena tidak ingin mengganggu istirahat Sahabat tersebut. Beliau berkata, "Aku yang lebih berhak datang kepadamu," karena beliaulah yang membutuhkan ilmu.

​'Aṭā' bin Abī Rabāḥ (Tābi'ī): Dicertakan bahwa masjid adalah kasurnya (Al-Masjid Firāsuhū) selama 20 tahun, menunjukkan ketekunan beliau beribadah dan menuntut ilmu di masjid.

​Asy-Sya'bī (Tābi'ī): Ketika ditanya dari mana ia mendapatkan ilmu, beliau menyebutkan kuncinya, yaitu: Nafyul I'timād (meniadakan penyandaran/ketergantungan pada orang lain), Sīr fil Bilād (melakukan perjalanan ke negeri-negeri), Ṣabrin Jamād (sabar seperti benda mati, yaitu istiqamah dan tekun), serta Bukūrul Ghurāb (bersegera di pagi hari seperti gagak).

​Al-Imām Az-Zuhri (Tābi'ī): Beliau berguru kepada Ibnul Musayyab selama 8 tahun, dengan lutut selalu menempel. Beliau dan murid-muridnya selalu membawa papan atau lembaran (Alwāḥ) untuk menulis setiap faedah yang didengar, menunjukkan pentingnya mengikat ilmu.

​Al-Imām Bukhārī: Beliau diceritakan bangun 17 atau 18 kali dalam satu malam untuk menyalakan pelita dan menuliskan faedah yang terlintas di pikirannya saat tidur, menunjukkan semangat luar biasa dalam menuntut ilmu.

​V. Penutup dan Harapan

​Semoga apa yang kita sebutkan ini bukan hanya sekadar wawasan atau cerita, tetapi yang terpenting adalah untuk dipraktikkan agar kita bisa meraih ilmu yang bermanfaat, baik untuk diri kita sendiri dan juga untuk yang lainnya. Wallāhu ta'āla a'lam. Subḥānakallāhumma wa biḥamdika asyhadu an lā ilāha illā anta astaghfiruka wa atūbu ilayk. Wa'alaikumussalāmu warahmatullahi wabarakatuh.

0 komentar:

Posting Komentar