Bismillahirrahmanirrahim. Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah wassalatu wassalamu 'ala rasulillah wa 'ala alihi wa sahbihi wa man walah.
Alhamdulillah, kita telah selesai dari Kitabul Mawaris, pembahasan tentang ilmu warisan. Sekarang kita masuk ke kitab yang baru, pembahasan yang baru, Kitabu An-Nikahi.kita masuk ke Kitabun Nikah.
Sebagaimana sering kita ulang, kalimat Kitab—huruf kaf, kemudian ta, dan ba—itu maknanya adalah Al-Jam'u (mengumpulkan). Disebutkan oleh Ibnu Faris rahimahullah dalam kitab Maqayis Al-Lughah di halaman 801, beliau mengatakan, "Al-kaf, wa at-ta, wal ba' ashlun shahih wahidun yadullu 'ala al-jam'i." huruf kaf, huruf ta, dengan ba ini maknanya adalah yadullu 'ala jam'in, menunjukkan menggabungkan sesuatu ke sesuatu yang lainnya. Ini maknanya adalah menggabungkan, mengumpulkan sesuatu ke sesuatu yang lainnya.
Dan yang dimaksud Kitab di sini, dalam Kitabun Nikah, yang dimaksud Kitab di sini adalah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mulaqin rahimahullah, "Wal muradu bihi ma jama'a abwaban tarji'u ila ashlin wahidin." Yang dimaksud Kitab di sini adalah yang mengumpulkan bab-bab yang kembalinya ke satu permasalahan. Misalkan disebutkan Kitabut Thaharah, berarti adalah kumpulan bab-bab thaharah. Padanya ada bab air, bab wudu, bab mandi. Demikian pula Kitabun Nikah ini adalah pembahasan yang mengumpulkan bab-bab yang berkenaan dengan nikah. Ada syarat nikah, ada permasalahan talak, permasalahan mahram. Ini akan disebutkan di Kitabun Nikah. Jadi, Kitab di sini adalah kumpulan bab-bab. Kitabun Nikah berarti kumpulan pembahasan nikah.
Kemudian kata An-Nikah, huruf nun, huruf kaf, dan ha, disebutkan oleh Ibnu Faris rahimahullah: "An-nun, wal kaf, wal ha ashlun wahid wahua al-bid'u." Huruf Nun, huruf kaf, dan ha ini kembalinya maknanya adalah Al-Bid'u. Al-Bid' ini Al-Jimak, hubungan badan. Jadi, nakaha itu adalah jaama'a, ini makna nikah. Dan juga kata Ibnu Faris, bisa maknanya adalah Al-'Aqdu, akadnya. Jadi nikah itu memiliki dua makna: makna yang pertama maknanya adalah Al-Jimak, makna yang kedua maknanya adalah Al-Aqdu. Ketika disebutkan nikah, bisa jadi berarti adalah akad, bisa berarti adalah jimak. Ini makna nikah.
Adapun secara lughah (bahasa), disebutkan makna nikah secara lughah adalah Ad-Dhammu wa At-Tadakhul. An-Nikahu lughatan adalah Ad-Dhammu (At-Tadakhul), artinya masuk. Ad-Dhammu juga bergabung, berkumpul. Apabila dikatakan nakaha al-matharu al-ardha, artinya hujan masuk ke tanah, ke bumi. Nakaha al-matharu al-ardha. Ini secara lughah. Jadi, kalimat nakaha secara lughah artinya adalah At-Tadakhul (masuk). Juga disebutkan nakaha an-nu'asu al-a'yuna (rasa kantuk masuk ke matanya). Ini secara lughah adalah At-Tadakhul wa Ad-Dhamm.
Adapun secara syar'i ataupun secara istilah, tadi bisa jadi bermakna Al-Aqdu, bisa jadi bermakna Al-Wat'u (waw, tha, dan hamzah). Al-Wat'u bisa bermakna secara istilah atau secara syar'i. Nikah adalah bisa bermakna Al-Aqdu, bisa bermakna Al-Wat'u. Kalau yang dimaksud akad, ya akad nikah, akad nikah yang sahih, yang dengannya sah lelaki dengan perempuan.
Kemudian faedah kalimat nikah di dalam Al-Qur'an disebutkan di beberapa tempat dan kebanyakan maknanya adalah Al-Aqdu. Jadi, kalimat nikah banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an, dan kebanyakan yang disebutkan di dalam Al-Qur'an itu bermakna akad. Apabila ada kalimat nikah di dalam Al-Qur'an, itu kebanyakan bermakna akadnya. Jadi, pernikahan (Az-Zawaj), akadnya.
Kecuali ada di beberapa tempat, ada di beberapa ayat yang di sini maknanya bukan akad, tetapi adalah selain akad. Yang pertama adalah di Surah An-Nisa ayat yang keenam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Wabtalu al-yatama" (dan ujilah al-yatama, anak yatim, diuji apakah dia sudah bisa pegang uang, sudah bisa tasharruf dengan baik, bisa mempergunakan uang tersebut dengan baik), “hatta idza balaghu an-nikah.” hingga dia mencapai An-Nikah, yang dimaksud An-Nikah di sini maknanya adalah Al-Hulumu. Kalimat Nikah, kata Nikah yang ada di Surah An-Nisa di sini maknanya bukan akad, tetapi adalah Al-Hulumu. Ujilah, teslah anak-anak yatim itu apakah sudah bisa baik mempergunakan hartanya hingga dia mencapai Al-Hulum. Al-Hulum artinya sinnul bulugh (usia balig). Jadi, Nikah di sini bermakna Al-Hulum, yakni sinnul bulugh (sampai dia sudah mencapai usia baligh). Karena ini pernah kita bahas tentang permasalahan anak yatim, kalau sudah bisa mengurus hartanya dengan baik maka diberikan hartanya.
Kemudian dalam ayat lain, dalam Surah Al-Baqarah 230, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, “Fa in thallaqaha fa la tahillu lahu min ba'du hatta tankiha zaujan ghairah.” apabila seseorang thallaqaha (menceraikan istrinya)—ini setelah cerai yang kedua, talak pertama, talak kedua, kemudian ini berarti talak ketiga—apabila sudah talak bain (talak yang ketiga yang tidak bisa kembali lagi), fa la tahillu lahu (maka tidak halal bagi dia). Min ba'du setelahnya, “hatta tankiha zaujan ghairah” (sampai wanita tersebut menikahi suami yang lainnya). jadi kalau sudah talak ketiga, itu sudah tidak bisa rujuk kembali kecuali wanita tersebut nikah dengan orang lain. dan nikah yang dimaksudnya adalah setelah nikah kemudian tidak cukup dengan nikah tetapi ada hubungan badan. tankiha di sini maknanya adalah Al-Wat'u, yakni Al-Jimak. Jadi, tidak cukup akad saja. Kalau sudah ada Al-Wat'u atau Al-Jimak kemudian diceraikan, baru setelah itu bisa dinikahi kembali. Ini talak ketiga (talak bain yang sudah tidak bisa kembali lagi) kalau sudah nikah dengan suami yang barunya. kalau baru akad saja kemudian diceraikan, tidak bisa dinikahi. Kapan bisa dinikahi? Kalau sudah akad dan Al-Wat'u, sudah jimak. Sebagaimana Hadis Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam riwayat Bukhari nomor hadis 2639 ini tentang ayat ini kemudian dipadukan dengan hadis ini. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika ada seseorang yang ingin rujuk kembali setelah talak yang ketiga, Rasulullah mengatakan, “La,” tidak boleh, “usailu'q usailat,” tidak bisa, sampai perempuan tersebut merasakan manisnya madu dan yang laki-lakinya merasakan manisnya madu perempuan tersebut. Nah, ini hanya kiasan dari jimak. Nah, jadi tidak cukup di sini kalimat “hatta tankiha zaujan ghairah” sampai dia nikah kemudian Al-Wat'u. jadi nikah di tankiha di sini maknanya adalah tidak cukup akad tetapi Al-Wat'u. Nah, adapun selain dua ayat ini, kebanyakannya bermakna Al-Aqdu. Jadi, kalau kita jumpai kalimat nikah dalam Al-Qur'an, maknanya adalah akad, kecuali di dua ayat yang tadi kita sebutkan. Nah, ini makna An-Nikah. Jadi, bisa bermakna akad, bisa bermakna Al-Wat'u.
Kemudian kita baca selanjutnya. Berkata Asy-Syekh As-Sa'di rahimahullah, “Wa huwa min sunani al-mursalin.” Wa huwa (dan dia)—maksudnya ini kembali ke An-Nikah—(dan nikah) min. Min ini maknanya adalah lit-tab'idh (dari kata ba'dh, sebagian). Makanya diartikan sebagian atau termasuk. Min bisa artinya dari, bisa artinya termasuk. Wa huwa (dan nikah) min (termasuk) Sunani Al-Mursalin. Sunan jamak dari sunnah. Nah, yang dimaksud sunnah di sini adalah bukan sunah secara istilah fuqaha, bukan sunah yang dimaksud di istilah para ahlul fiqih, tapi yang dimaksud ini adalah At-Tariqah. Sunnah di sini maknanya adalah Tariqah (jalan atau ajaran), atau Al-Manhaj (metode atau ajaran).
Dan ini termasuk dari ajaran Al-Mursalin (para rasul). Mursal (arsala mengutus, mursal yang diutus). Al-Mursalin yang diutus maksudnya adalah para Rasul. mencakup juga Al-Anbiya. kalau disebutkan Al-Mursal termasuk juga Al-Anbiya. Di sini disebutkan nikah itu adalah termasuk ajaran Nabi, bukan hanya ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam saja, tetapi bahkan secara umum termasuk ajaran dari Al-Mursalin.
Dalilnya adalah Surah Ar-Ra'du ayat 38. Surah Ar-Ra'du ayat 38. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, “Wa laqad arsalna rusulan min qablika.” (Sungguh Kami telah utus para rasul sebelummu). “Wa ja'alna lahum azwajan wa dzurriyyah.” (Dan Kami jadikan untuk mereka, untuk para nabi dan rasul, azwajan—para istri—dan juga keturunan).
Dan sebagaimana makruf, kita mengetahui dari tarikh, dari cerita, dari sirah, bahwasanya Nabi Adam memiliki istri, Nabi Nuh memiliki istri, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishak, Nabi Yakub, Nabi Luth, Nabi Zakaria, Nabi Musa, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Mereka, dan yang tidak disebutkan, mereka memiliki istri. Dan ini secara umum termasuk dari sunah para rasul, dan juga termasuk dari rasul adalah jelas Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ini dalil tentang sunahnya atau yang menunjukkan bahwasanya nikah itu adalah sunah para nabi atau lebih khusus lagi adalah sunah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Di antaranya hadis ini, kita akan sebutkan beberapa adillah (dalil) yang menunjukkan bahwasanya nikah adalah sunah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
yang pertama, Hadis Said Ibnu Zubair, ia berkata, ia bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma. Kata Said Ibnu Jubair, telah berkata Ibnu Abbas, ia bertanya Ibnu Abbas kepada Said bin Jubair, "Hal tazawwajt?" (Apakah engkau sudah menikah?) Ia berkata, "La." (Belum), kata Said bin Jubair. Ia berkata, "Ya," kata Ibnu Abbas, "Nikahlah." Kata Ibnu Abbas radhiyallahu ta'ala 'anhuma, "Menikahlah. Khairul ummati aktsaruha nisa'an." Sesungguhnya hadzil ummah (manusia terbaik di umat ini) adalah aktsaruha nisa' (yang paling banyak istrinya). yang dimaksud adalah yang paling banyak istrinya adalah Nabi, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Jadi, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam itu adalah paling banyak istrinya. Paling banyak istrinya. kata Ibnu Abbas, "Sesungguhnya manusia terbaik di umat ini adalah aktsaruha nisa'an." Disebutkan di dalam syarah hadis ini yang dimaksud adalah Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Berapa jumlah istri Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam? yang makruf atau yang banyak menyebar itu adalah berapa? Sembilan. Yang banyak menyebar sembilan. Tetapi, istri Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam itu adalah 11. Kenapa yang menyebar sembilan? Karena itu yang pernah hidup bersama. Artinya, pernah Rasulullah bersama dengan istrinya itu adalah sembilan yang hidup bersama. sebelumnya ada Khadijah, kemudian ada yang lainnya. Jadi, kalau totalnya 11. Adapun yang 12 itu adalah Mariah, itu bukan istri Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, tapi adalah termasuk dari amah, termasuk budak yang di jimâk. kalau yang mengatakan 9 itu yang hidup bersama. Adapun yang mengatakan 11 itu adalah jumlah istrinya semuanya totalnya. Yang mengatakan 12 itu karena dia menganggap sebagian ulama itu adalah Mariah, adalah istrinya. Yang rajih adalah itu adalah budak.
Ini disebutkan dari Anas radhiyallahu ta'ala 'anhu tentang jumlah istri Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Qala Anas radhiyallahu ta'ala 'anhu (sebagaimana dalam Muslim) bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah keliling ke istri-istrinya dalam satu malam, wa lahu yauma'idzin tisu'u niswatin. ini sembilan. mungkin kalau yang hanya membaca hadis ini saja maka akan menjawab jumlah istri Nabi adalah sembilan. Padahal itu yang hidup bersama. Hadis ini muttafaqun 'alaih. Kalau di dalam Bukhari nomor hadis 284, bisa dilihat di Al-Bukhari 284. Wa lahu yauma'idzin tisu'u niswatin. Nah, ini kalau lah tidak menunjukkan ini banyaknya istri Nabi, ini menunjukkan bahwasanya itu adalah sunah, itu adalah perkara ibadah. Nah, adapun tadi jumlahnya adalah 11 totalnya.
Kemudian termasuk dari atsar yang menunjukkan keutamaan menikah atau sunahnya menikah adalah ucapan Ibnu Mas'ud radhiyallahu ta'ala 'anhu. Nah, Ibnu Mas'ud disebutkan di dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah dengan sanad yang sahih. Beliau mengatakan, "Lau lam yabqa minad dahri illa lailatun wahidatun la ahbabtu an takuna li fihi imra'atun." Kalaulah lau lam yabqa (kalaulah tidak tersisa) minad dahri (dari waktu, dari zaman) illa lailatun wahidah (kecuali satu hari saja), la ahbabtu (tentu aku akan menyukai) an takuna li fihi imra'atun (pada hari itu adalah aku memiliki istri). Kalau misalkan zaman itu hanya satu hari saja, maka kata Ibnu Mas'ud, tidaklah aku menyukai kecuali aku berstatus sebagai suami, memiliki istri.
kemudian juga yang menunjukkan tentang disunahkan menikah adalah nanti akan disebutkan hadis di sini, tapi ini hadis-hadis yang tidak disebutkan di dalam kitab. Yaitu Hadis Abu Hurairah riwayat Bukhari nomor hadis 5076. Abu Hurairah mengatakan, "Ya Rasulullah, inni rajulun syabbun." (Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah laki-laki yang pemuda, dan aku ingin menikah, akan tetapi aku khawatir jatuh terhadap maksiat). Akan tetapi kata Abu Hurairah, "Aku tidak mampu menikah." Abu Hurairah meminta bagaimana kalau dikebiri saja. Artinya, ketika tidak ada kemampuan menikah, ingin menikah, khawatir terhadap takut terhadap jatuh terhadap berzina, maka bagaimana kalau seorang itu adalah dikebiri, tidak mampu untuk menikah. Kata Rasulullah, "Ya Abu Hurairah, jaffa al-qalamu bima anta laqin." Nah, kata Rasulullah, "Sudah catatan takdir sudah kering." Nah, engkau dikebiri ataupun tidak dikebiri sama saja. ini maksudnya larangan. Larangan disebutkan di dalam syarahnya, tidak boleh orang yang dia tidak mampu menikah, tidak boleh dia mengkebiri, mengkebiri kemaluannya sehingga dia tidak bernafsu lagi. Ini menunjukkan berarti tetap harus nikah, atau di sini menunjukkan larangan untuk mengkebiri.
Dan juga hadis yang makruf tentang sunahnya menikah adalah dari Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ta'ala 'anhu. Beliau menceritakan, “Jaa tsalatsatu rahtin.” (Datang ada tiga kelompok, ada tiga orang) “ila buyutin azwaji Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam” (pada rumah para istri Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam). Jadi, ada tiga orang dari kalangan sahabat mendatangi rumah istri-istri Nabi, yas'aluna 'ibadati Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (mereka bertanya, bagaimana ibadah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika di rumahnya). karena kalau ketika di luarnya, mereka bisa melihatnya, bagaimana ketika di rumahnya. Falamma ukhbiru (ketika mereka diberitahu), ka'annahum taqallaluha (mereka merasa menganggap sedikit amalan mereka). mereka mengatakan, “Faqalu : ayna nahnu minallahi 'alaihi wa sallam,” di mana kami dibandingkan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, “qad ghufira taqaddama min dzambih wa ta'akhkhar” (padahal Rasulullah telah diampuni dosa-dosanya yang telah lewat dan yang akan datang). Jadi, ketika diceritakan, menganggap kurang ibadah mereka dibandingkan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam—padahal Nabi adalah telah dijamin, telah diampuni dosa-dosanya—maka tiga orang tersebut mengatakan, salah satunya, “Amma ana fa inni ushallil laila abada.” orang pertama mengatakan, "Adapun aku, -karena merasa kurang ibadahnya dibandingkan apa yang diceritakan para istri Nabi- maka mengatakan, Adapun aku, aku akan salat malam terus-menerus." Jadi, semalam suntuk akan salat, tidak tidur. Fa qala al-akhar, kemudian yang kedua mengatakan, “Ana ashumud dahra wa la uftir.” Aku akan puasa setahun penuh dan tidak berbuka. Maksudnya yang berbuka adalah tidak buka di sore hari, di magrib, di waktu magrib, tetapi tiap hari berpuasa. Al-akhar yang ketiga mengatakan, “Wa ana a'tazilun nisa' wa la atazawwaju abada.” Nah, ini syahidnya, dia mengatakan, Aku akan menjauhi wanita dan aku tidak akan menikah.
Fa jaa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Kemudian Rasulullah datang, “Fa qala antumulladzina qultum kadza wa kadza?” (Kaliankah yang telah mengatakan ini dan ini?) Rasulullah mendengar berita tersebut kemudian menegurnya. Kalian bertiga, apakah yang mengatakan ini dan ini yang tadi disebutkan? Kemudian kata Rasulullah, “Wallahi, inni la-akhsyakum lillahi wa atqakum lahu.” (Demi Allah, aku adalah yang paling takut di antara kalian dan yang paling bertakwa di antara kalian). “Lakinni ashumu wa uftir, wa ushalli wa anam, wa atazawwaju an-nisa'.” Tapi kata Rasulullah, Akan tetapi aku berpuasa dan juga berbuka, aku salat malam dan juga ada waktu untuk tidur, dan aku juga menikahi wanita. Kemudian Rasulullah melanjutkan, “Faman raghiba 'an sunnati fa laisa minni.” Barang siapa yang benci terhadap sunahku, maka dia bukan termasuk dari golonganku. Nah, maksudnya adalah itu bukan termasuk dari ajaran Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Nah, ini dalil-dalil yang menunjukkan secara umum, menikah adalah sunah para nabi dan juga sunah dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Nah, berarti lawan dari ini adalah ketika ada seseorang yang dia meyakini bahwasanya tidak menikah adalah ibadah, ini sebuah kesesatan, sebuah perkara yang tidak sesuai dengan syariat, yaitu adalah seseorang dia fokus ibadah. Tetapi ini berdasarkan keyakinannya, bukan karena keadaan ketidakmampuan kemudian akhirnya sampai meninggalnya tidak menikah. Tapi ini adalah berdasarkan keyakinan dia menganggap bahwasanya beribadah terus-menerus, tidak menikah, tidak menikmati kenikmatan dunia, ini adalah perkara yang baik.
Ini yang disebut dengan Ruhbaniyyah. Rohbaniyyah dari kata rahib (kependetaan). ini yang dilakukan oleh Nasrani, yang mereka hanya beribadah saja kemudian memutus dari kelezatan dunia. Nah, ini adalah perkara yang dilarang. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Surah Al-Hadid, “Wa ruhbaaniyyatan ibtada'uha.” (Dan ruhbaaniyyah—mereka melakukan kependetaan—ibtada'uha itu adalah perkara yang mereka buat-buat). “Ma katabnaha 'alaihim illa ibtigha'a ridwanah.” (Kami tidak mewajibkan kepada mereka, kecuali yang sesuai, kecuali ketika mereka mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala). jadi Ruhbaniyyah ini adalah perkara yang dilarang dalam agama.
Dan juga ada istilah lain yang ini mirip dengan Ruhbaniyyah adalah At-Tabattul. Tabattul sering diterjemahkan membujang, tapi yang dimaksud adalah membujang terus-menerus dan dia fokus dengan ibadah dan itu adalah berdasarkan keyakinan, bukan karena keadaan tadi. Sa'ad bin Abi Waqqas mengatakan, “Radda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam 'ala Utsman bin Maz'un atta'attul.” Rasulullah menolak ketika Utsman bin Maz'un izin untuk tabattul (membujang selamanya), Rasulullah menolaknya. Kemudian kata Sa'ad bin Abi Waqqas, “Walau adzina lahu, la ikhtashaina.” (Kalau seandainya Utsman bin Maz'un itu adalah diizinkan boleh tabattul, maka kami akan ikhtasina—akan mengkebiri). supaya hilang hasrat untuk menikah. Dan tabattul yang di sini adalah tabattul yang terlarang itu adalah tidak menikah selama-lamanya kemudian dia hanya memfokuskan ibadah. ini istilah lain dari Ruhbaniyyah.
Tapi ada hati-hati, ada tabattul yang diperintahkan, ada tabattul mamnu' (yang tadi, dia tidak menikah kemudian fokus ibadah berdasarkan keyakinan), ada tabattul yang disyariatkan ini di Surah Al-Muzzammil ayat yang ke-8: “Wadzkurisma rabbika wa tabattal ilaihi tabtila.” Yang dimaksud tabattul di sini adalah seseorang menghadapkan hatinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini masalah hati. Yang dimaksud tabattul dalam Surah Al-Muzzammil ayat yang ke-8 adalah “yuqbilu bi qalbihi ila rabbihi ta'ala fi ibadatihi.” Menghadapkan hatinya kepada Allah ketika ibadah. Jadi, hati dia adalah dia arahkan sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalau tabattul tadi, badan dia yang dia khususkan untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, padahal syariat tidak mensyaratkan demikian. Adapun fokus beribadah, hatinya dihadapkan sepenuhnya kepada Allah, itu adalah perkara yang disyariatkan, walaupun dia memiliki harta benda dunia yang banyak tetapi itu hanya di tangan. Ulama mengatakan, jadikanlah harta itu adalah fi yadihi, adapun qalbuhu maqbulun 'ala rabbihi ta'ala. Jadi, enggak masalah dia punya harta banyak tapi itu adalah hanya di badan dia. Adapun hatinya adalah sepenuhnya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini namanya tabattul, fokus memfokuskan hatinya adalah untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Adapun nikah ini adalah perkara yang disyariatkan. Barang siapa yang dia meyakini nikah adalah menghalangi ibadah, kemudian tabattul adalah perkara yang baik, maka ini adalah dibantah oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Ini untuk mukadimah, tentang dalil-dalil yang tidak disebutkan di dalam kitab. Insyaallah pada pertemuan berikutnya kita akan membahas hadis yang makruf: “Ya ma'syara asy-syabab” insyaallah akan kita bahas pada pertemuan berikutnya.
Ila huna, subhanakallahumma wa bihamdik, asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaika. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
https://t.me/manhajus_salikin/349
#manhajussalikin
#nikah 01
0 komentar:
Posting Komentar