Sabtu, 29 November 2025

Transkrip Kitab Nikah 04

Transkrip Kitab Nikah 04: Lanjutan Hadis Sebelumnya dan Kriteria Memilih Istri

​I. Hukum Puasa bagi yang Tidak Mampu Menikah

​Kita masih ada sisa dari hadis sebelumnya, yaitu hadits: yā ma’syara syabāb (wahai para pemuda), barang siapa yang memiliki bā'ah (kemampuan untuk menikah), maka menikahlah. Karena sesungguhnya menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Wa man lam yastathi' (barang siapa yang tidak mampu). Sekarang kita masuk "fa 'alaihi" (maka atasnya), 'alā (atasnya) atau baginya. Ini 'alā min alfāẓ al-wujūb termasuk dari lafaz-lafaz yang menunjukkan wajib. Maka baginya, atasnya, atau kalau misalkan kita artikan wajib baginya, tapi nanti kembali ke hukumnya, maka baginya untuk berpuasa.

​Karena puasa nanti akan disebutkan wijā', bisa melemahkan atau mengendalikan syahwat. Ulama menyebutkan sebagaimana orang yang capek, lelah karena bekerja keras, dari pagi sampai malam. Dia akan kelelahan, biasanya syahwatnya turun. Demikian pula berpuasa. Ketika dia menyibukkan diri dengan berpuasa, kemudian juga menahan haus dan lapar, maka syahwatnya akan turun juga.

​Dan juga tidak lupa bahwasanya termasuk faedah terbesar dari puasa adalah la'allakum tattaqūn (agar kalian bertakwa). Dan takwa adalah menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Sehingga menjadi sebab seseorang dimudahkan untuk meninggalkan kemaksiatan.

​Kemudian ada isykal (sesuatu yang membingungkan). Misalkan ada seseorang yang dia berusaha berpuasa tetapi tidak ada perubahan, sama saja. Disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah, beliau mengatakan ada isykal: wa istasykalā bi annahu yazīdu fī tahyīj al-harārah. Ada isykal, ada kebingungan. Sebagian mengatakan puasa itu malah justru membangkitkan harārah ya, panas, tahyij as-syahawāt, justru dia timbul syahwatnya. Kata Ibnu Hajar, yang demikian ini: lākinna dzālika innamā itu biasanya di awal-awal ketika dia belum terbiasa berpuasa. Tapi kalau sudah rutīn, kalau dia terus-menerus berpuasa—puasa sunah Senin Kamis atau Daud atau sebulan 3 hari atau puasa-puasa sunah yang lainnya—wa adāma (dan dia membiasakan) sakana dzālika, (maka dia akan tenang). Jadi kalau memang sudah ada yang berusaha tidak mampu menikah, kemudian memilih berpuasa, ternyata masih berhasrat, maka coba terus, itu di awal-awal saja, nanti kalau sudah terbiasa akan turun syahwatnya. Jadi puasa nanti akan disebutkan faedahnya adalah wijā'.

​Kemudian tadi disebutkan 'Alā', kalau kita belajar ushul fikih, termasuk dari kata yang menunjukkan wajib. Apa hukum berpuasa bagi kondisi orang ini? Ya, seorang pemuda yang tidak mampu menikah, apa hukum berpuasa baginya? Apakah wajib? Karena di sini disebutkan fa 'alaihi ash-ṣaum, atasnya atau yalzam harus baginya berpuasa.

​Pendapat yang rājiḥ (kuat) bahwasanya berpuasa bagi seseorang yang tidak mampu menikah hukumnya adalah sunah. Afḍal saja, tidak sampai wajib. Yang wajib baginya adalah menjaga diri ('iffah). Yang wajib baginya adalah menahan pandangan. Yang wajib baginya adalah dia memelihara kemaluannya, menjaga kehormatannya, meninggalkan kemaksiatan. Adapun puasanya sunah.

​Apa dalilnya? Padahal di sini disebutkan fa 'alaihi ash-ṣaum, atasnya berpuasa. 'Alā menunjukkan wajib. Dalilnya adalah hadis yang sudah kita sebutkan, hadis Abu Hurairah radhiyallāhu ta'ālā 'anhu, beliau bertanya meminta kepada Rasulullah ﷺ, "Yā Rasūlullāh, innī rajulun syābbun." Kata Abu Hurairah, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah pemuda, dan aku mengkhawatirkan diriku terjatuh kepada kemaksiatan, terjatuh pada zina. Aku tidak memiliki kemampuan untuk menikah."

​Dalam riwayat lain, Abu Hurairah meminta bagaimana kalau yang sepertiku ini adalah dia melakukan khiṣā' (mengkebiri kemaluannya). Fa sakata, maka Rasulullah terdiam. Kemudian Abu Hurairah mengulanginya sampai tiga kali. Baru yang ketiga kali Rasulullah mengatakan, "Yā Abā Hurairah, qalam at-taqdīr sudah tercatat, sama saja engkau mengkebiri ataupun tidak mengkebiri, itu sudah Allah takdirkan." Maksudnya, kata Ibnu Hajar, "Kalau engkau telah mengetahui wahai Abu Hurairah, segala sesuatu ditakdirkan, maka tidak perlu untuk melakukan ikhtisā." Nah, untuk melakukan mengkebiri supaya syahwatnya hilang. Dan ini adalah hukumnya haram. Al-ikhtisā', mengkebiri buah zakarnya, dilukai atau mungkin dipotong, yang seperti ini adalah haram, tidak boleh.

​Di sini Rasulullah tidak menyebutkan puasa. Kalau puasa itu wajib, maka Rasulullah akan mengatakan solusimu adalah berpuasa. Tapi di sini solusinya adalah bersabar. Bersabar untuk 'iffah, untuk menahan dan menjaga diri.

​Jadi hukum berpuasa bagi seorang pemuda yang dia tidak mampu untuk menikah hukumnya adalah sunah, tidak sampai wajib. Tidak bisa kita katakan: engkau tidak mampu menikah, maka wajib untuk berpuasa. Yang wajib adalah tadi menjaga diri, menahan pandangan, meninggalkan kemaksiatan, menjaga kehormatan, itu yang wajib baginya. “fa 'alaihi ash-ṣaum”, maka baginya untuk berpuasa ini bermakna sunah.

​II. Makna Wijā' (Pelemah Syahwat)

​Kemudian lanjutan potongan hadis berikutnya, “fa innahū lahū wijā'un”. Fa innahu, maka inna sesungguhnya hu (huwa), huwa kembali ke ṣaum. Kembali ke ṣaum. Sesungguhnya puasa “lahu” bagi syabab. Syabab yang tidak mampu untuk menikah dalam puasa ada wijā'. Wijā' sering diterjemahkan penawar, ada penawar dari dari ketidakmampuan, atau dari syahwat.

​Apa makna wijā'? Secara bahasa, wajā'a yajū'u wajā'an itu adalah aḍ-ḍarb (memukul), memukul, ḍarb. Yang dimaksud di sini adalah raḍḍu. Wijā' ini makna asalnya itu adalah raḍḍu al-khuṣyatain. Al-khuṣyatain buah zakar. Dua buah zakar itu yuraḍḍu, di jadi dipukul. Dipukul atau dilukai, supaya tidak berfungsi lagi. Itu raḍḍu al-khuṣyatain, jadi di masa-masa dulu, ketika berperang. Kemudian ketika ada keadaan yang di situ mengharuskan untuk raḍḍu wijā' atau ikhtisār. Ada dua ini untuk menghilangkan syahwat, bisa dengan raḍḍu al-khuṣyatain dengan wijā'. Jadi, buah zakarnya. Ini dipukul, tetapi masih ada. Kalau ikhtisā' itu dipotong sehingga hilang syahwatnya. Ini wijā'. Jadi, menghilangkan syahwat dengan cara demikian hukumnya haram, tetapi ini “bimanzilah” sama kedudukannya. Jadi puasa itu seperti wijā', bisa menurunkan syahwat, makanya diterjemahkan penawar, penawar atau penurun atau pelemah dari syahwat. “fa innahū lahū wijā'un”. Sekarang kita paham arti asalnya, kemudian digunakan terjemahannya adalah sesungguhnya puasa bagi orang tersebut adalah penawar, melemahkan syahwat.

​III. Empat Kriteria Motif Manusia dalam Menikah

​Selesai hadis ini, Kita lanjutkan hadis berikutnya. Wa qāla ﷺ: Tunkahu al-mar'atu li-arba'in. Tunkahu (dinikahi) al-mar'atu (seorang wanita) li-arba'in (karena empat perkara): li-mālihā (li: karena māl: harta, -nya kembali ke al-mar'ah) karena hartanya, wa li-ḥasabihā yang kedua, dan li-ḥasabihā karena ḥasab ya, ḥasab sementara kita terjemahkan kehormatannya. Maksudnya, wanita yang dari keturunan terhormat, karena keturunannya, atau sering diterjemahkan karena keturunannya. Wa li-jamālihā dan juga karena jamāl, kecantikannya, wa li-dīnihā dan juga karena dīn (agamanya). Faẓfar, sementara kita terjemahkan (carilah) bi dzāti ad-dīn (dzāt artinya ṣāḥibah (yang memiliki) dīn (agama). Carilah wanita yang beragama atau yang agamanya kuat. Taribat yadāk ya. Taribat yadāk nanti akan kita jelaskan. Hadits Muttafaqun 'alaih.

​Sekarang kita di hadits yang kedua. Di sini membahas kriteria wanita yang sebaiknya dipilih oleh seorang laki-laki ketika ingin menikah. Jadi ini kriteria idealnya. Nanti akan disebutkan hadits ini dan pembahasan berikutnya akan digabung dengan pembahasan berikutnya.

​Kita bahas kalimat “tunkahu”. Disebutkan di syarahnya, ini adalah khabar (berita), wa laisat amr (bukan perintah). Apa yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ ini hanya berita dari Nabi ﷺ, bukan perintah. Jangan diartikan di sini Rasulullah memerintahkan kita menikah karena empat perkara ini, bukan. Jadi, yang dimaksud ini adalah keadaan laki-laki ketika menikah biasanya karena empat ini. Jadi, Rasul sedang menceritakan wāqi' (kenyataan) yang terjadi, realitasnya adalah kebanyakan laki-laki menikah, motif utamanya atau yang dia cari adalah empat ini. Ada yang lainnya tetapi kebanyakan empat. Jadi, ini jangan dipahami Rasulullah memerintahkan kita mencari wanita yang empat-empatnya ini, atau memerintahkan ini li-mālihā. Rasulullah memerintahkan kita menikah, menikahi wanita yang kaya, bukan perintah. Ini adalah khabar (berita) dari Nabi ﷺ tentang keadaan-keadaan manusia atau laki-laki ketika menikah. Itu bermacam-macam, ada yang karena harta, ada yang karena kecantikan. Ini maksud hadits ini. Jadi, ini adalah khabar. Menceritakan kondisi, keadaan kebanyakan calon suami ketika memilih istrinya.

​Pertama adalah li-mālihā. Li-mālihā karena hartanya. Dan kita saksikan banyak yang seperti ini. Ada beberapa yang kita lihat di zaman ini atau di cerita-cerita sebelumnya, ada yang laki-laki memilih menikah karena istrinya kaya. Bahkan ada yang menikah dengan wanita yang berumur, yang ajūz, yang sudah nenek-nenek. Ada yang umur 20 atau umur masih belasan laki-lakinya menikah umur 60, 70, ini kenyataan ada. Kalau dari sisi hukumnya: boleh. Karena Rasulullah tidak melarang di sini. Boleh-boleh saja ada seseorang yang menikahi wanita karena dia kaya, walaupun dia tidak cantik, atau dari keluarga yang misalkan keluarga yang terpandang. Ini boleh saja dari sisi hukum. Tapi ingat nanti di akhir Rasulullah yursyid (membimbing) kita dari empat kebiasaan ini, mana yang harus kita utamakan. Jadi, ini kebiasaan kebanyakan atau beberapa menikah karena harta, dan secara hukum boleh. Kita bukan berbicara masalah afḍal-nya. Mana yang lebih baik? Yang lebih baik tentu bukan semata karena harta, tetapi karena agama. Kalau ternyata agamanya bagus, kemudian kaya, ini adalah “khair 'alal khair” (ia mendapatkan kebaikan di atas kebaikan). Kalau saja memang ada yang benar-benar memilih karena harta saja semata, secara hukum boleh. Tetapi ya, tentunya ini adalah tercela karena dunia adalah tercela. Dia mencari sesuatu yang tidak afdal. Apalagi kalau dia sengaja mencari wanita yang sudah mau meninggal (sudah berusia), dia menunggu warisannya. Ini tidak dikatakan haram, karena caranya halal. Menikah dengan akad yang sah. Tetapi ada niatan-niatan yang manusia kalau tahu akan menilai jelek, akan beranggapan negatif terhadap orang yang semata-mata karena hartanya atau bahkan menunggu warisan. Ini yang pertama. Li-mālihā, kondisi laki-laki, di antaranya kebanyakan di antara empat yang kebanyakan salah satunya adalah ini, karena harta.

​Kemudian yang kedua wa li-ḥasabihā. Al-ḥasab, dengan difathahkan sīn-nya, al-ḥasabu, atau di sini li-ḥasabihā, bukan ḥasbī ya, tapi difathahkan sīn-nya. Maknanya adalah al-'izzu wa asy-syarafu (al-'izz kemuliaan, wa asy-syarafu, syaraf juga kemuliaan). Maksudnya apa? Keluarganya, orang tuanya, kakeknya, itu adalah dari—istilah kita—keluarga terpandang. Dari keluarga terpandang, dan mungkin bisa juga kalau sekarang qabā'il, suku, memiliki marga itu ma'ruf. Ada marga yang terpandang, ada yang sedang, ada yang di bawah. Kalau seseorang ternyata—dan ini banyak—yang jadi pertimbangan ketika ingin menikah, memilih calon istrinya karena melihat dari keturunan keluarga terpandang, dari marga yang terpandang. Karena nanti ada kebanggaan ketika ditanya, menikah dengan siapa? Menikah dengan fulan binti fulan. Ada kebanggaan, orang-orang akan berkomentar: oh ternyata dari keturunan yang terpandang. Seperti ini dari sisi hukum boleh. Orang yang menikah semata-mata karena kehormatan keluarga istri, ini boleh. Tetapi tentunya Nabi ﷺ—akan disebutkan nanti—membimbing manakah yang seharusnya kita cari, bukan hanya sekedar sisi keturunan saja, dari kemuliaan keluarganya. Kalau ternyata cantik, kemudian kaya, kemudian beragama, dari keturunan baik-baik, keluarga terpandang, ini adalah tentunya yang dicari. Tapi permasalahannya apakah wanita yang seperti itu mencari kita? Biasanya akan mencari yang sama juga. Makanya pilihlah “faẓfar bi dzāti ad-dīn”.

​Kemudian yang berikutnya wa li-jamālihā. Dan ini bisa dibilang yang terbanyak. Seseorang dia memilih calon istrinya yang cantik. Nggak masalah dia miskin, nggak masalah dia dari keturunan yang biasa saja, orang tuanya bukan dari keluarga terhormat, bukan dari keluarga terpandang, bukan dari tokoh masyarakat, nggak masalah. Banyak yang mengutamakan kecantikan. Dari sisi hukumnya boleh, seseorang semata-mata menikahi seorang wanita karena kecantikannya. Tapi ingat, ini bukan segalanya. Apalagi harta, kemudian keturunan, kemudian jamāl (kecantikan). Ini adalah sesuatu yang fāna, sesuatu yang akan hilang, akan sirna dengan bertambahnya umur. Dikhawatirkan kalau dia cintanya karena kecantikan, dengan bertambahnya umur, akan memudar kecantikan. Demikian pula yang cintanya karena harta, ketika hartanya berkurang, maka akan hilang atau akan berkurang rasa cinta dia. Ini yang ketiga. Kebanyakan menikah karena memilih istrinya karena kecantikannya.

​Kemudian yang keempat adalah wa li-dīnihā, dan karena agamanya. Masih ada sekarang, dan bahkan banyak para pemuda yang mereka tujuan utamanya atau pilihan kriteria utamanya adalah karena agamanya. Melihat latar belakang pendidikannya, mondok berapa lama, hafalannya, kemudian melihat akhlaknya, melihat dari pendidikan orang tuanya. Seperti ini masih ada. Alhamdulillah pada masa sekarang ini ada para pemuda yang mereka mengedepankan li-dīnihā. Dan ini yang dianjurkan, yang dibimbing oleh Nabi ﷺ, utamanya ini. Kalau ternyata ada kelebihan yang lainnya yang telah disebutkan, maka ini adalah kebaikan di atas kebaikan.

​IV. Bimbingan Nabi: Mengutamakan Wanita Beragama

​Kemudian Rasulullah ﷺ mengatakan faẓfar bi dzāti ad-dīn. Kalimat faẓfar, Aẓ-ẓafar maknanya adalah ḥaṣala 'alaihi, ẓafira ya. Fi'il-nya adalah ẓafira yaẓfaru. Maknanya adalah ḥaṣala 'alaihi, fāza, dan nāla. Ini kalimat ẓafira, fi'il amr-nya faẓfar atau iẓfar. Fi'il māḍī-nya ẓafira, yaẓfaru fi'il muḍāri'-nya. Artinya adalah ḥaṣala, fāza, nāla (mendapatkan), fāza (memenangkan), nāla (mendapatkan). Nah, berarti kalau faẓfar, maka dapatkanlah atau carilah atau kejarlah ya, hal yang demikian. Faẓfar, carilah atau dapatkan olehmu. Rasulullah menyebutkan, "Kebanyakan orang menikah karena harta, kecantikan, keturunan/kehormatan, karena agama." Rasulullah membimbing faẓfar, carilah dzāti dīn, wanita yang beragama, yang dayyinah, yang memiliki agama, yang memiliki ilmu, tentunya yang mengamalkan ilmunya, yang beribadah. Ini faẓfar, tadi maknanya carilah atau dapatlah wanita yang beragama.

​Kemudian taribat yadāk. Sering diterjemahkan maka beruntunglah. Carilah oleh kalian yang beragama, maka kalian akan beruntung. Apa makna asal dari taribat yadāk? Taribat dari kata turāb. Taribat yadāk, yadāk tanganmu. Taribat yadāk artinya adalah iltaqaṭat yadāk. Makna asal dari taribat yadāk adalah iltaqaṭat yadāk. Kedua tanganmu menempel turāb, tanah. Jadi taribat yadāk kedua tanganmu tertempel tanah, tanah menempel di kedua tanganmu. Ini apa maksudnya? Yang dimaksud di sini adalah al-faqr (fakir) miskin. Karena orang miskin itu di tangannya cuma ada tanah. Tidak ada sesuatu kecuali tanah. Ini termasuk dari ungkapan orang-orang Arab yang lā yurādu bihā al-ma'nā (yang tidak dimaukan maknanya). Itu arti faẓfar bi dzāti ad-dīn taribat yadāk. Carilah yang wanita yang memiliki agama, maka taribat yadāk. Kalau makna asalnya adalah semoga tanganmu akan dipenuhi dengan pasir, dengan tanah. Tetapi ini disebutkan oleh para ulama, ini adalah khabar (berita). Taribat, fi'il māḍī, bukan fi'il amr, tetapi bi ma'nā du'ā'. Ini adalah doa semoga engkau miskin. Tetapi apa kata Syekh Ibnu Utsaimin: ini bukan dimaukan makna ini. Ini kalau di bahasa Indonesia hanya ucapan biasa, tapi artinya bukan itu. Ada juga dalam hadis, misalkan Rasulullah ﷺ mengatakan kepada Mu'adz: Tsakilatka ummuk (semoga ibumu kehilanganmu) ini bukan seperti itu maknanya. Hanya ucapan-ucapan yang diucapkan oleh orang-orang Arab, tetapi tidak dimaukan maknanya.

​Kata Syekh Ibnu Utsaimin: Al-kalimāt (kalimat-kalimat) seperti ini itu bi ma'nā yang mereka ucapkan di lidah-lidah mereka. Wa lā yurādu bihā an-nahaya wal lughawiyya. Nah, tidak dimaksudkan maknanya. Sudah ucapan seperti itu. Jadi, kalau di bahasa kita ini untuk supaya memahami, ada kita ketika memuji pakai kalimat "gila" "gila ente". Padahal sedang memuji. Dia bukan bukan mengata-ngatai gila, tetapi sedang memuji. "Gila" maksudnya "dahsyat". Ini seperti itu.

​Kemudian apa maknanya? Ini maknanya adalah al-ḥaṡṡ (anjuran), anjuran wa at-targhīb, targhīb juga anjuran. Jadi, innamā yurādu bihā al-ḥaṡṡu wa at-targhīb. Kata Syekh Utsaimin rahimahullah bahwasanya innamā yurādu bihā (yang dimaksud dengan kalimat taribat) adalah al-ḥaṡṡu wa at-targhīb (anjuran). Anjuran untuk mencari yang beragama. Jadi tidak perlu diterjemahkan secara asalnya. Faẓfar bi dzāti ad-dīn. Carilah oleh kalian yang wanita yang memiliki agama taribat yadāk. Nah, ini tidak perlu diterjemahkan. Ini karena al-ḥaṡṡ saja, anjuran dari Rasulullah ﷺ.

​Tapi kalau mau diterjemahkan, bisa di kita terjemahkan beruntunglah, maka beruntunglah. Sebagian mengatakan demikian. Sebagian lain mengatakan kemungkinan yang lain. Yang dimaksud taribat yadāk di sini, tadi sama taribat yadāk semoga tanganmu dipenuhi dengan tanah, dengan turāb. Tetapi ini ada sesuatu yang dibuang. Ada yang dibuang, ada maḥdzūf-nya. Apa taqdīr-nya? Sesuatu yang dibuang itu: Taribat yadāka in lam taf'al mā amartu biha. Jadi, ini ada kata yang dibuang. Yang dibuangnya adalah semoga engkau miskin (merugi) kalau tidak mencari yang beragama, atau celakalah kalau engkau tidak mencari yang wanita yang dayyinah, yang beragama. Bisa yang pertama atau yang kedua, kemungkinan pertama atau yang kedua. Yang pertama tadi, tidak dimaukan maknanya, hanya kalimat yang biasa diucapkan oleh orang Arab, yang maknanya adalah perintah atau maknanya adalah anjuran. Hanya penguat dari kata faẓfar. Atau tadi, maknanya adalah semoga celaka kalau tidak mencari yang demikian.

​Ini adalah bimbingan Nabi ﷺ adalah untuk memilih kriteria yang paling utamanya adalah wa li-dīnihā. Adapun yang sebelumnya, boleh saja, tapi tetap menjadikan pilihan utamanya adalah karena agamanya.

​V. Kriteria Ideal Wanita Menurut Syekh As-Sa'di

​Kemudian kita baca dulu setelahnya: wa yanbaghī an yatakhyyar (yalzam, seharusnya, sepatutnya, selayaknya). Kalau kalimat lā yanbaghī itu lā yaliq (tidak pantas). Kalau ini “yanbaghi” yang sepantasnya, sepatutnya. Seharusnya an yakhtār, seseorang itu adalah yatakhyyar (memilih) dzāta dīnin, ṣāḥibah dīn yang memiliki agama, wa al-ḥasab. Al-ḥasab tadi telah kita sebutkan, kemuliaan. Maksudnya adalah keturunan mulia. Bisa diterjemahkan dari keluarga terpandang, wa al-wadūda dan memilih al-wadūd. Al-wadūd dari kata wudd, mawaddah, mencintai. Wanita yang mencintai, memiliki sifat mencintai atau kasih sayang. Al-walūda. Al-walūda dari kata walad, yang walūd yang memiliki banyak anak. Maksudnya yang subur. Rahimnya subur, yang memiliki banyak anak. Wa al-ḥasībah. Wa al-ḥasībah dari kata ḥasab, dia dari keluarga yang terpandang.

​Ini disebutkan oleh Syaikh As-Sa'di rahimahullah, secara syar'i kriteria ideal seorang wanita itu adalah ini: dari sisi agamanya. Kemudian juga dari sisi ḥasab ini juga diperintahkan. Nanti akan kita sebutkan dalil-dalil yang menunjukkan demikian. Kemudian tadi dari keluarga yang terpandang, keluarga baik-baik ya, keluarga yang terhormat. Kemudian al-wadūd yang Dia memiliki kasih sayang, dia penyayang. Al-wadūd penyayang terhadap suaminya dan keluarganya dan anaknya. Al-walūd tadi yang subur. Kemudian al-ḥasībah.

​Kalau di hadis sebelumnya menunjukkan satu kriteria saja, di pembahasan berikutnya yang akan kita bahas insyā'allāh pada pertemuan berikutnya, kriteria lainnya, kriteria lainnya yang syar'i: pertama dayyinah (beragama), kemudian ḥasab (dari keluarga yang baik-baik, yang mulia), kemudian penyayang dan subur.

​Nah, insyā'allāh pada pertemuan berikutnya kita sebutkan dalil-dalil dari kriteria-kriteria yang disebutkan oleh Syaikh As-Sa'di rahimahullāh.

Ilā hunā, subḥānakallāhumma wa biḥamdik asyhadu an lā ilāha illā anta astaghfiruka wa atūbu ilaik.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

0 komentar:

Posting Komentar