Sabtu, 24 September 2011

SIAPAKAH SALAF ?‎

Penulis : Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi


Segala puji bagi ALLAH dan shalawat serta salam kepada Rasulullah, keluarga dan para Shahabatnya.

Wa ba’du :

Sesungguhnya saya diminta untuk menyampaikan sepatah kata melalui telpon ke Inggris dengan judul SIAPAKAH SALAF?

Salaf adalah orang-orang yang ALLAH telah memerintahkan kita untuk berpegang dengan Al-Qur`ân dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman mereka.

Saya katakan (bahwa) kata salaf (secara bahasa, ed.) berlaku pada setiap orang yang telah mendahului anda.

Al-Jauhari berkata dalam kamus Mukhtârus-Shihâh hal. 331 : “Kata salafa yaslufu, dengan men-dhammah (lam mudhâri’)-nya, salafan, dengan dua fathah adalah yang telah lalu. Kaum sullaf adalah kaum terdahulu. Salaf seseorang adalah kakek moyangnya terdahulu. Dan bentuk jamak (kata salaf) adalah aslaf dan sullaf.” -Selesai-.

Di dalam hadits tentang ucapan salam kepada penghuni kubur bagi yang melewatinya, Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam mengajarkan umatnya untuk mengucapkan :

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ المُسْلِمِيْنَ وَالمُؤْمِنِيْنَ أَنْتُمْ سَلَفُنَا وَنَحْنُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ يَغْفِرُ اللهُ لَنَا وَلَكُمْ



“Semoga keselamatan bagi kalian para penghuni kubur dari kalangan muslimin dan mukminin. Kalian adalah salaf kami dan kami akan menyusul kalian. Semoga ALLAH mengampuni (-dosa-dosa-) kami dan (-dosa-dosa-) kalian.”



Sabda Nabi Shallahu 'Alaihi Wasallam ("Kalian adalah salaf kami.."), artinya: kalian adalah pendahulu kami.

ALLAH ‘Azza wa Jalla telah mensifati kaum mukminin, bahwa mereka adalah orang-orang yang mendoakan kaum mukminin yang telah mendahului mereka dengan (membawa) keimanan, ketika ALLAH membagi mereka menjadi tiga golongan -di dalam surat Al-Hasyr-. ALLAH berfirman:

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً

(Artinya:(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (-karena-) mencari karunia dari ALLAH dan keridhaan (-Nya-)…) (Al-Hasyr : 8)



Kemudian ALLAH subahanahu wa ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ تَبَوَّأُوا الدَّارَ وَالْأِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ

وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا

(Artinya:Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (-kedatangan-) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin).)(Al-Hasyr : 9)



Golongan ke-tiga adalah yang datang setelah mereka, sebagaimana yang ALLAH sifatkan mereka melalui firman-Nya :

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْأِيمَانِ

وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ

(Artinya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, berilah ampunan kepada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Dan janganlah Engkau biarkan kedengkian di dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”) (Al-Hasyr : 10)



Al-Baghawi telah menukil dari Ibnu Abi Laila bahwa dia berkata :

“Manusia terbagi menjadi tiga golongan, yaitu Muhajirin dan orang-orang yang telah tinggal di Madinah dan beriman sebelum (-kedatangan-) mereka (kaum Muhajirin), (-saya berkata : "yaitu Anshar." Kemudian dia melanjutkan-) serta orang-orang yang datang setelah mereka. Maka bersungguh-sungguhlah agar anda tidak keluar dari ketiga golongan ini.”



Syaikh Al-‘Allâmah As-Si’di berkata -setelah menafsirkan dua ayat tentang kaum Muhajirin dan Anshar- :



“Keduanya adalah golongan yang utama lagi shaleh. Mereka adalah para Shahabat yang mulia dan para Imam dan tokoh-tokoh yang telah mendapatkan (-keistimewaan-) pertama. Keutamaan dan kedudukan mulia yang membuat mereka melampaui orang yang datang setelahnya, sehingga dengan itu mereka juga mencapai (-kedudukan-) orang-orang sebelumnya. Merekapun menjadi panutan kaum mukminin, para tokoh muslimin, dan para pimpinan orang-orang yang bertakwa.

Oleh sebab itu ALLAH menyebutkan bahwa di antara orang-orang yang akan datang terdapat orang-orang yang mengikuti mereka. ALLAH berfirman, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka.” Yaitu setelah kaum Muhajirin dan Anshar, mereka berdoa dalam rangka menasehati diri sendiri dan selain mereka dari seluruh muslimin :

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْأِيمَانِ

(Artinya:“Ya Rabb kami, berilah ampunan kepada kami dan saudara- saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.”)



(-masih-) As-Si’di berkata : Ini adalah doa yang mencakup seluruh kaum mukminin dari generasi pertama para Shahabat, sebelum, dan setelah mereka. Dan ini termasuk keutamaan keimanan, bahwa kaum mukminin saling memberikan manfaat dan saling mendoakan dengan sebab kesatuan iman -yang mengharuskan adanya ikatan ukhuwah antar sesama mukminin- , yang di antara cabang (-ikatan ukhuwah itu-) adalah saling mendoakan dan saling mencintai antara yang satu dengan lainnya.

Oleh sebab itu ALLAH menyebutkan penghapusan kedengkian dari hati secara keseluruhan, sedikit, dan banyaknya di dalam doa ini, di-mana jika kedengkian telah hilang, maka tetaplah kebalikannya, yaitu kecintaan, loyalitas, nasehat, dan semisalnya -yang merupakan hak-hak kaum mukminin-.

Kemudian ALLAH mensifati generasi yang hidup setelah Shahabat dengan keimanan, sebab doa mereka ("…saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu…") menunjukkan kebersamaan mereka dalam keimanan. Dan mereka mengikuti keyakinan dan pokok-pokok keimanan para Shahabat. Mereka adalah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah -tiada yang yang benar menyandang sifat ini secara sempurna kecuali mereka-.

Dan ALLAH mensifati mereka dengan pengakuan mereka terhadap dosa-dosa, permohonan ampun darinya, saling memohonkan ampun, serta kesungguhan mereka untuk menghilangkan kedengkian dan dendam terhadap sesama saudaranya yang beriman. Sebab doa mereka mengandung konsekuensi sebagaimana yang telah kami sebutkan dan mengandung sikap saling mencintai satu sama lainnya, cinta terhadap saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, serta memberikan nasehat kepadanya dalam keadaan ada atau tidak, hidup atau mati.

Kemudian mereka menutup doanya dengan menyebut dua nama yang mulia yang menunjukkan kesempurnaan rahmat-ALLAH, kasih sayang yang mendalam, dan kebaikan-Nya kepada mereka, yang intinya -bahkan yang termulia- berupa taufik kepada mereka untuk menunaikan hak-hak-Nya dan hak-hak hamba-Nya.

Merekalah tiga golongan umat ini. Yaitu kaum Muhajirin, Anshar - mereka adalah para Shahabat Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa sallam-, kemudian generasi mukminin setelah mereka. Masing-masing mereka berhak mendapatkan fai’ yang bisa dialokasikan untuk kemaslahatan Islam.”



Saya (syaikh Ahmad An-Najmi) berkata : Dan di antara yang menunjukkan (keharusan) generasi mukminin sekarang meneladani para Shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah celaan ALLAH ‘Azza wa Jalla -terhadap yang meninggalkan jalan para Shahabat- di dalam firman-Nya :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ

نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيراً

(Artinya:Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (-yaitu para Shahabat, karena ayat ini turun pada zaman mereka-), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.) (An- Nisaa` : 115)



Dan ALLAH telah memerintahkan melalui lisan Rasul-Nya untuk mengikuti sunnahnya dan sunnah Khulafâ` Ar-Râsyidîn yang telah mendapatkan petunjuk -setelah beliau-, sebagaimana di dalam hadits Al-Irbâdh bin Sâriyah :

((عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ،

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ ...))

“Wajib bagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafâ` Ar-Râsyidîn yang telah mendapatkan petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hati kalian dari perkara-perkara baru (- yang diada-adakan-) dalam agama ini…”



Dan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang hadits iftirâq :

((وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً

قَالُوا : مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؛

قَالَ : هُمُ الَّذِيْنَ عَلَى مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي ))



“Akan terpecah umat ini menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu.” Para Shahabat bertanya : “Siapa mereka wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab : “Mereka yang menempuh jalan seperti jalan yang saya dan para Shahabat tempuh.”



Maka sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ini menetapkan para Shahabatnya serta menjadikan pemahaman dan amal perbuatan mereka sebagai teladan bagi generasi setelah mereka. Sebab mereka adalah orang-orang yang terjaga dari bersepakat di atas kesesatan, (sebagaimana) terdapat dalam hadits :

((لاَ تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلاَلَةٍ ))

“Ummatku tidak akan sepakat di-atas kesesatan.”



Wabillahit-taufiq.

Alih Bahasa: Abu Abdillah Muhammad Yahya

Buletin Jum'at Risalah Tauhid -Depok- edisi 77
http://mimbarislami.or.id/

http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1193
baca selanjutnya “SIAPAKAH SALAF ?‎”

Kewajiban Mengikuti Manhaj Salaf

Penulis: Al Ustadz Shobaruddin

Mengikuti jalan para ‘ulama salaf adalah wajib atas setiap muslim dan muslimah dalam segala perkara agama. Dan dalil akan wajibnya berasal dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma (kesepakatan) para ‘ulama dari zaman ke zaman.




Dalil Wajibnya Dari Al-Qur`an





Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah At-Taubah ayat 100 :



 

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ



“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”.



 

Ayat ini sangat tegas menunjukkan wajibnya mengikuti jalan para Salaf dan bahwa orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik akan mendapatkan keridhaan dan mendapat pahala sorga. Maka ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengikuti mereka akan mendapat siksaan dan tidak akan mendapatkan keridhaan.



 

Dan Allah menjadikan keimanan para shohabat sebagai simbol kebenaran dan petunjuk, didalam firman-Nya Allah menegaskan :





فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ



“Maka jika mereka beriman seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS.Al-Baqorah : 137)



 

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah menafsir ayat ini dalam tafsir beliau yang terkenal : “{Maka jika mereka beriman} yaitu orang-orang kafir dari Ahlul Kitab  dan selain mereka {seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya} wahai kaum mu’minin dengan keimanan kepada seluruh kitab Allah dan Rasul-Nya tanpa membedakan seorangpun dari mereka {sungguh mereka telah mendapat petunjuk} yakni mereka telah tepat diatas kebenaran dan mendapatkan petunjuk kepadanya”.



 

Bahkan Allah ‘Azza Dzikruhu mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan para salaf dalam firman-Nya :






وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا



Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa : 115).







Berkata Ibnul Qoyyim Al-Jauzy : “Sisi pendalilan dari ayat ini : bahwa ayat ini menjadikan penyelisihan jalan kaum Mu’minin sebagai sebab larutnya di jalan kesesatan dan masuknya ke dalam Jahannam, sebagaimana (ayat ini) juga menunjukkan bahwa mengikuti jalan Ar-Rasul shollallahu ‘alahi wa alihi wa sallam merupakan bagian dari pokok Islam yang agung yang memberikan konsekwensi harus dan wajibnya menempuh jalan kaum Mu’minin lagi wajibnya. Adapun jalan kaum Mu’minin adalah perkataan dan perbuatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, ini ditunjukkan oleh firman-Nya Ta’ala :







آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ



 “Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman”. (QS.Al-Baqorah : 285).







Dan kaum mu’minin waktu itu adalah para shahabat”. Demikian perkataan Ibnul Qoyyim dinukil dengan perantaraan kitab Bashoir dzawi Asy-Syaraf Bimarwiyat Manhaj As-Salaf hal.54.
 
baca selanjutnya “Kewajiban Mengikuti Manhaj Salaf”

KARAKTERISTIK MANHAJ / DA'WAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH - bagian 3

Penulis: Al-Ustadz Luqman Jamal, Lc
1. Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah menasehati kaum muslimin dimanapun mereka berada khususnya di negeri-negeri kaum muslimin agar mereka mencintai ulama Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah, berwala’ kepadanya, memuliakannya dan menyebutnya dengan kebaikan, tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain, mentaatinya dan merujuk kepada mereka khususnya dalam perkara-perkara besar dan nawazil yang berkaitan dengan maslahat umat.



Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian ".(QS. An-Nisa` :59)



Dan Allah 'Azza wa Jalla berfirman :



فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui." (QS. Al-Anbiya` : 7).



Dan Allah memerintahkan dalam firman-Nya :



وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita berkaitan dengan keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalaulah bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antara kalian)." (QS. An-Nisa : 83)



Dan Ulamalah yang mengetahui yang haq, menetapkan dan menghukumi dengan haq sebagaimana firman Allah Ta'ala :



وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

" Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalannya Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji." (QS. Saba` : 6)



Dan Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam hadits Abu Darda :



إِنَّ الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَأَنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يَوْرِثْ دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

"Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang sempurna". (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shohih Abu Daud No. 3096, Shohih At-Tirmidzy 2/59 dan Shohih Ibnu Majah no. 223).



Berkata Ash-Shabuny (Aqidatus Salaf hal.121) : “Salah satu karakteristik Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah kecintaan mereka kepada Imam-imam sunnah, ulama-ulamanya, penolong-penolongnya dan wali-walinya”.



Berkata Ath-Thohawy rahimahullah : “Dan ulama salaf dari yang terdahulu dan yang sesudahnya dari kalangan tabi’in (yang mereka itu adalah) ahli kebaikan dan atsar, ahli fiqh dan nazhar, Tidaklah mereka disebut kecuali dengan kebaikan dan siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan maka ia tidak berada diatas jalan (jalan Islam dan sunnah-pent.)”. (Dari Syarah Al-Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 740)



Dan siapakah ulama sunnah itu ?

Berkata Imam Ibnu 'Abdil Barr : "Telah sepakat ahli fiqih dan atsar dari seluruh negeri bahwasanya ahlul kalam adalah ahlul bida' dan penyimpangan dan tidak dianggap menurut mereka di seluruh negeri dalam kelompok ulama. Sesungguhnya ulama itu adalah ahlul atsar dan mengambil fiqhi darinya dan mereka bertingkat-tingkat didalamnya sesuai dengan kemahirannya, keahliannya dan pemahamannya". (Lihat : Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlihi 2/95-96).



Berkata Imam Al-Barbahary : (Syarhus Sunnah hal.102 No.103) : “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- Sesungguhnya ilmu itu bukanlah karena banyaknya riwayat dan kitab, sesungguhnya 'Alim (ulama) itu adalah siapa yang mengikuti ilmu dan sunnah walaupun sedikit ilmu dan kitabnya dan siapa yang menyelisihi kitab dan sunnah maka dia adalah ahlul bid'ah walaupun banyak ilmu dan kitabnya."



Dan salah satu ciri khas ahlul bid'ah adalah membenci ahlul hadits.

Berkata Ahmad bin Sinan Al-Qoththon : "Tidak ada seorangpun mubtadi' (penganut bid'ah) di dunia kecuali dia pasti membenci ahlul hadits. Dan apabila seseorang berbuat bid'ah maka akan dicabut manisnya hadits dari hatinya." (Lihat : Aqidah Ashhabil Hadits hal. 116, Shaunul Manthiq hal.41 dan Tadzkirutul Huffazh 2/521).



2. Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah menyeru kaum muslimin untuk saling mencintai, saling merahmati dan menjalin ukhuwah islamiyah antara mereka.



Seluruh hal tersebut sebagai realisasi dari firman Allah 'Azza wa Jalla :



إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang". (QS.Maryam : 96).



Dan firman Allah Jallat 'Azhomatuhu :



وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

" Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang"". (QS. Al-Hasyr : 10)



Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :



إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

"Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara". (QS. Al-Hujarat : 10)



Berbeda dengan selain mereka dari umat-umat kafir dan kelompok-kelompok yang sesat yang Allah telah tetapkan kebencian dan permusuhan diantara mereka sehingga hati mereka bercerai berai walaupun mereka berusaha menampakkan dan meneriakkan slogan persatuan dan kasih sayang, sebagaimana dalam firman Allah Al-'Alim bidzatish Shodur :



تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ

"Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.". (QS. Al-Hasyr : 14)



3. Termasuk karakteristik Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah yang menonjol adalah kesungguhan dan terus menerusnya mereka dalam menuntut ilmu syari’at (Al-Qur`an dan Sunnah).



Hal tersebut karena banyak dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah yang menunjukkan tentang keutamaan ilmu dan anjuran untuk menuntuk ilmu. Seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.". (QS. Al-Mujadilah : 11).



Dan dakwah di jalan Allah harus disertai dengan ilmu, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :



قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

"Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf : 108).



Sesungguhnya dakwah di jalan Allah adalah kewajiban, maka seorang da'i wajib untuk berilmu tentang apa yang dia dakwahkan.

Kata Syeikh Sholih Al-Fauzan hafizhohullah : Orang jahil tidak pantas untuk menjadi da'i (Lihat : muqaddimah beliau terhadap kitab Manhajul Anbiya` fid Da'wah hal. 20 karya Syaikh Rabi' bin Hady Al-Madkhaly hafizhohullah).



Dan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :



طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

"Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim". (HR. Ibnu Majah dan lain-lainnya dari Anas bin Malik dan dihasankan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil rahimahumallah).



Dari Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :



يَحْمِلُ هَذَا الدِّيْنَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الُمْبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

"Agama ini akan diemban pada setiap generasi oleh orang-orang yang adil diantara mereka, (yang mereka itu) akan menolak setiap penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, kerusakan orang-orang yang batil dan ta'wilnya orang-orang yang bodoh". (Dishohihkan oleh Imam Ahmad sebagaimana dalam Syaraf Ashabil Hadits hal 29 karya Al-Khatib Al-Baghdady dan dihasankan oleh Salim Al-Hilaly dalam Basho`ir Dzawi Asy-Syaraf hal. 111).



Kata Imam Ibnu Qoyyim : Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam memberitakan bahwasanya ilmu yang dibawanya akan dipikul oleh orang-orang yang adil dari umatnya dari setiap generasi supaya tidak lenyap dan hilang”. (Lihat Miftah Dar As-Sa’adah 1/163)



Berkata Al-Isma'ily (I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama'ah hal.54) : “Mereka (Ahlus Sunnah wal Jama'ah) melihat (wajibnya) mempelajari ilmu (syar'i) dan mencarinya (menuntutnya) dari tempatnya dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari Al-Qur’an dan ilmu-ilmu tafsir, mendengarkan sunnah-sunnah Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam, menghafalkannya dan mempelajarinya (memahaminya) dan menuntut (mempelajari) atsar-atsar shahabat”.



Kata Imam Al-Barbahary (Syarhus Sunnah hal. 67 no.8) : “Maka lihatlah -semoga Allah memberikan rahmat padamu– semua yang kamu dengar ucapannya dari orang-orang, pada zaman kamu khususnya, maka janganlah tergesa-gesa dan jangan masuk padanya (membenarkan) sedikitpun sebelum kamu bertanya dan melihat apakah telah berbicara tentangnya (apa yang diucapkannya) para shahabat Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam atau seorang dari ulama maka jika kamu mendapatkan suatu atsar padanya (yaitu orang yang berbicara dan berfatwa dari shahabat) maka pegang teguhlah dengannya dan jangan kamu melampauinya sedikitpun dan jangan kamu memilih selainnya sedikitpun yang menyebabkan kamu masuk neraka”.


sumber :  http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=945
baca selanjutnya “KARAKTERISTIK MANHAJ / DA'WAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH - bagian 3”

KARAKTERISTIK MANHAJ / DA'WAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH - bagian 2

Penulis: Al-Ustadz Luqman Jamal, Lc 


1. Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah sepakat pada pokok-pokok aqidah. Tidak ada perbedaan dan perselisihan diantaara mereka walaupun berbeda waktu dan tempat.

Berkata Syeikhul Islam Abul Muzhoffar Manshur bin Muhammad As-Sam'any rahimahullah : "Dan perkara yang paling jelas yang menunjukan bahwasanya ahlul hadits adalah ahlul haq, yaitu sesungguhnya jika kamu menelaah atau memperhatikan seluruh kitab-kitab yang mereka tulis, dulu maupun sekarang, walaupun negeri mereka berbeda–beda dan jaraknya berjauhan dan tinggal di negeri-negeri yang berbeda, maka kamu dapati mereka dalam menjelaskan aqidah di atas satu cara dan jalan yang sama, mereka berjalan di atas jalan tersebut dan tidak berpaling darinya dan tidak ada yang menyelisihi ucapan mereka pada yang demikian itu satupun diantara mereka, penukilan mereka satu, kamu tidak dapati pada mereka perbedaan dan perpecahan sedikitpun bahkan kalau kamu mengumpulkan seluruh yang keluar dari lisan-lisan mereka dan nukilan-nukilan mereka dari pendahulunya kamu dapatkan seakan-akan hal di atas berasal dari satu hati dan satu lisan. Maka apakah setelah kebenaran ini ada dalil yang lebih jelas darinya.

Allah berfirman (dalam surah An-Nisa` ayat 82) :



أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.



Dan firman Allah (dalam surah Ali 'Imran ayat 103) :



وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.



Adapun jika kamu lihat pada ahlul ahwa` wal bida', maka kamu melihat mereka bercerai berai, berselisih dalam kelompok-kelompok dan partai-partai. Hampir-hampir kamu tidak mendapati dua di antara mereka di atas satu jalan dalam keyakinannya, membid'ahkan antara satu dengan yang lain, bahkan sampai mengkafirkan, anak mengkafirkan bapaknya, seseorang mengkafirkan saudaranya, tetangga mengkafirkan tetangganya. Kamu dapati mereka paling menonjol dalam perselisihan, kebencian dan perbedaan, mereka menghabiskan umurnya sementara kalimat mereka tidak pernah sepakat. Sebagaimana firman Allah (dalam surah Al-Hasyr ayat 14) :



لَا يُقَاتِلُونَكُمْ جَمِيعًا إِلَّا فِي قُرًى مُحَصَّنَةٍ أَوْ مِنْ وَرَاءِ جُدُرٍ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ

“Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu menganggap mereka itu bersatu padahal hati-hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti”.



lalu beliau memberi beberapa contoh kemudian beliau berkata : "Dan apakah di atas kebatilan ada dalil yang lebih jelas dari perkara ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :



إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat".(QS. Al-An'am : 159)



(lihat : Al-Intishor li Ahlil Hadits dengan perantaraan Shaunul Mantiq hal. 165-170, Al-Hujjah Fii Bayani Al-Mahajjah 2/222-230, Mukhtashor Ash-Showa'iq hal. 496-498).



2. Diantara karakteristik yang paling jelas membedakan antara Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah dengan ahlul bid'ah wal furqoh adalah hakikat nama dan penyandaran. Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah pada setiap penamaannya ; Salafiyun, Ath-Thoifah Al-Manshurah, Al-Firqoh An-Najiyah dan Ahlul Hadits, semuanya adalah sandaran kepada Sunnah dan Jama'ah yang hanya menggambarkan Islam yang hakiki. Adapun ahlul bid'ah wal furqoh, penyandarkan diri mereka kadang kepada seseorang dari ahlul bid'ah atau pimpinan kesesatan seperti Jahmiyah, Kullabiyah, Maturidiyah, Jama'ah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Sururiyah, Quthbiyah. Dan kadang kepada pokok kesesatan mereka seperti Qodariyah, Jabariyah dan Murji`ah. Dan kadang kepada bentuk dan sifat kesesatan mereka seperti Rofidhoh, Shufiyah, Falasifah, Bathiniyah, Mu'tazilah dan Musyabbihah.



Berkata Al-Maqdisy : "Dan semua yang memberi nama selain Islam dan sunnah adalah ahlul bid'ah seperti Rafidhah (Syi'ah), Jahmiyah, Khawarij, Murji`ah, Mu'tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan yang seperti mereka. Ini adalah kelompok-kelompok sesat dan kelompok-kelompok bid'ah. Semoga Allah melindungi kita darinya." (Lihat Lum'ah Al-I'tiqod hal. 124)



Dan secara umum penamaan Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah berbeda dengan penamaan ahlul bid'ah wal furqoh dari beberapa sisi :


Satu : Penamaan-penamaan Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah adalah nisbah kepada generasi awal umat Islam yang berada di atas tuntunan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, maka penamaan tersebut akan mencakup seluruh ummat pada setiap zaman yang berjalan sesuai dengan jalan generasi awal tersebut baik dalam mengambil ilmu atau dalam pemahaman atau dalam berdakwah dan lain-lainnya.


Dua : Kandungan dari penamaan-penamaan tersebut hanyalah menunjukkan tuntunan Islam yang murni yaitu Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam tanpa ada penambahan atau pengurangan sedikit pun.



Tiga : Penamaan-penamaan tersebut adalah penamaan syariat yang mempunyai asal dalil dari sunnah Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam.


Empat : Penamaan-penamaan tersebut hanyalah muncul untuk membedakan antara pengikut kebenaran dan para pengekor hawa nafsu dan golongan-golongan sesat, dan sebagai bantahan terhadap bid'ah dan kesesatan mereka.


Lima : Ikatan wala' (loyalitas) dan baro' (kebencian, permusuhan) bagi orang-orang yang bernama dengan penamaan tersebut, hanyalah ikatan wala' dan baro' di atas Islam (Al-Qur`an dan Sunnah) bukan ikatan wala' dan baro' karena seorang tokoh, pemimpin, kelompok, organisasi dan lain-lainnya.


Enam : Tidak ada fanatisme bagi orang-orang yang memakai penamaan-penamaan tersebut kecuali kepada Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam karena pemimpin dan panutan mereka hanyalah satu, yaitu Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, berbeda dengan orang-orang yang menisbahkan dirinya ke penamaan-penamaan bid'ah fanatismenya untuk golongan, kelompok atau pimpinan.


Tujuh : Penamaan-penamaan tersebut sama sekali tidak akan menjerumuskan ke dalam suatu bid'ah, maksiat maupun fanatisme kepada seseorang atau kelompok dan lain-lainnya.



Lihat : Risalah 'Ilmiah An-Nashihah Vol. 02 Rubrik Manhaj.


sumber :  http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=919
baca selanjutnya “KARAKTERISTIK MANHAJ / DA'WAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH - bagian 2”

KARAKTERISTIK MANHAJ / DA'WAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH - bagian 1

Penulis: Al-Ustadz Luqman Jamal, Lc 


Karakteristik manhaj/dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang membedakannya dengan ahlul bid'ah sangat banyak dan telah dijelaskan oleh para Imam Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dalam banyak kitab karya mereka dan tersebar luas di kalangan kaum muslimin, untuk itu kami sebutkan disini sebagian dari karakteristik tersebut. Mudah-mudahan bermanfaat bagi para pembaca dan kaum muslimin pada umumnya untuk mengetahui manhaj / dakwah Ahlussunnah wal Jama'ah yang sebenarnya. Amin. Diantara karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :





1. Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dalam menerima dan mengambil agama dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.



Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :



اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amatlah sedikit kalian mengambil pelajaran (daripadanya)”.(QS.Al-A’raf : 3)



Dan Allah Jalla Dzikruhu menyatakan dalam surah Al-Hujurat ayat 1 :



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya”.



Dan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda :



تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا : كَتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ

"Saya meninggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat sesudahnya (yaitu) Kitabullah dan Sunnahku dan keduanya tidak akan bercerai sampai keduanya menemuiku di telaga". (Shohih Jami' Ash-Shoghir karya Al-Albany jilid 3 hal. 39 no. 2934).



Berkata Imam Az-Zuhry rahimahullah : “Dari Allah (turunnya) Ar-Risalah (agama,syari’at) dan kewajiban Rasul (shollallahu 'alaihi wa ala alihi wa sallam) adalah menyampaikan dan kewajiban kita adalah At-Taslim (menerima, tunduk, berserahkan diri)". (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dalam Kitab At-Tauhid secara mu’allaq, lihat Fathul Bary 13/508).

Dan Imam Ath-Thohawy menyatakan : “Tidaklah tsabit (kuat) keislaman seseorang kecuali dengan menerima dan berserah diri (kepada kitab dan sunnah-pent.) dengan sepenuh hati”. (Dari Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyah hal.201)



2. Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah tidak membedakan antara Al-Qur`an dan As-Sunnah karena keduanya dari sisi Allah Azza wa Jalla dan keharusan menerimanya adalah sama.



Allah Azza Wa Jalla berfirman :



وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

"Dan tidaklah yang dia (Rasulullah) ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain

kecuali wahyu yang diwahyukan padanya. (QS.An-Najm : 3-4)

Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :



مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

"Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah". (An-Nisa` : 80)



Dan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda :



أَلاََ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

"Ketahuilah sesungguhnya saya telah diberi Al-Qur`an dan yang semisal dengannya". (HR.Ahmad 4/130-131,Abu Daud 5/13 No.4605 dan dishohihkan oleh Al-Albany rahimahullah dalam Shohih Al Jami' 2643.)



3. Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah berhujjah dengan hadits-hadits yang shohih, baik yang mutawatir maupun Ahad, baik dalam masalah Aqidah maupun Ahkam dan tidak ada perbedaan antara keduanya.



Allah Ta'ala berfirman :



وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

"Dan apa-apa yang Rasul datangkan kepada kalian maka terimalah dan apa-apa yang beliau larang maka tinggalkanlah" (QS. Al-Hasyr :7 )



Allah Ta'ala berfirman :



فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

"Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.". (An-Nisa` : 59)



Berkata Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Ihkam hal 102 : "Maka benarlah dengan ini bahwa ummat ber-ijma' (bersepakat) dalam menerima khabar ahad seorang yang terpercaya dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan juga seluruh kaum muslimin menerima khabar ahad seorang yang terpercaya dari Nabi shollallahu 'alaihi wa ala alihi wa sallam."

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Ash-Showa'iq Al-Mursalah 2/262 : "Maka yang dijadikan sandaran oleh orang-orang yang menafikan ilmu (yakin) dari hadits-hadits Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, yang dengan hal tersebut mereka telah mengoyak/merobek ijma' para shahabat yang dimaklumi secara darurat (pasti) dalam agama, (mengoyak) ijma' para tabi'in dan ijma' para imam kaum muslimin. Dan mereka (yaitu orang-orang yang menafikan bahwa hadits ahad memberi faedah ilmu-pent.) dengan hal tersebut telah mencocoki kaum Mu'tazilah, Jahmiyah, Rafidhoh dan Khawarij".



4. Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah dalam memahami, mengambil dan mengamalkan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shohih dengan mengikuti jalan As-Salaf Ash-Sholeh.



Allah Azza wa Jalla kewajiban mengikuti jalan mereka dalam firman-Nya :



وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". (QS. At-Taubah : 100)



Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengancam orang yang menyelisihi jalan mereka dengan firman-Nya :



وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu`min, maka Kami biarkan ia larut terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali".".(QS. An-Nisa :115)



Dan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda :



عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيْيِنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Wajib atas kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan kepada sunnah Al Khulafa yang mendapat hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah terhadap perkara yang baru dalam agama. Karena sesungguhnya semua perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat".



Kata Imam Ahmad (Ushul As-Sunnah hal.14) : "Dasar–dasar sunnah (agama) di sisi kami adalah berpegang teguh pada apa yang ada pada shahabat Rasulullah shollallahu 'alaihi wa ala alihi wa sallam, mencontoh mereka dan menjauhi bid'ah-bid'ah karena setiap bid'ah adalah kesesatan".

Dan berkata Imam Ash-Shabuni (Aqidatus Salaf hal.114) : "Dan mereka (Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Ahlul Hadits-pent.) mengikuti para salaf yang sholeh dari Imam-Imam dalam agama dan ulama-ulama kaum muslimin dan mereka berpegang teguh sesuai dengan apa yang ada pada mereka, memegang teguh agama dengan kokoh dan berada di atas kebenaran yang nyata".



5. Berdasarkan point di atas Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah meyakini bahwa jalan As-Salaf Ash-Sholeh adalah Aslam (lebih selamat), A'lam (lebih 'alim) dan Ahkam (lebih berhikmah) tidak sebagaimana yang disangka oleh Ahlul Kalam dan semisalnya bahwa jalan As-Salaf Ash-Sholeh hanya Aslam sedangkan jalan Khalaf (Orang-orang belakangan) A'lam dan Ahkam.



Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah : "Dan sungguh mereka telah membuat kedustaan terhadap jalan Salaf dan mereka telah sesat dengan membenarkan jalan Khalaf. Maka merekapun mengumpulkan antara kebodohan tentang jalannya Salaf dengan berdusta atas mereka dan antara kebodohan dan kesesatan dengan membenarkan jalannya Khalaf. ( Lihat :Fatawa Al-Hamawiyah Al-Kubro hal. 31-32, cet. Maktabatu Harro`)



6. Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah memulai dakwah mereka dengan yang paling penting kemudian yang penting setelahnya. Karena mereka mendahulukan apa yang didahulukan oleh Allah dan rasul-Nya dan mengakhirkan apa yang diakhirkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :



وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِ مَا أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ الْأُولَى بَصَائِرَ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

"Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk dan rahmat, agar mereka ingat. ". (QS.Al-Qashash : 43)

Syeikh Sholih Al-Fauzan hafizhohullah dalam kaset yang berjudul “Al-Qowa’id Fii Al-Minhaj” menukil dari Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa ayat ini menunjukkan sesungguhnya ahkam (hukum-hukum) itu turun setelah tetapnya syari'at ketika Allah telah membinasakan Fir'aun dan kaumnya. Kemudian setelah dakwah nabi Musa 'alihissalam kokoh, barulah Allah menurunkan kepadanya Al-Kitab yaitu Taurat.

Dan juga dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda :



نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ

"Kami memulai dengan apa yang Allah memulai dengannya". (HSR. Muslim)

7. Prioritas utama dakwah Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah adalah dakwah kepada tauhid. Karena itu merupakan misi dakwah para nabi dan rasul di muka bumi ini. Mereka memulai dakwahnya dengan tauhid dan mengakhirinya dengan tauhid.

Allah Azza wa Jalla berfirman :



وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu".". (QS. An-Nahl : 30)

Dan Allah Jalla Dzikruhu berfirman :



وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

"Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".". (QS. Al-Nahl : 36)

Dan Allah Jalla Sya`nuhu menyatakan :



وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu : "Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.". (QS. Az-Zumar : 65)



Dan Allah Rabbul 'Izzah berfirman :

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ ءَابَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

"Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya : "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab : "Kami akan menyembah sesembahanmu dan sesembahan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) sesembahan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya" (QS.Al-Baqarah : 133).

Dan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata :



لَمَّا بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ إِنَّكَ تَقْدُمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ تَعَالَى.

"Tatkala Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman beliau berkata kepadanya : "Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka hendaknya yang engkau dakwahkan di awal kali kepada mereka adalah untuk mentauhidkan Allah Ta'ala". (HSR.Bukhary-Muslim)

Dan di akhir hayat Rasulullah shollallahu 'alaihi wa ala alihi wa sallam dalam keadaan sakit, beliau juga memperingatkan dari kesyirikan sebagaimana sabda beliau :



لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَىَ اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

"Allah telah melaknat orang yahudi dan nashoro, mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid". (HSR.Bukhary-Muslim)



8. Dakwah Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah adalah dakwah sumuliyah (universal) mencakup seluruh bagian agama tanpa terkecuali. Mereka mengagungkan dan memuliakan seluruh perkara agama karena sifat syariat itu adalah cocok untuk segala zaman, setiap umat dan keadaan.

Allah Jalla wa 'ala berfirman :



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqorah : 208)

Kata Ibnu Katsir mentafsirkan ayat ini : "Allah Ta'ala berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya lagi membenarkan rasul-Nya, untuk mengambil seluruh bagian-bagian Islam dan syariatnya, mengerjakan semua perintah-perintahnya dan meninggalkan seluruh larangannya sesuai dengan apa yang mereka mampu".

Dan Allah Jalla tsana`uhu berfirman :



ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati". (QS. Al-Hajj : 32)

Dan Allah Azzat Azhomatuhu berfirman :



ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ

"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah yang terbaik baginya di sisi Rabbnya". (QS. Al-Hajj : 30)

Bahkan perkara-perkara yang kelihatannya sepelepun diterangkan dalam agama ini sehingga membuat orang-orang musyrikin dan ahlul kitab iri hati dan dengki sebagaimana dalam hadits Salman Al-Farisy beliau berkata :



قَالَ لَنَا الْمُشْرِكُوْنَ هَلْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ, قَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِيْنِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلِّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيْعٍ أَوْ بِعَظْمٍ.

"Kaum musyrikin berkata kepada kami : "Apakah nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) tata cara buang air, maka dia menjawab : benar, sungguh beliau telah melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kencing, (melarang) kami beristinja` dengan tangan kanan, (melarang) kami beristinja` kurang dari tiga batu atau kami beristinja` dengan kotoran atau tulang. (HR.Muslim)



9. Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah terus-menerus menampakkan kebenaran dan membelanya sampai hari kiamat dan tidak takut cercaan orang yang mencela mereka.



Allah 'Azza wa Jalla berfirman :



فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik." (QS. Al-Hijr : 94)



Dan Allah Jalla tsana`uhu berfirman :



وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ

"Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Qur'an, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.". (QS. Al-An'am : 55)



Dan Allah Jalla Sya`nuhu telah mengambil janji kepada manusia supaya tidak menyembunyikan kebenaran dalam firman-Nya :



وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ

"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." (QS. Ali 'Imran : 187)



Dan Allah Jalla Sya`nuhu menyatakan ancaman untuk mereka yang menyembunyikan kebenaran dalam firman-Nya :



إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.". (QS. Al-Baqorah : 174)



Dan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda dalam hadits yang mutawatir riwayat Bukhary,Muslim dan lain-lainnya :



لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca dan orang yang menyelisihi mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”.



Dan dalam hadits 'Ubadah bin Shomit riwayat Bukhary-Muslim, beliau membaiat Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam atas beberapa perkara, diantaranya :



وَعَلَى أَنْ نَقُوْلَ الْحَقَّ أَيْنَمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ

"Dan agar kami mengucapkan kebenaran dimanapun kami berada, kami tidak boleh takut di (jalan) Allah terhadap cercaan orang yang mencerca."



Dan dari Abu Dzar Al-Ghifary radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam memerintahkannya dengan tujuh perkara, diantaranya :



وَأَنْ أَقُوْلَ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا

"Dan hendaknya aku mengucapkan kebenaran walaupun itu pahit". (H.R Ahmad 5/159.173 dan lain-lainnya dan dishohihkan oleh Al-Muddits Al-'Allamah Al-Albany rahimahullah dalam Ash-Shohihah no. 2166 dan Syaikh Muqbil Al-Wadi'iy rahimahullah dalam Ash-Shohih Al-Musnad)





10. Ahlus Sunnnah Wal Jama’ah tetap di atas Al-Haq dan tidak ragu, bimbang, goncang, atau kontradiksi sebagaimana kebiasaannya pengekor hawa nafsu.



Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :



وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا

"Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami". (QS. Al-Isra` : 74-75)



Dan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah :



إِنَّ مِنْ شَرِّ النَّاسِ ذَا الْوَجْهَيْنِ الَّذِيْ يَأْتِيْ هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ

"Sesungguhnya dari sejelel-jelek manusia adalah yang mempunyai dua muka yang datang kepada mereka (suatu kaum) dengan satu wajah dan (datang) kepada mereka (kaum yang lain) dengan dengan satu wajah (yang lain) ". (HSR. Bukhary-Muslim)



Mereka selalu ingat dan memperhatikan nasehat Hudzaifah bin Yaman kepada Abu Mas'ud radhiyallahu 'anhuma :



اعْلَمْ أَنَّ الضَّلاَلَةَ حَقَّ الضَّلاَلَةِ أَنْ تَعْرِفَ مَا كُنْتَ تُنْكِرُ وَأَنْ تُنْكِرَ مَا كُنْتَ تَعْرِفُ وَإِيَّاكَ وَالتَّلَوُّنَ فَإِنَّ دِيْنَ اللهِ وَاحِدٌ

"Ketahuilah bahwa sesungguhnya kesesatan yang sebenarnya adalah kamu ketahui apa yang dulu kamu ingkari dan kamu ingkari apa yang dulu kamu ketahui dan berhati-hatilah terhadap berubah-ubah dalam agama karena sesungguhnya agama Allah itu satu". (Diriwayatkan oleh Ma'mar bin Rasyid dalam Jami'nya sebagaimana di akhir Mushonnaf 'Abdurrazzaq 11/249, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya 7/140, Al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnadnya no. 470 (Zawa`id Al-Haitsamy), Al-Baihaqy 10/42 dan Al-Lalaka`iy dalam Ushul I'tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama'ah 1/90)



sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=905
baca selanjutnya “KARAKTERISTIK MANHAJ / DA'WAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH - bagian 1”

INILAH PRINSIP DAKWAH KAMI


Oleh Al Ustadz Yuswaji Lc

1. Kembali kepada Al Qur'an dan As-Sunnah An-Nabawiyah yang shahih dengan pemahaman Salafush Shalih Radhiyallahu ‘Anhum sebagai pengamalan firman Allah 'Azza wajalla,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيراً
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (Qs. An-Nisaa: 115)

Dan juga sebagai implementasi dari firman Allah Ta'ala:

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Qs. Al Baqarah: 137)

2. Tashfiyah / mensucikan kehidupan kaum muslimin dari noda-noda kesyirikan dalam berbagai bentuknya, memperingatkan dari bid'ah yang mungkar dan pemikiran-pemikiran batil yang menyusup ke dalam tubuh kaum muslimin, membersihkan sunnah nabi dari riwayat-riwayat dha'if dan palsu yang mengotori kemurnian islam dan menghambat kemajuan kaum muslimin demi menunaikan amanah ilmiyah seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ المْبُطْلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الجْاَهِلِيْنَ
“Agama ini dibawa pada setiap penerusnya oleh orang-oang adilnya, mereka melenyapkan penyimpangan orang-orang yang melampau batas dan tipu daya para pengekor kebatianl serta menghilangkan takwilnya orang-orang jahil”.



Juga sebagai realisasi firman Allah Ta'ala :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Qs. Al Maidah: 2)



3. Membina kaum muslimin di atas agama mereka yang haq, mengajak mereka untuk mengamalkan hukum-hukum agama islam dan berhias diri dengan keutamaan dan akhlak islam. Yang demikian akan memberikan jaminan untuk mendapatkan ridha Allah dan merealisasikan kebahagian dan keluhuran. Itu semua merupakan bentuk perwujudan sifat yang Allah sematkan terhadap kelompok yang selamat dari kerugian,

وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Dan mereka saling mewasiatkan dengan kebenaran dan kesabaran”. (Qs. Al Ashar: 3)



Dan juga sebagai ketundukan terhadap perintah Allah Ta'ala,

وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

“Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Alkitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (Qs. Ali Imran: 79)



4. Menghidupkan metode ilmiyah yang islami dan benar dengan bimbingan Al Qur'an dan As-Sunnah di atas manhaj Salafush Shalih, dan melenyapkan kebekuan taqlid madzhab serta membuang fanatik hizbi (kelompok) yang membelenggu akal kebanyakan kaum muslimin. Serta mewujudkan ukhuwah islamiyah diatas akidah dan manhaj Ahlus Sunnah sebagai pelaksanaan terhadap firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعاً وَلا تَفَرَّقُوا (آل عمران:103)

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai”. (Qs. Ali Imran: 103)



Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:

كُوْنوُاْ عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً
“Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”.



5. Tidak memprovokasi kaum muslimin untuk melawan pemerintahnya meski mereka lalim, tidak melalui minbar-minbar khutbah atau pun melalui sarana-sarana lainnya, karena yang demikian menyelisihi sunnah Salafus Shalih, juga sebagai aplikasi dari sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِيْهِ عَلاَنِيَةً وَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَإِنْ سَمِعَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa maka janganlah menampakkannya terang-terangan di hadapan massa, namun gaetlah tangannya (yakni dengan empat mata / rahasia), jika dia mau mendengar maka itulah (yang diharapkan), jika tidak mau mendengarnya maka dia telah menunaikan kewajibannya”.



Inilah prinsip dakwah kita.

sumber : http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=1

baca selanjutnya “INILAH PRINSIP DAKWAH KAMI”

Kenapa kita harus mengikuti as Salaf???

Penulis: Al Muhaddist al `Allaamah Muhammad Naashiruddiin al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala 


لماذا نتبع السلف؟؟؟

Kenapa kita harus mengikuti as Salaf???

Jawaban dari pertanyaan ini akan kita dengarkan dari seorang imam ahlil Hadist pada zaman ini yaitu; al Muhaddist al `Allaamah Muhammad Naashiruddiin al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala.



Pertanyaan : Kenapa harus dinamakan dengan as Salafiyyah?? Apakah da`wah ini merupakan da`wah hizbiyyah, atau da`wah thooifiyyah atau da`wah madzhabiyyah, atau dia ini merupakan satu golongan yang baru dalam Islam ini??



Jawaban : Sesungguhnya kata kata “as Salaf” ma`ruufun (sangat dikenal) dalam bahasa `arab dan di dalam syari`at ini, yang terpenting bagi kita disini adalah pembahasannya dari sisi syari`at.



Sesungguhnya telah shohih dari pada Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam, bahwasanya beliau `Alaihi wa Sallam pernah berkata kepada anaknya Faathimah radhiallahu `anha sebelum beliau `Alaihi wa Sallam wafat :



((فاتقي الله واصبري، فإنه نعم السلف أنا لك......)). رواه مسلم (2450) (98).



Artinya : “Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya sebaik baik “salaf” bagi kamu adalah saya…”[1]



Penggunaan kalimat ‘salaf” sangat ma`ruf dikalangan para `ulama salaf dan sulit sekali untuk dihitung dan diperkirakan, cukup bagi kita satu contoh dari sekian banyak contoh contoh yang digunakan oleh mereka dalam rangka untuk memerangi bid`ah bid`ah.



كل خير في اتباع من سلف وكل شر في ابتداع من خلف



“Setiap kebajikan itu adalah dengan mengikuti orang salaf dan setiap kejelekan tersebut adalah yang diada adakan oleh orang khalaf”.



Ada sebahagian orang yang menda`wakan memiliki `ilmu, mengingkari penisbahan kepada “salaf”, dengan da`waan bahwa nisbah ini tidak ada asalnya. Dia berkata : “Tidak boleh bagi seseorang muslim untuk mengatakan saya seorang “salafiy,” seolah olah dia mengatakan juga : “Tidak boleh bagi seseorang mengatakan saya muslim yang mengikuti para “salafus shoolih” dengan apa apa mereka di atasnya dalam bentuk `aqidah, `ibadat dan akhlaq.” Maka tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini kalau benar benar dia ingkari, sudah tentu diwajibkan juga bagi dia untuk berlepas diri dari Islam yang benar, yang telah dijalani oleh para “salafus shoolih”, Rasuulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam telah mengisyaratkan dalam hadist hadist yang mutawaatir diantaranya :



((خير أمتي قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم)).



Artinya : “Sebaik baik ummat saya adalah yang hidup sezaman dengan saya (sahabatku), kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Taabi`uun), kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Baaut Taa`bi`iin)….”[2]



Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari penisbahan kepada as Salafus Shoolih, sebagaimana kalau seandainya berlepas diri juga dari penisbahan yang lainnya, tidak mungkin bagi seorang ahli `ilmu untuk menisbahkannya kepada kekufuran atau kefasikan.



Orang yang mengingkari penamaan seperti ini (nisbah kepada “salaf”). Apakah kamu tidak menyaksikan, bukankah dia menisbahkan dirinya kepada satu madzhab dari sekian madzhab yang ada?, apakah madzhab ini berhubungan dengan `aqidah atau fiqh. Sesungguhnya dia mungkin Asy`ariy, Maaturiidiy dan mungkin juga dia dari kalangan ahlul hadist atau dia Hanafiy, Syaafi`ii, Maalikiy atau Hanbaliy diantara apa apa yang termasuk kedalam penamaan ahlus Sunnah wal Jamaa`ah, padahal seseorang yang menisbahkan dirinya kepada madzhab asy`Ariy atau kepada madzhab yang empat, sebenar dia telah menisbahkan dirinya kepada pribadi pribadi yang bukan ma`suum tanpa diragukan, walaupun diantara mereka ada juga para `ulama yang benar, alangkah aneh dan sangat mengherankan sekali, kenapa dia tidak mengingkari penisbahan kepada pribadi yang tidak ma`suum ini???



Adapun seorang yang mengintisabkan dirinya kepada “as Salafus Shoolih”, sesungguhnya dia telah menyandarkan dirinya kepada seseorang yang ma`suum secara umum (yang dimaksud Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam), Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menyebutkan tentang tanda tanda “al Firqatun Naajiyyah” yaitu seseorang yang berpegang teguh dengan apa yang Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dan para shohabatnya ada di atasnya, maka barang siapa yang berpegang teguh dengan jalan mereka secara yaqin, dia betul betul berada di atas petunjuk Robnya.



Nisbah kepada “as Salaf” ini merupakan nisbah yang akan memuliakan seseorang menisbahkan dirinya kepadanya, kemudian memudahkan baginya untuk mengikuti jalan kelompok orang yang selamat tersebut, tidak sama dengan seseorang yang menisbahkan dirinya kepada nisbah yang lain, karena penisbahan itu tidak akan terlepas dia diantara dua perkara :



Pertama, dia mungkin meng-intisabkan dirinya kepada seseorang yang bukan ma`suum, atau kepada orang orang yang mengikuti manhaj (methode) orang yang bukan ma`suum ini, yang tidak ada sifat suci baginya, berbeda dengan shahabat Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam yang memang diperintahkan kita oleh Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam untuk berpegang teguh dengan sunnah (cara/methode)nya dan sunnah para shahabatnya setelah beliau wafat.



Dan kita akan terus menerus menganjurkan dan menerangkan agar pemahaman kita terhadap al Quraan dan as Sunnah benar benar sesuai dengan pemahaman para shahabatnya Shollallahu `alaihi wa Sallam, supaya kita terjaga daripada berpaling dari kanan dan kekiri, juga terpelihara dari penyelewengan pemahaman yang khusus, sama sekali tidak ada dalil yang menunjukan atas pemahaman itu dari Kitaabullahi Subhaana wa Ta`aalaa dan Sunnah RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam.



Kemudian, kenapa tidak cukup bagi kita untuk menisbahkan diri kepada al Quraan as Sunnah saja?

Jawabannya kembali kepada dua sebab :

Pertama : Berhubungan dengan nash nash syar`ii.

Kedua : Melihat kepada keadaan firqoh firqoh (golongan golongan) islaamiyah pada sa`at ini.



Ditinjau dari sebab yang pertama : kita menemukan dalil dalil syar`ii memerintahkan untuk menta`ati sesuatu yang lain disandari kepada al Kitab dan as Sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Allah Ta`aalaa :



((يأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم....)) النساء (59).



Artinya : “Hai orang orang yang beriman, tha`atilah Allah dan tha`atilah RasulNya, dan ulil amri diantara kalian.” An Nisaa` (59).



Kalau seandainya ada waliyul amri yang dibai`at dikalangan kaum muslimin maka wajib untuk mentha`atinya sebagaimana kewajiban mentha`ati al Kitab dan as Sunnah, bersamaan dengan demikian kadang kadang dia salam serta orang orang disekitarnya, namun tetap wajib mentha`atinya dalam rangka mencegah kerusakan daripada perbedaan pandangan pandangan yang demikian dengan syarat yang ma`ruuf, demikian disebutkan dalam hadist yang shohih :



((لا طاعة في معصية إنما الطاعة في المعروف)).

Artinya : “Tidak ada ketha`atan di dalam ma`shiat, sesungguhnya ketha`atan itu hanya pada yang ma`ruuf.”[3]



Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa berkata :



((ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا)). النساء:(115).



Artinya : “Barang siapa menyakiti (menyelisihi) as Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam setelah sampai (jelas) kepadanya hudan (petunjuk), lalu dia mengikuti bukan jalan orang mu`minin (para shahabat), kami akan palingkan dia kemana sekira kira dia berpaling, lalu kami akan masukan dia keneraka jahannam yang merupakan sejelek jelek tempat baginya.” An Nisaa (115).



Sesungguhnya Allah `Azza wa Jalla Maha Tinggi dan Maha Suci Dia dari sifat kesia sia-an, tidak diragukan dan disangsikan lagi bahwasanya penyebutan jalan orang mu`miniin pada ayat ini sudah tentu ada hikmah dan faedah yang sangat tepat, yaitu; bahwasanya ada kewajiban yang penting sekali tentang pengikutan kita kepada Kitaabullahi Subhaana wa Ta`aalaa dan Sunnah RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam wajib untuk dicocokan dengan apa apa yang telah dijalani oleh orang muslimiin yang pertama dikalangan ummat ini, mereka adalah shahabat Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam; kemudian orang orang yang mengikuti mereka dengan baik, inilah yang selalu diserukan oleh ad Da`watus Salafiyyah, dan apa apa yang telah difokuskan dalam da`wah tentang asas asas dan tarbiyahnya.



Sesungguhnya “ad Da`watus Salafiyyah”-merupakan satu satunya da`wah yang haq untuk menyatukan ummat ini, sementara apapun bentuk da`wah yang lain hanya memecah belah ummat ini; Allah `Azza wa Jalla berkata :



((وكونوا مع الصادقين)). التوبة (119).



Artinya : “Hendaklah kamu bersama orang orang yang benar.” At Taubah (119), dan barangsiapa yang membedakan diantara al Kitaab dan as Sunnah disatu sisi, dan antara “as Salafus Shoolih disisi yang lainnya dia bukan seorang yang jujur selama lamanya.



Ditinjau dari sebab yang kedua : Kelompok kelompok dan golongan golongan pada hari ini sama sekali tidak menghadap secara muthlaq untuk mengikuti jalan orang mu`miniin (jalan para shahabat radhiallahu `anhum) seperti yang disebutkan pada ayat diatas, dan dipertegas lagi dengan sebahagian hadist hadist yang shohih diantaranya : hadist al firaq (mengenai perpecahan) menjadi tujuh puluh tiga gologan, yang keseluruhannya di neraka kecuali satu, Rasuulullahu Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menjelaskan tentang sifatnya bahwasanya dia :



"هي التي على مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابي."



Artinya : “Dia (al Firqatun Naajiyyah) itu adalah sesuai dengan apa apa yang saya hari ini dan para shahabat saya.”[4]

Dan hadist ini serupa dengan ayat diatas menyebutkan jalan orang mu`miniin, diantaranya juga hadist al `Irbaadh bin Saariyah radhiallahu `anhu :



"فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي".



Artinya : “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnah dan Sunnah al Khulafaaur Raasyidiin al Mahdiyiin setelah saya.”[5]

Jadi dihadist ini menunjukan dua Sunnah : Sunnatur Rasuul Shollallahu `alaihi wa Sallam dan Sunnatul Khulafaaur Raasyidiin.



Diwajibkan bagi kita-akhir ummat ini- untuk kembali kepada al Kitaab dan as Sunnah dan jalan orang mu`miniin (as Salafus Shoolih), tidak dibolehkan bagi kita mengatakan: kita akan memahami al Kitab dan as Sunnah secara bebas (merdeka) tanpa meruju` kepada pemahaman “as Salafus Shoolih!!”



Dan wajib adanya penisbahan yang membedakan secara tepat pada zaman ini, maka tidak cukup kita katakan : saya muslim saja!, atau madzhab saya adalah al Islam!, padahal seluruh firqah firqah yang ada mengatakan demikian : ar raafidhiy (as Syii`ah) dan al ibaadhiy (al Khawaarij/Firqatut takfiir) dan al qadiyaaniy (Ahmadiyyah) dan selainnya dari firqah firqah yang ada!!, jadi apa yang membedakan kamu daripada mereka keseluruhannya??



Kalau kamu mengatakan : saya muslim mengikuti al Kitab dan as Sunnah juga belum cukup, karena pengikut pengikut firqah firqah yang sesat juga mengatakan demikian, baik al `Asyaairah dan al Maaturiidiyyah dan kelompok kelompok yang lain- keseluruhan pengikut mereka juga menda`wakan mengikuti yang dua ini (al Kitab dan as Sunnah).



Dan tidak diragukan lagi adanya wujud penisbahan yang jelas lagi terang yang betul betul membedakan secara nyata yaitu kita katakan : “Ana muslim mengikuti al Kitab dan as Sunnah di atas pemahaman “as Salafus Shoolih,” atau kita katakan dengan ringkas : “Ana Salafiy.”



Dan diatas inilah; sesungguhnya kebenaran yang tidak ada penyimpangan padanya bahwasanya tidak cukup bersandarkan kepada al Kitab dan as Sunnah saja tanpa menyandarkan kepada methode pemahaman “as Salaf” sebagai penjelas terhadap keduanya dalam sisi pemahaman dan gambaran, al `ilmu dan al `amal, ad Da`wah serta al Jihad.



Kita mengetahui bahwasanya mereka-radhiallahu `anhum- tidak pernah fanatik kepada madzhab tertentu atau kepada pribadi tertentu, tidak terdapat dikalangan mereka ada mengatakan : “Bakriy (pengikut Abu Bakr), `Umariy (pengikut `Umar), `Utsmaaniy (pengikut `Utsman), `Alawiy (pengikuti `Ali) radhiallahu `anhum ajma`iin, bahkan salah seorang dari kalangan mereka apabila memudahkan baginya untuk bertanya kepada Abu Bakr atau `Umar atau Abu Hurairah dia akan bertanya; yang demikian itu dikarenakan mereka betul betul yaqin bahwasanya tidak dibolehkan meng-ikhlashkan “ittibaa`” (pengikutan) kecuali pada seorang saja, ketahuilah dia adalah Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam; dimana beliau tidak pernah berbicara dengan hawa nafsunya melainkan wahyu yang diwahyukan padanya.



Kalau kita terima bantahan para pengeritik ini bahwasanya kita hanya menamakan diri kita “kami orang muslim”, tanpa menisbahkan kepada “as Salafiyyah”-padahal nisbah itu merupakan nisbah yang mulia dan benar-, apakah mereka (para pengeritik) akan melepaskan dari penamaan dengan golongan golongan mereka, atau madzhab madzhab mereka, atau thoriiqah thoriiqah mereka- yang padahal penisbahan dan penyadaran itu bukan disyari`atkan dan tidak benar?!!

فحسبكم هذا التفاوت بيننا

وكل إناء بما فيه ينضح.

Artinya : “Cukuplah bagi kalian perbedaan ini diantara kita

Dan setiap bejana akan menuangkan apa apa yang ada padanya.



Dan Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa yang Menunjuki kita ke jalan yang lurus, dan Dia-Subhaana wa Ta`aalaa- Yang Maha Penolong.



Diterjemahkan oleh Abul Mundzir-Dzul Akmal as Salafiy

Dari Majallah as Ashoolah (no.9/86-90), dengan judul : “Masaail wa Ajwibatuha.”

1997M. 

http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=677
baca selanjutnya “Kenapa kita harus mengikuti as Salaf???”

Ahlus Sunnah Wal Jam’ah, Siapakah Mereka?

Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqornain
Pertanyaan No. 1 :
Dewasa ini marak pengakuan dari berbagai pihak yang mengklaim dirinya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sehingga menyebabkan adanya kerancuan dan kebingungan dalam persepsi banyak orang tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu ?


Jawab :
Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah Allah sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah empat belas abad yang lalu.


Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka :


افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ


“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.


Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakansuatu ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah Yang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allah I Maha Mempunyai Hikmah dibelakang hal tersebut.


Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan -hafidzahullahu- menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaqcet. Darus Salaf hal.23-24 beliau berkata :“(Perpecahan dan perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah guna menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.


Allah berfirman :


“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankabut : 29 / 1-3).


Dan Allah berfirman :

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”.(QS. Hud : 10 / 118-119)


"Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. Al-‘An’am : 6 / 35).”


Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasululullah :


قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ


“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.


Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- :


خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ]وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [


“Pada suatu hari Rasulullah menggaris di depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”. (QS. Al ‘An’am : 6 / 153 )”.


Diriwayatkan oleh : Abu Daud Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 244, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 8/88, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam As-Sunnah no.11, Sa’id bin Manshur dalam Tafsirnya 5/113 no 935, Ahmad 1/435, Ad Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalam Al-Kubro 5/94 no.8364 dan 6/343 no.11174, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 1/180-181 no.6-7 dan dalam Al-Mawarid no 1741, Al-Hakim dalam Mustadraknya 2/348, Asy-Syasyi dalam Musnadya 2/48-51 no.535-537, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/263 dan Al-Lalaka’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/80-81. Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.


Adapun penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini akan diuraikan dari beberapa sisi :

Pertama : Definisi Sunnah.
Sunnah secara lughoh (bahasa) : berarti jalan, baik maupun jelek, lurus maupun sesat, demikianlah dijelaskan oleh Ibnu Manzhurdalam Lisanul ‘Arab 17/89 dan Ibnu An-Nahhas.

Makna secara lughoh itu terlihat dalam hadits Jarir bin ‘Abdullah. Rasulullah r bersabda :

مَنْ سْنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ

“Siapa yang membuat sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya dan siapa yang membuat sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya”. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohihnya no.1017.


Lihat Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Bid’ah Wal Ahwa`i 1/29-33 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah Fi Tauhidillah I/19.


Adapun secara istilah : Sunnah mempunyai makna khusus dan makna umum. Dan yang diinginkan di sini tentunya adalah makna umum.

Adapun makna sunnah secara khusus yaitu makna menurut istilah para ulama dalam suatu bidang ilmu yang mereka tekuni:

ü Para ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi r baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak.

ü Para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi r selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.

ü Para ulama fiqh memberikan definisi sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi r di bawah hukum wajib.


Adapun makna umum sunnah adalah Islam itu sendiri secara sempurna yang meliputi aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat.


Berkata Imam Al-Barbahary : “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah sunnah dan sunnah adalah Islam dan tidaklah tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya” (lihat : Syarh As-Sunnah hal.65 point 1).


Berkata Imam Asy-Syathiby dalam Al-Muwafaqot 4/4 : “(Kata sunnah) digunakan sebagai kebalikan/lawan dari bid’ah maka dikatakan : “Si fulan di atas sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan tuntunan Nabi r yang sebelumnya hal tersebut mempunyai nash dari Al-Qur’an, dan dikatakan “Si Fulan di atas bid’ah” apabila ia beramal menyelisihi hal tersebut (sunnah)”.


Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 4/180 menukil dari Imam Abul Hasan Muhammad bin ‘Abdul Malik Al-Karkhy beliau berkata : “Ketahuilah… bahwa sunnah adalah jalan Rasulullah r dan mengupayakan untuk menempuh jalannya dan ia (sunnah) ada 3 bagian : perkataan, perbuatan dan aqidah”.


Berkata Imam Ibnu Rajab -rahimahullahu ta’ala- dalam Jami’ Al-‘Ulum Wal Hikam hal. 249 : “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka hal itu akan meliputi berpegang teguh terhadap apa-apa yang beliau r berada di atasnya dan para khalifahnya yang mendapat petunjuk berupa keyakinan, amalan dan perkataan. Dan inilah sunnah yang sempurna, karena itulah para ulama salaf dahulu tidak menggunakan kalimat sunnah kecuali apa-apa yang meliputi seluruh hal yang tersebut di atas”. Hal ini diriwayatkan dari Hasan, Al-Auza’iy dan Fudhail bin ‘Iyadh”.


Demikianlah makna sunnah secara umum dalam istilah para ‘ulama -rahimahumullah- dan hal itu adalah jelas bagi siapa yang melihat karya-karya para ulama yang menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah dimana akan terlihat bahwa mereka menginginkan makna sunnah secara umum seperti :

1. Kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim.

2. Kitab As-Sunnah karya Imam Ahmad.

3. Kitab As-Sunnah karya Ibnu Nashr Al-Marwazy.

4. Kitab As-Sunnah karya Al-Khallal.

5. Kitab As-Sunnah karya Abu Ja’far At-Thobary.

6. Kitab Syarh As-Sunnah karya Imam Al-Barbahary.

7. Kitab Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawy.

8. dan lain-lainnya.

Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah 1/29-35, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah 1/19-23.


Kedua : Makna Ahlus Sunnah.
Penjelasan makna sunnah di atas secara umum akan memberikan gambaran tentang makna Ahlus Sunnah (pengikut sunnah-ed.).


Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 3 hal.375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah r dan apa-apa yang disepakati oleh orang-orang terdahulu yang pertama dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.


Berkata Ibnu Hazm dalam Al-Fishal jilid 2 hal. 281 : “Dan Ahlus Sunnah -yang kami sebutkan- adalah ahlul haq (pengikut kebenaran) dan selain mereka adalah ahlul bid’ah (pengikut perkara-perkara baru dalam agama), maka mereka (ahlus sunnah) adalah para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang pilihan di kalangan tabi’in kemudian Ashhabul Hadits dan siapa yang mengikuti mereka dari para ahli fiqh zaman demi zaman sampai hari kita ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dari orang awam di Timur maupun di Barat bumi -rahmatullahi ’alaihim-”.


Dan Ibnul Jauzy berkata dalam Talbis Iblis hal.21 : “Tidak ada keraguan bahwa ahli riwayat dan hadits yang mengikuti jejak Rasulullah r dan jejak para sahabatnya mereka itulah Ahlus Sunnah karena mereka di atas jalan yang belum terjadi perkara baru padanya. Perkara baru dan bid’ah hanyalah terjadi setelah Rasulullah r dan para sahabatnya”.


Berkata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 3/157 :” Termasuk jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengikuti jejak-jejak Rasulullah r secara zhohir dan batin dan mengikuti jalan orang-orang terdahulu yang pertama dari para (sahabat) Muhajirin dan Anshar dan mengikuti wasiat Rasulullah r tatkala berkata : “Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah setelahku berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.”


Dan beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa 3/375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan kitab Allah dan sunnah Rasulullah r dan apa-apa yang disepakati oleh generasi dahulu yang pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik”.


Dan di dalam Majmu’ Fatawa 3/346 beliau berkata : “Siapa yang berkata dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ maka ia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah“.


Berkata Abu Nashr As-Sijzy : “Ahlus Sunnah adalah mereka yang kokoh di atas keyakinan yang dinukil kepada mereka olah para ulama Salafus Sholeh -mudah-mudahan Allah I merahmati mereka- dari Rasulullah r atau dari para sahabatnya -radhiyallahu ‘anhum- pada apa-apa yang tidak ada nash dari Al-Qur’an dan dari Rasulullah r, karena mereka itu -radhiyallahu ‘anhum- para Imam dan kita telah diperintahkan mengikuti jejak-jejak mereka dan sunnah mereka, dan ini sangat jelas sehingga tidak butuh ditegakkannya keterangan tentangnya”.

(Lihat : Ar-Raddu ‘Ala Man Ankaral Harf hal.99)

Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas dari para Imam tentang makna penamaan Ahlus Sunnah bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang menerapkan Islam secara keseluruhan sesuai dengan petunjuk Allah I dan Rasul-Nya r berdasarkan pemahaman para ulama salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik .


Dan tentunya merupakan suatu hal yang sangat jelas bagi orang yang memperhatikan hadits-hadits Rasulullah r akan disyariatkannya penamaan Ahlus Sunnah terhadap orang-orang yang memenuhi kriteria-kriteria di atas.

Rasulullah r menyatakan dalam hadits ‘Irbath bin Sariyah -radhiyallahu ’anhu- :


صَلَّى لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُ مُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


“Rasulullah r sholat bersama kami sholat Shubuh, kemudian beliau menghadap kepada kami kemudian menasehati kami dengan suatu nasehat yang hati bergetar karenanya dan air mata bercucuran, maka kami berkata : “Yaa Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berwasiatlah kepada kami”. Maka beliau bersabda : “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi pemimpin atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethopia) karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan kepada sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah.”. Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya.


Dan masih banyak lagi dalil yang menunjukkan hal di atas. Wallahu a’lam.


Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/36-37, 47-49, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66, 268-269 dan Manhaj Ahlus Sunnah 1/19-20, 24-27.


Ketiga : Definisi Jama’ah.

Jama’ah secara lughoh : Dari kata Al-Jama’ bermakna menyatukan sesuatu yang terpecah, maka jama’ah adalah lawan kata dari perpecahan.


Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 2/157 : “Dan mereka dinamakan Ahlul Jama’ah karena Al-Jama’ah adalah persatuan dan lawannya adalah perpecahan.”

Adapun secara istilah para ulama berbeda penafsiran tentang makna jama’ah yang tersebut di dalam hadits-hadits Rasulullah r, di antara hadits-hadits itu adalah :

Satu : Hadits perpecahan ummat yang telah disebutkan di atas
Dua : Wasiat Nabi r kepada Hudzaifah dalam hadits riwayat Bukhory-Muslim , beliau berkata :


تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ


“Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan Imamnya .”
Tiga : Hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Bukhory-Muslim Rasulullah r bersabda :


فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شَيْئًا فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً


“Karena sesungguhnya siapa yang berpisah dengan Al-Jama’ah sedikitpun kemudian ia mati maka matinya adalah mati jahiliyah”.

Empat : Hadits Ibnu ‘Abbas Rasulullah r bersabda :

يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ

“Tangan Allah di atas Al-Jama’ah”.

Dari hadits-hadits di atas dan yang semisalnya para ulama berbeda di dalam menafsirkan kalimat Al-Jama’ah yang terdapat di dalam hadits-hadits tersebut sehingga ditemukan ada enam penafsiran :

Pertama : Jama’ah adalah Assawadul A’zhom (kelompok yang paling besar dari umat Islam). Ini adalah pendapat Abu Mas’ud Al-Anshory, ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Ghalib.

Kedua : Al-Jama’ah adalah jama’ah ulama ahli ijtihad atau para ulama hadits, dikatakan bahwa mereka ini adalah jama’ah karena Allah I menjadikan mereka hujjah terhadap makhluk dan manusia ikut pada mereka pada perkara agama.


Berkata Imam Al-Bukhory menafsirkan jama’ah : ”Mereka adalah ahlul ‘ilmi (para ulama)”.


Dan Imam Ahmad berkata tentang jama’ah : ”Apabila mereka bukan Ashhabul Hadits (ulama hadits) maka saya tidak tahu lagi siapa mereka”.


Dan Imam Tirmidzi berkata : ”Dan penafsiran jama’ah di kalangan para ulama bahwa mereka adalah ahli fiqh, (ahli) ilmu dan (ahli) hadits”.


Dan ini merupakan pendapat ‘Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahaway, ‘Ali bin Al-Madiny, ‘Amr bin Qais dan sekelompok dari para ulama salaf dan juga merupakan pendapat ulama ushul fiqh.


Ketiga : Al-Jama’ah adalah para sahabat. Hal ini berdasarkan hadits perpecahan umat yang di sebahagian jalannya disebutkan bahwa yang selamat adalah Al-Jama’ah dan dalam riwayat yang lain : “Apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. Dan ini adalah pendapat “Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan Imam Al-Barbahary.


Keempat : Al-Jama’ah adalah jama’ah umat Islam apabila mereka bersepakat atas satu perkara dari perkara-perkara agama. Pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syathiby.


Kelima : Al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila mereka bersepakat di bawah seorang pemimpin. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary dan Ibnul Atsir.


Keenam : Al-Jama’ah adalah jama’ah kebenaran dan pengikutnya. Ini adalah pendapat Imam Al Barbahary dan Ibnu Katsir.


Demikianlah penafsiran-penafsiran para ulama tentang makna Al-Jama’ah, yang semuanya itu akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :

1. Penafsiran-penafsiran tersebut walaupun saling berbeda lafadz dan konteksnya akan tetapi tidak saling bertentangan bahkan saling melengkapi makna maupun kriteria Al-Jama’ah.

2. Maka jelaslah bahwa makna Al-Jama’ah yang dikatakan sebagai golongan yang selamat dan pengikut kebenaran adalah Islam yang hakiki yang belum dihinggapi oleh noda yang mengotorinya.

3. Mungkin bisa disimpulkan dari penafsiran-penafsiran Al-Jama’ah di atas bahwa makna Al-Jama’ah kembali kepada dua perkara :

Satu : Jama’ah yang berarti bersatu di bawah kepemimpinan seorang pemerintah sesuai dengan ketentuan syariat maka wajib untuk komitmen terhadap jama’ah ini dan diharamkan untuk keluar darinya dan mengadakan kudeta terhadap pemimpinnya .

Dua : Jama’ah yang berarti mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah r kemudian diikuti oleh para sahabatnya, para ulama ahli ijtihad dan ahlul hadits yang mereka itulah Assawadul A’zhom dan pengikut kebenaran.


Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud tentang Al-Jama’ah :


الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَك

“Al-Jama’ah adalah apa yang mencocoki kebenaran walaupun engkau sendiri”.


Berkata Abu Syamah dalam Al-Ba’its hal.22 : “Dan apabila datang perintah untuk komitmen terhadap Al-Jama’ah, maka yang diinginkan adalah komitmen terhadap kebenaran dan pengikut kebenaran tersebut walaupun yang komitmen terhadapnya sedikit dan yang menyelisihinya banyak orang. Karena kebenaran adalah apa-apa yang jama’ah pertama r dan para sahabatnya berada di atasnya dan tidaklah dilihat kepada banyaknya ahlul bathil setelah mereka.”


Lihat : Al-I’tishom 2/767-776 tahqiq Salim Al-Hilaly, Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhaj Al-Asy’ariyah Fi Tauhidillah 1/20-23, Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/49-54, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah 1/26-32.


Kesimpulan :
Bisa disimpulkan dari seluruh penjelasan di atas bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para ulama Ahli Ijtihad dan Ahli Hadits yang berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa saja yang mengikuti mereka dalam hal tersebut sampai hari kiamat. Wal Ilmu ‘Indallah.


sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=438
baca selanjutnya “Ahlus Sunnah Wal Jam’ah, Siapakah Mereka?”