Senin, 29 Agustus 2011

download al-qur'an murottal 30 juz : syaikh muhammad siddiq al-minshawi - mujawwad

To download:  Right-click ---> Save Target As/Save Link As
Click here to download Full Quran
 1- Al-Fatihah  2- Al-Baqarah  3- Al-Imran  4- An-Nisa'
74-Al-Muddaththir
www.tvquran.com
baca selanjutnya “download al-qur'an murottal 30 juz : syaikh muhammad siddiq al-minshawi - mujawwad”

Rabu, 24 Agustus 2011

download video markiz darul hadits al fuyusy aden yaman

baca selanjutnya “download video markiz darul hadits al fuyusy aden yaman”

download fatwa ulama tentang mendirikan yayasan da'wah

Memperjelas masalah Jumi’iyyah, berikut fatwa Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-’Abbad dan Asy-Syaikh Zaid bin Hadi Al-Madkhali hafizhahumallah . Semoga bisa memberikan bimbingan kepada Salafiyyin di negeri ini tentang masalah Jumi’iyyah dan Yayasan.
Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-’Abbad  hafizhahullah  pada 23 Dzulaqa’dah 1432 H kemarin, ditanya sebagai berikut :
Pertanyaan : Apakah boleh mendirikan Jum’iyyah (Lembaga Sosial) dengan tujuan (menegakkan) dakwah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman Salafush Shalih. Jum’iyyah tersebut memiliki pimpinan /ketua dan anggota. Sementara kenyataan yang ada bahwa Ahlus Sunnah tidak diperbolehkan mengadakan durus dan muhadharat di masjid-masjid, kecuali bagi siapa yang mau mencocoki hawa nafsu mereka (yakni para musuh sunnah).
Jawab :
Apabila di suatu negeri terdapat Jum’iyyat (Lembaga-lembaga Sosial) yang menyelisihi Sunnah, lalu Ahlus Sunnah hendak mendirikan Jum’iyyah  yang dengan sebabnya memberikan pengaruh kepada umat manusia, dan mereka menegakkan Dakwah ke Jalan (agama) Allah ‘Azza wa Jalla, maka yang demikian adalah perkara yang dituntut, tidak mengapa, ini hal yang bagus. Jangan beri kesempatan orang-orang yang jauh dari sunnah bergembira dan senang, namun Ahlus Sunnah memberi peringatan umat manusia (dari bahaya mereka).
Maka Ahlus Sunnah apabila memilki lembaga, jika memang di negeri tersebut banyak lembaga-lembaga tidak selamat, di dalamnya ada orang-orang yang dekat dengan kebenaran adapula yang jauh dari kebenaran, dan Ahlus Sunnah ingin memiliki jum’iyyah untuk (tujuan) berdakwah kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah  serta berjalan di atas paham salaful ummah, maka yang demikian merupakan perkara yang dituntut.

Teks aslinya :
السؤال:
هل يجوز تأسيس جمعية هدفها الدعوة إلى الكتاب والسنة على فهم السلف الصالح، هذه الجمعية لها رئيس وأعضاء مع العلم بأنه لا يسمح لأهل السنة إقامة الدروس والمحاضرات في المساجد إلا لمن يوافق أهواءهم
الجواب:
إذا كان بلد فيه جمعيات مخالفة للسنة وأراد أهل السنة أن يكونوا جمعية يعني يقومون بسببها بالنفوذ إلى الناس وأنهم يقومون بالدعوة إلى الله عز وجل فإن هذا شيء مطلوب لا بأس هذا شيء طيب ، يعني يترك المجال للبعيدين عن السنة يعني يسرحون ويمرحون وينذرون الناس يعني أهل السنة كونهم يكونون لهم جماعة مادام البلد فيه جماعات يعني غير سليمة وفيها القريب من الحق والبعيد عنه وأولئك يريدون أن يكونوا جمعية للدعوة إلى الكتاب والسنة والسير على ماكان عليه سلف الامة هذا أمر مطلوب.
Asy-Syaikh Zaid bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah
“Semoga Allah memberi kebaikan kepadamu, ada penanya dari Amerika berkata: Apakah termasuk manhaj salaf mendirikan Jum’iyyat (Lembaga-Lembaga Sosial/Yayasan)?”
 Beliau menjawab:
Jum’iyyat di negeri-negeri Islam, boleh didirikan jika mendatangkan maslahat dunia dan Agama, namun harus dengan syarat-syarat yang dibolehkan islam, dan bukan maksud dari Jum’iyyat adanya tujuan-tujuan yang buruk yang memudaratkan Islam dan kaum muslimin. Seperti yang dilakukan oleh kaum khawarij, mereka menjadikan Jum’iyyat untuk mengumpulkan harta dan menjadikannya sebagai sarana untuk membunuh kaum muslimin dan muslimat, merusak berbagai kepentingan, dan keluar dari ketaatan pada penguasa.
Maka jum’iyyat  itu sah, namun dilihat pada tujuannya, jika tujuannya baik dan yang mengurusinya jika orang-orang yang baik, …. , [1] memiliki niat yang baik, maka ini merupakan amalan yang baik dan amalan yang shahih. Namun jika tujuannya buruk, dan yang mengurusnya dari kalangan para pengacau dan yang menyelisihi Aqidah islam dan muslimin maka tidak ada kebaikan pada jum’iyyat tersebut dan tidak ada kebaikan pada para pengurusnya.”
Teks aslinya :
أحسن الله إليكم، سائل من أمريكا يقول :
هل من منهج أهل السلف تأسيس الجمعيات ؟
الجواب:
الشيخ زيد بن هادي المدخلي:
الجمعيات في الدولة المسلمة، يجوز تأسيسها للمصالح، الدينية والدنيوية؛ ولكن يجب أن تكون منضبط بشروط يقرها الإسلام، ولا يكون الغرض من الجمعيات أهداف سيئة فتصبح على الإسلام والمسلمين
كمثل ما فعل الخوارج جعلوا الجمعيات وجعلوا الأموال وأستعانوا بها على قتل المسلمين والمسلمات وتخريب المنشأت وشق عصى الطاعة .
فالجمعيات يصح ولكن ينظر إلى أهدافها، فإن كانت أهدافها صالحة ومن قاموا بها صالحين … نواي حسن، فهذا عمل مبرور وعمل صحيح
وإن كانت أهداف سيئة ومن قاموا عليها من أهل الشغب وأهل مخالفة لمن عقيدة الإسلام والمسلمين فلا خير فيها و لا خير فيهم، نعم .

baca selanjutnya “download fatwa ulama tentang mendirikan yayasan da'wah”

Senin, 22 Agustus 2011

download al-qur'an murottal 30 juz : syaikh abdulloh bin awwad al juhany

To download:  Right-click ---> Save Target As/Save Link As
Click here to download Full Quran
 1- Al-Fatihah  2- Al-Baqarah  3- Al-Imran  4- An-Nisa'
74-Al-Muddaththir
www.tvquran.com
baca selanjutnya “download al-qur'an murottal 30 juz : syaikh abdulloh bin awwad al juhany”

Hukum dalam puasa Sunnah 6 hari bulan Syawal

Penulis: Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts wal Ifta'

Dalil-dalil tentang Puasa Syawal

Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup'." [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]

Hukum Puasa Syawal

Hukumnya adalah sunnah: "Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi'i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/389]

Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:
1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.
"Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah 'Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. ... dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
"Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud." [Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab]

Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: 'Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS Thoha: 84]

2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan

"Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu."

[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392]

Tanya : Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal padahal punya qadla(mengganti) Ramadhan ?

Jawab : Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun."

Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)


Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?

Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun" [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya) : "..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)" [Thaha : 84]

Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit"

Tidak disyari'atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.

Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal enam hari

Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?

Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) : "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun"
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : "Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan"

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.

Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?

Jawaban
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.

Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami

Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?

Jawaban
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya" dalam riwayat lain disebutkan : "kecuali puasa Ramadhan"
Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari 'Arafah, puasa 'Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.

(Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)

Sumber :
- www.salafy.or.id
- http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=928
baca selanjutnya “Hukum dalam puasa Sunnah 6 hari bulan Syawal”

Ucapan Selamat Pada Hari Raya

Penulis: Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi

بسم الله الرحمن الرحيم

التهنئة يوم العيد



لا أعرف في ذلك شيئا عن السلف إلا أن يكون مبادلة للتهنئة بالتهنئة. وكان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يتبادلون التهاني يأخذ بعضهم بيد بعض ويهني بعضهم بعضا. وقد ذكر ذلك ابن قدامة في المغني 3/294-295 :

"قال أحمد‏,‏ -رحمه الله-‏:‏ ولا بأس أن يقول الرجل للرجل ‏:‏ يوم العيد‏:‏ تقبل الله منا ومنك, وقال حرب‏:‏ سئل أحمد عن قول الناس في العيدين تقبل الله منا ومنكم قال‏:‏ لا بأس به, يرويه أهل الشام عن أبي أمامة قيل‏:‏ واثلة بن الأسقع‏؟‏ قال‏:‏ نعم, قيل‏:‏ فلا تكره أن يقال هذا يوم العيد قال‏:‏ لا, وذكر ابن عقيل في تهنئة العيد أحاديث منها‏,‏ أن محمد بن زياد قال‏:‏ كنت مع أبي أمامة الباهلى وغيره من أصحاب النبي - صلى الله عليه وسلم- فكانوا إذا رجعوا من العيد يقول بعضهم لبعض تقبل الله منا ومنك, وقال أحمد‏:‏ إسناد حديث أبي أمامة إسناد جيد وقال علي بن ثابت‏:‏ سألت مالك بن أنس منذ خمس وثلاثين سنة وقال‏:‏ لم نزل نعرف هذا بالمدينة, وروي عن أحمد أنه قال‏:‏ لا أبتدى به أحدا‏,‏ وإن قاله أحد رددته عليه"‏.‏

وبالله التوفيق.



أملى هذه الفتوى

فضيلة الشيخ أحمد بن يحيى النجمي



بسم الله الرحمن الرحيم

Ucapan Selamat Pada Hari Raya



Syaikh kami Mufti KSA bagian selatan Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah berkata :





“Saya tidak mengetahui tentang hal tersebut dari salaf sedikit-pun selain dalam rangka saling mengucapkan selamat. Dahulu para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saling mengucapkan selamat. Sebagian mereka menggandeng tangan sebagian lainnya dan saling mengucapkan selamat. Ibnu Qudamah menyebutkan hal tersebut dalam Al Mughni 3/294-295 :

“Ahmad rahimahullah berkata : “Tidak mengapa seseorang mengucapkan taqabbalallahu minna waminkum terhadap saudaranya pada hari raya”.

Harb berkata : Ahmad pernah ditanya tentang ucapan manusia taqabbalallahu minna waminkum pada dua hari raya. Dia menjawab : “Tidak mengapa. Salah seorang penduduk Syam meriwayatkan dari Abu Umamah Al Bahili”.

Ditanyakan : (Apakah) Watsilah bin Al Asqa’ ? Ahmad menjawab : “Ya”. Ditanyakan : Apakah anda tidak memakhruhkan ucapan ini diucapkan pada hari raya ? Ahmad menjawab : “Tidak”.

Ibnu ‘Aqil menyebutkan beberapa hadits tentang ucapan selamat pada hari raya, diantaranya adalah bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : Saya pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasalla, dahulu apabila mereka kembali dari berhari raya, mereka saling mengucapkan taqabbalallahu minna waminka.

Ahmad berkata : “Isnad hadits Abu Umamah adalah isnad yang baik.

Ali bin Tsabit berkata : “Saya bertanya kepada Malik bin Anas sejak 35 tahun yang lalu dan dia menjawab : “Kami selalu mengetahui hal ini di Madinah”.

Dan diriwayatkan dari Ahmad bahwa dia berkata : “Saya tidak memulai untuk mengucapkan salam kepada seorang-pun, tetapi jika ada seseorang mengucapkannya, maka aku balas dengan balasan serupa”. Selesai.

Wabillahit-taufiq.









Yang mendikte fatwa ini

Yang mulia Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi

(ttd)

09 Syawal 1428 H



Alih bahasa oleh

Abu Abdillah Muhammad Yahya

09 Syawal 1428 H/20 Oktober 2007

Nijamiyah-Shamithah-Jazan

Sumber : salafi-indonesia@yahoogroups.com

http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=936
baca selanjutnya “Ucapan Selamat Pada Hari Raya”