Selasa, 28 Juni 2011

Salman Al-Farisi Mencari Islam

Salman Al-Farisi Mencari Islam

Namibia-desert

Saat hidayah menerangi hati, takkan gentar jiwa menantang aral. Gunung tak masalah untuk didaki, laut pun tak peduli untuk diarungi, lezatnya pangkat pun siap ditanggalkan. Semua ini guna mencecap nikmatnya hidayah yang tak terbeli.
Dalam lipatan buku sejarah dan hadits, tertoreh nama Salman Al-Farisi. Seorang sahabat Nabi dari negeri seberang. Seorang alim yang mengetahui dua kitab suci. Sejarah keislamannya mencerminkan mahal dan manisnya hidayah. Kisah Salman masuk Islam termaktub di dalam Musnad Ahmad secara lengkap dengan sanad yang shahih. Salman menceritakannya secara langsung kepada Ibnu ‘Abbas g.
Sebelum Rasulullah ` diutus membawa cahaya hidayah, pemuda Salman adalah pemuda Persia, anak kesayangan dari seorang tokoh di sana, sampai-sampai ayahnya tidak membiarkannya keluar rumah lantaran sayang terhadap putranya.
Salman awalnya adalah seorang Majusi penyembah api yang taat. Dia senantiasa menjaga api agar tidak padam. Suatu hari, Salman diperintah untuk melihat kebun ayahnya. Dia pun bertolak dari rumah menuju kebunnya. Di tengah perjalanan, Salman mendengar suara orang-orang Nasrani sedang beribadah di dalam gereja. Salman, yang tidak mengetahui dunia luar, pun penasaran terhadap suara tersebut. Dia masuk ke dalam gereja melihat ibadah yang mereka lakukan.
“Demi Allah, ini lebih baik daripada agama yang kami anut.” tukasnya dalam hati.
“Dari mana asal agama ini?” tanya Salman kepada mereka.
Mereka menjawab, “Syam.”
Dia terus di gereja hingga matahari tenggelam dan tidak mendatangi kebun ayahnya. Saat dia pulang, ayahnya mengatakan padanya, “Dari mana kamu, Nak? Bukankah aku telah menyuruhmu untuk melihat kebun?” Salman pun menceritakan perihalnya. Demi melihat anaknya condong kepada agama Nasrani, ayahnya pun merantai kakinya dan tidak memperbolehkannya keluar rumah.
Salman tak patah arang. Dia mengirim utusan untuk menemui orang-orang Nasrani dan berpesan, “Jika ada orang yang datang dari Syam, tolong beritahu saya.”
Datanglah saudagar Nasrani dari Syam. Tatkala mereka ingin pulang ke negari Syam, Salman lepaskan rantai besi di kakinya, lari dari rumah, dan ikut bersama rombongan saudagar tersebut. Sesampainya di Syam, Salman bertanya, “Siapa yang paling utama ilmunya dalam agama ini?”
“Uskup di gereja.” jawab mereka.
Salman pun mendatanginya dan tinggal bersamanya. Ternyata, pendeta ini adalah pendeta yang berakhlak jelek. Dia memotivasi orang-orang untuk mengumpulkan uang, namun ternyata dia gunakan untuk kepentingan pribadi, dan tidak memberikannya kepada orang miskin.
Saat ajal menjemput pendeta ini, dia digantikan oleh seorang yang baik. Seorang figur yang zuhud terhadap dunia, berakhlak mulia, cinta terhadap akhirat, dan rajin beribadah siang dan malam. Salman sangat mencintai gurunya ini.
Tak lama, pendeta ini pun menemui ajalnya. Sebelum pendeta meninggal, Salman bertanya kepadanya siapa orang yang masih berada di atas agama ini. Pendeta itu pun mengatakan, “Anakku, Demi Allah, pada hari ini aku tidak mengetahui ada seseorang yang menganut ajaran sepertiku. Orang-orang telah binasa dan merubah ajaran Nasrani. Mereka telah meninggalkan banyak dari ajarannya. Kecuali, seseorang di daerah Maushil, Fulan, dia menganut ajaran sepertiku. Ikutilah dia.”
Demikianlah, Salman ke Maushil setelah penguburan pendeta dan berguru kepada seorang Nasrani di sana. Lagi, maut pun menjemput gurunya. Sebelum ajal menjemput, dia bertanya kepada gurunya siapa yang masih berada di atas ajaran ini. “Fulan di daerah Nashibin.” katanya. Hal ini berulang kali terjadi pada Salman, berpindah dari satu guru ke guru yang lain dari satu tempat ke tempat yang lain demi mencari hidayah ajaran agama yang benar. Sampai-sampai, Salman pernah berujar, “Saya berganti guru sebanyak belasan kali. Dari satu guru ke guru yang lain.”
Hingga pada akhirnya, dia berguru kepada seorang pendeta di kota yang bernama ‘Ammuriyah. Tak lama, pendeta itu pun meninggal dunia. Sebelum pendeta itu meninggal dunia, Salman bertanya dengan pertanyaan yang sama, siapa orang yang masih dengan setia memeluk agama Nasrani yang murni. Pendeta pun menjawab, “Anakku, Demi Allah, sekarang ini saya tidak tahu ada seseorang yang menganut seperti agama kita ini. Tetapi, sudah dekat zaman Nabi yang diutus membawa agama Nabi Ibrahim. Tempat hijrahnya banyak pohon kurma dan diapit dua tempat yang banyak batu hitam (Madinah). Dia memiliki tanda yang tidak tersembunyi: mau memakan hadiah, tidak mau memakan sedekah, dan antara dua pundaknya ada tanda kenabian. Jika kamu bisa tinggal bersamanya di negeri itu, lakukanlah.”
Selang beberapa lama, datanglah serombongan saudagar dari negeri Arab. Salman pun meminta tumpangan kepada mereka dengan bayaran beberapa sapi dan kambing hasil pekerjaannya. Di tengah perjalanan, tepatnya di Wadi Al-Qura, saudagar tadi menzhalimi Salman. Dia menjual Salman sebagai budak kepada seorang Yahudi.
Tak lama bersama Yahudi itu, Salman pun dijual lagi kepada seorang Bani Quraizhah dari Madinah. Salman dibawa ke Madinah. Saat memasukinya, Salman paham inilah kota yang dimaksud oleh gurunya.
Lalu, Rasulullah ` pun diutus. Saat itu, beliau tinggal di Makkah dan Salman tidak mengetahui perihal beliau dikarenakan kesibukannya sebagai budak.
Pada saat Nabi ` hijrah ke Madinah, seorang sepupu tuannya datang tergopoh-gopoh mengeluhkan sesuatu, “Wahai Fulan, semoga Allah membinasakan Bani Qailah (yakni Anshar), Demi Allah! Hari ini mereka berkumpul di Quba menemui seseorang dari Makkah, dia sangka bahwa dirinya Nabi.” tukasnya kepada sepupunya.
Salman yang waktu itu berada di atas pohon gemetar demi mendengar berita ini hingga hampir menjatuhi tuannya. Dia turun dan bertanya kepada sepupu tuannya, “Apa katamu? Apa katamu?”
Tuannya pun marah dan memukulnya. “Apa urusanmu?! Kembali bekerja!” katanya.
Salman menjawab, “Tidak, saya hanya ingin memastikan saja.”
Malamnya, Salman mengambil perbekalan yang dia kumpulkan. Dia pergi ke Quba menemui Rasulullah `. Salman menemui beliau dan mengatakan, “Saya diberitahu bahwa Anda adalah seorang yang shalih dan sahabat Anda adalah orang yang membutuhkan. Ini milik saya untuk sedekah.” Salman mendekatkan bekalnya kepada Nabi `. Beliau pun berkata, “Makanlah kalian.” Sedang beliau tidak menyentuhnya sama sekali. “Ini satu tanda.” kata Salman dalam hati.
Salman pun pulang. Saat Rasulullah ` hendak berangkat ke Madinah, Salman mendatangi beliau, membawa bekal yang lebih banyak daripada kemarin, dan mengatakan, “Saya melihat Anda tidak memakan sedekah, ini hadiah untuk Anda sebagai bentuk pemuliaan saya terhadap Anda.” Beliau pun makan darinya dan menyuruh sahabatnya untuk makan bersama beliau. “Dua tanda.” kata Salman dalam hati.
Di lain hari, Salman menemui Nabi ` di pekuburan Baqi’. Salman pun melihat punggung Nabi ` untuk memeriksa tanda ketiga yang berupa tanda kenabian di antara pundak beliau. Rasulullah ` paham bahwa Salman ingin melihat tanda kenabian. Maka Rasulullah ` pun menurunkan pakaian atasnya yang berupa selendang waktu itu. Saat Salman melihat tanda kenabian pada punggung beliau, dia pun memeluk Rasulullah `, menciumnya, dan menangis. Setelah sekian lama merindu hidayah, akhirnya Salman pun bertemu dengan pembawa panji hidayah. Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam. Makhluk yang pantas untuk dibela hingga titik darah penghabisan. Tak heran, Salman pun kemudian menjadi salah satu benteng Rasulullah ` dalam sekian peperangan.
Demikianlah kisah indah Abu Abdillah Salman Al-Farisi. Seorang sahabat yang mencari jati diri. Kesulitan demi kesulitan dialaminya demi menuntut kebenaran. Kasih sayang dari ayahnya tak cukup untuk menghentikannya dari memburu kebenaran. Begitulah jiwa yang telah Allah kehendaki menerima cahaya hidayah. Semoga Allah meridhai dan merahmatinya. (Abdurrahman)
sumber : http://tashfiyah.net/?p=581
baca selanjutnya “Salman Al-Farisi Mencari Islam”

Jumat, 24 Juni 2011

Saat Bertemu Saudaramu…

Saat Bertemu Saudaramu…

jabatan

Islam adalah agama yang paling sempurna dari segala sisi. Islam mencakup hubungan manusia dengan Allah, sesamanya, bahkan dengan makhluk lainnya. Di antara kesempurnaan Islam adalah mengatur kehidupan seseorang muslim mulai sejak bangun tidur sampai tidur kembali.
Dalam aktivitasnya sebagai manusia, seorang muslim tentunya banyak bergaul dengan sesama. Berikut ini adalah sebagian adab seorang muslim tatkala bertemu dengan saudaranya sesama muslim.

A. Mengucapkan salam, dan lebih disunnahkan mendahului mengucapkan salam. Sebagaimana sabda Rasulullah `, “Orang yang menaiki kendaraan hendaknya mengucapkan salam kepada yang berjalan, orang yang berjalan hendaknya mengucapkan salam kepada yang duduk, dan yang terbaik di antara dua orang yang berjalan adalah yang terdahulu dalam mengucapkan salam” [H.R. Al-Bazzar dan Ibnu Hibban; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Kitab Shahih At-Targhib].
Mengucapkan salam kepada sesama muslim memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
  1. Menunjukkan sikap tawadhu’ (rendah hati) yang merupakan ciri seorang muslim.
  2. Menghilangkan perasaan takut antara orang yang bertemu.
  3. Menumbuhkan rasa saling sayang dan cinta antara keduanya.
  4. Saling mendoakan antara keduanya.
B. Saling berjabat tangan. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad secara shahih, bahwasanya Anas bin Malik z berkata, “Dahulu para sahabat Nabi ` apabila bertemu mereka saling berjabat tangan, dan apabila  datang dari bepergian jauh mereka saling berpelukan” [H.R. Ath-Thabarani, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t].
Berjabat tangan akan menambah kasih sayang sesama muslim. Selain itu, berjabat tangan juga merupakan salah satu sebab diampuninya dosa-dosa. Nabi ` pernah bersabda yang artinya, “Tidaklah ada dua orang muslim yang saling bertemu kemudian berjabat tangan kecuali Allah akan ampuni keduanya sebelum mereka berpisah.” [H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi; “Shahih lighairih” kata Asy-Syaikh Al-Albani].

C. Bermuka cerah ketika bertemu merupakan sedekah dan kebaikan bagi pelakunya. Rasulullah ` bersabda yang artinya, “Janganlah sekali-kali engkau meremehkan  kebaikan sekecil apapun. Meski hanya dengan bermuka cerah tatkala bertemu dengan saudaramu”. [H.R. Muslim dari sahabat Abu Dzar ].
Demikianlah beberapa adab yang dituntunkan Islam saat bertemu saudaranya muslim. Tentu, banyak hikmah yang bisa terkandung di dalamnya. Semoga kita dapat mengambil pelajaran darinya. Wa billahi taufiq. (Hammam)
sumber : http://tashfiyah.net/?p=566
baca selanjutnya “Saat Bertemu Saudaramu…”

Kamis, 16 Juni 2011

Apa Lagi yang Engkau Tuntut Wahai Wanita?

Apa Lagi yang Engkau Tuntut Wahai Wanita?

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Kehancuran sebuah rumah tangga karena salah satu di antara suami atau istri berbuat selingkuh, rasanya telah menjadi berita yang amat biasa. Bukan hanya terjadi di kalangan selebritis, namun juga banyak terjadi di rumah tangga sekitar kita. Fenomena ini merupakan secuil dari petaka yang muncul karena wanita muslimah tergoda dengan slogan-slogan emansipasi.
Ibarat sebuah permata yang sangat berharga, ditempatkan di tempat yang bagus, yang tak gampang terjamah. Itulah wanita dalam Islam. Bukan sekedar omong kosong bila kita katakan bahwa wanita benar-benar mendapatkan kemuliaannya dalam Islam. Pembicaraan tentang hal ini telah kita lewati dalam edisi yang lalu. Namun sayangnya banyak orang yang tidak mau menoleh kepada perlakuan istimewa dari agama yang mulia ini, sehingga mereka menengok ke Barat, ingin beroleh konsep bagaimana mengangkat harkat dan martabat wanita ala Barat.
Orang-orang seperti ini biasanya sudah tertular penyakit minder jadi orang Islam. Atau lebih parahnya, fobi bahkan anti terhadap semua yang berbau Islam namun kagum kepada semua yang datang dari Barat, walaupun itu adalah kesesatan yang dipoles dengan bungkus warna-warni.
Timbullah kekaguman mereka kepada wanita-wanita di Barat yang bebas berkeliaran mengejar karir di luar rumah sebagaimana lelaki. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan lelaki. Diteriakkanlah kepada para wanita agar meniru wanita-wanita Barat, hingga tampaklah akibatnya yang mengerikan ketika gayung bersambut.
Dan hari ini maupun hari-hari sebelumnya, kita telah melihat hasil teriakan tersebut…
Para wanita berseliweran di setiap tempat keramaian, di kantor, di lapangan… Dan ini adalah pemandangan yang biasa setiap harinya. Para wanita itu mengejar dunianya dengan menjunjung setinggi-tingginya slogan emansipasi.
Kalau dulu, para lelaki baik itu ayah, kakek, suami, paman, ataupun saudara laki-laki, demikian cemburu dengan wanitanya bila sampai terlihat oleh lelaki yang bukan mahramnya, namun kita dapati pada hari ini, di zaman kemajuan ini, rasa cemburu sudah ketinggalan kereta. Tak ada lagi tempat untuknya, bukan zamannya lagi. Ayah, suami, paman dan saudara laki-laki membukakan pintu rumah selebar-lebarnya bagi si wanita untuk mengepakkan sayap kebebasan, menurut mereka.
Para lelaki tak lagi cemburu, sementara si wanita tak lagi memiliki rasa malu. Lalu, diayunkannya langkahnya sampai melampaui pagar ‘istana’nya. Selanjutnya dapat kita duga kerusakan apa yang bakal terjadi bila jalan-jalan dan tempat-tempat di luar rumah dipenuhi wanita, bercampur baur dengan lelaki. Ini semua akibat kebodohan dan jauhnya mereka dari agama, kemudian akibat termakan emansipasi.

Apa itu Emansipasi?

Kami tak bermaksud berbicara panjang lebar tentang emansipasi, karena materi ini akan dibahas secara meluas di majalah kesayangan kita ini dalam edisi-edisi mendatang, Insya Allah. Namun tidak mengapa, kami sedikit menyentil permasalahan ini karena berkaitan dengan pembahasan kami di rubrik ini dalam edisi yang telah lalu.
Kalau ada yang bertanya, apa itu emansipasi? Maka secara praktis kita katakan bahwa yang dimaukan dengan emansipasi oleh para penyerunya adalah upaya mempersamakan wanita dengan lelaki dalam segala bidang kehidupan, baik secara intelektual maupun fisik.
Emansipasi dipandang sebagai kemajuan bagi kaum wanita, yang berarti kebebasan bagi wanita untuk melakukan apa saja yang diinginkan dan menjalani profesi apa saja. Bukan lagi pemandangan aneh bila kita dapati seorang wanita menjadi sopir truk, kondektur, kuli bangunan, tukang parkir, satpam…. Jangan heran bila wanita bisa menjadi perdana menteri, pilot, jenderal bahkan presiden. Walhasil, kalau lelaki bisa unjuk otak dan ototnya dalam segala lapangan penghidupan maka wanita pun dituntut harus bisa dan harus diberi porsi yang sama. Kalau tidak seperti itu, berarti merendahkan wanita dan menginjak hak asasinya!!! Demikian lolongan mereka.
Sesuai atau tidak defenisi emansipasi yang disebutkan di sini dengan defenisi palsu yang mereka –kaum feminis– berikan, tidaklah jadi soal. Yang penting demikianlah kenyataan praktik emansipasi di masyarakat kita. Wallahu a’lam.

Kapan Muncul Emansipasi?

Tidak terlalu penting untuk kita sebutkan di sini kapan gerakan emansipasi ini muncul untuk pertama kalinya. Yang jelas, gerakan ini pertama kali berbentuk slogan pendidikan akademis bagi kaum wanita. Slogan-slogan itu pada awalnya nampak menarik karena mengusahakan peningkatan kecerdasan dan pengetahuan kaum wanita, agar dapat melahirkan generasi baru yang lebih cakap dan lebih berkualitas.
Tetapi, di kemudian hari setelah tercapainya tujuan pertama, gerakan ini mulai melakukan tipu daya baru yang tentu saja dibungkus dengan kata-kata indah nan menawan, yakni persamaan hak pria dan wanita secara mutlak dan kebebasan karir wanita di segala bidang.
Dengan iming-iming yang menarik ini, tak pelak lagi banyak kaum hawa yang tertipu dan terbawa arus gelombang emansipasi. Bahkan hembusan emansipasi seolah angin sejuk bagi masa depan mereka.
Terlahir di negeri Eropa Barat, emanisipasi jelas mewakili pemikiran bangsa yang sangat jauh dari tuntunan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini. Bahkan mereka adalah budak-budak hawa nafsu, kesyirikan, dan kekufuran. Kaum wanita dalam masyarakat penyembah salib tersebut sama sekali tidak mendapatkan perlakuan yang semestinya. Mereka diibaratkan barang yang dapat diperjualbelikan di pasaran, dianggap sebagai sampah dan budak pemuas hawa nafsu.
Para pemuka agama mereka bahkan menyimpulkan bahwa wanita adalah makhluk pembawa kejahatan, musuh keselamatan, penunggu neraka, semata-mata dicipta untuk melayani lelaki, dianggap sejenis hewan yang harus dipukul, dan merupakan tangan dari tangan-tangan setan. Dan masih banyak lagi sebutan dan gelar-gelar jelek yang mereka berikan kepada kaum wanita. Dalam kenyataan buruk seperti itulah dihembuskan ‘angin segar’ emansipasi, agar wanita terlepas dari perbudakan dan perlakuan buruk kaum lelaki. Agar wanita mendapatkan hak asasinya sebagai manusia yang selama ini telah diinjak-injak oleh lelaki.
Bila demikian kenyataan yang melatarbelakangi lahirnya emansipasi, apakah pantas wanita muslimah ikut-ikutan menjayakan gerakan ini sementara ia telah dimuliakan dalam Islam, diberikan perlindungan dan kedudukan mulia? Sungguh kebodohan telah meracuninya. Andai ia tahu kemuliaan yang diberikan Islam padanya…. Kemuliaan yang membuat iri wanita-wanita Barat !!!.

Racun Emansipasi

Propaganda yang laris manis ini banyak menebarkan racun di tengah masyarakat. Kaum wanita berbondong-bondong menyerbu tiap bidang kehidupan dan lapangan pekerjaan. Tak peduli apakah hal itu sesuai dengan fitrahnya atau tidak. Akibatnya, jumlah pengangguran di kalangan lelaki meningkat karena lapangan pekerjaannya telah direbut oleh wanita.
Dewasa ini tak jarang wanita memasuki bidang-bidang yang ‘berotot’, yang tentunya standar yang dipakai adalah standar yang biasa berlaku pada kaum lelaki, karena memang demikian kebutuhannya. Wanita yang masuk ke bidang ini berarti harus menyesuaikan diri dengan standar yang ada, sementara wanita diciptakan dengan struktur tubuh yang berbeda dengan lelaki. Lalu pekerjaan apa yang dapat diselesaikannya dengan baik?
Sementara itu, di tempat kerjanya wanita tidak jarang menjadi korban pelecehan -lisan maupun tindakan- dari lawan jenisnya, baik dari rekan kerja ataupun atasannya. Nilai wanita jadi begitu rendah, tak lebih sebagai obyek dari pandangan mata-mata nakal. Kehadirannya di tempat kerja tak jarang hanya sebagai ‘penyegar’ suasana.
Kemerosotan akhlak terjadi di kalangan masyarakat dengan lepasnya wanita dari rumahnya. Lelaki jadi terfitnah1 dengan bebasnya wanita berkeliaran di sekitarnya. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ 
 Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
 Wanita dan lelaki bebas bercampur baur dalam satu tempat tanpa adanya pemisah (ikhtilath). Padahal Islam telah melarang hal ini karena ikhtilath merupakan pintu yang mengantarkan pada perbuatan keji dan mungkar, mendekatkan pada perbuatan zina. Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً 
Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang amat buruk.” (Al-Isra`: 32)
Gejala lain yang kini terlihat di kalangan mereka yang menjadi korban emansipasi adalah sepinya ikatan pernikahan. Wanita yang sibuk dengan karirnya lebih suka hidup sendiri daripada harus terikat dengan tanggung jawab mengurus suami, rumah dan anak. Terkadang si wanita lebih memilih hidup bebas, dan bergaul dengan lelaki mana saja yang ia inginkan. Na’udzubillah min dzalik (kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal itu).
Tuntutan agar wanita meraih pendidikan formal yang tinggi ternyata mengharuskan si wanita mempraktikkan ilmunya di lapangan, walau ia harus meninggalkan suami, anak, dan rumahnya. Karena tuntutan ekonomi yang semakin meningkat, semangat cinta kehidupan dunia berikut perhiasannya semakin meninggi, akhirnya para wanita merasa harus bekerja di luar rumah untuk menambah penghasilan keluarga. Timbullah dilema antara mengurus rumah tangga dengan kepentingan pekerjaannya. Tak jarang mereka menyisihkan urusan rumah tangga. “Bisa diserahkan kepada pembantu,” kata mereka.
Saat ini, terlalu banyak kita dapati anak-anak yang dibesarkan oleh pembantunya, sementara ibunya hanya menjadi pengawas dari jauh. Berbagai masalah timbul karenanya. Anak-anak menjadi nakal karena kurang perhatian. Mereka lari keluar rumah untuk mencari kompensasi, mengais-ngais kasih sayang yang mungkin masih tersisa.
Rumah tangga terbengkalai, suami pun menyeleweng. Si wanita itu sendiri mendapatkan godaan dari kawan sekerja yang lebih tampan menawan daripada suami di rumah. Akibatnya si wanita pun terdorong untuk berbuat serong. Dan akhirnya…. pernikahan berakhir dengan perceraian. Tinggallah anak-anak sebagai korbannya.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ 
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka mau kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)
 Sebenarnya terlalu banyak dampak emansipasi untuk disebutkan di sini. Cukuplah apa yang telah kami sebutkan sebagai contoh. Yang perlu diingat oleh setiap wanita, bahwa emansipasi sama sekali bukanlah solusi untuk mendapatkan pengakuan masyarakat terhadap dirinya. Karena emansipasi yang lebih dahulu telah diperjuangkan oleh wanita Barat hanya menghasilkan penderitaan yang lebih parah bagi kaum wanita.
Setelah tercapai apa yang menjadi tujuan ternyata timbul akibat yang buruk bagi individu, masyarakat dan generasi penerus. Dilanggarnya tuntunan Islam tanpa rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dicampakkannya hijab, dibuangnya rasa malu, lahirnya anak yang tak diketahui siapa orang tuanya, perpecahan keluarga, mudahnya kawin cerai, kebebasan hubungan lelaki dan wanita, dan sebagainya menjadikan kehidupan para pelaku serta korban emansipasi dipenuhi stres dan depresi. Wallahul musta’an.
Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari akibat yang diperbuat oleh orang-orang yang jahil dan zalim di antara kita.
Bila sudah seperti ini keadaannya, tidak ada solusi yang lebih tepat kecuali kembali kepada ajaran Islam yang benar. Kembali kepada tuntunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Kembalilah engkau wahai wanita kepada fitrahmu! Lihatlah bagaimana Islam telah memuliakanmu! Pegangilah apa yang diajarkan Nabimu, niscaya kebahagiaan di dua negeri akan kau raih.
Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
1 Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah sesuatu yang membawa kepada ujian, bala, dan adzab.
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=477

baca selanjutnya “Apa Lagi yang Engkau Tuntut Wahai Wanita?”

Tata Cara Wudhu Nabi (edisi I)

Tata Cara Wudhu Nabi (edisi I)

tangan-wudu


Oleh: Abu Luqman
Kedudukan wudhu dalam aktivitas ibadah seorang muslim begitu tinggi. Wudhu bukan hanya salah satu syarat sahnya shalat yang telah ditetapkan oleh syariat namun terkandung di dalamnya sekian banyak keutamaan. Bukan suatu hal yang berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa kaum muslimin telah begitu akrab dengan aktivitas wudhu ini karena pada umumnya hal itu telah mereka pelajari di bangku-bangku sekolah dasar dan bahkan di setiap harinya mereka tidak lepas dari wudhu.
Pembaca yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, dari sinilah muncul sebuah pertanyaan apakah tata cara wudhu yang selama ini kita amalkan sudah sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Demikian urgen pertanyaan ini mengingat keabsahan suatu ibadah tidak semata-mata ditentukan oleh keikhlasan akan tetapi mutaba’ah (sesuai dengan tuntunan Rasul) adalah merupakan salah satu syarat sah suatu amalan ibadah. Oleh karena itu, alangkah baiknya pada edisi kali ini kami mengangkat sebuah tema tentang tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan merujuk kepada landasan-landasan hukum yang akurat dan kuat serta terlepas dari dalil-dalil yang meragukan, apalagi dha’if (lemah).
Sesuai dengan judulnya yaitu tata cara wudhu Nabi, tulisan ini berusaha untuk menyajikan berbagai permasalahan pokok yang terkait dengan wudhu dengan menyederhanakan pembahasan dan tidak mengemukakan secara meluas tentang permasalahan khilafiyah (perbedaan pendapat di antara para ulama). Wallahul muwaffiq.

Definisi wudhu
Kata wudhu dengan didhammah huruf wawu (wudhu`) artinya adalah perbuatan atau aktivitas berwudhu dan jika difathahkan huruf wawunya (wadhu`) maka artinya adalah air (yang digunakan untuk berwudhu) [Mu’jamul Wasith hal.1806].
Adapun pengertian wudhu menurut istilah syar’i adalah mencuci dan mengusap anggota badan tertentu atau anggota tubuh yang empat, yaitu kepala, wajah, kedua tangan dan kaki dengan disertai niat (tidak disyariatkan untuk melafalkan niat sebagaimana telah lewat pembahasannya) [Mu’jamul Wasith hal.1806].
Wudhu disyariatkan berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” [Al-Ma`idah:6].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Tidak akan diterima shalat salah seorang dari kalian jika berhadats hingga dia berwudhu.” Mutaffaq ‘alaih.
  1. Niat
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), ‘Setiap amalan tergantung kepada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa dia niatkan.’” Mutaffaq ‘alaih
Niat secara bahasa artinya tujuan dan tekad. Tempatnya berada di dalam kalbu dan tidak disyariatkan untuk mengucapkannya.
  1. Tasmiyah (membaca basmalah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah yang artinya, “Tidak sah wudhu seseorang yang tidak menyebut nama Allah.” [H.R. Ibnu Majah no.399, At-Tirmidzi no.26, Abu Dawud no.101 dan yang lainnya, asy-Syaikh al-Albany menshahihkannya dalam Shahihul Jami’ no.7444 dan Al-Irwa` no.81].
Dalam hadits yang lain beliau bersabda (yang artinya), “Berwudhulah kalian dengan nama Allah.” [Mutaffaq ‘alaih dari sahabat Anas bin Mâlik].
Al-Hafizh Al-Mundziry mengatakan dalam kitab beliau At-Targhib, “Al-Hasan al-Bashri, Ishaq bin Rahuyah, dan para ulama zhahiriyah berpandangan bahwa membaca basmalah dalam berwudhu adalah wajib sehingga jika seseorang meninggalkannya dengan sengaja maka dia harus mengulangi wudhunya, dan ini adalah salah satu pendapat Al-Imam Ahmad serta dipilih oleh Shiddiq Hasan Khan dan Asy-Syaukani di dalam kitab Sailul Jarrar.” Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (1/94-95).
Adapun seseorang yang lupa membaca basmalah maka ia mengucapkannya ketika ingat.
  1. Mencuci kedua telapak tangan.
Dalilnya adalah hadits Abdullah bin Zaid tatkala ditanya tentang tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau meminta sebuah bejana yang berisi air, kemudian beliau menuangkan air dari dalam bejana tersebut ke tangannya dan mencucinya sebanyak tiga kali. [Mutaffaq ‘alaih]
  1. Madhmadhah (berkumur), Istinsyaq (menghirup air ke hidung), dan Istintsar (mengeluarkan air dari dalam hidung).
Madhmadhah adalah mencuci mulut dengan menggerakkan air di dalamnya. Adapun Istinsyaq adalah menyampaikan air ke bagian dalam hidung dan menghirup air tersebut dengan nafasnya sampai ke pangkal hidung. Istintsar adalah mengeluarkan air dari dalam hidung setelah istinsyaq.
Landasan hukumnya adalah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah bersabda (yang artinya), “Jika engkau berwudhu maka berkumurlah.” [H.R. Abu Dâwûd dan At-Tirmidzi. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albany dalam Shahih Sunan Abu Dawud no.129].
Dalam hadits yang lain dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian berwudhu maka hendaknya dia menghirup air ke hidung lalu mengeluarkannya.” [Mutaffaq ‘alaih].
Asy-Syaukani mengatakan, “Pendapat yang mengatakan wajibnya madhmadhah dan istinsyaq adalah pendapat yang benar karena Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan di dalam Al-Qur`an untuk mencuci wajah, sementara tempat madhmadhah dan istinsyaq termasuk bagian dari wajah, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukannya di setiap wudhu dan perbuatan beliau tersebut diriwayatkan oleh semua perawi yang meriwayatkan sifat wudhu beliau. Maka, hal itu memberikan suatu faidah bahwa madhmadhah dan istinsyaq merupakan bagian dari perintah untuk mencuci wajah yang tersebut dalam Al-Qur`an. Demikian pula telah datang perintah untuk melakukan istinsyaq dan istintsar dalam hadits-hadits yang shahih. [Sailul Jarrar hal.81-82 sebagaimana dinukil di dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah jil.1 /hal.96].
  1. Menggabung antara madhmadhah dan istinsyaq dengan satu cidukan.
Dalam shahihain dari Abdullah bin Zaid Al-Anshary beliau menuturkan ketika ditanya tentang tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “…lalu ia berkumur dan menghirup air ke dalam hidung dengan satu telapak tangan dan ia melakukan hal itu sebanyak tiga kali.” [Mutaffaq ‘alaih].
  1. Menghirup air ke dalam hidung dengan menggunakan tangan kanan dan mengeluarkannya dengan tangan kiri.
Hal ini berdasarkan sebuah hadits dari ‘Abdi Khair, ia berkata, “Suatu ketika kami duduk-duduk sembari melihat kepada ‘Ali yang sedang berwudhu, maka ‘Ali memasukkan tangan kanannya dan memenuhi mulutnya dengan air kemudian berkumur serta memasukkan air ke dalam hidung lantas mengeluarkan air tersebut dengan tangan kirinya. Ia melakukan hal itu sebanyak tiga kali dan mengatakan, ‘Siapa yang menyukai untuk mellihat tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka inilah sifat wudhu beliau.’” [H.R. Ad-Darimi dan asy-Syaikh al-Albany berkata dalam kitab Misykatul Mashabih, “Sanadnya shahih.”
[Bersambung insya Allah pada edisi yang akan datang...]
Daftar pustaka:     a. Sifat Wudhu Nabi, karya Fahd bin Abdurrahman.
b. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, karya Husain Al-‘Awaisyah.
c. Al-Wajîz, karya Abdul ‘Azhîm Badawy.
d. Al-Mu’jamul Wasîth.
sumber : http://tashfiyah.net/?p=59
baca selanjutnya “Tata Cara Wudhu Nabi (edisi I)”

Rabu, 08 Juni 2011

agama ini telah sempurna

Agama ini Telah Sempurna
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)

Allah l menurunkan agama Islam dalam keadaan telah sempurna. Ia tidak membutuhkan penambahan ataupun pengurangan. Namun toh, banyak manusia menciptakan amalan-amalan baru yang disandarkan pada agama hanya karena kebanyakan dari mereka menganggap baik perbuatan tersebut.
Perjalanan agama Islam yang telah mencapai rentang waktu 14 abad lebih, sedikit banyak memberikan pengaruh bagi para penganutnya. Sebagian besar di antara mereka menjalankan agama ini hanya sebatas seperti apa yang dilakukan para orang tuanya. Yang lebih parah, tidak sedikit pula yang menjalankan agama ini dalam kungkungan kelompok-kelompok sesat seperti Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Sufi, dan sebagainya. Sementara yang menjalankan agama ini di atas pemahaman yang sahih jumlahnya amatlah sedikit.
Seperti inilah kondisi umat Islam. As-Sunnah (ajaran Nabi n) sudah semakin asing sementara bid’ah kian berkembang. Banyak orang menganggap As-Sunnah sebagai bid’ah dan menganggap bid’ah sebagai As-Sunnah. Syi’ar-syi’ar bid’ah dengan mudahnya dijumpai di sekeliling kita, sebaliknya syi’ar-syi’ar As-Sunnah bagaikan barang langka.
Bid’ah secara bahasa artinya adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Dari sini, maka pengertian firman Allah l:
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (al-Baqarah: 117)
Maknanya adalah yang mengadakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya. (al-I’tisham, 1/49)
Dan firman Allah l:
“Katakanlah, ‘Aku bukanlah rasul yang pertama dari rasul-rasul’.” (al-Ahqaf: 9)
Maksudnya, aku bukanlah orang pertama yang membawa risalah ini dari Allah l kepada hamba-hamba-Nya, (akan tetapi) telah datang rasul-rasul sebelumku.
Dari sini dapat dikatakan bahwa seseorang (dikatakan) berbuat bid’ah artinya dia membuat suatu metode baru yang belum pernah ada contoh sebelumnya. Dari pengertian ini pula, maka sesuatu yang baru yang diada-adakan dalam agama juga dinamakan bid’ah.
Maka dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah suatu cara atau jalan yang baru yang diada-adakan di dalam agama, yang menyerupai syariat dan tujuannya adalah menunjukkan sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah l. (al-I’tisham, 1/49—51)

Jenis-Jenis Bid’ah
Al-Imam asy-Syathibi t menyebutkan pembagian bid’ah ini menjadi dua, yaitu bid’ah haqiqiyyah dan bid’ah idhafiyyah.
1. Bid’ah haqiqiyyah adalah bid’ah yang tidak ada dalil syariat yang menunjukkannya sama sekali, secara global maupun terperinci, tidak dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ataupun Ijma’ (kesepakatan ulama).
2. Bid’ah idhafiyyah adalah bid’ah yang mengandung dua keadaan. Salah satunya, dalam hal amalan itu termasuk yang disyariatkan, akan tetapi si pembuat bid’ah menyusupkan suatu perkara dari diri mereka kemudian mengubah asal pensyariatannya dengan pengamalannya ini. Kebanyakan bid’ah yang terjadi adalah dari jenis ini.
Sebagai contoh adalah zikir secara berjamaah dengan irama (suara) yang bersamaan. Pada asalnya zikir adalah amalan yang disyariatkan, akan tetapi dengan bentuk atau cara yang seperti ini tidak pernah sama sekali dicontohkan oleh Rasulullah n, maka ini dikatakan bid’ah.
Begitu pula bid’ah perayaan Maulid Nabi n. Pada hakikatnya, mencintai Nabi Muhammad n adalah wajib bagi setiap muslim dan tidak sempurna keimanannya sehingga dia menjadikan Rasulullah n orang yang paling dicintainya, lebih dari dirinya sendiri, anak-anaknya, ibu bapaknya, atau bahkan seluruh manusia. Namun semua itu dibuktikan dengan menaatinya, melaksanakan segala perintahnya, menjauhi larangannya, serta membenarkan seluruh berita yang disampaikannya. Dan sesungguhnya beliau n telah melarang umatnya dari kebid’ahan.
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ
“Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari al-’Irbadh bin Sariyah z)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengerjakan satu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalan itu tertolak.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah x)
Tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa para al-Khulafa ar-Rasyidin, sahabat Rasulullah n yang lain, ataupun ulama-ulama Ahlus Sunnah yang menjadi panutan, mengamalkan perayaan maulid ini. Bahkan sesungguhnya bid’ah maulid ini pertama kali dilakukan oleh sebagian orang dari dinasti Fathimiyyin al-’Ubaidiyyin dari golongan sesat Syiah yang mengaku-aku bahwa mereka adalah keturunan Fathimah x bintu Rasulullah n.
Ada pula yang membagi bid’ah ini berdasarkan akibatnya, yaitu menyebabkan seseorang menjadi kafir, keluar dari Islam dan bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya kafir.
Adapun bid’ah yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah mengingkari perkara agama yang dharuri (perkara yang sangat prinsip dan sangat penting untuk diketahui dalam Islam) yang telah diketahui dan disepakati oleh kaum muslimin serta mutawatir menurut syariat Islam. Misalnya menentang hal-hal yang telah dinyatakan wajib oleh syariat (shalat, puasa, dan lain-lain), menghalalkan apa yang diharamkan atau sebaliknya, atau mempunyai keyakinan tentang suatu perkara yang Allah l dan Rasul-Nya n serta kitab-Nya bersih dari perkara tersebut.
Bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah bid’ah yang tidak menimbulkan pendustaan (pengingkaran) terhadap Al-Qur’an atau sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah n. Seperti yang pernah terjadi di masa kekuasaan Bani ‘Umayyah, misalnya menunda shalat dari waktu yang seharusnya dan mendahulukan khutbah dari shalat ‘ied. Hal ini ditentang oleh para sahabat yang masih hidup ketika itu, namun mereka tidak mengafirkan para penguasa yang ada ketika itu, bahkan tidak menarik bai’at (sumpah setia) mereka dari para penguasa itu.

Larangan Berbuat Bid’ah
Dari keterangan tentang pengertian dan bentuk-bentuk bid’ah ini, maka tidak samar lagi bahwa perbuatan bid’ah adalah sangat tercela dan mengikutinya berarti menyimpang dari ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus).
Adapun larangan berbuat bid’ah senantiasa erat kaitannya dengan perintah mengikuti Sunnah Rasulullah n dan jamaah (bersatu), baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits sahih serta atsar (ucapan) para ulama salaf (baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in).
Allah l berfirman:
“Dan berpeganglah kamu sekalian dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian berpecah-belah! Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika kalian dalam keadaan saling bermusuhan lalu Dia mempersatukan hati-hati kalian, sehingga akhirnya kalian menjadi bersaudara. Dan (ingatlah) ketika kalian di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat (tanda kekuasaan)-Nya, mudah-mudahan kalian mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Dan firman Allah l:
“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali selain Allah, sedikit sekali dari kalian yang mau mengambil pelajaran.” (al-A’raf: 3)
“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian (betul-betul) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni (dosa-dosa) kalian, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
“Kalau kalian menaatinya (Nabi Muhammad) niscaya kalian akan mendapat petunjuk.” (an-Nur: 54)
“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah (Muhammad) suri teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Allah dan (pahala) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)
“Dan apa yang dibawa oleh Rasul itu kepada kalian maka ambillah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah!” (al-Hasyr: 7)
“Maka tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65)
Dan Rasulullah n bersabda:
أُوصِيْكُم بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُم فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالَّنوَاجِذِ وَإِياَّكُم وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Saya wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah l, mendengar dan menaati (penguasa) walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak belian. Dan sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang (masih) hidup sepeninggalku, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnah (jalan atau cara hidup)-ku dan sunnah para al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, serta gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari al-’Irbadh bin Sariyah z)
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ n وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Kemudian daripada itu. Maka sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Muhammad n. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Maka sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih, HR. Muslim dari Jabir z)
‘Abdullah bin ‘Ukaim z menyebutkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab z pernah mengatakan, “Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah firman Allah l. Dan sesungguhnya sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Muhammad n. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Ingatlah bahwa semua yang diada-adakan adalah bid’ah, setiap kebid’ahan adalah sesat, dan kesesatan itu (tempatnya) di neraka.” (al-Lalikai, 1/84)
‘Abdullah bin Mas’ud z menyebutkan, “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah. Sungguh kamu sekalian telah diberi kecukupan (dalam agama kalian). Dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (al-Ibanah 1/327—328, al-Lalikai 1/86)
‘Abdullah bin ‘Umar c mengatakan, “Semua bid’ah itu adalah sesat meskipun orang menganggapnya baik.” (al-Ibanah 1/339, al-Lalikai 1/92)
Al-Imam Malik bin Anas t mengatakan, “Barang siapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad n telah mengkhianati risalah. Karena Allah l telah menyatakan:
‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.’ (al-Maidah: 3)
Maka apa pun yang ketika itu (di zaman Rasulullah n dan para sahabatnya) bukanlah sebagai ajaran Islam, maka pada hari ini juga bukan sebagai ajaran Islam.”
Al-Imam asy-Syaukani t menyebutkan, “Sesungguhnya apabila Allah l menyatakan Dia telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mencabut ruh Nabi-Nya n, maka apa gunanya lagi segala pemikiran atau pendapat yang diada-adakan oleh pemiliknya sesudah Allah l menyempurnakan agama-Nya ini?! Kalau pendapat mereka itu merupakan bagian dari agama ini menurut keyakinan mereka, itu artinya mereka menganggap bahwa agama ini belum sempurna kecuali setelah dilengkapi dengan pemikiran mereka. Hal ini berarti penentangan terhadap Al-Qur’an. Dan seandainya pemikiran tersebut bukan dari agama, maka apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari ajaran agama (Islam)?!
(Ayat) ini adalah hujjah yang tegas dan dalil yang pasti. Tidak mungkin mereka membantahnya sama sekali selama-lamanya. Maka dari itu, jadikanlah ayat yang mulia ini sebagai senjata pertama yang dipukulkan ke muka ahlul bid’ah untuk mematahkan segala hujjah mereka.” (al-Qaulul Mufid hlm. 38, dinukil dari al-Luma’)
Wallahu a’lam.
sumber : www.asysyariah.com
baca selanjutnya “agama ini telah sempurna”

Selasa, 07 Juni 2011

Istri Dambaan, Istri Sholihah

jasmine4801

Istri Dambaan, Istri Shalihah


Keluarga bahagia adalah dambaan setiap orang, keluarga mawadah dan rahmah yang penuh barakah adalah impian. Bagaimana tidak? Setelah capek dan letih bergelut mencari nafkah di dunia, tentu membutuhkan suasana yang menyenangkan di rumah. Senyum dan pelayanan istri, sambutan si buah hati seolah menyegarkan kembali penatnya badan dan pikiran. Oleh sebab itulah berbagai usaha ditempuh untuk mewujudkannya. Walaupun harus menyita waktu, tenaga, pikiran bahkan uang. Banyaknya praktik konsultasi keluarga, rubrik-rubrik dan program acara keluarga dalam banyak media, bahkan majalah khusus keluarga begitu mudah kita dapatkan di sekitar kita. Ini menunjukkan bahwa keluarga sakinah menjadi perhatian. Semua membutuhkan, semua mengusahakan, dan mendambakannya.

Agama kita yang sempurna ini, alhamdulillah, mengatur semuanya, dari sebelum menikah bagaimana kriteria pasangan yang baik dan cara mencarinya, mengatur pula pada saat menikah bagaimana prosesi yang syar’i, sampai setelah menikah saat menjalani bahtera rumah tangga. Semua dijelaskan dalam Al-Quran, diterangkan dalam hadits, dan dijabarkan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka. Tinggal bagaimana kita berusaha mencari dan mengkaji, memahami dan mengamalkannya. Jadi, yang pertama dibutuhkan dalam membina keluarga sakinah adalah ilmu agama.
Pembaca, dalam mencari pasangan, Allah mengajarkan:
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” [Q.S. An-Nur:26].
Rasulullah juga telah membimbingkan, dalam haditsnya beliau bersabda, “Wanita dinikahi karena empat perkara; harta, garis keturunan yang bagus, kecantikan, atau agamanya. Maka pilihlah agamanya, kalau tidak, engkau akan hina.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah z].
Ayat dan hadits ini membimbing agar perkara yang diutamakan dalam mencari pasangan adalah keagamaan yang baik. Ketika agama yang dipilih, maka jalan untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat dapat tercapai.  Keshalihan seorang istri lah yang akan mengukir kebahagiaan di hati dengan kebagusannya dalam bergaul, kepatuhannya terhadap perintah serta kredibilitasnya dalam menjaga kehormatan dan harta. Rasulullah  ` bersabda yang artinya, “Dunia itu perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menyenangkanmu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau pergi meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu’. [H.R. Ahmad dan An-Nasa`i. Al-Baihaqi juga meriwayatkan hadits yang semakna dari sahabat Abu Hurairah z, dihasankan Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil].
Hidup berdampingan dengan istri shalihah, akan membantu dalam peribadahan kepada Allah. Sehingga akan mengantarkan kepada kebahagiaan ukhrawi yang lebih sempurna. Umar bin Khaththab z pernah bertanya kepada Rasulullah ` tentang harta apakah yang sebaiknya kita miliki, beliau ` menjawab, “Hendaklah kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir dan istri mukminah yang membantu dalam perkara akhirat kalian.” [H.R. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Ibnu Majah]. Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang butuh teman hidup yang bisa menjadikan agamanya lebih baik. Teman hidup itu tak lain adalah istri shalihah. Seorang istri yang tatkala engkau terlelap di malam hari, dialah yang akan membangunkanmu untuk shalat malam. Saat lemah dan malas menghampiri, dialah yang membangkitkan semangatmu untuk kembali beramal. Dialah yang selalu mengulurkan tangannya untukmu sebelum engkau minta sebagai wujud pengamalan terhadap firman-Nya
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” [Q.S. Al-Maidah:2].
Demikianlah sekelumit ulasan yang melatarbelakangi seseorang menjadikan agama sebagai pertimbangan utama dalam mencari pasangan. Dengan memilih pasangan sebagaimana yang dituntunkan syariat, diharapkan tujuan-tujuan pernikahan dapat tercapai. Seseorang juga akan lebih merasakan hikmah diciptakannya pasangan ketika kriteria keshalihan sebagai pegangan. Karena istri shalihah lah yang akan membuat hati tenteram dengan selalu mengikat rasa cinta dalam ibadah yang mulia ini
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar Rum : 21). Allahu a’lam. Farhan.
sumber : http://tashfiyah.net/?p=641
baca selanjutnya “Istri Dambaan, Istri Sholihah”

Atas Nama Cinta

Love-cinta

oleh : Abdurrahman
Cinta. Kata yang dianggap suci ini semakin laris digunakan. Tema cinta seakan sebuah topik sakti untuk menyedot perhatian publik dan menarik simpati. Sayang, tak jarang kata yang dianggap suci ini digunakan untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah I.

Tema cinta memang selalu menarik perhatian. Sebuah kata yang kini lebih dominan bermakna rasa yang terjalin antara dua lawan jenis ini memiliki pengaruh yang dalam pada seseorang.
Dengan kata cinta pula, banyak dari kita merasa iba dan simpati kepada orang yang memilikinya. Sehingga, banyak dari kita tidak tega untuk memisahkan antara dua orang yang saling mencinta. Disayangkan, begitu banyak media -baik cetak maupun elektronik- memberikan pemahaman yang keliru mengenai cinta dan konsekuensinya. Tulisan-tulisan yang dibuat pun ikut andil dalam mencitrakan cinta melenceng dari seharusnya. Sehingga, tak jarang cinta yang sering dimaksud oleh orang-orang adalah cinta yang mengandung kemaksiatan.
Cinta dan Pacaran
Pacaran adalah perbuatan yang sudah lazim dilakukan pemuda sekarang. Padahal, menurut agama, pacaran adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan. Dalam sebuah ayat-Nya Allah berfirman:
Dan janganlah kalian dekati zina. Sesungguhnya itu adalah perbuatan keji dan jalan yang jelek.” [Q.S. Al-Isra` (Bani Isra`il):32].
Jika ada yang mengatakan, “Kan saya tidak berzina. Saya menjaga jarak dengan pacar saya agar tidak terjatuh ke dalam zina.” Jawabannya, hendaknya kita perhatikan bahwa Allah bukan hanya melarang untuk berzina. Dalam ayat ini Allah secara tegas melarang untuk mendekati zina. Mendekati zina mencakup bergandengan tangan, berduaan, bahkan bisa jadi hanya ber-SMS ria dengan lawan jenis sebagai pintu mendekati zina. Maka, semua jalan-jalan yang bisa menyampaikan kepada zina ini ditutup oleh syariat agar pemeluknya tidak terjatuh ke dalamnya.
Mengenai berduaan antara lawan jenis, Rasulullah ` telah melarang kita darinya dengan bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ

“Janganlah ada seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang perempuan dan janganlah seorang perempuan bepergian jauh kecuali dengan mahram.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Tidak hanya itu saja, banyak bahaya yang diakibatkan oleh pacaran ini.
Cinta dan Seks Bebas
Cinta sejati memerlukan pengorbanan. Kalimat ini benar, namun sayang seringkali mereka gunakan untuk membenarkan hal-hal yang sejatinya keliru. Sebagian orang yang berpacaran menganggap bahwa sex before marriage (seks sebelum menikah) adalah pengorbanan dan bukti cinta. Seseorang wanita yang berpacaran harus berani berkorban. Apa pengorbanannya? Yang dia korbankan adalah kesucian dan kehormatannya.
Subhanallah. Jika kita timbang dengan logika sehat yang kita miliki, seharusnya lelaki ini memberikan yang terbaik bagi pasangannya sebagai pengorbanannya. Misalnya, dia menikahinya dan memberikan nafkah yang layak. Bukan justru dengan merenggut kemuliaan wanita tersebut.
Ditambah lagi, banyak orang yang menganggap biasa perzinaan jika pelakunya adalah orang yang saling mencinta. Mereka menganggap bahwa zina suka sama suka adalah hak asasi manusia. Jika mereka mau sadar, sesungguhnya hak-hak manusia yang seperti ini justru akan menjerumuskan manusia ke dalam mafsadat yang semakin besar. Tidak jelasnya garis nasab, menyebarnya berbagai penyakit, dan dirugikannya pihak wanita adalah beberapa mafsadat yang bisa muncul kemudian. Belum lagi kerusakan dalam tingkat komunitas, berbangsa dan bernegara pada umumnya serta lingkungan sekitar pada khususnya. Faktanya, berita tentang pencabulan yang dilakukan oleh anak kecil, anak kecil menghamili wanita lain, dan berita-berita sejenis yang dahulu kita anggap nyleneh sudah semakin sering kita dapat, yang mana ini merupakan cerminan nyata betapa masyarakat kita sudah luntur adabnya.
Padahal, Allah memberikan ciri hamba-hamba Ar-Rahman, yang seharusnya menjadi ciri setiap hamba muslim:
“Dan mereka tidak menyeru bersama Allah sesembahan yang lain, mereka tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haknya, dan mereka tidak melakukan zina. Barangsiapa melakukannya, dia akan mendapatkan (balasan) dosa.*. Digandakan adzab baginya dan dia kekal di dalamnya dengan hina dina.” [Q.S. Al-Furqan:68-69].
Cinta dan Bunuh Diri
Akibat ‘cinta’ yang tidak kesampaian, banyak orang yang mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya. Seakan, wanita atau pria yang dia cintai adalah satu-satunya makhluk di muka bumi ini. Hal ini, jika kita perhatikan dengan rasio yang sehat, tentu kita akan menilainya sebagai perbuatan yang konyol dan sia-sia. Banyak hal di dunia ini yang harus kita capai selain cinta. Selain itu, dari segi agama, bunuh diri merupakan dosa besar. Rasulullah ` bersabda, “Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi di tangannya, dia (akan) menikam perutnya di dalam neraka jahannam yang kekal, dan dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun lalu bunuh diri dengannya, maka dia (akan) meminumnya perlahan-lahan di dalam neraka jahannam yang kekal, (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, dia akan jatuh ke dalam neraka jahannam yang kekal (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya.” [H.R. Muslim dari Abu Hurairah z].
Di samping itu, jika kita singkap lebih dalam, akan kita ketahui bahwa kebanyakan cinta semacam ini adalah cinta yang tidak sehat. Cinta ini kebanyakannya adalah cinta yang didasari kemaksiatan kepada Allah I. Yakni, cinta antara dua orang non-mahram yang belum diikat dengan tali pernikahan.
Cinta dan Nikah Sesama Jenis
Menikah sesama jenis kini menjadi polemik panjang tentang kebolehannya. Sebagian pihak malah telah melakukan pernikahan yang [mereka anggap] sah antara dua orang yang sama jenisnya ini. Sebagiannya, berjuang menuntut dilegalkannya pernikahan sesama jenis di Indonesia dengan dalih HAM dan tetek bengeknya.
Keraguan ini banyak dimunculkan oleh sebagian pemuda yang mempelajari Islam dengan rasio terbalik. Mereka mengambil agama dari filosof-filosof kafir sekuler di Amerika. Sejatinya, cukuplah sebagai bantahan, bahwasanya fitrah kita pasti merasakan cinta kepada lain jenis. Hanya orang yang kehilangan fitrahnya sebagai manusia normal saja yang mencintai sesama jenis. Seandainya pun memang ada yang mengidap penyakit kelainan seksual dengan mencintai sesama jenis, hal itu masih bisa diobati dan diterapi. Tinggal seberapa keras usaha kita untuk keluar dari penyakit ini. Faktanya, beberapa pengidap penyakit ini berhasil melepaskan diri darinya dengan menikah. Nah, kenapa tidak dicoba?
Adapun jika masyarakat justru menghalalkan dan melegalkannya, cukuplah sebagai ibrah, kaum Nabi Luth, kaum Sodom, yang mereka diadzab dengan dibalikkankan bumi mereka dan dihujani dengan hujan batu saat kebanyakan dari mereka melakukan praktek homoseksual, dosa yang sama sekali belum pernah dilakukan oleh seorang pun di zaman sebelum mereka. Allah berfirman:
“Dan Nabi Luth yang mengatakan kepada kaumnya, ‘Apakah kalian mendatangi perbuatan keji yang tidak pernah dilakukan siapapun sebelumnya dari alam semesta ini?’” [Q.S. Al-A’raf:80]. Dan berfirman:
“Maka kami jadikan atasnya menjadi bawahnya dan kami hujankan kepada mereka batu yang keras.” [Q.S. Al-Hijr:74].
Kita berlindung kepada Allah dari adzab-Nya. Allahu a’lam bish shawab.
sumber : http://tashfiyah.net/?p=596
baca selanjutnya “Atas Nama Cinta”

Menuntut Ilmu Syariat

writing_tablet

Oleh: Abu Muhammad Farhan

Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Cukup sebagai kemulian ilmu, orang yang bodoh pun mengaku-aku memilikinya dan senang disebut sebagai seorang yang berilmu. Cukup pula celaan terhadap kebodohan, orang yang bodoh sekalipun menghindar dan berlepas diri darinya serta akan marah apabila dikatakan sebagai orang yang bodoh” [diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya].
Demikian adanya, ilmu memiliki kedudukan yang sangat tinggi bahkan mutlak diperlukan dalam kehidupan ini. Dari sinilah orang rela mengorbankan harta, waktu, dan tenaganya demi mendapatkan ilmu.
Di samping itu, banyak sekali keutamaan ilmu yang disebutkan di dalam dalil-dalil baik dalam Al-Qur`an maupun dalam hadits. Nah, pertanyaannya, ilmu apakah yang dimaksud di dalam dalil-dalil tersebut? Jawabannya tersirat dalam hadits:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para ulama merupakan pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar, tidak pula dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya, berarti dia telah mengambil bagian yang banyak.” [H.R. Muslim]. Ilmu apakah yang diwariskan oleh Nabi? Jawabannya tentu saja bukanlah ilmu dunia. Ilmu yang mereka bawa adalah ilmu syar’i. Inilah yang dipuji di dalam banyak dalil. Maka dari itu, ulama mengatakan bahwa jika disebutkan ilmu saja, tanpa ditambahi kata di belakangnya, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i.
Sangat disayangkan, hakekat ini sekarang menjadi terbalik. Di mana, kebanyakan dari kita memahami ilmu sebagai ilmu dunia: ilmu matematika, teknik, biologi, fisika, dst. Sedangkan ilmu syar’i hanyalah sebagai tambahan semata. Bahkan, sebagian orang berpandangan bahwa agama bukanlah ilmu. Maka, beberapa lembaran kecil di tangan para pembaca sekalian ini akan berusaha mengungkap beberapa hal mengenai ilmu syar’i disebabkan urgensitas seorang insan akan hal tersebut. Wa billahit taufiq.
Hukum Belajar Ilmu Syar’i
Pembaca sekalian -semoga Allah merahmati kita semua- apabila mencari harta dunia yang sementara harus dengan ilmu, maka mencari akhirat yang kekal tentu lebih wajib. Dunia dan akhirat hanya didapat dengan ilmu, tidak dengan yang lain. Oleh sebab itu, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang menurunkan kitab-kitab-Nya dan mengutus para rasul untuk mengajarkan ilmu demi keselamatan dan kebahagiaan hamba di dunia dan di akhirat. Kemudian, karena kasih sayang Allah pula, Allah mewajibkan menuntut ilmu atas hamba-Nya. Agar mereka benar-benar selamat dan bahagia dengan mengikuti kitab dan rasul-Nya. Melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah mewajibkan thalabul ilmi:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim” [H.R. Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Anas bin Malik dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Tarhib wat Targhib].
Ilmu di sini -sebagaimana telah lewat penjelasannya- maksudnya adalah ilmu syar’i, bukan yang lainnya. Ibnul Qoyyim menerangkan yang dimaksud ilmu adalah firman Allah, sabda Rasulullah, dan penjelasan para sahabat. Atau dengan bahasa lain, ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap hamba adalah bagaimana hamba mengenal Allah kemudian mentauhidkan-Nya dalam seluruh sifat yang khusus bagi Allah, mengenal Rasul-Nya, mengenal agama Islam ini dengan dalil-dalilnya, demikian pula tata cara shalat, dan ibadah-ibadah wajib yang lainnya sehingga tidaklah dia melakukan suatu ibadah kecuali telah dilandasi ilmu mengenai ibadah tersebut. Hanya dengan ilmu inilah seseorang bisa selamat dan berbahagia dunia dan akhirat.
Sumber Ilmu
Al-Qur`an dan Sunnah (hadits) Nabi-Nya adalah sumber ilmu syariat yang utama. Allah berfirman:
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا (١١٣)
Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan karunia Allah sangat besar atasmu.” [an-Nisa:113]. Imam Syafi’i menafsirkan “hikmah” adalah sunnah (hadits).
Allah berfirman pula:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (٣٢)
Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya, lalu jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’” [Ali Imran: 32]. Ayat-ayat yang semakna dengan ayat ini banyak sekali.
Kemudian, kita harus memahami dan mengamalkan dua sumber ini sebagaimana yang pemahaman dan pengamalan para sahabat. Karena, mereka lah murid-murid langsung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyaksikan turunnya wahyu, bertanya langsung kepada beliau, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan ridha kepada mereka. Sehingga, dapat dipastikan pemahaman dan amalan mereka adalah benar. Allah berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (١٠٠)
“Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” [at-Taubah:100]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku (hadits) dan sunnah (jalan yang ditempuh) Khulafaur Rasyidin setelahku. Gigitlah dengan geraham kalian (pegang erat-erat)” [H.R. at-Tirmidzi dari sahabat ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ’anhu dan dishahihkan oleh al Albani rahimahullah]. Dalil yang semakna dengan ini banyak sekali.
Kemudian, tidak kalah pentingnya bahwa semua itu harus dengan bimbingan para ulama yang Allah telah mempercayakan agama ini kepada mereka. Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٤٣)
“Maka bertanyalah kepada para ulama jika kalian tidak mengetahui” [an-Nahl:43]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi sebagai pencerah bagi umat dengan ilmu warisan tersebut, dalam sabda beliau:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sedangkan pra nabi tidaklah mewariskan harta dunia tetapi mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya benar-benar telah mengambil bagian yang banyak” [H.R. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan lainnya dari sahabat Abud Darda` radhiyallahu ’anhu dan dihasankan oleh al-Albani]
Jadi, jelaslah bahwa metode pembelajaran kita seharusnya adalah Al-Qur`an dan Sunnah dengan pemahaman dan pengamalan para sahabat beserta bimbingan  para ulama bukan dipahami sendiri atau dengan pemahaman orang-orang tertentu saja.
Antara Wajib ‘Ain dan Wajib Kifayah
Pembaca sekalian -semoga Allah merahmati kita semua- ilmu agama yang kita pelajari ini ada yang hukumnya wajib ‘ain (wajib atas setiap pribadi muslim dan muslimah) dan ada yang wajib kifayah.
Adapun yang hukumnya wajib ‘ain, Imam Ahmad telah menjelaskannya ketika ditanya mengenai ilmu yang wajib dipelajari seorang muslim, “Ilmu yang bisa menegakkan agama seseorang seperti shalatnya dan puasanya” dan tentu sebelum itu bagaimana mengenal Allah beserta hak-hak-Nya (tauhid), rukun iman, rukun Islam, dan ilmu-ilmu yang dibutuhkan lainnya. Misalnya, seseorang yang hendak menunaikan haji maka menjadi wajib ‘ain baginya mempelajari manasik haji begitu seterusnya.
Yang kedua, menuntut ilmu yang hukumnya wajib kifayah, artinya wajib atas kaum muslimin secara kolektif, apabila sebagian mereka telah melakukannya menjadi gugur kewajiban tersebut bagi yang lainnya, namun apabila tidak ada seorang pun yang melakukannya, seluruhnya mendapatkan dosa, seperti: ilmu waris, bahasa Arab, dan ilmu yang sekiranya bisa dicukupi oleh sebagian kaum muslimin. Allah berfirman:
فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (١٢٢)
Seandainya ada tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya” [at-Taubah: 122].
Niat
Sebagaimana ibadah yang lain, menuntut ilmu syariat harus diniati dengan ikhlas untuk Allah subhanahu wa ta’ala, untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain, agar bisa beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala serta mengagungkan-Nya dengan sebenar-benarnya. Dan Allah ta’ala telah mengancam dengan adzab yang pedih bagi mereka yang tidak ikhlas.
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ ثَلاَثَةٌ: -أحد منهم- رَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ.
“Orang pertama yang akan dihukum pada hari kiamat ada tiga golongan: -salah satunya adalah- seseorang yang mempelajari dan mengajarkan ilmu serta membaca al-Qur`an. Dia pun dihadapkan [ke hadapan-Nya], lalu Allah mengingatkannya terhadap nikmat tersebut dan dia mengakuinya. Kemudian Allah mengatakan, ‘Apa yang engkau perbuat dengan nikmat tersebut?’ Dia pun menjawab, ‘Ya Allah, saya mempelajari dan mengajarkan ilmu serta membaca al-Qur`an karena Engkau.’ Dijawab, ‘Engkau dusta, engkau mempelajarinya agar disebut ‘Orang yang berilmu’, dan engkau membaca al-Qur`an agar disebut ‘Orang yang banyak membaca al-Qur`an’ dan itu telah disebutkan [di dunia].’ Maka orang tersebut diseret di atas wajahnya kemudian dilemparkan ke dalam neraka.” [H.R. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu].
Keutamaan Menuntut Ilmu Syar’i
Allah melimpahkan berbagai keutamaan bagi penuntut ilmu syari semenjak dari terbetik dalam hatinya kemudian melangkahkan kakinya sampai akhirnya ia menghadap Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِيْ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ حَتَّى الْحِيْتَانُ فِى الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ. إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan jalan baginya menuju surga, dan seeungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya karena ridha terhadap penuntut ilmu. Sungguh, seorang yang berilmu dimintakan ampun oleh semua yang ada di langit dan di bumi sampai pun ikan di lautan. Keutamaan orang yang berilmu dibandigkan dengan ahli ibadah sebagaimana perbandingan antara bulan purnama dengan bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, sedangkan para nabi tidaklah mewariskan harta dunia, tetapi mereka mewariskan ilmu, siapa yang mengambilnya, sungguh telah mengambil bagian yang banyak.” [H.R. at-Tirmidzi dari Abud Darda` radhiyallahu ’anhu]
Sebagai bentuk keutamaan ilmu, Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitab beliau Miftah Daris Sa’adah menyebutkan lebih dari 150 keutamaan ilmu.
Bagaimana dengan selain ilmu syar’i?
Adapun selain ilmu syar’i, hukum mempelajarinya ada yang wajib kifayah, sunnah, mubah (boleh), ada pula yang haram.
Adapun yang hukumnya wajib kifayah, itu adalah ilmu yang berkaitan dengan kebutuhan pokok manusia, artinya kehidupan manusia tidak bisa tegak kecuali dengannya, misalnya: ilmu-ilmu pokok kedokteran, pertanian, industri sandang, dan yang lainnya.
Adapun yang hukumnya haram adalah ilmu yang mengandung kemaksiatan, seperti: ilmu kalam atau filsafat, ilmu sihir, ramalan dan semacamnya.
Sedangkan yang hukum asal mempelajarinya mubah adalah ilmu-ilmu selain yang telah kita sebutkan di atas. Contohnya, ilmu arsitektur, ilmu ekonomi, ilmu biologi, dan lainnya. Akan tetapi, ilmu-ilmu yang mulanya berhukum mubah ini hukumnya bisa berubah sesuai dengan niat, tujuan, cara, akibat, dan keadaannya. Sebagai misal, ilmu teknik bisa menjadi berhukum wajib kifayah jika untuk membangun bangunan tahan gempa bagi kaum muslimin di daerah rawan gempa (dan hal ini menjadi wajib ‘ain bagi seseorang jika hanya dia yang mampu untuk mempelajarinya); atau bisa menjadi sunnah apabila niatnya untuk membangun masjid dengan konstruksi tahan gempa di daerah rawan gempa. Sebaliknya, apabila mempelajari ilmu tersebut untuk kesombongan, status, prestise dan lain-lain, maka hukumnya haram. Demikian pula apabila mempelajari ilmu tersebut dengan cara yang melanggar syariat, sebagai contoh, campur baur antar laki-laki dan perempuan, maka hukumnya menjadi haram. Begitu juga jika hal itu berakibat menyibukkan dari ilmu yang wajib (syar’i), atau melalaikan dari shalat berjamaah maka hukumnya menjadi haram.
Penutup
Pembaca sekalian -semoga Allah merahmati kita semua-, sebagai penutup tulisan ringkas ini, penulis mengajak diri penulis pribadi kemudian pembaca sekalian untuk mementingkan ilmu syar’i kemudian diamalkan dan diajarkan kepada orang lain sebelum mempelajari ilmu lainnya. Inilah jalan keberuntungan.
وَالْعَصْرِ (١)إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢)إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
“Demi masa.*. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,*. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, saling menasehati dengan kebenaran, dan saling menasehati dengan kesabaran.” [al-‘Ashr 1-3].
Ditafsirkan oleh ulama, orang-orang yang beriman adalah mereka yang berilmu dahulu kemudian beriman, karena seseorang tidak mungkin beriman dengan benar kecuali setelah berilmu. Allahu a’lam.
sumber : http://tashfiyah.net/?p=81
baca selanjutnya “Menuntut Ilmu Syariat”

matikan televisimu ! !

Matikan Televisimu!!

tv

Oleh : Ristyandani



Tidak berlebihan bila perangkat elektronik ini disebut “kotak ajaib”. Ya, televisi! Sebuah perangkat hiburan dan informasi yang menyajikan beragam materi mulai dari peristiwa yang benar-benar terjadi, hingga pada sajian-sajian khayal yang melampaui batas imajinasi kita. Demi merangkul sebanyak mungkin penonton, maka segala hal yang bisa dilakukan, akan ditempuh. Saat itulah acara-acara ini tidak lagi mengindahkan batasan norma,etika, dan agama.
Maka mengingat pada sebuah ucapan nabi kita “Agama seseorang dilihat dari siapa sahabatnya” , khazanah ilmu ini cukup menjelaskan wujud keadaan masyarakat yang memiliki kesamaan identitas dengan fenomena televisi. Karena televisi telah menjadi sahabat pebuhbagi manusia modern saat ini. Berikut adalah beberapa jenis acara televisi yang merusak, agar kita bisa belajar dan mengapa kita perlu mematikan televisi kita.



Talk Show.
Sedang terjadi obrolan antara pembawa acara dengan narasumber perwakilan LSM yang mengkampanyekan penanggulangan penyebaran HIV , dengan berhubungan sex secara aman. Kampanye dengan pembagian kondom gratis tersebut, tidak menyebutkan dengan tegas bahwa hubungan seksual mutlak hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan. Justru yang ditonjolkan adalah anjuran memakai kondom untuk seks yang aman. Tidakkah mereka yang berkampanye itu sadar bahwa dengan kondom sebagai alat solusi norma, membenteuk persepsi bahwa perzinaan pun dibenarkan, sex pranikah bukanlah hal yang tercela dilakukan ketika pacaran.
Contoh diatas adalah model penggiringan opini yang marak dilakukan oleh televisi. Bukan hanya produksi dalam negeri, stasiun televisi Indonesia mulai mengimpor acara jenis ini dari negeri-negeri barat, yang kental dengan pemikiran liberal. Metode ini amat halus dan tidak terasa, karena dikemas dalam bentuk obrolan, sehingga tidak terkesan mendikte. Akan tetapi, metode ini cukup ampuh dalam membentuk pola pikir mayoritas kaum muslimin, yang notabene masih awam ilmu agamanya, yang masih susah memilah mana yang benar dan mana yang salah menurut syariat.
Live Music
Dipandu oleh MC yang kebanci-bancian, acara yang isinya hanya bercanda dan main-main ini benar-benar menampilkan suramnya generasi muda kita. Mengenakan kaos-kaos warna mencolok dan celana ketat, dipandu oleh band ibukota yang sedang naik daun, para remaja tersebut berteriak-teriak menyanyikan lirik-lirik cinta (baca : zina) sambil melompat-lompat seirama dengan dentuman bass dari speaker-speaker besar.
Krisis identitas pemuda? Ya!! Karena acara ini dilakukan secara live pada pagi hari, saat dimana orang sibuk bekerja dan serius menuntut ilmu, tapi mereka hanya asyik bermain-main sambil mengikuti trend berpakaian, seakan-akan tidak ada tanggung jawab di pundak mereka, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Infotainment (Gosip)
Nikah cerai, rebutan hak asuh anak, hingga skandal mesum yang dilakukan oleh para artis, sudah menjadi bahan obrolan yang lumrah di tengah – tengah kita. Perbuatan ghibah, membicarakan aib orang lain, malah menjadi aktifitas yang utama. Acara ini terus berusaha mencari-cari kesalahan orang lain, yang membentuk karakter kita, untuk selalu memandang orang lain dari aibnya, tidak melihat kebaikannya, bahkan menyebarluaskan aib tersebut.
Dan yang lebih berbahaya lagi, maraknya pemberitaan aib-aib para selebritis yang dijadikan panutan dan idola, secara tidak langsung telah membentuk pola pikir kita, bahwa apa yang dilakukan mereka itu benar. Apalagi dengan berbagai alibi dan alasan yang disampaikan selebritis tersebut untuk membenarkan perbuatan tercelanya.
Sinetron
Mengedepankan gaya hidup mewah nan glamour dan konflik percintaan, acara ini mendominasi prime time (antara maghrib- pukul 22.00 WIB), waktu berkumpulnya keluarga untuk beristirahat. Sudah banyak masyarakat yang resah dengan adanya sinetron-sinetron yang tidak mendidik ini, karena membuat kita menjadi panjang angan-angan, ingin hidup mewah, dan hanya memikirkan masalah asmara dengan lawan jenis (baca :zina).
Belum lagi sinetron dengan judul islami, yang hanya sebagai kedok acara mistik sesat, yang menggambarkan bahwa seorang ustadz itu hanya sebagai pengusir jin. Yang menggambarkan bahwa azab Allah itu sangat pedih, tanpa diimbangi dengan rahmatNya yang luas.
Reality Show
Acara model ini menempati rating yang cukup tinggi. Isinya hanya berkutat masalah konflik asmara, problem rumah tangga, atau hanya sekedar humor menjahili orang.
Komisi Penyiaran Indonesia dulu pernah menegur jenis acara seperti ini, karena isinya yang syarat dengan kata-kata kotor dan kekerasan.
Beberapa contoh acara yang diuraikan diatas, sejatinya adalah contoh kesia-siaan yang nyata. Lebih dari itu, darinya justru menjadi penyebaran kefasiqan, kekufuran, kesesatan yang tidak bisa ditolerir dari syariat Alloh dan Rasul-Nya. Ketika rutinitas kaum muslimin terus menerus disibukan oleh model-model (acara, artis, film) fasiq yang tidak mengerti agama Alloh, sungguh jiwa manusia  yang rapuh akan menirunya. Hal itulah yang menciptakan pribadi-pribadi pembangkang kepada syariat Alloh, pengambil hak orang lain, anak yang durhaka, istri yang tidak patuh, suami yang tidak memenuhi hak keluarga, dan seterusnya. Ketika masyarakat ini tidak memiliki pondasi yang utuh tentang pemahaman agama yang lurus, maka musibah ini bukan hanya akan menimpa pribadi-pribadi tertentu saja, namun akan menjadi musibah secara  umum. Bukan hanya kepada orang yang fasiq, namun musibah ini juga berimbas pada orang-orang shalih di antara mereka.
Sebagai penutup, seorang ulama besar hadits pernah memberikan penilaiannya tentang keberadaan televisi :
“Televisi dewasa ini, 99% banyak menayangkan nilai-nilai atau faham-faham kefasikan, perbuatan dosa, nyanyian haram, ataupun perbuatan yang mengumbar hawa nafsu, dan lain-lain sejenisnya. Hanya 1 % tayangan televisi yang dapat diambil manfaatnya. Jadi kesimpulan hukum televisi itu dilihat dari penayangan yang dominan” (Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, al Ashalah 10/15 Syawal 1414 H hal. 40)
sumber : http://tashfiyah.net/?p=519
baca selanjutnya “matikan televisimu ! !”

Senin, 06 Juni 2011

Bangga Jadi Muslim

syabb
Tak bisa dipungkiri, banyak dari kita sekarang yang kurang percaya diri dengan identitas keislamannya. Mulai dari tren berpakaian hingga ke pola pikir. Kita merasa lebih nyaman kemana-mana mengenakan kaos dan celana jeans. Sebaliknya, kita merasa minder, merasa salah kostum bila mengenakan baju koko atau jilbab. Kita lebih suka mengambil inspirasi dari Chicken Soup daripada membaca kisah para sahabat. Merasa lebih “cerdas dan intelek” dengan menonton Oprah Show daripada datang ke pengajian. Kita merasa takjub ketika tahu Mark Zuckerberg ternyata membuat Facebook di usia 19 tahun, tapi kita merasa biasa saja mengetahui Ali bin Abi Thalib z mulai memperjuangkan Islam dengan ujung pedangnya ketika berusia 8 tahun. Kita bahkan terbiasa memulai hari kita dengan membaca koran, bukan dengan membaca Al-Qur’an.
Bahkan, ada segelintir dari kita yang justru merasa lebih nyaman bergaul dengan temannya yang bukan muslim dibanding dengan saudaranya sesama muslim, dengan alasan bahwa temannya itu lebih toleran. Hohoho… maksud “toleran” di sini, bahwa temannya yang bukan muslim tersebut akan cuek saja, apakah kita shalat atau tidak. Segelintir itu jugalah yang merasa risih dengan teman muslimnya yang “tidak toleran”, karena teman muslimnya tersebut sering menasehatinya untuk menjauhi pacaran.
Lambat laun, hati kita cenderung lebih menyukai mereka yang bukan muslim tersebut. Hal-hal inilah yang akan melemahkan hati, sehingga tiap akhir tahun, dengan mudahnya kita mengirim SMS “‘Met Natal & Tahun Baru”. Tidakkah kita merasa bahwa dengan SMS ini, sama saja menyatakan keridhaan kita atas agama mereka? Apa kita mau menyatakan bahwa agama mereka benar?
Saudaraku…………….
Tahukah engkau bahwa kaum musliminlah yang dulu menguasai peradaban dari eropa hingga asia selatan
Kaum musliminlah yang menjadi mercusuar ilmu pengetahuan, dan menjadi rujukan dunia, disaat manusia mencampakkan ilmu pengetahuan
Kaum musliminlah yang pertama kali memuliakan wanita, ketika manusia menganggapnya sebagai makhluk rendahan
Namun, dengan berbagai prestasi kaum muslimin tersebut, mengapa justru kita sekarang terpuruk?
Kenapa kita sekarang malah minder dalam ber-islam?
Ada berbagai macam alasan mengapa kita banyak yang tidak percaya diri dengan identitas keislamannya. Namun semuanya bermuara pada satu sebab. Yaitu kurangnya ilmu agama kita. Minimnya ilmu agama membuat kita tidak yakin akan kebaikan dari agama kita. Sehingga, segala aturan dalam syariat itu dianggap sebagai kekangan, hal yang membuat dada kita terasa sesak. Harus make jilbab lah! Pacaran nggak boleh lah! Harus shalat di masjid lah! Padahal syariat yang agung ini, mengatur hal-hal tersebut demi kebaikan kita sebagai manusia.
Media juga memiliki andil besar dalam membentuk pola pikir kita. Hegemoni barat dalam media sudah melewati pintu-pintu rumah kita setiap hari melalui televisi. Acara fiksi, gaya hidup, musik hingga talkshow, semua sebagian besar dari barat. Melalui televisi lah pola pikir kita dibius: barat adalah sumber kemajuan, apa-apa yang datang dari barat adalah kebenaran.
Di tengah serbuan produk kebudayaan barat tersebut, kita harus bisa memilih, mau sepenuhnya mengekor buta (taqlid) terhadap kebudayaan barat, atau tetap berpegang teguh pada kesempurnaan ajaran Islam dengan memilah apa-apa yang datang dari mereka.
“Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan” [Q.S. Al-Balad:10]

Namun, bukan berarti kita menolak secara mutlak apa-apa yang datang dari mereka. Yang dilarang untuk diikuti, adalah apa-apa yang merupakan kekhasan mereka, baik itu penampilan, perayaan maupun pola pikir mereka. Dalam hal-hal yang sifatnya sarana duniawi (teknologi), kita boleh mengambil dari mereka.
Dari berbagai alasan di atas, maka :
  1. Mulailah belajar agama secara serius. Ilmu agama tidak hanya yang kita dapatkan melalui 2 jam pelajaran agama dalam seminggu di kelas, ataupun hanya melalui khutbah Jumat di masjid. Mulailah ikut pengajian-pengajian. Pilihlah pengajian yang materinya mengajarkan tauhid terlebih dahulu. Karena tauhid-lah yang merupakan inti agama kita. Dengan tauhid yang benar, maka kita bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan tauhid yang benar, maka kita belajar mengikhlaskan apa-apa yang kita lakukan, sehingga selalu dinilai ibadah disisi Allah k.
  2. Memilih pergaulan yang baik. Teman yang baik akan mendorong kita untuk melakukan hal yang baik. Dia juga akan mengingatkan kita ketika kita berbuat salah.
  3. Memilah media. Apa yang kita lihat dan dengar akan mempengaruhi pola pikir kita. Jauhilah menonton cerita fiksi dan membaca komik. Banyak-banyaklah membaca kisah-kisah keteladanan orang-orang shalih. Ambillah pelajaran dari cara hidup mereka yang bersahaja. Lalu, berhati-hatilah juga terhadap acara-acara diskusi/talkshow yang ada di televisi. Karena kebanyakan acara diskusi tersebut tidak berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sehingga hasil dari acara diskusi seringkali bertentangan dengan agama kita. Acara seperti ini walau tidak terkesan mendikte, tapi menyusupi pola pikir kita secara halus dengan metode dialog, diskusi, obrolan, dan semacamnya.
Saudaraku……
Marilah kita mulai memulai hidup yang lebih baik. Memilih hidup dengan cara Islam, hidup dengan apa-apa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bukankah kita sekarang sudah cukup dewasa? Sudah bisa mengambil keputusan? Ingatlah bahwa masa muda adalah suatu titik penentuan yang akan menentukan masa depan kita. Tiap orang memiliki pertimbangan. Tiap pilihan memiliki konsekuensi. Namun, orang berakal pasti akan menentukan pilihan hidupnya dengan pilihan yang merupakan wujud syukur atas nikmat terbesar yang didapatkannya, yaitu nikmat hidayah Islam.
“Sungguh, kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur, ada pula yang kufur” [Q.S. Al-Insan:3]. Wallahu alam bish showwab.
(ditulis pada pertengahan Februari, ditengah keprihatinan atas banyaknya pemuda Islam yang ikut merayakan Valentine’s Day) (Ristyandani)
sumber :  http://tashfiyah.net/?p=616
baca selanjutnya “Bangga Jadi Muslim”