Oleh: Abu Muhammad Farhan
Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Cukup sebagai kemulian ilmu, orang yang bodoh pun mengaku-aku memilikinya dan senang disebut sebagai seorang yang berilmu. Cukup pula celaan terhadap kebodohan, orang yang bodoh sekalipun menghindar dan berlepas diri darinya serta akan marah apabila dikatakan sebagai orang yang bodoh” [diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya].Demikian adanya, ilmu memiliki kedudukan yang sangat tinggi bahkan mutlak diperlukan dalam kehidupan ini. Dari sinilah orang rela mengorbankan harta, waktu, dan tenaganya demi mendapatkan ilmu.
Di samping itu, banyak sekali keutamaan ilmu yang disebutkan di dalam dalil-dalil baik dalam Al-Qur`an maupun dalam hadits. Nah, pertanyaannya, ilmu apakah yang dimaksud di dalam dalil-dalil tersebut? Jawabannya tersirat dalam hadits:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para ulama merupakan pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar, tidak pula dirham. Akan tetapi, mereka mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya, berarti dia telah mengambil bagian yang banyak.” [H.R. Muslim]. Ilmu apakah yang diwariskan oleh Nabi? Jawabannya tentu saja bukanlah ilmu dunia. Ilmu yang mereka bawa adalah ilmu syar’i. Inilah yang dipuji di dalam banyak dalil. Maka dari itu, ulama mengatakan bahwa jika disebutkan ilmu saja, tanpa ditambahi kata di belakangnya, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i.
Sangat disayangkan, hakekat ini sekarang menjadi terbalik. Di mana, kebanyakan dari kita memahami ilmu sebagai ilmu dunia: ilmu matematika, teknik, biologi, fisika, dst. Sedangkan ilmu syar’i hanyalah sebagai tambahan semata. Bahkan, sebagian orang berpandangan bahwa agama bukanlah ilmu. Maka, beberapa lembaran kecil di tangan para pembaca sekalian ini akan berusaha mengungkap beberapa hal mengenai ilmu syar’i disebabkan urgensitas seorang insan akan hal tersebut. Wa billahit taufiq.
Hukum Belajar Ilmu Syar’i
Pembaca sekalian -semoga Allah merahmati kita semua- apabila mencari harta dunia yang sementara harus dengan ilmu, maka mencari akhirat yang kekal tentu lebih wajib. Dunia dan akhirat hanya didapat dengan ilmu, tidak dengan yang lain. Oleh sebab itu, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang menurunkan kitab-kitab-Nya dan mengutus para rasul untuk mengajarkan ilmu demi keselamatan dan kebahagiaan hamba di dunia dan di akhirat. Kemudian, karena kasih sayang Allah pula, Allah mewajibkan menuntut ilmu atas hamba-Nya. Agar mereka benar-benar selamat dan bahagia dengan mengikuti kitab dan rasul-Nya. Melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah mewajibkan thalabul ilmi:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim” [H.R. Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Anas bin Malik dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Tarhib wat Targhib].
Ilmu di sini -sebagaimana telah lewat penjelasannya- maksudnya adalah ilmu syar’i, bukan yang lainnya. Ibnul Qoyyim menerangkan yang dimaksud ilmu adalah firman Allah, sabda Rasulullah, dan penjelasan para sahabat. Atau dengan bahasa lain, ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap hamba adalah bagaimana hamba mengenal Allah kemudian mentauhidkan-Nya dalam seluruh sifat yang khusus bagi Allah, mengenal Rasul-Nya, mengenal agama Islam ini dengan dalil-dalilnya, demikian pula tata cara shalat, dan ibadah-ibadah wajib yang lainnya sehingga tidaklah dia melakukan suatu ibadah kecuali telah dilandasi ilmu mengenai ibadah tersebut. Hanya dengan ilmu inilah seseorang bisa selamat dan berbahagia dunia dan akhirat.
Sumber Ilmu
Al-Qur`an dan Sunnah (hadits) Nabi-Nya adalah sumber ilmu syariat yang utama. Allah berfirman:
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا (١١٣)
“Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan karunia Allah sangat besar atasmu.” [an-Nisa:113]. Imam Syafi’i menafsirkan “hikmah” adalah sunnah (hadits).
Allah berfirman pula:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (٣٢)
“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya, lalu jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’” [Ali Imran: 32]. Ayat-ayat yang semakna dengan ayat ini banyak sekali.
Kemudian, kita harus memahami dan mengamalkan dua sumber ini sebagaimana yang pemahaman dan pengamalan para sahabat. Karena, mereka lah murid-murid langsung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyaksikan turunnya wahyu, bertanya langsung kepada beliau, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan ridha kepada mereka. Sehingga, dapat dipastikan pemahaman dan amalan mereka adalah benar. Allah berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (١٠٠)
“Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” [at-Taubah:100]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku (hadits) dan sunnah (jalan yang ditempuh) Khulafaur Rasyidin setelahku. Gigitlah dengan geraham kalian (pegang erat-erat)” [H.R. at-Tirmidzi dari sahabat ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ’anhu dan dishahihkan oleh al Albani rahimahullah]. Dalil yang semakna dengan ini banyak sekali.
Kemudian, tidak kalah pentingnya bahwa semua itu harus dengan bimbingan para ulama yang Allah telah mempercayakan agama ini kepada mereka. Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٤٣)
“Maka bertanyalah kepada para ulama jika kalian tidak mengetahui” [an-Nahl:43]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi sebagai pencerah bagi umat dengan ilmu warisan tersebut, dalam sabda beliau:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sedangkan pra nabi tidaklah mewariskan harta dunia tetapi mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya benar-benar telah mengambil bagian yang banyak” [H.R. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan lainnya dari sahabat Abud Darda` radhiyallahu ’anhu dan dihasankan oleh al-Albani]
Jadi, jelaslah bahwa metode pembelajaran kita seharusnya adalah Al-Qur`an dan Sunnah dengan pemahaman dan pengamalan para sahabat beserta bimbingan para ulama bukan dipahami sendiri atau dengan pemahaman orang-orang tertentu saja.
Antara Wajib ‘Ain dan Wajib Kifayah
Pembaca sekalian -semoga Allah merahmati kita semua- ilmu agama yang kita pelajari ini ada yang hukumnya wajib ‘ain (wajib atas setiap pribadi muslim dan muslimah) dan ada yang wajib kifayah.
Adapun yang hukumnya wajib ‘ain, Imam Ahmad telah menjelaskannya ketika ditanya mengenai ilmu yang wajib dipelajari seorang muslim, “Ilmu yang bisa menegakkan agama seseorang seperti shalatnya dan puasanya” dan tentu sebelum itu bagaimana mengenal Allah beserta hak-hak-Nya (tauhid), rukun iman, rukun Islam, dan ilmu-ilmu yang dibutuhkan lainnya. Misalnya, seseorang yang hendak menunaikan haji maka menjadi wajib ‘ain baginya mempelajari manasik haji begitu seterusnya.
Yang kedua, menuntut ilmu yang hukumnya wajib kifayah, artinya wajib atas kaum muslimin secara kolektif, apabila sebagian mereka telah melakukannya menjadi gugur kewajiban tersebut bagi yang lainnya, namun apabila tidak ada seorang pun yang melakukannya, seluruhnya mendapatkan dosa, seperti: ilmu waris, bahasa Arab, dan ilmu yang sekiranya bisa dicukupi oleh sebagian kaum muslimin. Allah berfirman:
فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (١٢٢)
“Seandainya ada tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya” [at-Taubah: 122].
Niat
Sebagaimana ibadah yang lain, menuntut ilmu syariat harus diniati dengan ikhlas untuk Allah subhanahu wa ta’ala, untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain, agar bisa beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala serta mengagungkan-Nya dengan sebenar-benarnya. Dan Allah ta’ala telah mengancam dengan adzab yang pedih bagi mereka yang tidak ikhlas.
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ ثَلاَثَةٌ: -أحد منهم- رَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ.
“Orang pertama yang akan dihukum pada hari kiamat ada tiga golongan: -salah satunya adalah- seseorang yang mempelajari dan mengajarkan ilmu serta membaca al-Qur`an. Dia pun dihadapkan [ke hadapan-Nya], lalu Allah mengingatkannya terhadap nikmat tersebut dan dia mengakuinya. Kemudian Allah mengatakan, ‘Apa yang engkau perbuat dengan nikmat tersebut?’ Dia pun menjawab, ‘Ya Allah, saya mempelajari dan mengajarkan ilmu serta membaca al-Qur`an karena Engkau.’ Dijawab, ‘Engkau dusta, engkau mempelajarinya agar disebut ‘Orang yang berilmu’, dan engkau membaca al-Qur`an agar disebut ‘Orang yang banyak membaca al-Qur`an’ dan itu telah disebutkan [di dunia].’ Maka orang tersebut diseret di atas wajahnya kemudian dilemparkan ke dalam neraka.” [H.R. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu].
Keutamaan Menuntut Ilmu Syar’i
Allah melimpahkan berbagai keutamaan bagi penuntut ilmu syari semenjak dari terbetik dalam hatinya kemudian melangkahkan kakinya sampai akhirnya ia menghadap Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِيْ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ حَتَّى الْحِيْتَانُ فِى الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ. إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan jalan baginya menuju surga, dan seeungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya karena ridha terhadap penuntut ilmu. Sungguh, seorang yang berilmu dimintakan ampun oleh semua yang ada di langit dan di bumi sampai pun ikan di lautan. Keutamaan orang yang berilmu dibandigkan dengan ahli ibadah sebagaimana perbandingan antara bulan purnama dengan bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, sedangkan para nabi tidaklah mewariskan harta dunia, tetapi mereka mewariskan ilmu, siapa yang mengambilnya, sungguh telah mengambil bagian yang banyak.” [H.R. at-Tirmidzi dari Abud Darda` radhiyallahu ’anhu]
Sebagai bentuk keutamaan ilmu, Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitab beliau Miftah Daris Sa’adah menyebutkan lebih dari 150 keutamaan ilmu.
Bagaimana dengan selain ilmu syar’i?
Adapun selain ilmu syar’i, hukum mempelajarinya ada yang wajib kifayah, sunnah, mubah (boleh), ada pula yang haram.
Adapun yang hukumnya wajib kifayah, itu adalah ilmu yang berkaitan dengan kebutuhan pokok manusia, artinya kehidupan manusia tidak bisa tegak kecuali dengannya, misalnya: ilmu-ilmu pokok kedokteran, pertanian, industri sandang, dan yang lainnya.
Adapun yang hukumnya haram adalah ilmu yang mengandung kemaksiatan, seperti: ilmu kalam atau filsafat, ilmu sihir, ramalan dan semacamnya.
Sedangkan yang hukum asal mempelajarinya mubah adalah ilmu-ilmu selain yang telah kita sebutkan di atas. Contohnya, ilmu arsitektur, ilmu ekonomi, ilmu biologi, dan lainnya. Akan tetapi, ilmu-ilmu yang mulanya berhukum mubah ini hukumnya bisa berubah sesuai dengan niat, tujuan, cara, akibat, dan keadaannya. Sebagai misal, ilmu teknik bisa menjadi berhukum wajib kifayah jika untuk membangun bangunan tahan gempa bagi kaum muslimin di daerah rawan gempa (dan hal ini menjadi wajib ‘ain bagi seseorang jika hanya dia yang mampu untuk mempelajarinya); atau bisa menjadi sunnah apabila niatnya untuk membangun masjid dengan konstruksi tahan gempa di daerah rawan gempa. Sebaliknya, apabila mempelajari ilmu tersebut untuk kesombongan, status, prestise dan lain-lain, maka hukumnya haram. Demikian pula apabila mempelajari ilmu tersebut dengan cara yang melanggar syariat, sebagai contoh, campur baur antar laki-laki dan perempuan, maka hukumnya menjadi haram. Begitu juga jika hal itu berakibat menyibukkan dari ilmu yang wajib (syar’i), atau melalaikan dari shalat berjamaah maka hukumnya menjadi haram.
Penutup
Pembaca sekalian -semoga Allah merahmati kita semua-, sebagai penutup tulisan ringkas ini, penulis mengajak diri penulis pribadi kemudian pembaca sekalian untuk mementingkan ilmu syar’i kemudian diamalkan dan diajarkan kepada orang lain sebelum mempelajari ilmu lainnya. Inilah jalan keberuntungan.
وَالْعَصْرِ (١)إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢)إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
“Demi masa.*. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,*. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, saling menasehati dengan kebenaran, dan saling menasehati dengan kesabaran.” [al-‘Ashr 1-3].
Ditafsirkan oleh ulama, orang-orang yang beriman adalah mereka yang berilmu dahulu kemudian beriman, karena seseorang tidak mungkin beriman dengan benar kecuali setelah berilmu. Allahu a’lam.
sumber : http://tashfiyah.net/?p=81
0 komentar:
Posting Komentar