Senin, 24 November 2025

Bekal Dakwah


​📜 Syukur atas Beragam Kenikmatan Allah

​Ikhwani fiddin a'azzakumullah, kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberikan beragam kenikmatan kepada kita. Apabila kita menghitung kenikmatan-kenikmatan tersebut, niscaya kita tidak akan mampu menghitungnya.

​Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"...Wa in ta'udduu ni'matallahi laa tuhsuuhaa." (QS. An-Nahl: 18)

"Apabila kalian menghitung kenikmatan-kenikmatan Allah, maka kalian tidak akan mampu menghitungnya."


​Ini dikarenakan begitu banyaknya kenikmatan yang Allah berikan. Maka, sudah sepantasnya bagi kita semua untuk mensyukuri kenikmatan-kenikmatan tersebut.

​💖 Janji Allah bagi Orang yang Bersyukur

​Apabila kita mensyukuri kenikmatan tersebut, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menambahkan kenikmatan itu kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"...Lain syakartum la azidannakum wa lain kafartum inna 'adzābī la syadīd." (QS. Ibrahim: 7)

"Apabila kalian bersyukur, maka Aku akan tambahkan kenikmatan untuk kalian. Akan tetapi, sebaliknya apabila kalian kufur nikmat, maka ketahuilah bahwasanya azab Allah sangatlah pedih."


​Maka, hendaklah kita bersyukur dengan segala bentuk syukur. Para ulama menyebutkan ada tiga macam bentuk syukur:

  1. Syukur dengan Hati: Didasarkan pada keyakinan bahwa segala kenikmatan yang diperoleh hakikatnya adalah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. ​"...Wa mā bikum min ni'matin faminallāh..." (QS. An-Nahl: 53) "Dan tidaklah ada kenikmatan dan segala sesuatu kenikmatan yang ada pada kalian, maka itu datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala."
  2. "...Wa mā bikum min ni'matin faminallāh..." (QS. An-Nahl: 53)

    "Dan tidaklah ada kenikmatan dan segala sesuatu kenikmatan yang ada pada kalian, maka itu datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala."


    1. Syukur dengan Lisan: Dengan mengucapkan zikir-zikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan memuji-Nya, seperti mengucapkan "Alhamdulillah," segala puji bagi Allah yang telah memberikan kenikmatan kepada kita.
    2. Syukur dengan Anggota Badan (Amalan): Dengan menggunakan kenikmatan-kenikmatan tersebut untuk menambah amalan ketaatan. Contohnya, menggunakan harta yang diperoleh untuk jalan yang bisa menambah ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

    ​🕋 Kenikmatan Terbesar: Nikmatul Islam dan Ukhuwah

    ​Di antara kenikmatan yang Allah berikan kepada kita, yang merupakan kenikmatan paling besar, adalah Nikmatul Islam. Islam adalah satu-satunya agama yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

    ​Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

    "...Inna ad-dīna 'indallāhil-Islām..." (QS. Ali 'Imran: 19)

    "Sesungguhnya agama yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala hanyalah Islam."


    ​Dan barang siapa yang mencari selain agama Islam sebagai agamanya, maka pasti tertolak:

    "...Wa may yabtaghi ghairal-Islāmi dīnan falay yuqbala min-hu, wa huwa fil-ākhirati minal-khāsirīn." (QS. Ali 'Imran: 85)

    "...maka tidak akan diterima, dan dia kelak di akhirat termasuk orang-orang yang merugi."


    ​🤝 Keutamaan Berkumpul dan Persaudaraan

    ​Kenikmatan lainnya adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala masih memberikan kesempatan bagi kita untuk menjalankan ibadah Jumat dan berkumpul di rumah-Nya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang sekelompok orang yang berkumpul di masjid, membaca Al-Qur'an, dan saling mempelajarinya:

    "...Illā nazalat 'alaihimus-sakīnah, wa ghāsyiyat-humur-raḥmah, wa ḥaffat-humul-malā'ikah, wa dzakarahumullāhu fī man 'indah."

    "...kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, mereka akan diliputi rahmat, malaikat akan mengelilingi mereka, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membanggakan mereka di hadapan para malaikat-Nya."


    ​Kemudian, kenikmatan besar lainnya adalah Nikmatul Ukhuwah (tali persaudaraan). Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan sesama orang-orang yang beriman sebagai saudara.

    ​Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

    "...Innamal-mu'minūna ikhwah..." (QS. Al-Hujurat: 10)

    "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mereka adalah bersaudara."


    ​Maka, sudah sepantasnya kita menganggap kaum Muslimin yang lainnya adalah saudara kita, dan kita ingin memberikan yang terbaik kepada saudara kita. Hal ini merupakan tanda kesempurnaan iman seseorang.

    ​Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    "...Lā yu'minu aḥadukum ḥattā yuḥibba li-akhīhi mā yuḥibbu li-nafsih."

    "Tidaklah sempurna iman seseorang, sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri."


    ​Sebagai Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kita tidak hanya memberikan kebaikan dunia, tetapi yang lebih utama adalah memberikan kebaikan akhirat, terutama dalam permasalahan agama mereka.

    ​🎁 Tiga Bentuk Kebaikan Akhirat untuk Saudara

    ​Cara untuk memberikan kebaikan akhirat, atau kebaikan agama, kepada saudara kita, sebagaimana Allah bimbing melalui firman-Nya dalam Surah Al-'Asr:

    "...Illal-ladhīna āmanū wa 'amiluṣ-ṣāliḥāti wa tawāṣaw bil-ḥaqqi wa tawāṣaw biṣ-ṣabr." (QS. Al-'Asr: 3)

    "...melainkan orang-orang yang beriman, beramal saleh, dan saling memberikan wasiat kepada kebenaran dan juga kesabaran."


    ​Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dikecualikan dari kerugian adalah yang saling memberikan nasihat kepada kebenaran dan kesabaran. Ini adalah salah satu cara untuk memberikan yang terbaik kepada saudara kita.

    ​Berikut adalah tiga bentuk utama dalam mewujudkan kebaikan akhirat bagi sesama muslim:

    ​1. Nasihat (Ad-Dīnun Naṣīḥah)

    ​Nasihat merupakan tonggak agama ini. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    "...Ad-dīnun naṣīḥah."

    "Bahwasanya agama itu adalah nasihat."


    ​Ketika ditanya untuk siapa, beliau menjawab:

    • ​Nasihat karena Allah.
    • ​Nasihat dalam rangka menjalankan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
    • ​Nasihat kepada pemimpin-pemimpin umat Islam (Aimmatil Muslimīn).
    • ​Nasihat kepada kaum Muslimin secara umum.

    ​Memberikan nasihat juga merupakan hak sesama muslim. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "...wa idzāstansaḥaka fanṣaḥhu" (apabila seseorang meminta untuk diberi nasihat, maka berilah dia nasihat).

    ​2. Amar Ma'ruf Nahi Mungkar

    ​Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan umatnya untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).

    ​Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

    "...Waltakum minkum ummatun yad'ūna ilal-khairi wa ya'murūna bil-ma'rūfi wa yanhawna 'anil-munkar. Wa ulā'ika humul-mufliḥūn." (QS. Ali 'Imran: 104)

    "Hendaklah ada di antara kalian sekelompok orang yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan kepada kebaikan, dan juga mencegah kepada kemungkaran. Mereka adalah orang-orang yang beruntung."


    ​Para sahabat menjadi umat terbaik karena mereka menegakkan amar ma'ruf nahi munkar:

    "...Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nāsi ta'murūna bil-ma'rūfi wa tanhawna 'anil-munkari wa tu'minūna billāh..." (QS. Ali 'Imran: 110)

    "Kalian adalah sebaik-baik umat... karena kalian menegakkan amar ma'ruf dan juga mencegah kepada kemungkaran."


    ​Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang cara mengubah kemungkaran (Hadis Abu Sa'id Al-Khudri):

    "Barang siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah rubahlah dengan tangannya. Apabila dia tidak mampu, maka dengan lisannya (ucapan). Apabila itu pun tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan merubah kemungkaran dengan hatinya adalah sekecil-kecilnya iman."


    ​3. Berdakwah kepada Jalan Allah

    ​Mendakwahkan mereka ke jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan amalan yang sangat mulia.

    ​Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

    "...Wa man aḥsanu qaulan mimman da'ā ilallāhi wa 'amila ṣāliḥan wa qāla innani minal-muslimīn." (QS. Fushshilat: 33)

    "Dan siapakah yang lebih baik ucapannya dari orang yang berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, beramal saleh, dan dia juga mengatakan: 'Sesungguhnya aku termasuk dari orang-orang yang muslim'."


    ​Perintah berdakwah juga disebutkan:

    "...Ud'u ilā sabīli rabbika bil-ḥikmati wal-mau'iẓatil ḥasanati wa jādil-hum billatī hiya aḥsan..." (QS. An-Nahl: 125)

    "Dan serulah kepada jalan Allah dengan hikmah, dengan nasihat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik."


    ​Keutamaan dakwah juga ditunjukkan dalam hadis:

    • Man dalla 'alā khairin fa-lahū mitslu ajri fā'ilih. "Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya."
    • Lā yanquṣu dzālika min ujūrihim syai'an. "Dan orang yang mengikutinya itu tidaklah berkurang sedikit pun dari pahala mereka."
    • Wallāhi lahyadiyallāhu bika rajulan wāḥidan khairun laka min ḥumrin na'am. "Demi Allah, apabila seseorang ada yang mendapatkan hidayah dikarenakan sebabmu, maka itu adalah lebih baik daripada engkau mendapatkan unta merah (kendaraan terbaik pada masa itu)."

    ​Ketiga hal ini (nasihat, amar ma'ruf nahi mungkar, dan dakwah) memiliki tujuan yang sama, yaitu isalul khair lil ghair, menyampaikan kebaikan kepada yang lainnya.

    ​💡 Tiga Pilar Pelaksanaan Kebaikan (Nasihat, Amar Ma'ruf, Dakwah)

    ​Berikut adalah beberapa poin penting terkait pelaksanaan tiga bentuk kebaikan tersebut:

    ​1. Ilmu (Al-'Ilm) dan Niat Ikhlas (An-Niyyah)

    ​Sebelum berani melakukan tiga perkara tersebut, hendaklah dilandasi dengan ilmu (Al-'Ilm) dan niat yang ikhlas (An-Niyyah).

    ​Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

    "...Fa'lam annahu lā ilāha illallāh..." (QS. Muhammad: 19)

    "Ketahuilah bahwasanya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah."


    Al-Imam Al-Bukhari mengatakan: Fabada'a bil-'ilmi qablal-qaul wal-'amal (maka hendaklah seseorang memulai dengan ilmu sebelum dia mengucapkan dan juga sebelum dia berbuat sesuatu).

    ​Ilmu dan Niat Ikhlas adalah dua syarat diterimanya ibadah:

    • Niat Ikhlas: Meluruskan niat, yaitu semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. ​"...Innamal a'mālu bin-niyyāt." "Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya." Walaupun amalan sesuai Sunnah, jika niatnya tidak syar'i, amalan tersebut tertolak.
    • "...Innamal a'mālu bin-niyyāt."

      "Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya."

      Walaupun amalan sesuai Sunnah, jika niatnya tidak syar'i, amalan tersebut tertolak.


      • Ilmu/Sesuai Sunnah: Walaupun amalan dilakukan ikhlas karena Allah, jika tidak sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak dilandasi dengan ilmu, maka amalan itu pun tertolak.

      ​2. Memulai dari Diri Sendiri

      ​Memulai dari diri sendiri memiliki dua makna:

      • Mengamalkannya: Hendaklah orang yang menyuruh dan menasihati, dia orang yang pertama kali melaksanakannya. Ini merupakan celaan bagi ahlul kitab (Surat Al-Baqarah: 44): ​"...A ta'murūnan-nāsa bil-birri wa tansauna anfusakum wa antum tatlūnal-kitāb, afalā ta'qilūn." "Apakah kalian memerintahkan manusia kepada kebaikan, sedangkan kalian melupakan diri-diri kalian? Padahal kalian membaca Al-Kitab, tidakkah kalian berpikir?" Juga celaan bagi yang berkata tetapi tidak melaksanakan (Surat As-Saff: 2-3): "...Li-ma taqūlūna mā lā taf'alūn. Kabura maqtan 'indallāhi an taqūlū mā lā taf'alūn." "Mengapa kalian mengucapkan sesuatu yang kalian tidak melaksanakannya? Betapa besar kemarahan Allah Subhanahu wa Ta'ala apabila kalian mengucapkan apa yang tidak kalian lakukan."
      • "...A ta'murūnan-nāsa bil-birri wa tansauna anfusakum wa antum tatlūnal-kitāb, afalā ta'qilūn."

        "Apakah kalian memerintahkan manusia kepada kebaikan, sedangkan kalian melupakan diri-diri kalian? Padahal kalian membaca Al-Kitab, tidakkah kalian berpikir?"

        Juga celaan bagi yang berkata tetapi tidak melaksanakan (Surat As-Saff: 2-3):

        "...Li-ma taqūlūna mā lā taf'alūn. Kabura maqtan 'indallāhi an taqūlū mā lā taf'alūn."

        "Mengapa kalian mengucapkan sesuatu yang kalian tidak melaksanakannya? Betapa besar kemarahan Allah Subhanahu wa Ta'ala apabila kalian mengucapkan apa yang tidak kalian lakukan."


        • Mendakwahkan kepada Diri Sendiri dan Keluarga Terdekat: Memulai dakwah dari diri sendiri, kemudian orang terdekat (seperti istri dan keluarga). ​"...Yā ayyuhal-ladhīna āmanū qū anfusakum wa ahlīkum nārā..." (QS. At-Tahrim: 6) "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan juga keluarga-keluarga kalian dari api neraka." "...Wa'mur ahlaka biṣ-ṣalāti waṣṭabir 'alaihā..." (QS. Thaha: 132) "Dan perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah dalam memerintahkannya."
        • "...Yā ayyuhal-ladhīna āmanū qū anfusakum wa ahlīkum nārā..." (QS. At-Tahrim: 6)

          "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan juga keluarga-keluarga kalian dari api neraka."

          "...Wa'mur ahlaka biṣ-ṣalāti waṣṭabir 'alaihā..." (QS. Thaha: 132)

          "Dan perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah dalam memerintahkannya."


          ​3. Hikmah (Al-Hikmah) dalam Berdakwah

          ​Seorang yang berdakwah harus dilandasi dengan hikmah.

          ​Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

          "...Ud'u ilā sabīli rabbika bil-ḥikmati..." (QS. An-Nahl: 125)

          "Dan serulah ke jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hikmah."


          • Makna Hikmah: Waḍ'usy syai'i fī maḥallih (meletakkan sesuatu pada tempatnya), yaitu meletakkan sesuatu sesuai dengan kondisi dan situasi.
          • Hukum Asal: Hukum asal dakwah adalah menyampaikan dengan lemah lembut. Namun, jika kondisi tertentu menuntut ketegasan, maka perlu berdakwah dengan ketegasan.
          • Prioritas Dakwah: Bentuk hikmah adalah mendahulukan perkara yang paling penting di atas penting yang lainnya.

          ​Perkara yang paling pertama kali didakwahkan, meniru dakwah para rasul, adalah perkara tauhid.

          ​Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepada Mu'adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman:

          "...Falyakun awwalu mā tad'ūhum ilaihi syahādatu an lā ilāha illallāh."

          "...maka hendaklah apa yang pertama kali engkau dakwahkan adalah perkara tauhid."


          ​🌍 Sarana Dakwah yang Luas (Wasā'ilud Da'wah Katsīrah)

          ​Poin terakhir adalah memahami bahwa sarana-sarana atau cara-cara untuk berdakwah sangat banyak.

          • Tugas Setiap Muslim: Tugas dakwah tidak hanya milik para ustaz atau santri. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ballighū 'annī wa lau āyah" ("Sampaikan dariku walaupun satu ayat"). Maksudnya, sampaikan perkara yang telah kita ketahui dan ilmui dengan benar, sesuai dengan kemampuan masing-masing.
          • Bentuk Dakwah yang Beragam: Dakwah tidak sempit hanya dengan berceramah atau berdiri di mimbar, tetapi maknanya sangat luas, meliputi:
            • ​Menulis.
            • ​Memberikan kaset, majalah, atau buletin yang berpemahaman Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
            • Dakwah bil-ḥāl (dakwah dengan keadaan/perilaku). Yaitu, dengan menunjukkan sikap atau perilaku yang baik.
          • Pengaruh Akhlak Mulia: Akhlak yang mulia sangat berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: ​"...Wa lau kunta faẓẓan ghalīẓal-qalbi lanfaḍḍū min ḥaulik..." (QS. Ali 'Imran: 159) "Wahai Rasulullah, seandainya engkau bersikap keras dan kaku, maka orang-orang di sekitar kalian akan lari."
          • "...Wa lau kunta faẓẓan ghalīẓal-qalbi lanfaḍḍū min ḥaulik..." (QS. Ali 'Imran: 159)

            "Wahai Rasulullah, seandainya engkau bersikap keras dan kaku, maka orang-orang di sekitar kalian akan lari."


            ​Maka, hendaklah kita di masyarakat berakhlak mulia agar masyarakat tidak lari dari dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

            Alhamdulillah hamdan katsiran tayyiban mubarakan fih, kama yuḥibbu rabbunā wa yardā. Semoga kita dapat mengamalkan dan menjalankan segala bentuk kebaikan ini dengan tujuan memberikan kebaikan akhirat kepada saudara-saudara kita sesama Muslim.

            Yā muqallibal-qulūb, thabbit qalbī 'alā dīnik. (Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu).

            ​Khutbah Jumat, 27 januari 2012 (Ma'had Dhiyauus Sunnah, Cirebon)

0 komentar:

Posting Komentar