Minggu, 23 November 2025

Keutamaan Ilmu

 Keutamaan Ilmu

kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan begitu banyak kenikmatan kepada kita. Apabila kita menghitung kenikmatan-kenikmatan tersebut, maka kita tidak akan mampu menghitungnya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di dalam Al-Qur'an: "Apabila kalian menghitung nikmat-nikmat Allah, maka kalian tidak akan mampu menghitungnya." Ini menunjukkan begitu banyaknya kenikmatan yang Allah berikan kepada kita. Maka, kita sebagai seorang muslim dan mukmin wajib untuk mensyukuri kenikmatan tersebut. Apabila kita mensyukurinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menambahkan kenikmatan berikutnya: La'in syakartum la'azīdanna lakum (Apabila kalian bersyukur, maka Aku akan tambahkan untuk kalian). Akan tetapi, sebaliknya apabila kalian kufur atau mengingkari nikmat Allah, maka ingatlah bahwasanya azab Allah sangatlah keras.

​Kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bil qalbi (dengan hati kita), yaitu dengan meyakini bahwasanya segala kenikmatan yang ada pada kita hakikatnya adalah datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala: Wamā bikum min ni’matin fa minallāh (Dan segala kenikmatan yang ada pada kalian, maka itu datangnya dari Allah). Kita juga bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bil lisān (dengan lisan kita), yaitu dengan membasahi lisan kita memuji Allah dengan mengucapkan alḥamdulillāh atau zikir lainnya, atau dengan menceritakan kenikmatan-kenikmatan tersebut dalam rangka syukur kepada Allah: Wa ammā bini’mati rabbika faḥaddits (Adapun kenikmatan-kenikmatan Rabb kalian, maka ceritakanlah). Dan juga kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bil 'amal (dengan perbuatan), yaitu dengan menggunakan kenikmatan-kenikmatan tersebut dalam rangka meningkatkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjalankan ibadah kepada-Nya. Semakin banyak Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kenikmatan kepada kita, maka semakin kita bertambah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita lihat bagaimana Rasulullah ﷺ, sebagaimana diceritakan oleh 'Aisyah radhiyallāhu 'anhā, dahulu salat malam sampai kedua kaki beliau pecah-pecah. Ketika 'Aisyah bertanya, "Mengapa Engkau berbuat demikian, ya Rasulullah, padahal engkau telah diampuni dosamu apa yang telah lalu dan apa yang akan datang?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: "Apakah aku tidak suka menjadi seorang hamba yang bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?"

​Di antara kenikmatan-kenikmatan yang Allah berikan kepada kita, yang paling besarnya adalah nikmatul Islam, nikmatul īmān, nikmatul istiqāmah, dan nikmat berjalan di atas Sunnah. Dan di antara kenikmatan lainnya yang tidak kalah besarnya adalah nikmat ṭalabul 'ilmi. Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan kesempatan dan kemudahan kepada kita semua sehingga kita bisa istimrār (berkesinambungan) dalam menuntut ilmu, sehingga kita bisa duduk di Ma’had ini dalam rangka menuntut ilmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan begitu banyak keutamaan ilmu dalam Al-Qur'an, dan Rasulullah ﷺ juga begitu banyak menyebutkannya dalam hadis-hadisnya.

​Di antara ayat yang menunjukkan tentang keutamaan ilmu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Yarfa'illāhul ladzīna āmanū minkum walladzīna ūtul 'ilma darajāt (Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang berilmu beberapa derajat). Ayat ini jelas menunjukkan keutamaan ilmu, di mana Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu baik di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, Allah akan menempatkan mereka di surga-surga yang tinggi sesuai dengan ilmu dan amalan mereka. Di dunia, Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dengan menempatkan mereka di hadapan manusia pada kedudukan yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia untuk bertanya dalam permasalahan agama kepada orang-orang yang berilmu: Fas'alū ahlaz zikri in kuntum lā ta’lamūn (Bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu apabila kalian tidak mengetahui). Para ulama akan menjawab pertanyaan-pertanyaan agama dengan ilmu dan dalil-dalilnya dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Mereka tidak berani menjawab pertanyaan tanpa ilmu karena mereka mengetahui bahwasanya jawaban-jawaban mereka akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala: Innas sam’a wal baṣara wal fu’āda kullu ulā’ika kāna 'anhu mas’ūlā (Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala).

​Rasa takut inilah yang mereka miliki, dikarenakan rasa khasyah yang mereka miliki, karena memang orang-orang yang memiliki khasyah dari kalangan hamba-hamba Allah hanyalah para ulama: Innamā yakhsyallāha min 'ibādihil 'ulamā' (Sesungguhnya yang memiliki khasyah dari kalangan hamba-hambaku adalah al-'ulamā’, adalah orang-orang berilmu). Al-khasyah berbeda dengan al-khauf (rasa takut). Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullāh mengatakan bahwa al-khasyah adalah rasa takut yang dibangun di atas ilmu, yaitu ilmu tentang apa yang dia takuti. Maka rasa takut yang dimiliki para ulama berbeda dengan rasa takut yang dimiliki oleh selain mereka. Rasa takut para ulama membawa mereka untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjalankan apa-apa yang diperintahkan, dan meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun orang-orang yang tidak berilmu, mereka hanya mengucapkan di bibir saja bahwa mereka takut kepada Allah, akan tetapi mereka masih melakukan apa-apa yang dilarang dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

​Kita lihat bagaimana perbedaan antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Qul hal yastawil ladzīna ya’lamūna walladzīna lā ya’lamūn (Katakanlah, apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?). Jelas berbeda. Orang-orang yang berilmu meyakini suatu keyakinan, mengucapkan suatu ucapan, dan melakukan suatu amalan dilandasi dengan ilmu, dilandasi dengan Al-Qur'an dan Hadis. Adapun orang-orang yang tidak berilmu, mereka meyakini suatu keyakinan, mengucapkan suatu ucapan, dan mengamalkan suatu amalan dikarenakan taklid, dikarenakan ikut-ikutan. Mereka melihat kebanyakan manusia melakukan suatu ibadah atau amalan tertentu, maka mereka ikut-ikutan tanpa mengetahui dasar apa yang telah kebanyakan manusia lakukan. Maka kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kita terhindar dari perbuatan orang-orang yang tidak berilmu yang melakukan amalan tanpa dilandasi oleh dalil, dan kita memohon agar digolongkan termasuk dari orang-orang yang berilmu. Kita juga berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana doa yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi-Nya: Rabbi zidnī 'ilmā (Ya Allah, tambahkanlah aku ilmu).

Alhamdulillah waṣṣalātu wassalāmu ‘alā Rasūlillāh wa ‘alā ālihi wa ṣahbihi wa man wālāh. Di antara hadis-hadis yang menyebutkan tentang keutamaan ilmu adalah hadis Nabi ﷺ: Man yuridillāhu bihi khayran yufaqqihhu fid-dīn (Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan pada seseorang, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan pahamkan dia terhadap agama). Hadis ini merupakan hadis yang jelas menunjukkan keutamaan ilmu, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila menginginkan suatu kebaikan kepada hamba-Nya, maka Allah akan memahamkan hamba tersebut terhadap agama. Sejauh mana tingkat keilmuan seseorang, sejauh itu pula Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan padanya. Semakin banyak ilmu yang dimiliki seseorang, maka semakin banyak kebaikan yang Allah berikan kepadanya. Kita ukur diri kita masing-masing sejauh mana pemahaman agama kita, sejauh mana ilmu yang kita miliki, karena yang menjadi ukuran suatu kebaikan adalah Al-'Ilmu. Rasulullah ﷺ tidak mengatakan, "Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka Allah akan menambahkan dia harta," atau "pangkat," atau "anak dan istri yang banyak." Karena memang perkara-perkara tersebut bukanlah ukuran dari suatu kebaikan. Ukuran suatu kebaikan adalah ilmu.

​Barang siapa yang ingin memiliki ilmu dan pemahaman agama, tentunya harus menjalani sebab-sebabnya (asbāb fī taḥṣīl al-'ilm). Baik dengan belajar di hadapan para ulama atau ustaz, atau dengan duduk di pondok-pondok dalam rangka menuntut ilmu, atau dengan hadir di majelis-majelis umum atau daurah-daurah, atau dengan mendengarkan kaset-kaset, atau dengan membaca buku-buku tentang agama. Semua itu adalah jalan-jalan untuk meraih ilmu, yang sebagaimana disebutkan oleh Nabi ﷺ: Man salaka ṭarīqan yaltamisu fīhi 'ilman sahhalallāhu lahu ṭarīqan ilal jannah (Barang siapa yang menempuh satu jalan yang dia mencari ilmu padanya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mudahkan jalannya menuju surga).

​Tidak bisa dipungkiri lagi bahwasanya tujuan akhir seorang mukmin adalah surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka barang siapa yang menginginkan surga Allah dengan mudah, hendaklah dia mencari ilmu, karena dengan ilmu jalan menuju surga menjadi terang benderang. Dengan ilmu, dia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan ilmu, dia bisa membedakan mana perkara tauhid dan mana perkara syirik. Dengan ilmu, dia bisa membedakan mana yang sunnah dan mana yang bid’ah. Dengan ilmu, dia bisa membedakan mana perkara taat dan mana perkara maksiat, sehingga dia dengan mudah menuju surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga kita digolongkan termasuk orang-orang yang sedang menuntut ilmu, termasuk orang-orang yang sedang menuju jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menuju surga-Nya. Dan kita juga memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kita semua dikumpulkan di surga-Nya.


khutbah jumat, 07 februari 2015


0 komentar:

Posting Komentar