HARTA YANG HAKIKI
Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman bahwasanya salah satu dari nama-nama-Nya adalah Ar-Razzāq, Yang Maha Pemberi Rezeki. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar diberikan rezeki dari cara yang halal dan rezeki yang berkah. Akan tetapi, kita tidak cukup hanya berdoa meminta rezeki saja, tetapi kita juga berdoa agar diberikan taufik, yaitu bagaimana rezeki tersebut dapat mendekatkan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan menjadikannya seseorang lebih taat kepada-Nya.
Sebab, seseorang akan ditanya pada hari kiamat. Tidaklah bergeser dua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ditanya dari empat perkara. Di antaranya adalah tentang hartanya: dari mana dia mendapatkan harta tersebut, dan untuk apa dia belanjakan atau dihabiskan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwasanya harta adalah ujian. Harta tidak dikatakan nikmat secara mutlak, tetapi tergantung dia menggunakannya untuk apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, Innamā amwālukum wa aulādukum fitnah (Sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah, adalah ujian).
Ada di antara kalangan manusia yang ketika mereka mendapatkan harta, justru mereka semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menggunakan harta tersebut untuk bermaksiat dan melakukan perkara-perkara yang haram, maka ini adalah sebuah musibah. Ada pula sebagian manusia yang ketika mendapatkan harta, mereka hanya menghabiskan harta tersebut pada perkara-perkara yang mubah. Selama dia tidak melakukan keharaman atau tetap mengeluarkan yang wajib (seperti zakat dan nafkah), maka ini tidak mengapa. Namun, ada yang lebih baik, yaitu sebagian manusia yang ketika mendapatkan harta, mereka menggunakannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menggunakannya untuk membantu ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah yang kita cari, dan inilah kelompok yang kita doakan agar kita menjadi bagian darinya, yaitu ketika mendapatkan harta, kita membelanjakannya dalam ketaatan, kita sedekahkan, dan kita berikan untuk jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ingatlah janji Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, Wamā anfaqtum min syay’in fa huwa yukhlifuh (Barang siapa yang menginfakkan hartanya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada kebaikan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menggantinya). Demikian pula di dalam hadis, Rasulullah ﷺ menyebutkan, "Tidak ada hari yang seorang hamba bangun padanya berada di pagi harinya, kecuali dua malaikat turun." Salah satu malaikat mengatakan, Allāhumma a'ṭi munfiqan kholafan (Ya Allah, berikanlah orang yang berinfak ganti balasan pahala). Dan malaikat yang lain berkata, Allāhumma a'ṭi mumsikan talafan (Ya Allah, berikanlah orang yang menahan hartanya kehancuran, kebinasaan pada hartanya).
Yang dimaksud mumsik (yang menahan harta) bukanlah secara umum, tetapi yang dimaksud adalah yang menahan tidak mengeluarkan harta pada perkara-perkara yang wajib, seperti zakat atau memberi nafkah kepada keluarganya. Maka, barang siapa yang menahan hartanya, yang bakhil, atau yang kikir, malaikat mendoakan dia akan hancur dan hilang hartanya. Kebinasaan harta (atalaf) ini bisa dimaksudkan secara ḥissī (fisik), yaitu hartanya hilang karena bencana atau kebakaran, atau bisa jadi dimaksudkan sebagai atalaf ma'nawī, yaitu dicabutnya berkah pada harta tersebut. Hartanya masih ada, tetapi Allah jadikan harta itu membuatnya jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah kelompok pertama yang kita merasa iri terhadapnya, yaitu yang didoakan oleh malaikat: "Ya Allah, berikanlah orang-orang yang berinfak gantinya." Kita merasa ġīrōh (cemburu), ingin meniru mereka. Rasulullah ﷺ bersabda, Lā ḥasada illā fī thnatayn (Tidak ada iri kecuali pada dua perkara). Di antaranya adalah rajulun ātāhullāhu mālan fahuwa yunfiqu fī sabilil ḥaq (seseorang yang diberi harta kemudian dia menghabiskan harta tersebut di jalan kebenaran, di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Fokus hadis ini adalah pada seseorang yang diberi harta, kemudian menghabiskannya untuk jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita tidak iri terhadap orang kaya yang foya-foya atau menggunakan hartanya untuk maksiat. Dan ini juga tidak harus menunggu kaya, karena mengamalkan hadis ini tidak mesti menunggu kaya raya. Bisa jadi seseorang yang diberi rezeki sedikit, tetapi ketika dia gunakan untuk sedekah atau ketaatan, maka ini termasuk yang kita iri kepadanya. Ingatlah hadis Ittaqun nār walau bi syiqqi tamrah (Takutlah kalian kepada neraka Allah, walaupun [berlindung dari neraka] dengan sedekah separuh kurma). Ini menunjukkan bahwa sedekah tidak menunggu kaya. Kemudian, Rasulullah ﷺ juga mengatakan kepada Abu Dzar, "Wahai Abu Dzar, apabila engkau membuat masakan yang berkuah, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu." Selama kita mendapatkan rezeki dari Allah, kita bisa sedekahkan sebagian harta kita di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun hakikat kekayaan adalah sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah ﷺ: "Tidaklah dikatakan kaya ketika dia memiliki banyak harta, akan tetapi kaya sesungguhnya adalah kaya hati." Ibnu Baṭṭāl menyebutkan, yang disebut kaya hati adalah orang yang apabila diberi, dia merasa cukup, merasa qanā’ah (puas) terhadap pemberian Allah, dan dia rida (rela) terhadap pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah hakikat kaya sejati.
Kemudian, hakikat dari harta yang sesungguhnya adalah sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda kepada para sahabat, "Siapakah di antara kalian yang lebih suka harta milik pewarisnya, harta anaknya, atau harta keluarganya, dibandingkan harta dia sendiri?" Maka para sahabat menjawab, "Ya Rasulullah, tidak ada di antara kita melainkan yang lebih dia cintai adalah hartanya sendiri." Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya harta hakikat seseorang adalah mā qaddam (yang dia amalkan), yang dia sedekahkan, yang dia gunakan di jalan ketaatan. Adapun harta yang milik ahli warisnya adalah yang dia tinggalkan."
Ini bukan berarti kita tidak perlu memberikan warisan kepada keluarga, sebab meninggalkan warisan adalah perkara yang dianjurkan. Rasulullah ﷺ mengatakan, "Sesungguhnya apabila kalian memberikan kepada ahli waris kalian harta dan membiarkan mereka dalam keadaan kaya—yakni mendapatkan warisan yang banyak—itu adalah lebih baik dibandingkan meninggalkan mereka dalam keadaan miskin kemudian meminta-minta kepada manusia." Kita tetap harus meninggalkan warisan, tetapi jangan lupa bahwa harta kita sesungguhnya adalah yang kita gunakan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal ini dikuatkan oleh hadis 'Aisyah radhiyallāhu ta’ālā 'anhā, bahwasanya mereka keluarga Nabi ﷺ menyembelih seekor kambing. Nabi ﷺ bertanya, "Apakah masih ada sisa untuk kita dari kambing tersebut?" 'Aisyah menjawab, "Tidak ada yang tersisa melainkan daging pundaknya." Maka Rasulullah ﷺ mengatakan, "Pada hakikatnya jatah kita adalah semuanya, kecuali bagian bahu tersebut." Artinya, yang dibagikan ke fakir miskin dan disedekahkan itu adalah milik kita sesungguhnya, karena itu akan kekal di akhirat menjadi pahala. Adapun sisanya, itu bukan harta kita sesungguhnya karena akan dimakan dan habis.
Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda: "Seorang hamba mengatakan, Mālī, Mālī (Hartaku, hartaku)." Kemudian Rasulullah ﷺ mengatakan, "Sesungguhnya milik dia harta sesungguhnya hanya tiga: pertama, yang dia makan kemudian habis (padahal yang bisa dinikmati hanya sepiring dua piring); kedua, yang dia pakai kemudian dia akan usang; dan yang ketiga, yang kau sedekahkan (au taṣaddaqa fa'amḍā). Maka ini adalah yang akan tersisa. Adapun selain itu, maka itu akan pergi atau dia telah meninggalkannya untuk manusia (ahli warisnya)."
Ini menunjukkan bahwa janganlah kita lupa terhadap diri kita. Ketika kita memiliki harta, ingatlah harta kita sesungguhnya adalah yang kita sedekahkan, yang kita gunakan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Mā 'indakum yanfad wallāhu mā 'indallāhi bāqin (Dan yang ada di sisi kalian [dari perkara dunia] itu akan sirna, dan pahala yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala [di akhirat] adalah kekal). Maka kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kita diberikan taufik, sehingga ketika diberikan harta, harta tersebut menjadikan kita lebih dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
0 komentar:
Posting Komentar