Oleh: Abu Umar Al Bankawy
Apabila berbicara tentang akhlaq, banyak orang yang keliru membatasi akhlaq hanya pada muamalah, hubungan antar sesama manusia belaka. Pemahaman yang seperti ini adalah pemahaman yang sempit dan kurang tepat, karena di luar itu masih ada akhlaq yang jauh lebih penting yaitu akhlaq kepada sang Khaliq atau akhlaq kita kepada Allah Sang Pencipta.
Para ulama menjelaskan bahwa berakhlaq baik kepada Sang Khaliq berputar pada tiga perkara:
- Membenarkan berita yang datang dari Allah subhanahu wata’ala
- Menerima hukum-hukum yang Allah tetapkan dengan mengamalkannya
- Menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha
Selanjutnya kita akan jelaskan lebih detil lagi tentang tiga perkara ini.
Pertama: Membenarkan berita yang datang dari Allah subhanahu wata’ala
Maksudnya adalah seseorang tidak boleh ragu dan bimbang dalam membenarkan berita yang datang dari Allah, karena berita dari Allah bersumber dari ilmu Allah yang paling benar perkataannya.
Allah ta’ala berfirman:
مَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا
“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (An Nisa: 87)
Maka wajib membenarkan berita dari Allah dengan mempercayainya, membelanya, berjihad di jalan Allah dengannya, di mana dia tidak dimasuki oleh keraguan dan kerancuan tentang kebenaran Al Qur’an dan As Sunnah.
Apabila seseorang sudah memiliki akhlaq seperti ini maka dia pun bisa menolak setiap syubhat, kerancuan yang dibawa oleh orang-orang inkarul hadits (orang-orang yang menentang hadits, tidak mau menerima hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam). Demikian juga dia bisa menolak setiap syubhat yang dibawa oleh para pelaku kebid’ahan yang menambah-nambahi ajaran agama dengan apa yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan demikian juga dia bisa menolak semua syubhat orang-orang kafir yang membenci kaum muslimin.
Kita ambil contoh hadits “Lalat” yang diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
“Jika seekor lalat jatuh dalam minuman salah seorang dari kalian, maka hendaklah ia celupkan lalat itu ke dalam minuman, lalu setelah itu hendaknya ia membuang lalat itu, karena sesungguhnya di dalam salah satu sayapnya terdapat penyakit, dan di sayap lainnya terdapat obat.” (HR. Al Bukhari, 5782)
Ini adalah berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara-perkara yang ghaib, Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan dari hawa nafsunya, tetapi yang beliau ucapkan adalah wahyu Allah. Ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia, sedangkan manusia tidak mengetahui hal-hal yang ghaib, bahkan Allah berfirman kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
قُلْ لا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَّ
“Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (Al An’am: 50)
Berita, hadits tentang lalat ini wajib untuk kita terima dengan akhak yang baik. Dan berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerimanya serta menetapkan bahwa hadits yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar, walau pun orang-orang menentangnya
Demikian pula kita yakin dengan seyakin-yakinnya, bahwa pendapat yang menyelisihi hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam adalah pendapat yang keliru dan batil, hal ini karena Allah berfirman :
فَذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
“Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus: 32)
Kedua: Menerima hukum-hukum yang Allah tetapkan dengan mengamalkannya
Tidaklah sepantasnya bagi seseorang untuk menolak hukum Allah. Apabila seseorang menolak hukum Allah maka apa yang dia lakukan adalah bentuk akhlak buruk kepada Allah. Sama saja penolakan itu dalam bentuk pengingkaran, atau sombong tidak mau mengamalkan, menolak atau menyepelekan pengamalannya. Ini semua merupakan akhlaq yang jelek kepada Allah subhanahu wata’ala.
Kita ambil contoh syariat puasa. Tidak diragukan lagi bahwa puasa adalah amalan yang berat bagi jiwa kita. Ketika berpuasa kita meninggalkan perkara-perkara yang kita sukai seperti makanan, minuman, dan jima’. Ini adalah suatu perkara yang berat.
Akan bagi seorang mu’min, ia akan berakhlak baik kepada Allah dengan menerima beban syariat ini, atau dengan kata lain dia akan menerima kemuliaan ini. Karena hakikatnya syariat puasa ini adalah nikmat dari Allah. Maka seorang mu’min akan menerima pensyariatan ini dengan lapang dada dan ketenangan.
Kita akan mendapati orang-orang yang beriman berpuasa pada siang hari yang panas sedangkan ia dalam keadaan ridha, lapang dada, karena ia berakhlak baik kepada Penciptanya. Sebaliknya orang yang berakhlak buruk kepada Allah akan menerima ibadah seperti ini dengan keluh kesah serta kebencian. Dia pun berpuasa dengan penuh keterpaksaan, atau bahkan tidak berpuasa sama sekali.
Ketiga: Menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha
Kita semua telah mengetahui bahwa takdir-takdir Allah yang menimpa mahluk-Nya tidak semua sesuai dengan keinginan si hamba. Ada sesuai dengan keinginan kita, adapula yang bertentangan dengan keinginan kita.
Misalnya sakit, keadaan seperti ini bukan keinginan kita. Semua manusia tentu ingin sehat.Contoh yang lainnya misalnya kemiskinan. Ini juga bukan keinginan kita. Setiap manusia pasti ingin hidup kaya atau berkecukupan.
Akan tetapi takdir Allah dengan hikmah-Nya bermacam-macam, sebagian ada yang disukai manusia dan ia pun berlapang dada dengan takdir tersebut. Dan sebagian lagi tidak disukai manusia.
Maka akhlak yang baik kepada Allah berkenaan dengan takdir-takdir-Nya adalah dengan ridha dengan apa yang Allah takdirkan. Merasa tenang dan lapang dengan takdir tersebut serta hendaknya kita menyadari bahwa tidaklah Allah menakdirkan bagi kita seseuatu melainkan karena hikmah dan tujuan yang terpuji serta patut kita syukuri.
Jadi inti dari akhlak baik kepada Allah dalam perkara takdir adalah ridha, dalam bahasa jawa sering dikenal “nrimo” atau berserah diri, dan merasa tenang dengan takdir-takdir Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu Allah ta’ala memuji orang-orang yang bersabar di dalam firman-Nya:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦)
“Berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (Al Baqarah: 155-156)
Demikianlah sedikit pembahasan tentang bagaimana akhlaq kita kepada sang khalik, insya Allah di tulisan yang lain, kita akan membahas bagaimana akhlaq kita kepada sesama manusia. Wallahu ta’ala a’lam, semoga shalawat serta salam tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (bersambung)
Referensi:
- Makaarimul Akhlaq karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
0 komentar:
Posting Komentar