Sabtu, 28 Januari 2012

ALLAH MAHA PENGAMPUN LAGI MAHA MENCINTAI

Oleh Ustadz Kharisman
Jika anda pernah bersalah kepada seseorang, mungkin masih tersisa perasaan ‘tidak enak’ dalam diri orang tersebut meski ia telah memaafkan. Masih ada yang mengganjal dalam hatinya. Kalau sebelumnya orang itu sangat mencintai anda, maka setelah itu cintanya bisa berkurang, meski hanya beberapa persen. Sulit untuk utuh kembali seperti sedia kala.
Berbeda dengan Allah. Jika seorang pernah berdosa kepada Allah, kemudian ia bertaubat dengan sebenar-benarnya. Maka, Allah akan mengampuni dosanya dan kembali mencintainya seperti sedia kala, bahkan bisa lebih dari itu. Itulah makna firman Allah:
…وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ
Dan Dialah Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai (Q.S al-Buruuj:14)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menyatakan: “dalam ayat ini terdapat suatu rahasia (yang halus) ketika Allah menggandengkan penyebutan Maha Pengampun dengan Maha Mencintai. Hal ini untuk menunjukkan bahwa orang-orang yang berdosa jika bertaubat dan inabah kepada Allah, Allah akan mengampuni dosanya dan mencintainya”. Tidak seperti perkataan salah dari orang-orang: “bahwa Allah akan mengampuninya, tapi kecintaan Allah kepadanya tidak kembali (Taisiir Kariimir Rahman hal 918)”.
Karena itu, orang yang bertaubat dari suatu dosa dengan sebenar-benarnya taubat, seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa itu.

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
Seseorang yang bertaubat dari dosa, bagaikan ia tidak memiliki dosa sama sekali (H.R Ibnu Majah, sanadnya dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (13/471))
Menyakiti Kekasih Allah, Tapi Masih Dibuka Pintu Taubat. Namun, Bagaimana sikap anda terhadap orang yang menyakiti orang-orang terkasih kita? Pasti kita membencinya, Membara dendam dalam dada, dan seakan tidak tersisa ruang pemaafan.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala adalah Yang Maha Pengampun, Pemberi Taubat, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, masih memberikan kesempatan bertaubat kepada orang-orang yang menyiksa para Kekasih-Nya.
Tahukah anda kisah Ashaabul Ukhduud? Kisah itu diisyaratkan dalam Surat alBuruuj. Kaum musyrikin yang dzhalim memaksa orang-orang beriman untuk kafir. Mereka hanya diberi 2 pilihan: “keluar dari keimanan atau masuk ke dalam parit yang berisi api yang menyala-nyala”. Orang-orang beriman pun masuk ke parit tersebut. termasuk seorang ibu yang menggendong anak bayinya. Ia ragu-ragu untuk masuk ke dalam api itu karena kasihan pada anaknya. Namun, atas Kekuasaan Allah bayi itu bisa berkata: Sabarlah wahai ibuku, sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran. Lalu terjunlah ibu beserta bayinya itu dengan penuh keimanan kepada Allah.
Untuk orang-orang kafir penyiksa tersebut, Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
Sesungguhnya orang-orang yang menguji (memberi pilihan dan menyiksa) orang-orang beriman laki-laki dan wanita kemudian tidak bertaubat, maka baginya adzab Jahannam dan bagi mereka siksa yang membakar (Q.S alBuruuj: 10)
Dalam ayat tersebut Allah mengancam para penyiksa tersebut dengan adzab yang pedih, jika mereka tidak bertaubat. Artinya, Allah masih membuka peluang taubat.
Al-Hasan al-Bashri –seorang tabi’i- berkata: “Perhatikanlah Dzat Yang Maha Mulya lagi Pemurah. Mereka telah menyiksa para kekasih (Wali) Allah, namun Allah masih mengajak mereka kepada taubat dan ampunan (Tafsir Ibn Katsir)”.
Allah juga memberikan peluang taubat kepada orang-orang kafir yang masih hidup. Sahabat Nabi Ibnu Abbas berkata: Allah mengajak bertaubat kepada orang-orang yang mengatakan:
(1) Isa adalah Allah
(2) Isa adalah anak Allah,
(3) Uzair adalah anak Allah,
(4) Allah fakir,
(5) Tangan Allah terbelenggu,
(6) Allah adalah satu dari yang tiga (trinitas)
Allah berkata kepada orang-orang (kafir) tersebut:
أَفَلا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Tidakkah mereka bertaubat kepada Allah dan beristighfar kepadaNya, dan Allah adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S al-Maidah:74)(Tafsir Ibn Katsir)
(dinukil dari buku Sukses Dunia Akhirat dengan Istighfar dan Taubat karya Abu Utsman Kharisman halaman 113-115)

sumber : http://www.salafy.or.id/2012/01/28/allah-maha-pengampun-lagi-maha-mencintai/
baca selanjutnya “ALLAH MAHA PENGAMPUN LAGI MAHA MENCINTAI”

KAJIAN FIQH PEMBAHASAN SHOLAT JUMAT (BAG I.b)

Oleh Ustadz Kharisman
4. Apakah seseorang yang terkena udzur untuk meninggalkan sholat Jumat menggantinya dengan sholat dzhuhur?
Jawab: Ya, menggantinya dengan sholat dzhuhur. Demikian juga seseorang yang ketinggalan (terlambat) sholat Jumat tidak mendapati minimal 1 rokaat.

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Barangsiapa yang mendapati satu rokaat dari sholat Jumat atau selainnya maka ia telah mendapati sholat”(H.R Ibnu Majah dari Ibnu Umar).
Jika seseorang mendapati 1 rokaat sholat Jumat, ia tinggal menambah 1 rokaat lagi. Namun, jika ia tidak mendapatkan 1 rokaatpun, maka ia menggenapkan menjadi total 4 rokaat.
Terhitung satu rokaat jika seseorang mendapatkan ruku’ bersama Imam

مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوْعَ , فَقَدْ أَْدْرَكَ الرَّكْعَة
Barangsiapa yang mendapati ruku’ maka ia telah mendapatkan rokaat (riwayat Abu Dawud).
Batasannya adalah ruku’ di rokaat terakhir. Jika seseorang mendapati ruku’ imam di rokaat terakhir pada sholat Jumat, ia tinggal menambah 1 rokaat lagi. Namun, jika pada rokaat terakhir ia mendapati Imam sudah I’tidal atau setelahnya, maka ia harus sholat 4 rokaat lagi.
(Lihat Penjelasan alLajnah adDaimah).
5. Bolehkah pelaksanaan sholat Jumat tidak di masjid?
Jawab:
Imam Malik berpendapat bahwa sholat Jumat harus dilakukan di masjid Jami’, sedangkan jumhurul Ulama’: Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa bangunan masjid bukanlah syarat ditegakkannya sholat Jumat. Artinya, sholat Jumat tidak harus dilakukan di masjid. Dalil yang dipakai Jumhurul Ulama’ tersebut di antaranya adalah atsar Umar bin al-Khottob:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ؛ أَنَّهُمْ كَتَبُوا إِلَى عُمَرَ يَسْأَلُونَهُ عَنِ الْجُمُعَةِ ؟ فَكَتَبَ : جَمِّعُوا حَيْثُمَا كُنْتُمْ
Dari Abu Hurairah bahwasanya mereka menulis surat kepada Umar bertanya tentang (pelaksanaan) sholat Jumat, maka Umar menulis: ‘Lakukanlah sholat Jumat di manapun kalian berada” (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya, Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad riwayat ini jayyid/baik).
Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa maksudnya lakukan sholat Jumat di manapun selama berada dalam lingkungan perkampungan/pemukiman, karena pada waktu itu mereka berada di Bahrain (Aunul Ma’bud juz 3 halaman 283).
Pendapat jumhur dan penjelasan Imam Asy-Syafi’i inilah yang benar. Sehingga, jika suatu tempat terkena bencana alam dan meruntuhkan bangunan masjidnya, maka seharusnya penduduk di wilayah tersebut yang masih selamat bisa melakukan sholat Jumat di areal sekitar puing-puing bangunan tersebut (meski sudah bukan berupa bangunan lagi).
Di sisi lain, tidak dibenarkan sholat Jumat yang dilakukan bukan di suatu perkampungan. Misal, sholat Jumat di atas kapal laut yang berlayar di tengah lautan, atau sholat Jumat di suatu hutan yang jauh dari pemukiman. Ini tidak dibenarkan. Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam sering melakukan safar bersama sejumlah Sahabat melintasi gurun pasir atau wilayah-wilayah yang jauh dari perkampungan, bertepatan dengan waktu Jumat beliau tidak melakukan sholat Jumat.
Tidak sepantasnya juga sholat Jumat dilakukan di tempat yang sebelumnya banyak digunakan untuk maksiat. Contoh, pelaksanaan sholat Jumat di aula kantor atau sekolah, yang aula tersebut digunakan untuk berbagai aktivitas, bahkan termasuk pergelaran musik, joget, dan semisalnya. Sholat Jumat tidak selayaknya dilakukan di tempat yang demikian.
6. Berapa batasan minimal jumlah jamaah sholat Jumat?
Jawab: Batasan minimal jumlah orang yang bisa melakukan sholat Jumat adalah 2 orang, sebagaimana sholat berjamaah yang lain. Telah disebutkan dalam hadits Thariq bin Syihab riwayat Abu Dawud bahwa sholat Jumat itu dilakukan harus berjamaah, sehingga persyaratan jumlah jamaahnya adalah 2 orang. Ini adalah pendapat Imam asy-Syaukani.
Dalilnya adalah hadits Thariq bin Syihab tersebut dan hadits:

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا يُصَلِّي مَعَهُ فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَانِ جَمَاعَةٌ
Dari Abu Umamah bahwa Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam melihat seseorang sholat (sendiri) kemudian Nabi bersabda: Adakah seseorang yang bershodaqoh pada orang tersebut sehingga sholat bersama laki-laki itu? Maka bangkitlah satu orang untuk sholat bersama laki-laki tersebut. Kemudian Nabi bersabda 2 orang ini adalah berjamaah” (H.R Ahmad)
7. Kapan waktu pelaksanaan sholat Jumat?
Jawab:
Jumhur Ulama’ (Imam Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i) berpendapat bahwa waktu sholat Jumat sama dengan sholat Dzhuhur

عَنْ أَنَسٍ رَضِى اللّهُ عَنْه قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يُصَلِّى الجُْمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْل الشَّمْسُ . رواه البخارى وأحمد وأبو داود والترمذى
Dari Anas radliyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam sholat Jumat pada saat matahari tergelincir (H.R al-Bukhari).
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa sholat Jumat boleh dilakukan sebelum tergelincirnya matahari (tengah hari) atau waktunya sama dengan pelaksanaan sholat Ied, berakhir waktunya bersamaan dengan berakhirnya waktu sholat Dzhuhur.
Dalil yang digunakan di antaranya adalah:
1) Nabi menyatakan bahwa Jumat adalah Ied juga bagi kaum muslimin.
2) Hadits Jabir riwayat Muslim:

عَنْ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَأَلَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ مَتَى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ قَالَ كَانَ يُصَلِّي ثُمَّ نَذْهَبُ إِلَى جِمَالِنَا فَنُرِيحُهَا زَادَ عَبْدُ اللَّهِ فِي حَدِيثِهِ حِينَ تَزُولُ الشَّمْسُ
Dari Ja’far dari ayahnya bahwa ia menanyakan kepada Jabir bin Abdillah kapan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melakukan sholat Jumat?Beliau berkata: Kami dulu sholat Jumat kemudian kembali ke tempat kami untuk istirahat. Ditambahkan oleh Abdullah dalam haditsnya (kembalinya itu) pada saat tergelincirnya matahari”(H.R Muslim).
3) Hadits Salamah bin al-Akwa’ riwayat Abu Dawud:

كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجُمُعَةَ ثُمَّ نَنْصَرِفُ وَلَيْسَ لِلْحِيطَانِ فَيْءٌ
Kami sholat Jumat bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam kemudian kemi pulang sedangkan dinding belum ada bayangannya (H.R Abu Dawud).
4) Hadits Abdullah bin Siidan as-Sulamy:

شَهِدْتُ الْجُمُعَةَ مَعَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ ، فَكَانَتْ خُطْبَتُهُ وَصَلاَتُهُ قَبْلَ نِصْفِ النَّهَارِ ، ثُمَّ شَهِدْنَا مَعَ عُمَرَ ، فَكَانَتْ خُطْبَتُهُ وَصَلاَتُهُ إِلَى أَنْ أَقُولَ : انْتَصَفَ النَّهَارُ ، ثُمَّ شَهِدْنَا مَعَ عُثْمَانَ ، فَكَانَتْ صَلاَتُهُ وَخُطْبَتُهُ إِلَى أَنْ أَقُولُ : زَالَ النَّهَارُ ، فَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا عَابَ ذَلِكَ ، وَلاَ أَنْكَرَهُ
Aku mengikuti sholat Jumat bersama Abu Bakar as-Shiddiq, pelaksanaan khutbah dan sholatnya dilakukan sebelum tengah hari, kemudian aku juga sholat bersama Umar, khutbah dan sholatnya berakhir pada tengah hari, kemudian aku pernah sholat bersama Usman, sholat dan khutbahnya sampai waktu zawal. Aku tidak pernah mendapati seseorang mencela atau mengingkari hal itu (H.R Ahmad, adDaruquthny, Ibnu Abi Syaibah).
Al-Lajnah ad-Daaimah berfatwa bahwa sebaiknya sholat Jumat dilakukan setelah lewat tergelincirnya matahari, karena demikianlah yang paling banyak dilakukan Nabi, namun jika suatu saat keadaan membutuhkan dilakukan beberapa menit sebelum tengah hari, maka yang demikian tidak mengapa.
8. Apakah mandi pada hari Jumat adalah kewajiban?
Jawab:
Mandi Jumat adalah amalan yang sangat ditekankan, namun tidak sampai pada taraf wajib. Sesuai dengan hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَدَنَا وَأَنْصَتَ وَاسْتَمَعَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ قَالَ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Dari Abu Hurairah beliau berkata Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang berwudlu’ pada hari Jumat kemudian membaguskan wudlu’nya, kemudian mendatangi pelaksanaan sholat Jumat, mendekati (khotib), diam dan menyimak khutbah dengan baik, maka akan diampuni (dosa) antara 2 Jumat ditambah 3 hari. Barangsiapa yang memainkan kerikil maka ia telah sia-sia (H.R Ahmad)

مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ (رواه الترمذي)
Barangsiapa yang berwudulu’ pada hari Jumat, maka itu baik. Barangsiapa mandi, maka mandi adalah lebih utama” (H.R atTirmidzi).
Hendaknya seseorang muslim bersemangat dan berupaya keras agar bisa melakukan mandi Jumat. Keutamaan mandi pada hari Jumat telah tercapai jika seseorang mandi setelah terbit fajar pada hari Jumat. Namun, pelaksanaan mandi menjelang sholat Jumat adalah lebih utama (disarikan dari Majmu’ Fatwa Syaikh Bin Baz)
9. Apakah hukum melakukan jual beli pada saat dikumandangkan adzan Jumat?
Jawab:
Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa pelaksanaan jual beli pada saat dikumandangkan adzan Jumat (naiknya khotib ke mimbar) adalah haram dan batil. Haram menyebabkan pelakunya berdosa, sedangkan batil artinya akad jual beli itu tidak sah, sehingga pembeli tidak memiliki hak milik terhadap barang yang dibeli waktu itu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian diseru (dikumandangkan adzan) untuk sholat Jumat maka bergegaslah menuju dzikir kepada Allah dan tinggalkan jual beli (Q.S al-Jum’ah:9).
Sebagian Ulama merinci bahwa larangan tersebut adalah jika salah satu pelaku (pembeli atau penjual) adalah orang yang wajib mendatangi sholat Jumat.
10. Apakah ada keutamaan berpagi-pagi mendatangi sholat Jumat? Bagaimana pembagian waktunya?
Jawab:

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ (متفق عليه)
Barangsiapa yang mandi janabah pada hari Jumat kemudian berangkat ke masjid maka seakan-akan ia berkurban unta, barangsiapa yang berangkat di waktu yang kedua seakan-akan berkurban sapi, barangsiapa yang berangkat di waktu yang ketiga seakan-akan berkurban kambing, barangsiapa yang berangkat di waktu yang ke empat seakan-akan berkurban ayam, barangsiapa yang berangkat di waktu yang kelima seakan-akan berkurban telur. Jika Imam keluar, malaikat hadir mendengarkan dzikir (khutbah)(Muttafaqun ‘alaih).
Pembagian waktu tersebut dimulai dengan terbitnya matahari di hari Jumat dan berakhir sampai Imam mulai naik mimbar. Rentang waktu tersebut dibagi dalam 5 bagian (penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’).
Sebagai contoh (untuk memudahkan pemahaman), jika pada suatu Jumat matahari terbit adalah jam 6 pagi (WIB) dan waktu Dzuhur bermula pada jam 12 siang (Imam naik ke atas mimbar), maka rentang waktu 6 jam tersebut dibagi 5 bagian. 6 jam = 6 x 60 menit =360 menit. Jika 360 menit dibagi 5, maka masing-masing waktu itu adalah 72 menit atau 1 jam lebih 12 menit. Sehingga pembagian waktu bagi orang yang mendatangi masjid dan menunggu imam di sana dengan aktivitas ibadah, kurang lebih sebagai berikut:
Waktu I (seperti berkurban unta) : 06.00 WIB – 07.12 WIB
Waktu II (seperti berkurban sapi) : 07.12 WIB- 08.24 WIB
Waktu III (seperti berkurban kambing) : 08.24 WIB – 09.36 WIB
Waktu IV (seperti berkurban ayam) : 09.36 WIB – 10.48 WIB
Waktu V (seperti berkurban telur) : 10.48 WIB – 12.00 WIB
Dijelaskan dalam riwayat lain bahwa jika Imam telah naik mimbar, maka seseorang tidak dapat keutamaan pahala berkurban tersebut karena catatan telah ditutup.
Wallaahu Ta’ala A’lam bisshowaab

baca selanjutnya “KAJIAN FIQH PEMBAHASAN SHOLAT JUMAT (BAG I.b)”

KAJIAN FIQH PEMBAHASAN SHOLAT JUMAT (BAG I.a.)

Oleh Ustadz Kharisman

1. Siapa saja yang wajib melakukan sholat Jumat?
Jawab:

الجمعةُ حق واجبٌ على كل مسلم في جماعة؛ إلا أربعة: عبد مملوك، أو امرأة، أو صبي، أو مريض (رواه أبو داود)
“Sholat Jumat wajib dilakukan setiap muslim secara berjamaah, kecuali 4 golongan: hamba sahaya, wanita, anak kecil, dan orang yang sakit “ (H.R Abu Dawud).
Hadits tersebut dinilai lemah oleh sebagian Ulama’ karena diriwayatkan oleh Thariq bin Syihab yang tidak pernah mendengar langsung dari Nabi. Namun, meski ia tidak pernah mendengar langsung dari Nabi, ia pernah melihat Nabi (sebagaimana dinyatakan Abu Dawud), sehingga termasuk kategori Sahabat (sebagaimana pendapat Ibnu Mandah dan Abu Nu’aim). Kalaupun hadits tersebut terhitung mursal, namun merupakan mursal shohaby yang bukan merupakan sisi kelemahan dalam hadits sebagaimana dijelaskan oleh Imam anNawawy. Beberapa Ulama’ yang menshahihkan hadits tersebut di antaranya adalah al-Hakim, adz-Dzahaby, al-Baihaqy, Ibnu Rojab (dalam Fathul Baari), Ibnu Katsir (dalam Irsyadul Faqiih) dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany. Bahkan al-Baihaqy menyatakan bahwa hadits ini memiliki jalur-jalur periwayatan lain yang menguatkannya, di antaranya hadits Jabir dan Tamim adDaari.
Selain 4 golongan tersebut, yang termasuk tidak wajib melakukan sholat Jumat adalah musafir. Sebagaimana Nabi ketika melakukan haji wada’ pada saat wukuf di Arafah bertepatan dengan hari Jumat beliau tidak sholat Jumat, namun sholat dzhuhur (hadits Jabir riwayat Muslim). Demikian juga tidak pernah ternukil dalam sebuah hadits bahwa Nabi pada saat safar melakukan sholat Jumat. Beliau juga tidak pernah memerintahkan para Sahabat yang safar untuk melakukan sholat Jumat.
Bisa disimpulkan bahwa golongan yang wajib melakukan sholat Jumat adalah:
a) Mukallaf dan berakal sehat.
Sholat Jumat tidak wajib bagi anak kecil yang belum baligh, ataupun orang gila, dan orang yang hilang kesadaran. Non muslim juga tidak diwajibkan melakukan sholat Jumat, dalam arti tidak akan ternilai sebagai ibadah. Namun, sikap mereka tidak sholat Jumat tersebut adalah bentuk dosa yang akan dibalas dengan adzab di akhirat.
b) Laki-laki.
Wanita tidak wajib sholat Jumat.
c) Sehat.
Orang yang sakit tidak wajib sholat Jumat.
d) Muqim.
Musafir tidak wajib melakukan sholat Jumat. Namun, jika ia singgah di suatu tempat (perkampungan/kota) dan sholat Jumat bersama orang-orang mukim tersebut, ia akan mendapatkan keutamaan sholat Jumat yang besar, dan ia tidak terbebani untuk sholat Dzhuhur lagi (Fatwa Syaikh bin Baz).
e) Merdeka.
Hamba sahaya (budak) tidak wajib melakukan sholat Jumat.
2. Apa ancaman bagi orang yang tidak melakukan sholat Jumat tanpa udzur?
Jawab:

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ (رواه الترمذي)
“Barangsiapa yang meninggalkan sholat Jumat 3 kali karena malas, maka Allah akan menutup hatinya” (H.R atTirmidzi).
Kita berlindung kepada Allah dari tertutupnya hati kita. Jika seseorang telah tertutp hatinya, maka nasehat-nasehat dan pelajaran dari alQuran dan hadits Nabi tidak akan berpengaruh padanya. Jadilah ia sebagai seorang munafiq. Wal-iyaadzu billaah!

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا هَلْ عَسَى أَحَدُكُمْ أَنْ يَتَّخِذَ الصُّبَّةَ مِنْ الْغَنَمِ عَلَى رَأْسِ مِيلٍ أَوْ مِيلَيْنِ فَيَتَعَذَّرَ عَلَيْهِ الْكَلَأُ فَيَرْتَفِعَ ثُمَّ تَجِيءُ الْجُمُعَةُ فَلَا يَجِيءُ وَلَا يَشْهَدُهَا وَتَجِيءُ الْجُمُعَةُ فَلَا يَشْهَدُهَا وَتَجِيءُ الْجُمُعَةُ فَلَا يَشْهَدُهَا حَتَّى يُطْبَعَ عَلَى قَلْبِهِ
Dari Abu Hurairah beliau berkata Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Bisa jadi ada seseorang yang membawa sekumpulan kambing sejauh jarak 1 atau 2 mil tidak mendapatkan padang gembalaan sehingga naik ke atas lagi kemudian datang waktu sholat Jumat dia tidak mendatanginya, datang Jumat berikutnya ia tidak mendatanginya, datang Jumat berikutnya ia tidak mendatanginya, sampai hatinya menjadi tertutup”(H.R Ibnu Majah dan al-Hakim).

وَسُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ رَجُلٍ يَصُومُ النَّهَارَ وَيَقُومُ اللَّيْلَ لَا يَشْهَدُ جُمْعَةً وَلَا جَمَاعَةً قَالَ هُوَ فِي النَّارِ
Dan Ibnu Abbas ditanya tentang seseorang yang (sering) berpuasa siang hari dan qiyamullail pada malam hari namun tidak menghadiri sholat Jumat dan sholat berjamaah (di masjid) 5 waktu, beliau menjawab: dia di anNaar (neraka)(riwayat atTirmidzi dan Ibnu Abi Syaibah).
3. Apa saja udzur syar’i yang membolehkan seseorang laki-laki meninggalkan sholat Jamaah 5 waktu dan sholat Jumat?
Jawab:
Para Ulama menjelaskan udzur-udzur syar’i yang membolehkan seseorang laki-laki meninggalkan sholat Jumat dan sholat berjamaah 5 waktu di masjid. Udzur-udzur tersebut di antaranya:
1. Sakit.
Sebagaimana Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam ketika sakit, beliau tidak sholat di masjid padahal rumah beliau berdampingan dengan masjid. Justru beliau memerintahkan agar Abu Bakar yang menjadi Imam sholat menggantikan beliau (sebagaimana riwayat alBukhari dan Muslim dari ‘Aisyah).
Namun, sangat perlu ditekankan di sini bahwa kadar sakitnya adalah sakit yang benar-benar menyusahkan seseorang untuk bisa mendatangi sholat berjamaah di masjid.
Dalam menentukan takaran apakah seseorang sakitnya sudah masuk kategori udzur atau belum, diperlukan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah dari orang yang bersangkutan agar ia tidak bermudah-mudahan. Demikianlah diterapkan pada poin-poin udzur yang lain, hendaknya kadarnya ditentukan secara adil (tidak terlalu ringan dan meremehkan, tidak pula sangat ketat dan berlebih-lebihan).
2. Menahan keluarnya sesuatu dari 2 jalan (qubul dan dubur)
Seperti seseorang yang menahan kencing, buang air besar, atau buang angin. Jika waktu sholat Jumat tiba dan dia sedang sangat berkebutuhan untuk keperluan tersebut sehingga harus antri di toilet atau semisalnya, jika terluput dari sholat Jumat, maka yang demikian termasuk udzur baginya. Karena Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak ada sholat pada saat makanan dihidangkan dan ketika menahan keluarnya (sesuatu) dari 2 jalan (qubul dan dubur)” (H.R Muslim)
3. Sudah terhidang makanan di hadapannya dan ia sangat lapar.
Dalilnya adalah hadits riwayat muslim yang disebutkan pada poin 2.
Jika memungkinkan baginya untuk mendahulukan makan kemudian mendatangi masjid, itulah yang diharapkan, namun jika tidak memungkinkan karena sempitnya waktu, maka hal itu termasuk udzur. Misal: Seseorang yang baru pulang dari safar dalam kondisi sangat lapar dan terasa pada dirinya tanda-tanda lapar yang sangat seperti keringat dingin, dada berdegub kencang, dan semisalnya. Sedangkan waktu pelaksanaan sholat Jumat sudah hampir berakhir. Maka, ia hendaknya mendahulukan makan. Jika memang ia terlewatkan dari sholat Jumat karena sebab itu, maka hal itu termasuk udzur. Dalam hadits juga dinyatakan:

إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَلَا تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
“Jika telah dihidangkan hidangan makan malam, mulailah dengan makan hidangan tersebut sebelum sholat maghrib dan janganlah tergesa-gesa dari makan malam kalian” (H.R alBukhari)
4. Hujan lebat
Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa hujan rintik-rintik sudah merupakan udzur (keringanan) untuk tidak mendatangi sholat berjamaah, sebagaimana hadits:

عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ قَالَ خَرَجْتُ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ فَلَمَّا رَجَعْتُ اسْتَفْتَحْتُ فَقَالَ أَبِي مَنْ هَذَا قَالَ أَبُو الْمَلِيحِ قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ وَأَصَابَتْنَا سَمَاءٌ لَمْ تَبُلَّ أَسَافِلَ نِعَالِنَا فَنَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
Dari Abul Malih beliau berkata: Aku pernah keluar (menuju masjid) pada malam yang hujan. Ketika aku kembali ke rumah, aku meminta dibukakan pintu. Kemudian ayahku bertanya (dari balik pintu): Siapa? Aku menjawab: ‘Abul Malih’. Kemudian ayahku berkata: Sungguh aku pernah bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Hudaibiyah kemudian kami ditimpa hujan yang tidak sampai membasahi bagian bawah sandal-sandal kami, kemudian berserulah muadzin Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam: ‘Sholatlah di tempat tinggal kalian’ (H.R Ibnu Majah, Ahmad)
Namun, jika seseorang tetap berusaha mendatangi masjid untuk mendapatkan keutamaan sholat Jumat, maka yang demikian lebih utama.
5. Angin kencang dan dingin sehingga menghalangi dari keluar rumah.
6. Mengkhawatirkan keselamatan dirinya (ketakutan yang mencekam)
Misal: berlindung dari kejaran penguasa yang dholim yang akan membunuhnya bukan secara haq, atau panik menyelamatkan diri karena adanya bencana alam.
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri pada kebinasaan(Q.S alBaqoroh:195).
7. Mengkhawatirkan hartanya yang berharga hilang atau rusak jika ditinggal pergi mendatangi sholat berjamaah.
8. Sedang dalam proses pencarian suatu kendaraan/ barang berharga (bernilai tinggi) yang sebelumnya hilang, dan teridentifikasi barang tersebut sedang berada di suatu tempat. Hal itu membutuhkan tindakan cepat untuk segera mendatangi tempat tersebut agar barangnya bisa ditemukan. Jika ia harus mendatangi masjid untuk sholat terlebih dahulu, maka peluang barang berharganya ditemukan sangat kecil.
9. Ia ditugasi bekerja untuk menjaga pengoperasian alat-alat berharga milik perusahaan yang jika ditinggal untuk mendatangi masjid pada saat itu bisa menyebabkan hilang atau rusaknya barang yang diamanahkan padanya.
Termasuk kategori ini adalah seseorang yang jam kerjanya bertepatan dengan sholat Jumat, sedangkan pekerjaan tersebut adalah pekerjaan penting yang memberikan maslahat bagi kaum muslimin, atau suatu pekerjaan tak tergantikan yang jika ditinggal saat itu bisa menimbulkan kerugian besar hilang/rusaknya barang berharga milik perusahaan yang mempekerjakannya.
Namun, semestinya hal tersebut tidak berlangsung terus menerus sehingga menyebabkan ia selalu meninggalkan sholat Jumat.
Jika pekerjaan tersebut sebenarnya bisa ditinggal tanpa dikhawatirkan ada mudharat, maka hak Allah adalah yang harus didahulukan, tetap wajib mendatangi sholat Jumat.
10. Menjaga dan merawat seorang yang sakit parah dan dikhawatirkan bisa meninggal atau semakin parah sakitnya jika ditinggal.
11. Kecapekan dan mengantuk yang amat sangat, jika ia sudah tidak bisa lagi mengerti bacaan apa yang sedang dibaca dalam sholat.

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَنَمْ حَتَّى يَعْلَمَ مَا يَقْرَأُ
Dari Anas dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: Jika salah seorang dari kalian ngantuk dalam sholat, hendaknya ia tidur (terlebih dahulu) sampai ia bisa mengerti apa yang dibacanya”(H.R alBukhari)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لَا يَدْرِي لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian mengantuk dalam keadaan ia sholat, hendaknya tidur sampai hilang perasaan kantuknya. Karena seorang jika sholat dalam keadaan mengantuk ia tidak mengetahui, pada saat bermaksud mohon ampun namun justru mencela dirinya sendiri “ (muttafaqun ‘alaih).
Syaikh Muhammad bin Sholih alUtsaimin menjelaskan bahwa seseorang yang sangat mengantuk dalam sholat bisa jadi ia berdoa meminta surga namun keliru berucap meminta neraka, bermaksud meminta hidayah, justru keliru berucap meminta kesesatan, dan semisalnya (Syarh Riyadis Sholihin juz 1 halaman 166).
12. Bersembunyi karena ditagih hutang pada saat ia benar-benar tidak memiliki sesuatu untuk dibayarkan, sedangkan penagihnya adalah orang yang akan menganiaya ataupun mencaci maki dan umpatan berlebihan yang menyebabkan ia tidak sanggup menahannya.
13. Imam membaca bacaan dalam sholat yang sangat panjang, sedangkan tidak ditemukan pengganti atau masjid lain untuk berpindah melakukan sholat.
Sebagaimana Nabi memberikan udzur kepada seorang Arab Badui yang bermakmum di belakang Muadz bin Jabal yang membaca surat alBaqoroh, kemudian orang tersebut memisahkan diri dari jamaah dan sholat sendirian (riwayat alBukhari dan Muslim).
14. Imam cepat sekali dalam sholatnya (tidak thuma’ninah), dan tidak ditemukan pengganti lain ataupun masjid yang lainnya.
Kadar minimum thuma’ninah adalah bisa membaca bacaan wajib dalam setiap gerakan minimal 1 kali. Seperti bacaan subhaana robbiyal adzhim 1 kali pada saat ruku’ dengan catatan, bacaan 1 kali tersebut dibaca pada saat posisi benar-benar sempurna telah ruku’, bukan pada saat gerakan perpindahan.
Poin-poin tentang udzur tersebut kami sarikan dari penjelasan Ibnu Muflih dalam al-Furu’ dan Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’. Udzur yang disebutkan tersebut ada yang memiliki dalil yang shohih dan shorih, ada pula yang merupakan istinbath (penggalian hukum) dari keumuman dalil yang ada serta kaidah bahwa syariat-syariat yang ada adalah penjagaan terhadap 5 hal utama (ad-Dharuriyaatul Khoms) dalam diri manusia yaitu: Dien, akal, jiwa, harta, dan kehormatan. Semua aturan-aturan syar’i yang ada adalah untuk menjaga lima hal utama tersebut. Demikian juga dalil-dalil umum tentang kemudahan yang diberikan Allah dan bahwa agama ini adalah mudah, serta perintah untuk bertaqwa kepada Allah semaksimal mungkin sesuai kemampuan.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kalian” (Q.S atTaghobun:16).
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian” (Q.S alBaqoroh:185).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
Dari Abu Hurairah dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang memberat-beratkan dalam beragama kecuali akan terkalahkan” (H.R alBukhari).

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian seperti keharaman hari ini di negeri ini pada bulan ini (H.R alBukhari dan Muslim).

baca selanjutnya “KAJIAN FIQH PEMBAHASAN SHOLAT JUMAT (BAG I.a.)”

Kamis, 19 Januari 2012

download gratis murottal alqur'an 30 juz lengkap : syaikh Abdulbasit Abdulsamad -Mujawwad




klik di sini untuk download Full Quran

 1- Al-Fatihah  2- Al-Baqarah  3- Al-Imran  4- An-Nisa'
74-Al-Muddaththir
baca selanjutnya “download gratis murottal alqur'an 30 juz lengkap : syaikh Abdulbasit Abdulsamad -Mujawwad”

Selasa, 17 Januari 2012

Meraih Pahala yang tak Terbatas dengan Sabar

Oleh: Abu Umar Al Bankawy

Sabar adalah salah satu karakteristik yang wajib dimiliki oleh seorang muslim. Di dalam Al Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk bersabar. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Ali Imran: 200)
Apa itu sabar? Apa saja keutamaan sabar? Bagaimana pula cara agar bisa bersabar ketika mendapatkan musibah? Secara bahasa, makna sabar adalah menahan. Adapun secara syar’i, sabar bermakna menahan diri dalam tiga perkara:
1. Ketika menjalankan ketaatan kepada Allah.
Seseorangnya hendaknya bersabar, sampai dia menunaikan apa yang Allah ta’ala perintahkan.
2. Dari bermaksiat kepada Allah
Yaitu dengan tidak mengerjakan segala sesuatu yang Allah larang serta menjauhinya.
3. Ketika menghadapi musibah yang Allah takdirkan
Yaitu dengan menahan diri untuk tidak murka atau menggerutu terhadap musibah yang menimpa baik dengan lisan, maupun dengan perbuatan.

Keutamaan Sifat Sabar

Sabar memiliki banyak keutamaan yang telah Allah ta’ala kabarkan di dalam Al Qur’an dan demikian juga di dalam sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara keutamaan tersebut adalah:
1. Berita gembira berupa pahala yang tak terbatas bagi orang-orang penyabar.
Di dalam Al Qur’an, Allah ta’ala berfirman :
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu akan dipenuhi pahala mereka dengan tiada hitungannya.” (Az Zumar: 10)
Allah juga berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Sesungguhnya Kami akan memberikan cobaan sedikit kepadamu semua seperti ketakutan, ketaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, kemudian sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al Baqarah: 155)
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata di dalam tafsir beliau,
“Barang siapa yang Allah beri taufiq untuk bersabar ketika terjadinya musibah-musibah ini maka dia pun menahan dirinya dari kemurkaan baik dalam ucapan maupun perbuatan, dan dia pun mengharapkan pahala dari sisi Allah. Dia pun mengetahui pahala yang dia peroleh lebih besar daripada musibah yang menimpanya, bahkan musibah tersebut telah menjadi sebuah kenikmatan baginya, karena musibah ini adalah telah menjadi jalan baginya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dan lebih bermanfaat baginya. Sesungguhnya orang yang bersabar telah menunaikan apa yang menjadi perintah Allah dan telah sukses meraih pahala. Oleh karena itu Allah lalu berfirman,
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Kemudian sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Yaitu sampaikanlah berita gembira bahwa mereka telah memperoleh pahala yang tak terbatas (atas kesabaran mereka).”
2. Surga bagi orang yang bersabar .
Allah berfirman ;
إِنِّي جَزَيْتُهُمُ الْيَوْمَ بِمَا صَبَرُوا أَنَّهُمْ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang.” (Al Mu’minum: 111)
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ الله – عز وجل – ، قَالَ : إِذَا ابْتَلَيْتُ عبدي بحَبيبتَيه فَصَبرَ عَوَّضتُهُ مِنْهُمَا الجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla berfirman: “Apabila Aku memberi cobaan kepada hambaKu dengan melenyapkan kedua perkara yang dia cintai (yakni kedua matanya), kemudian ia bersabar, maka untuknya akan Kuberi ganti surga karena kehilangan keduanya.” (HR. Al Bukhari)
3. Sabar adalah sebab pertolongan
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan mengerjakan shalat sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al Baqarah: 153)
Kesabaran adalah sebab pertolongan terbesar dalam setiap perkara. Sesorang akan dapat meraih segala sesuatu asal dia bersabar. Dia dapat menjalankan ketaatan yang Allah perintahkan dengan tanpa beban, dan demikian pula dia bisa meninggalkan segala sesuatu yang Allah larang walaupun hal tersebut sangat menggoda hawa nafsunya. Dia tidak akan dapat melakukan ini semua tanpa kesabaran.
4. Sabar adalah Tanda Keimanan
Di dalam hadits yang diriwayatkan sahabat Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَجَباً لأمْرِ المُؤمنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خيرٌ ولَيسَ ذلِكَ لأَحَدٍ إلاَّ للمُؤْمِن : إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكانَ خَيراً لَهُ ، وإنْ أصَابَتْهُ ضرَاءُ صَبَرَ فَكانَ خَيْراً لَهُ
“Amat menakjubkan keadaan orang mu’min itu, sesungguhnya semua keadaannya itu adalah merupakan kebaikan baginya dan kebaikan yang sedemikian itu tidak akan ada lagi seorangpun melainkan hanya untuk orang mu’min itu belaka. Apabila ia mendapatkan kelapangan hidup, iapun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan baginya. Apabila ia ditimpa musibah, maka iapun bersabar dan hal inipun adalah merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Bagaimana Agar Bisa Bersabar Ketika Mendapatkan Musibah Termasuk pembahasan penting yang berkaitan dengan kesabaran adalah bagaimana caranya agar kita bisa bersabar ketika Allah timpakan musibah kepada diri kita. Beberapa perkara yang perlu dilakukan ketika ditimpa musibah adalah:
1. Menyadari bahwa semuanya telah ditakdirkan oleh Allah
Di dalam hadits dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ أحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ في بَطْنِ أُمِّهِ أربَعِينَ يَوماً نُطْفَةً ، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلِكَ ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذلِكَ ، ثُمَّ يُرْسَلُ المَلَكُ ، فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ ، وَيُؤْمَرُ بِأرْبَعِ كَلِمَاتٍ : بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ
“Sesungguhnya setiap orang diantara kamu dikumpulkan kejadiannya di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqoh(segumpal darah) selama waktu itu juga (empat puluh hari), kemudian menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama waktu itu juga, lalu diutuslah seorang malaikat kepadanya, lalu malaikat itu meniupkan ruh padanya dan ia diperintahkan menulis empat kalimat: Menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan nasib celakanya atau keberuntungannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Apabila seseorang memahami betul bahwa musibah yang menimpa adalah takdir yang telah Allah atur, maka akan lapanglah dadanya, dan terhindarlah dia dari kesedihan dan beban.
2. Mengoreksi Dosa-dosa yang telah dilakukan Salah satu perkara yang bisa membuat kita bersabar adalah mengoreksi dosa-dosa yang pernah kita perbuat. karena sesungguhnya musibah yang kita alami adalah buah perbuatan kita sendiri.
sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy Syura: 30)
Dengan mengoreksi dosa-dosa, seseorang akan tersibukkan untuk bertaubat dan beristighfar, memohon ampunan kepada Allah. Ini semua akan melahirkan kesabaran pada dirinya.
<3. Mengingat-ingat pahala yang Allah janjikan.
bagi orang yang bersabar Hendaknya ketika ditimpa musibah dia mengulang-ngulang firman Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu akan dipenuhi pahala mereka dengan tiada hitungannya.” (Az Zumar: 10)
Ini agar dia menyadari bahwa kesabarannya dalam menghadapi musibah akan diganjar kelak oleh Allah subhanahu wata’ala tanpa batas. Demikianlah sedikit pembahasan tentang sabar. Insya Allah pada kesempatan yang akan datang kita akan membahas tentang “kejujuran”, salah satu akhlaq mulia yang diajarkan dalam agama kita.
Wallahu ta’ala a’lam.
Referensi: – Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin – Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di

sumber : http://www.salafy.or.id/2012/01/17/merengkuh-pahala-yang-tak-terbatas-dengan-sabar/
baca selanjutnya “Meraih Pahala yang tak Terbatas dengan Sabar”

Minggu, 15 Januari 2012

PRINSIP-PRINSIP DAKWAH AHLUS SUNNAH WAL JAMÂ’AH / DAKWAH AS-SALAFIYYAH (I)

Oleh : Fadhîlatusy Syaikh Al-‘Allâmah Shâlih bin Fauzân Al-Fauzân
-hafizhahullah-
Alhamdulillâh, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Yang telah memerintahkan kita untuk mengikuti Rasul-Nya dan berdakwah di jalan-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabat beliau, serta orang-orang mengikuti mereka dengan ihsân (baik) hingga Hari Pembalasan.
Sesungguh dakwah kepada (agama) Allah merupakan jalan Rasulullah  dan para pengikut beliau, sebagaimana firman Allah :
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah (wahai Muhammad) inilah jalanku, (yaitu) saya berdakwah ke jalan Allah di atas Bashîrah, (ini adalah jalan)ku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk kaum musyrikin.” [Yûsuf : 108]
Bahkan dakwah merupakan misi utama para rasul dan para pengikut mereka semuanya. Dalam rangka mengeluarkan manusia dari berbagai kegelapan kepada cahaya, dari kekufuran kepada iman, dari syirik kepada tauhid, dan dari neraka kepada al-jannah.
Dakwah tersebut harus ditegakkan di atas pokok-pokok dan dibangun di atas prinsip-prinsip yang tidak bisa lepas darinya. Apabila hilang salah satu dari prinsip-prinsip tersebut maka dakwah menjadi tidak shahîh, dan tidak akan membuahkan hasil yang diharapkan, meskipun berbagai upaya telah dikerahkan dan segenap waktu telah dikorbankan. Sebagaimana hal ini dapat disaksikan dan telah dialami oleh banyak dakwah-dakwah masa ini, yang tidak ditegakkan di atas pokok-pokok tersebut dan tidak dibangun di atas prinsip-prinsip tersebut.
Pokok-pokok dan prinsip-prinsip yang harus ditegakkan di atasnya dakwah yang benar, adalah sebagaimana ditunjukkan Al-Qur`ân dan As-Sunnah, yaitu secara ringkas sebagai berikut :
1. Ilmu, (yaitu) ilmu tentang apa yang akan didakwahkan. Maka seorang yang jahil (bodoh) tidak layak untuk menjadi da’i.
Allah  berfirman kepada Nabi-Nya :
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah (wahai Muhammad) inilah jalanku, (yaitu) saya berdakwah ke jalan Allah di atas Bashîrah, (ini adalah jalan)ku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk kaum musyrikin.” [Yûsuf : 108]
Al-Bashîrah yang dimaksud pada ayat tersebut adalah ilmu. Karena seorang da’i pasti akan berhadapan dengan para ‘ulama sesat, dihadapkan padanya berbagai syubhat, dan akan didebat dengan kebatilan untuk menghancurkan al-haq. Allah  berfirman :
“Berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” [An-Nahl : 108]
Rasulullah  bersabda kepada Mu’âdz : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab.” Apabila seorang da’i tidak bersenjatakan ilmu, yang dengannya dia bisa menghadapi berbagai syubhat dan mematahkan hujjah-hujjah lawan, maka dia akan kalah sejak pertama kali bertemu musuh dan akan berhenti di permulaan jalan.
2. Amal, (yaitu) mengamalkan apa yang ia dakwahkan. Sehingga ia menjadi qudwah hasanah (teladan yang baik), perbuatannya selaras dengan ucapannya, dan tidak ada celah bagi ahlul batil atasnya (untuk menjatuhkannya).
Allah  berfirman kepada Nabi-Nya Syu’aib , bahwa beliau berkata kepada kaumnya :
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَىٰ مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ ۚ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ
“Dan aku tidak bermaksud menyalahi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) kebaikan semampuku.” [Hûd : 88]
Allah  juga berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad  :
“Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku untuk Allah Rabbul ‘Alamin. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan itu aku diperintah dan aku termasuk muslim yang pertama.”
Allah juga berfirman :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Siapakah yang lebih baik ucapannya dibandingkan orang yang berdakwah ke jalan Allah dan beramal shalih?” [Fush-shilat : 33]
3. Al-Ikhlâsh, yaitu dakwah dilakukan karena mengharap wajah Allah . Tidak dimaksudkan karena riya`, tidak karena sum’ah, tidak karena mencari kedudukan yang tinggi, tidak karena kepemimpinan, tidak pula karena ambisi-ambisi duniawi. Apabila dakwah terkotori oleh perkara-perkara tersebut, maka tidak lagi menjadi dakwah ilallâh (ke jalan Allah), namun menjadi dakwah kepada dirinya sendiri atau untuk memenuhi maksud dan tujuannya. Sebagaimana Allah  memberitakan tentang para nabi-Nya, bahwa mereka berkata kepada kaumnya :
يَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا
“Wahai kaumku, aku tidak meminta kepada kalian atas dakwahku ini upah/bayaran.” [Hûd : 51]
وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا
“Wahai kaumku, aku tidak meminta kepada kalian atas dakwahku ini harta.” [Hûd : 29]
4. Memulai dari permasalahan terpenting kemudian yang penting. Yaitu dakwah pertama kali adalah untuk memperbaiki aqidah, dengan memerintahkan untuk ikhlash (memurnikan) ibadah hanya kepada Allah dan melarang dari kesyirikan. Kemudian setelah itu memerintahkan untuk menegakkan shalat, membayar zakat, dan mengerjakan kewajiban-kewajiban serta menjauhi larangan-larangan. Sebagaimana yang demikian itu merupakan tharîqah (metode) para rasul semuanya. Hal ini sebagaimana firman Allah :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sesungguhnya telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul (tugas utamanya adalah menyeru) bahwa ‘beribadahlah kalian hanya kepada Allah dan jauhilah oleh kalian thâghût’.” [An-Nahl : 36]
Allah  juga berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecual Aku, maka beribadahlah kalian semua hanya kepada-Ku.” [Al-Anbiyâ` : 25]
Ketika Rasulullah  mengutus Mu’âdz bin Jabal ke negeri Yaman, beliau berpesan kepadanya : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab. Maka jadikanlah pertama kali yang engkau dakwahkan adalah syahâdah lâilâha illallâh. Apabila mereka telah melaksanakannya, maka ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat 5 waktu dalam sehari semalam. … ”
Dalam tharîqah dan sejarah dakwah Rasulullah  terdapat contoh / teladan terbaik dan manhaj yang sempurna. Yaitu ketika beliau  tinggal di Makkah selama 13 tahun, menyeru umat manusia kepada tauhid dan mencegah mereka dari syirik, sebelum memerintahkan mereka untuk shalat, zakat, shaum, haji; dan sebelum melarang mereka dari riba, zina, mencuri, dan membunuh jiwa tanpa haq.
5. Sabar atas segala resiko yang didapat di jalan dakwah kepada (agama) Allah. Baik berupa kesulitan maupun gangguan manusia. Karena jalan dakwah bukan jalan yang terbentang penuh bunga, namun jalan tersebut diliputi dengan kesulitan dan penuh resiko. Sebaik-baik teladan dalam hal ini adalah para rasul shalawâtullâh wa salâmuhu ‘alahi, ketika mereka harus menghadapi berbagai gangguan dan ejekan kaumnya.
وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّن قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
“Dan sungguh telah diejek beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka itu balasan (azdab) atas ejekan yang mereka lakukan.” [Al-An’âm : 10]
Allah juga berfirman :
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّىٰ أَتَاهُمْ نَصْرُنَا ۚ
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka.” [Al-An’âm : 34]
Demikian juga para pengikut rasul mereka juga akan mendapatkan gangguan dan rintangan sesuai dengan tingkat turut andilnya dalam dakwah ilallâh, dalam rangka mencontoh para rasul yang mulia tersebut –‘alaihim minallâh afdhalushalawât wa azkas salâm –

sumber :  http://www.salafy.or.id/2012/01/13/prinsip-prinsip-dakwah-ahlus-sunnah-wal-jamaah-dakwah-as-salafiyyah/
baca selanjutnya “PRINSIP-PRINSIP DAKWAH AHLUS SUNNAH WAL JAMÂ’AH / DAKWAH AS-SALAFIYYAH (I)”