Senin, 24 November 2025

Bekal Dakwah


​📜 Syukur atas Beragam Kenikmatan Allah

​Ikhwani fiddin a'azzakumullah, kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberikan beragam kenikmatan kepada kita. Apabila kita menghitung kenikmatan-kenikmatan tersebut, niscaya kita tidak akan mampu menghitungnya.

​Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"...Wa in ta'udduu ni'matallahi laa tuhsuuhaa." (QS. An-Nahl: 18)

"Apabila kalian menghitung kenikmatan-kenikmatan Allah, maka kalian tidak akan mampu menghitungnya."


​Ini dikarenakan begitu banyaknya kenikmatan yang Allah berikan. Maka, sudah sepantasnya bagi kita semua untuk mensyukuri kenikmatan-kenikmatan tersebut.

​💖 Janji Allah bagi Orang yang Bersyukur

​Apabila kita mensyukuri kenikmatan tersebut, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menambahkan kenikmatan itu kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"...Lain syakartum la azidannakum wa lain kafartum inna 'adzābī la syadīd." (QS. Ibrahim: 7)

"Apabila kalian bersyukur, maka Aku akan tambahkan kenikmatan untuk kalian. Akan tetapi, sebaliknya apabila kalian kufur nikmat, maka ketahuilah bahwasanya azab Allah sangatlah pedih."


​Maka, hendaklah kita bersyukur dengan segala bentuk syukur. Para ulama menyebutkan ada tiga macam bentuk syukur:

  1. Syukur dengan Hati: Didasarkan pada keyakinan bahwa segala kenikmatan yang diperoleh hakikatnya adalah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. ​"...Wa mā bikum min ni'matin faminallāh..." (QS. An-Nahl: 53) "Dan tidaklah ada kenikmatan dan segala sesuatu kenikmatan yang ada pada kalian, maka itu datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala."
  2. "...Wa mā bikum min ni'matin faminallāh..." (QS. An-Nahl: 53)

    "Dan tidaklah ada kenikmatan dan segala sesuatu kenikmatan yang ada pada kalian, maka itu datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala."


    1. Syukur dengan Lisan: Dengan mengucapkan zikir-zikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan memuji-Nya, seperti mengucapkan "Alhamdulillah," segala puji bagi Allah yang telah memberikan kenikmatan kepada kita.
    2. Syukur dengan Anggota Badan (Amalan): Dengan menggunakan kenikmatan-kenikmatan tersebut untuk menambah amalan ketaatan. Contohnya, menggunakan harta yang diperoleh untuk jalan yang bisa menambah ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

    ​🕋 Kenikmatan Terbesar: Nikmatul Islam dan Ukhuwah

    ​Di antara kenikmatan yang Allah berikan kepada kita, yang merupakan kenikmatan paling besar, adalah Nikmatul Islam. Islam adalah satu-satunya agama yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

    ​Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

    "...Inna ad-dīna 'indallāhil-Islām..." (QS. Ali 'Imran: 19)

    "Sesungguhnya agama yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala hanyalah Islam."


    ​Dan barang siapa yang mencari selain agama Islam sebagai agamanya, maka pasti tertolak:

    "...Wa may yabtaghi ghairal-Islāmi dīnan falay yuqbala min-hu, wa huwa fil-ākhirati minal-khāsirīn." (QS. Ali 'Imran: 85)

    "...maka tidak akan diterima, dan dia kelak di akhirat termasuk orang-orang yang merugi."


    ​🤝 Keutamaan Berkumpul dan Persaudaraan

    ​Kenikmatan lainnya adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala masih memberikan kesempatan bagi kita untuk menjalankan ibadah Jumat dan berkumpul di rumah-Nya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang sekelompok orang yang berkumpul di masjid, membaca Al-Qur'an, dan saling mempelajarinya:

    "...Illā nazalat 'alaihimus-sakīnah, wa ghāsyiyat-humur-raḥmah, wa ḥaffat-humul-malā'ikah, wa dzakarahumullāhu fī man 'indah."

    "...kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, mereka akan diliputi rahmat, malaikat akan mengelilingi mereka, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membanggakan mereka di hadapan para malaikat-Nya."


    ​Kemudian, kenikmatan besar lainnya adalah Nikmatul Ukhuwah (tali persaudaraan). Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan sesama orang-orang yang beriman sebagai saudara.

    ​Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

    "...Innamal-mu'minūna ikhwah..." (QS. Al-Hujurat: 10)

    "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mereka adalah bersaudara."


    ​Maka, sudah sepantasnya kita menganggap kaum Muslimin yang lainnya adalah saudara kita, dan kita ingin memberikan yang terbaik kepada saudara kita. Hal ini merupakan tanda kesempurnaan iman seseorang.

    ​Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    "...Lā yu'minu aḥadukum ḥattā yuḥibba li-akhīhi mā yuḥibbu li-nafsih."

    "Tidaklah sempurna iman seseorang, sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri."


    ​Sebagai Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kita tidak hanya memberikan kebaikan dunia, tetapi yang lebih utama adalah memberikan kebaikan akhirat, terutama dalam permasalahan agama mereka.

    ​🎁 Tiga Bentuk Kebaikan Akhirat untuk Saudara

    ​Cara untuk memberikan kebaikan akhirat, atau kebaikan agama, kepada saudara kita, sebagaimana Allah bimbing melalui firman-Nya dalam Surah Al-'Asr:

    "...Illal-ladhīna āmanū wa 'amiluṣ-ṣāliḥāti wa tawāṣaw bil-ḥaqqi wa tawāṣaw biṣ-ṣabr." (QS. Al-'Asr: 3)

    "...melainkan orang-orang yang beriman, beramal saleh, dan saling memberikan wasiat kepada kebenaran dan juga kesabaran."


    ​Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dikecualikan dari kerugian adalah yang saling memberikan nasihat kepada kebenaran dan kesabaran. Ini adalah salah satu cara untuk memberikan yang terbaik kepada saudara kita.

    ​Berikut adalah tiga bentuk utama dalam mewujudkan kebaikan akhirat bagi sesama muslim:

    ​1. Nasihat (Ad-Dīnun Naṣīḥah)

    ​Nasihat merupakan tonggak agama ini. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    "...Ad-dīnun naṣīḥah."

    "Bahwasanya agama itu adalah nasihat."


    ​Ketika ditanya untuk siapa, beliau menjawab:

    • ​Nasihat karena Allah.
    • ​Nasihat dalam rangka menjalankan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
    • ​Nasihat kepada pemimpin-pemimpin umat Islam (Aimmatil Muslimīn).
    • ​Nasihat kepada kaum Muslimin secara umum.

    ​Memberikan nasihat juga merupakan hak sesama muslim. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "...wa idzāstansaḥaka fanṣaḥhu" (apabila seseorang meminta untuk diberi nasihat, maka berilah dia nasihat).

    ​2. Amar Ma'ruf Nahi Mungkar

    ​Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan umatnya untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).

    ​Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

    "...Waltakum minkum ummatun yad'ūna ilal-khairi wa ya'murūna bil-ma'rūfi wa yanhawna 'anil-munkar. Wa ulā'ika humul-mufliḥūn." (QS. Ali 'Imran: 104)

    "Hendaklah ada di antara kalian sekelompok orang yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan kepada kebaikan, dan juga mencegah kepada kemungkaran. Mereka adalah orang-orang yang beruntung."


    ​Para sahabat menjadi umat terbaik karena mereka menegakkan amar ma'ruf nahi munkar:

    "...Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nāsi ta'murūna bil-ma'rūfi wa tanhawna 'anil-munkari wa tu'minūna billāh..." (QS. Ali 'Imran: 110)

    "Kalian adalah sebaik-baik umat... karena kalian menegakkan amar ma'ruf dan juga mencegah kepada kemungkaran."


    ​Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang cara mengubah kemungkaran (Hadis Abu Sa'id Al-Khudri):

    "Barang siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah rubahlah dengan tangannya. Apabila dia tidak mampu, maka dengan lisannya (ucapan). Apabila itu pun tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan merubah kemungkaran dengan hatinya adalah sekecil-kecilnya iman."


    ​3. Berdakwah kepada Jalan Allah

    ​Mendakwahkan mereka ke jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan amalan yang sangat mulia.

    ​Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

    "...Wa man aḥsanu qaulan mimman da'ā ilallāhi wa 'amila ṣāliḥan wa qāla innani minal-muslimīn." (QS. Fushshilat: 33)

    "Dan siapakah yang lebih baik ucapannya dari orang yang berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, beramal saleh, dan dia juga mengatakan: 'Sesungguhnya aku termasuk dari orang-orang yang muslim'."


    ​Perintah berdakwah juga disebutkan:

    "...Ud'u ilā sabīli rabbika bil-ḥikmati wal-mau'iẓatil ḥasanati wa jādil-hum billatī hiya aḥsan..." (QS. An-Nahl: 125)

    "Dan serulah kepada jalan Allah dengan hikmah, dengan nasihat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik."


    ​Keutamaan dakwah juga ditunjukkan dalam hadis:

    • Man dalla 'alā khairin fa-lahū mitslu ajri fā'ilih. "Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya."
    • Lā yanquṣu dzālika min ujūrihim syai'an. "Dan orang yang mengikutinya itu tidaklah berkurang sedikit pun dari pahala mereka."
    • Wallāhi lahyadiyallāhu bika rajulan wāḥidan khairun laka min ḥumrin na'am. "Demi Allah, apabila seseorang ada yang mendapatkan hidayah dikarenakan sebabmu, maka itu adalah lebih baik daripada engkau mendapatkan unta merah (kendaraan terbaik pada masa itu)."

    ​Ketiga hal ini (nasihat, amar ma'ruf nahi mungkar, dan dakwah) memiliki tujuan yang sama, yaitu isalul khair lil ghair, menyampaikan kebaikan kepada yang lainnya.

    ​💡 Tiga Pilar Pelaksanaan Kebaikan (Nasihat, Amar Ma'ruf, Dakwah)

    ​Berikut adalah beberapa poin penting terkait pelaksanaan tiga bentuk kebaikan tersebut:

    ​1. Ilmu (Al-'Ilm) dan Niat Ikhlas (An-Niyyah)

    ​Sebelum berani melakukan tiga perkara tersebut, hendaklah dilandasi dengan ilmu (Al-'Ilm) dan niat yang ikhlas (An-Niyyah).

    ​Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

    "...Fa'lam annahu lā ilāha illallāh..." (QS. Muhammad: 19)

    "Ketahuilah bahwasanya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah."


    Al-Imam Al-Bukhari mengatakan: Fabada'a bil-'ilmi qablal-qaul wal-'amal (maka hendaklah seseorang memulai dengan ilmu sebelum dia mengucapkan dan juga sebelum dia berbuat sesuatu).

    ​Ilmu dan Niat Ikhlas adalah dua syarat diterimanya ibadah:

    • Niat Ikhlas: Meluruskan niat, yaitu semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. ​"...Innamal a'mālu bin-niyyāt." "Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya." Walaupun amalan sesuai Sunnah, jika niatnya tidak syar'i, amalan tersebut tertolak.
    • "...Innamal a'mālu bin-niyyāt."

      "Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya."

      Walaupun amalan sesuai Sunnah, jika niatnya tidak syar'i, amalan tersebut tertolak.


      • Ilmu/Sesuai Sunnah: Walaupun amalan dilakukan ikhlas karena Allah, jika tidak sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak dilandasi dengan ilmu, maka amalan itu pun tertolak.

      ​2. Memulai dari Diri Sendiri

      ​Memulai dari diri sendiri memiliki dua makna:

      • Mengamalkannya: Hendaklah orang yang menyuruh dan menasihati, dia orang yang pertama kali melaksanakannya. Ini merupakan celaan bagi ahlul kitab (Surat Al-Baqarah: 44): ​"...A ta'murūnan-nāsa bil-birri wa tansauna anfusakum wa antum tatlūnal-kitāb, afalā ta'qilūn." "Apakah kalian memerintahkan manusia kepada kebaikan, sedangkan kalian melupakan diri-diri kalian? Padahal kalian membaca Al-Kitab, tidakkah kalian berpikir?" Juga celaan bagi yang berkata tetapi tidak melaksanakan (Surat As-Saff: 2-3): "...Li-ma taqūlūna mā lā taf'alūn. Kabura maqtan 'indallāhi an taqūlū mā lā taf'alūn." "Mengapa kalian mengucapkan sesuatu yang kalian tidak melaksanakannya? Betapa besar kemarahan Allah Subhanahu wa Ta'ala apabila kalian mengucapkan apa yang tidak kalian lakukan."
      • "...A ta'murūnan-nāsa bil-birri wa tansauna anfusakum wa antum tatlūnal-kitāb, afalā ta'qilūn."

        "Apakah kalian memerintahkan manusia kepada kebaikan, sedangkan kalian melupakan diri-diri kalian? Padahal kalian membaca Al-Kitab, tidakkah kalian berpikir?"

        Juga celaan bagi yang berkata tetapi tidak melaksanakan (Surat As-Saff: 2-3):

        "...Li-ma taqūlūna mā lā taf'alūn. Kabura maqtan 'indallāhi an taqūlū mā lā taf'alūn."

        "Mengapa kalian mengucapkan sesuatu yang kalian tidak melaksanakannya? Betapa besar kemarahan Allah Subhanahu wa Ta'ala apabila kalian mengucapkan apa yang tidak kalian lakukan."


        • Mendakwahkan kepada Diri Sendiri dan Keluarga Terdekat: Memulai dakwah dari diri sendiri, kemudian orang terdekat (seperti istri dan keluarga). ​"...Yā ayyuhal-ladhīna āmanū qū anfusakum wa ahlīkum nārā..." (QS. At-Tahrim: 6) "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan juga keluarga-keluarga kalian dari api neraka." "...Wa'mur ahlaka biṣ-ṣalāti waṣṭabir 'alaihā..." (QS. Thaha: 132) "Dan perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah dalam memerintahkannya."
        • "...Yā ayyuhal-ladhīna āmanū qū anfusakum wa ahlīkum nārā..." (QS. At-Tahrim: 6)

          "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan juga keluarga-keluarga kalian dari api neraka."

          "...Wa'mur ahlaka biṣ-ṣalāti waṣṭabir 'alaihā..." (QS. Thaha: 132)

          "Dan perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah dalam memerintahkannya."


          ​3. Hikmah (Al-Hikmah) dalam Berdakwah

          ​Seorang yang berdakwah harus dilandasi dengan hikmah.

          ​Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

          "...Ud'u ilā sabīli rabbika bil-ḥikmati..." (QS. An-Nahl: 125)

          "Dan serulah ke jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hikmah."


          • Makna Hikmah: Waḍ'usy syai'i fī maḥallih (meletakkan sesuatu pada tempatnya), yaitu meletakkan sesuatu sesuai dengan kondisi dan situasi.
          • Hukum Asal: Hukum asal dakwah adalah menyampaikan dengan lemah lembut. Namun, jika kondisi tertentu menuntut ketegasan, maka perlu berdakwah dengan ketegasan.
          • Prioritas Dakwah: Bentuk hikmah adalah mendahulukan perkara yang paling penting di atas penting yang lainnya.

          ​Perkara yang paling pertama kali didakwahkan, meniru dakwah para rasul, adalah perkara tauhid.

          ​Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepada Mu'adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman:

          "...Falyakun awwalu mā tad'ūhum ilaihi syahādatu an lā ilāha illallāh."

          "...maka hendaklah apa yang pertama kali engkau dakwahkan adalah perkara tauhid."


          ​🌍 Sarana Dakwah yang Luas (Wasā'ilud Da'wah Katsīrah)

          ​Poin terakhir adalah memahami bahwa sarana-sarana atau cara-cara untuk berdakwah sangat banyak.

          • Tugas Setiap Muslim: Tugas dakwah tidak hanya milik para ustaz atau santri. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ballighū 'annī wa lau āyah" ("Sampaikan dariku walaupun satu ayat"). Maksudnya, sampaikan perkara yang telah kita ketahui dan ilmui dengan benar, sesuai dengan kemampuan masing-masing.
          • Bentuk Dakwah yang Beragam: Dakwah tidak sempit hanya dengan berceramah atau berdiri di mimbar, tetapi maknanya sangat luas, meliputi:
            • ​Menulis.
            • ​Memberikan kaset, majalah, atau buletin yang berpemahaman Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
            • Dakwah bil-ḥāl (dakwah dengan keadaan/perilaku). Yaitu, dengan menunjukkan sikap atau perilaku yang baik.
          • Pengaruh Akhlak Mulia: Akhlak yang mulia sangat berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: ​"...Wa lau kunta faẓẓan ghalīẓal-qalbi lanfaḍḍū min ḥaulik..." (QS. Ali 'Imran: 159) "Wahai Rasulullah, seandainya engkau bersikap keras dan kaku, maka orang-orang di sekitar kalian akan lari."
          • "...Wa lau kunta faẓẓan ghalīẓal-qalbi lanfaḍḍū min ḥaulik..." (QS. Ali 'Imran: 159)

            "Wahai Rasulullah, seandainya engkau bersikap keras dan kaku, maka orang-orang di sekitar kalian akan lari."


            ​Maka, hendaklah kita di masyarakat berakhlak mulia agar masyarakat tidak lari dari dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

            Alhamdulillah hamdan katsiran tayyiban mubarakan fih, kama yuḥibbu rabbunā wa yardā. Semoga kita dapat mengamalkan dan menjalankan segala bentuk kebaikan ini dengan tujuan memberikan kebaikan akhirat kepada saudara-saudara kita sesama Muslim.

            Yā muqallibal-qulūb, thabbit qalbī 'alā dīnik. (Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu).

            ​Khutbah Jumat, 27 januari 2012 (Ma'had Dhiyauus Sunnah, Cirebon)

baca selanjutnya “Bekal Dakwah”

Minggu, 23 November 2025

Keutamaan Ilmu

 Keutamaan Ilmu

kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan begitu banyak kenikmatan kepada kita. Apabila kita menghitung kenikmatan-kenikmatan tersebut, maka kita tidak akan mampu menghitungnya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di dalam Al-Qur'an: "Apabila kalian menghitung nikmat-nikmat Allah, maka kalian tidak akan mampu menghitungnya." Ini menunjukkan begitu banyaknya kenikmatan yang Allah berikan kepada kita. Maka, kita sebagai seorang muslim dan mukmin wajib untuk mensyukuri kenikmatan tersebut. Apabila kita mensyukurinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menambahkan kenikmatan berikutnya: La'in syakartum la'azīdanna lakum (Apabila kalian bersyukur, maka Aku akan tambahkan untuk kalian). Akan tetapi, sebaliknya apabila kalian kufur atau mengingkari nikmat Allah, maka ingatlah bahwasanya azab Allah sangatlah keras.

​Kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bil qalbi (dengan hati kita), yaitu dengan meyakini bahwasanya segala kenikmatan yang ada pada kita hakikatnya adalah datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala: Wamā bikum min ni’matin fa minallāh (Dan segala kenikmatan yang ada pada kalian, maka itu datangnya dari Allah). Kita juga bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bil lisān (dengan lisan kita), yaitu dengan membasahi lisan kita memuji Allah dengan mengucapkan alḥamdulillāh atau zikir lainnya, atau dengan menceritakan kenikmatan-kenikmatan tersebut dalam rangka syukur kepada Allah: Wa ammā bini’mati rabbika faḥaddits (Adapun kenikmatan-kenikmatan Rabb kalian, maka ceritakanlah). Dan juga kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bil 'amal (dengan perbuatan), yaitu dengan menggunakan kenikmatan-kenikmatan tersebut dalam rangka meningkatkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjalankan ibadah kepada-Nya. Semakin banyak Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kenikmatan kepada kita, maka semakin kita bertambah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita lihat bagaimana Rasulullah ﷺ, sebagaimana diceritakan oleh 'Aisyah radhiyallāhu 'anhā, dahulu salat malam sampai kedua kaki beliau pecah-pecah. Ketika 'Aisyah bertanya, "Mengapa Engkau berbuat demikian, ya Rasulullah, padahal engkau telah diampuni dosamu apa yang telah lalu dan apa yang akan datang?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: "Apakah aku tidak suka menjadi seorang hamba yang bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?"

​Di antara kenikmatan-kenikmatan yang Allah berikan kepada kita, yang paling besarnya adalah nikmatul Islam, nikmatul īmān, nikmatul istiqāmah, dan nikmat berjalan di atas Sunnah. Dan di antara kenikmatan lainnya yang tidak kalah besarnya adalah nikmat ṭalabul 'ilmi. Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan kesempatan dan kemudahan kepada kita semua sehingga kita bisa istimrār (berkesinambungan) dalam menuntut ilmu, sehingga kita bisa duduk di Ma’had ini dalam rangka menuntut ilmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan begitu banyak keutamaan ilmu dalam Al-Qur'an, dan Rasulullah ﷺ juga begitu banyak menyebutkannya dalam hadis-hadisnya.

​Di antara ayat yang menunjukkan tentang keutamaan ilmu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Yarfa'illāhul ladzīna āmanū minkum walladzīna ūtul 'ilma darajāt (Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang berilmu beberapa derajat). Ayat ini jelas menunjukkan keutamaan ilmu, di mana Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu baik di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, Allah akan menempatkan mereka di surga-surga yang tinggi sesuai dengan ilmu dan amalan mereka. Di dunia, Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dengan menempatkan mereka di hadapan manusia pada kedudukan yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia untuk bertanya dalam permasalahan agama kepada orang-orang yang berilmu: Fas'alū ahlaz zikri in kuntum lā ta’lamūn (Bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu apabila kalian tidak mengetahui). Para ulama akan menjawab pertanyaan-pertanyaan agama dengan ilmu dan dalil-dalilnya dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Mereka tidak berani menjawab pertanyaan tanpa ilmu karena mereka mengetahui bahwasanya jawaban-jawaban mereka akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala: Innas sam’a wal baṣara wal fu’āda kullu ulā’ika kāna 'anhu mas’ūlā (Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala).

​Rasa takut inilah yang mereka miliki, dikarenakan rasa khasyah yang mereka miliki, karena memang orang-orang yang memiliki khasyah dari kalangan hamba-hamba Allah hanyalah para ulama: Innamā yakhsyallāha min 'ibādihil 'ulamā' (Sesungguhnya yang memiliki khasyah dari kalangan hamba-hambaku adalah al-'ulamā’, adalah orang-orang berilmu). Al-khasyah berbeda dengan al-khauf (rasa takut). Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullāh mengatakan bahwa al-khasyah adalah rasa takut yang dibangun di atas ilmu, yaitu ilmu tentang apa yang dia takuti. Maka rasa takut yang dimiliki para ulama berbeda dengan rasa takut yang dimiliki oleh selain mereka. Rasa takut para ulama membawa mereka untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjalankan apa-apa yang diperintahkan, dan meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun orang-orang yang tidak berilmu, mereka hanya mengucapkan di bibir saja bahwa mereka takut kepada Allah, akan tetapi mereka masih melakukan apa-apa yang dilarang dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

​Kita lihat bagaimana perbedaan antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Qul hal yastawil ladzīna ya’lamūna walladzīna lā ya’lamūn (Katakanlah, apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?). Jelas berbeda. Orang-orang yang berilmu meyakini suatu keyakinan, mengucapkan suatu ucapan, dan melakukan suatu amalan dilandasi dengan ilmu, dilandasi dengan Al-Qur'an dan Hadis. Adapun orang-orang yang tidak berilmu, mereka meyakini suatu keyakinan, mengucapkan suatu ucapan, dan mengamalkan suatu amalan dikarenakan taklid, dikarenakan ikut-ikutan. Mereka melihat kebanyakan manusia melakukan suatu ibadah atau amalan tertentu, maka mereka ikut-ikutan tanpa mengetahui dasar apa yang telah kebanyakan manusia lakukan. Maka kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kita terhindar dari perbuatan orang-orang yang tidak berilmu yang melakukan amalan tanpa dilandasi oleh dalil, dan kita memohon agar digolongkan termasuk dari orang-orang yang berilmu. Kita juga berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana doa yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi-Nya: Rabbi zidnī 'ilmā (Ya Allah, tambahkanlah aku ilmu).

Alhamdulillah waṣṣalātu wassalāmu ‘alā Rasūlillāh wa ‘alā ālihi wa ṣahbihi wa man wālāh. Di antara hadis-hadis yang menyebutkan tentang keutamaan ilmu adalah hadis Nabi ﷺ: Man yuridillāhu bihi khayran yufaqqihhu fid-dīn (Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan pada seseorang, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan pahamkan dia terhadap agama). Hadis ini merupakan hadis yang jelas menunjukkan keutamaan ilmu, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila menginginkan suatu kebaikan kepada hamba-Nya, maka Allah akan memahamkan hamba tersebut terhadap agama. Sejauh mana tingkat keilmuan seseorang, sejauh itu pula Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan padanya. Semakin banyak ilmu yang dimiliki seseorang, maka semakin banyak kebaikan yang Allah berikan kepadanya. Kita ukur diri kita masing-masing sejauh mana pemahaman agama kita, sejauh mana ilmu yang kita miliki, karena yang menjadi ukuran suatu kebaikan adalah Al-'Ilmu. Rasulullah ﷺ tidak mengatakan, "Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka Allah akan menambahkan dia harta," atau "pangkat," atau "anak dan istri yang banyak." Karena memang perkara-perkara tersebut bukanlah ukuran dari suatu kebaikan. Ukuran suatu kebaikan adalah ilmu.

​Barang siapa yang ingin memiliki ilmu dan pemahaman agama, tentunya harus menjalani sebab-sebabnya (asbāb fī taḥṣīl al-'ilm). Baik dengan belajar di hadapan para ulama atau ustaz, atau dengan duduk di pondok-pondok dalam rangka menuntut ilmu, atau dengan hadir di majelis-majelis umum atau daurah-daurah, atau dengan mendengarkan kaset-kaset, atau dengan membaca buku-buku tentang agama. Semua itu adalah jalan-jalan untuk meraih ilmu, yang sebagaimana disebutkan oleh Nabi ﷺ: Man salaka ṭarīqan yaltamisu fīhi 'ilman sahhalallāhu lahu ṭarīqan ilal jannah (Barang siapa yang menempuh satu jalan yang dia mencari ilmu padanya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mudahkan jalannya menuju surga).

​Tidak bisa dipungkiri lagi bahwasanya tujuan akhir seorang mukmin adalah surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka barang siapa yang menginginkan surga Allah dengan mudah, hendaklah dia mencari ilmu, karena dengan ilmu jalan menuju surga menjadi terang benderang. Dengan ilmu, dia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan ilmu, dia bisa membedakan mana perkara tauhid dan mana perkara syirik. Dengan ilmu, dia bisa membedakan mana yang sunnah dan mana yang bid’ah. Dengan ilmu, dia bisa membedakan mana perkara taat dan mana perkara maksiat, sehingga dia dengan mudah menuju surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga kita digolongkan termasuk orang-orang yang sedang menuntut ilmu, termasuk orang-orang yang sedang menuju jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menuju surga-Nya. Dan kita juga memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kita semua dikumpulkan di surga-Nya.


khutbah jumat, 07 februari 2015


baca selanjutnya “Keutamaan Ilmu”

Harta Yang Hakiki

 HARTA YANG HAKIKI


​Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman bahwasanya salah satu dari nama-nama-Nya adalah Ar-Razzāq, Yang Maha Pemberi Rezeki. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar diberikan rezeki dari cara yang halal dan rezeki yang berkah. Akan tetapi, kita tidak cukup hanya berdoa meminta rezeki saja, tetapi kita juga berdoa agar diberikan taufik, yaitu bagaimana rezeki tersebut dapat mendekatkan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan menjadikannya seseorang lebih taat kepada-Nya.

​Sebab, seseorang akan ditanya pada hari kiamat. Tidaklah bergeser dua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ditanya dari empat perkara. Di antaranya adalah tentang hartanya: dari mana dia mendapatkan harta tersebut, dan untuk apa dia belanjakan atau dihabiskan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwasanya harta adalah ujian. Harta tidak dikatakan nikmat secara mutlak, tetapi tergantung dia menggunakannya untuk apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, Innamā amwālukum wa aulādukum fitnah (Sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah, adalah ujian).

​Ada di antara kalangan manusia yang ketika mereka mendapatkan harta, justru mereka semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menggunakan harta tersebut untuk bermaksiat dan melakukan perkara-perkara yang haram, maka ini adalah sebuah musibah. Ada pula sebagian manusia yang ketika mendapatkan harta, mereka hanya menghabiskan harta tersebut pada perkara-perkara yang mubah. Selama dia tidak melakukan keharaman atau tetap mengeluarkan yang wajib (seperti zakat dan nafkah), maka ini tidak mengapa. Namun, ada yang lebih baik, yaitu sebagian manusia yang ketika mendapatkan harta, mereka menggunakannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menggunakannya untuk membantu ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah yang kita cari, dan inilah kelompok yang kita doakan agar kita menjadi bagian darinya, yaitu ketika mendapatkan harta, kita membelanjakannya dalam ketaatan, kita sedekahkan, dan kita berikan untuk jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

​Ingatlah janji Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, Wamā anfaqtum min syay’in fa huwa yukhlifuh (Barang siapa yang menginfakkan hartanya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada kebaikan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menggantinya). Demikian pula di dalam hadis, Rasulullah ﷺ menyebutkan, "Tidak ada hari yang seorang hamba bangun padanya berada di pagi harinya, kecuali dua malaikat turun." Salah satu malaikat mengatakan, Allāhumma a'ṭi munfiqan kholafan (Ya Allah, berikanlah orang yang berinfak ganti balasan pahala). Dan malaikat yang lain berkata, Allāhumma a'ṭi mumsikan talafan (Ya Allah, berikanlah orang yang menahan hartanya kehancuran, kebinasaan pada hartanya).

​Yang dimaksud mumsik (yang menahan harta) bukanlah secara umum, tetapi yang dimaksud adalah yang menahan tidak mengeluarkan harta pada perkara-perkara yang wajib, seperti zakat atau memberi nafkah kepada keluarganya. Maka, barang siapa yang menahan hartanya, yang bakhil, atau yang kikir, malaikat mendoakan dia akan hancur dan hilang hartanya. Kebinasaan harta (atalaf) ini bisa dimaksudkan secara ḥissī (fisik), yaitu hartanya hilang karena bencana atau kebakaran, atau bisa jadi dimaksudkan sebagai atalaf ma'nawī, yaitu dicabutnya berkah pada harta tersebut. Hartanya masih ada, tetapi Allah jadikan harta itu membuatnya jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

​Inilah kelompok pertama yang kita merasa iri terhadapnya, yaitu yang didoakan oleh malaikat: "Ya Allah, berikanlah orang-orang yang berinfak gantinya." Kita merasa ġīrōh (cemburu), ingin meniru mereka. Rasulullah ﷺ bersabda, Lā ḥasada illā fī thnatayn (Tidak ada iri kecuali pada dua perkara). Di antaranya adalah rajulun ātāhullāhu mālan fahuwa yunfiqu fī sabilil ḥaq (seseorang yang diberi harta kemudian dia menghabiskan harta tersebut di jalan kebenaran, di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala).

​Fokus hadis ini adalah pada seseorang yang diberi harta, kemudian menghabiskannya untuk jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita tidak iri terhadap orang kaya yang foya-foya atau menggunakan hartanya untuk maksiat. Dan ini juga tidak harus menunggu kaya, karena mengamalkan hadis ini tidak mesti menunggu kaya raya. Bisa jadi seseorang yang diberi rezeki sedikit, tetapi ketika dia gunakan untuk sedekah atau ketaatan, maka ini termasuk yang kita iri kepadanya. Ingatlah hadis Ittaqun nār walau bi syiqqi tamrah (Takutlah kalian kepada neraka Allah, walaupun [berlindung dari neraka] dengan sedekah separuh kurma). Ini menunjukkan bahwa sedekah tidak menunggu kaya. Kemudian, Rasulullah ﷺ juga mengatakan kepada Abu Dzar, "Wahai Abu Dzar, apabila engkau membuat masakan yang berkuah, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu." Selama kita mendapatkan rezeki dari Allah, kita bisa sedekahkan sebagian harta kita di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

​Adapun hakikat kekayaan adalah sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah ﷺ: "Tidaklah dikatakan kaya ketika dia memiliki banyak harta, akan tetapi kaya sesungguhnya adalah kaya hati." Ibnu Baṭṭāl menyebutkan, yang disebut kaya hati adalah orang yang apabila diberi, dia merasa cukup, merasa qanā’ah (puas) terhadap pemberian Allah, dan dia rida (rela) terhadap pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah hakikat kaya sejati.

​Kemudian, hakikat dari harta yang sesungguhnya adalah sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda kepada para sahabat, "Siapakah di antara kalian yang lebih suka harta milik pewarisnya, harta anaknya, atau harta keluarganya, dibandingkan harta dia sendiri?" Maka para sahabat menjawab, "Ya Rasulullah, tidak ada di antara kita melainkan yang lebih dia cintai adalah hartanya sendiri." Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya harta hakikat seseorang adalah mā qaddam (yang dia amalkan), yang dia sedekahkan, yang dia gunakan di jalan ketaatan. Adapun harta yang milik ahli warisnya adalah yang dia tinggalkan."

​Ini bukan berarti kita tidak perlu memberikan warisan kepada keluarga, sebab meninggalkan warisan adalah perkara yang dianjurkan. Rasulullah ﷺ mengatakan, "Sesungguhnya apabila kalian memberikan kepada ahli waris kalian harta dan membiarkan mereka dalam keadaan kaya—yakni mendapatkan warisan yang banyak—itu adalah lebih baik dibandingkan meninggalkan mereka dalam keadaan miskin kemudian meminta-minta kepada manusia." Kita tetap harus meninggalkan warisan, tetapi jangan lupa bahwa harta kita sesungguhnya adalah yang kita gunakan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

​Hal ini dikuatkan oleh hadis 'Aisyah radhiyallāhu ta’ālā 'anhā, bahwasanya mereka keluarga Nabi ﷺ menyembelih seekor kambing. Nabi ﷺ bertanya, "Apakah masih ada sisa untuk kita dari kambing tersebut?" 'Aisyah menjawab, "Tidak ada yang tersisa melainkan daging pundaknya." Maka Rasulullah ﷺ mengatakan, "Pada hakikatnya jatah kita adalah semuanya, kecuali bagian bahu tersebut." Artinya, yang dibagikan ke fakir miskin dan disedekahkan itu adalah milik kita sesungguhnya, karena itu akan kekal di akhirat menjadi pahala. Adapun sisanya, itu bukan harta kita sesungguhnya karena akan dimakan dan habis.

​Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda: "Seorang hamba mengatakan, Mālī, Mālī (Hartaku, hartaku)." Kemudian Rasulullah ﷺ mengatakan, "Sesungguhnya milik dia harta sesungguhnya hanya tiga: pertama, yang dia makan kemudian habis (padahal yang bisa dinikmati hanya sepiring dua piring); kedua, yang dia pakai kemudian dia akan usang; dan yang ketiga, yang kau sedekahkan (au taṣaddaqa fa'amḍā). Maka ini adalah yang akan tersisa. Adapun selain itu, maka itu akan pergi atau dia telah meninggalkannya untuk manusia (ahli warisnya)."

​Ini menunjukkan bahwa janganlah kita lupa terhadap diri kita. Ketika kita memiliki harta, ingatlah harta kita sesungguhnya adalah yang kita sedekahkan, yang kita gunakan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Mā 'indakum yanfad wallāhu mā 'indallāhi bāqin (Dan yang ada di sisi kalian [dari perkara dunia] itu akan sirna, dan pahala yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala [di akhirat] adalah kekal). Maka kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kita diberikan taufik, sehingga ketika diberikan harta, harta tersebut menjadikan kita lebih dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

baca selanjutnya “Harta Yang Hakiki”

 ​🕌 Menuntut Ilmu Membutuhkan Perjuangan (Ṭalabul ‘Ilmi Butuh Ijtihād)

​I. Pendahuluan dan Keutamaan Ilmu

​Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah wasalatu wasalamu ala rasulillah wa ala alihi wasohbihi wanwalah. Insyaallah pada kesempatan kali ini, kita akan membahas sebuah tema yang penting, yaitu tentang menuntut ilmu membutuhkan perjuangan. Ṭalabul 'ilmi, sebagaimana perkara yang makruf, memiliki keutamaan-keutamaan dan dalil-dalil yang banyak, baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah. Di antaranya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Yarfa'illāhul ladzīna āmanū minkum walladzīna ūtul 'ilma darajāt (Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan yang berilmu beberapa derajat). Kemudian dari hadis, Rasulullah ﷺ bersabda: Man yuridillāhu bihi khayran yufaqqihhu fid-dīn (Barang siapa yang Allah kehendaki dengan kebaikan, maka Allah akan jadikan dia paham terhadap agama).

​II. Kewajiban Berjuang dalam Menuntut Ilmu

​Seseorang ketika ingin meraih ilmu, ingin belajar, atau menuntut ilmu, maka tentunya ini membutuhkan perjuangan atau ijtihād. Pembahasan ini tidak hanya terbatas pada penuntut ilmu atau santri saja, sebab Ṭalabul 'ilmi farīḍatun 'alā kulli muslim (menuntut ilmu agama itu adalah wajib bagi setiap kita). Jadi, apapun status kita—sebagai orang tua, ayah, atau ibu—mereka tetap wajib menuntut ilmu dan tentunya mereka pun butuh perjuangan. Contohnya, seorang ibu ketika ingin menuntut ilmu, ia harus mempersiapkan urusan anaknya dan suaminya terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa ia butuh perjuangan. Jika kita menunggu pekerjaan selesai, kita tidak akan sempat menuntut ilmu, karena pekerjaan seorang ibu itu banyak. Demikian pula seorang ayah, ia bekerja dan mencari nafkah, dan di sela-sela itu ia harus menyempatkan waktu luang untuk menuntut ilmu. Perjuangan ini akan lebih besar lagi bagi Ṭalibul 'ilmi yang mutafarriġ, yaitu yang mengkhususkan waktunya, sengaja mondok atau datang ke Ma'had, untuk fokus pada ṭalabul 'ilmi.

​III. Enam Bekal untuk Meraih Ilmu (Menurut Imam Syafi'i)

​Al Imam Syafi'i rahimahullāh memberikan cara bagaimana seseorang bisa meraih ilmu, yang dikenal sebagai enam bekal menuntut ilmu. Beliau menyebutkan dalam syairnya, "Wahai saudaraku, tidak akan meraih ilmu melainkan dengan enam perkara. Aku akan beritahu kepadamu tentang rinciannya dengan penjelasan."

​A. Kecerdasan (Zakā'un)

​Bekal pertama adalah kecerdasan. Kecerdasan di sini adalah kemampuan memahami dan menghafal. Kecerdasan terbagi menjadi dua: Ṭabī'at/Ġarīzī (bawaan dari lahir) dan Muktasab (yang diraih dengan usaha). Seseorang yang siap menuntut ilmu harus punya keduanya. Agar kecerdasan Muktasab ini kuat, di antaranya adalah dengan Murāja’ah (diulang-ulang), Bikasratin Naẓar (sering melihat), dan yang penting adalah Tarqul Ma'āṣī (meninggalkan kemaksiatan).

​Imam Syafi'i pernah mengeluh kepada gurunya, Wakī’, tentang jeleknya hafalan beliau, lalu gurunya membimbing beliau untuk meninggalkan kemaksiatan, seraya berkata, "Ilmu itu cahaya (Nūrun), dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat." Jadi, jika kita merasa sulit paham atau menghafal, perkara pertama yang harus kita tuduh adalah diri kita dan kemaksiatan yang kita lakukan (termasuk gibah, mencela, dan berkata kasar). Ukuran kepintaran sejati bukanlah sekadar cepat menghafal, tetapi apakah ilmu itu yanfa' (bermanfaat) atau tidak, yaitu yang melahirkan ketakutan kepada Allah (khasyah). Allah berfirman, Innamā yakhsyallāha min 'ibādihil 'ulamā' (Sesungguhnya yang takut terhadap Allah hanyalah ulama). Ilmu yang bermanfaat melahirkan ketakutan kepada Allah. Untuk meraih kecerdasan yang diusahakan, kita juga perlu berdoa kepada Allah, seperti Allāhumma innī as'aluka 'ilman nāfi'an atau Allāhumma innī a’ūdzubika min 'ilmin lā yanfa'.

​B. Semangat (Ḥirṣun)

​Yang kedua adalah semangat atau ambisi (Ḥirṣun). Semangat datang dari hati, berupa cita-cita yang tinggi (Himmah 'Āliyah). Rasulullah ﷺ bersabda, "Bersemangatlah kepada sesuatu yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah." Gantungkan cita-cita setinggi mungkin, jangan sampai cita-cita kita lemah. Setelah semangat, maka dibutuhkan praktik.

​C. Kesungguhan (Ijtihādun)

​Yang ketiga adalah kesungguhan atau perjuangan (Ijtihādun). Allah berfirman, Wa alladhīna jāhadū fīnā lanahdiyannahum subulanā (Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, maka sungguh Kami akan tunjukkan jalan-jalan Kami). Kesungguhan membutuhkan kesabaran (ṣabr) di atas ketaatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Biṣ-ṣabri wal-yaqīn tunālu al-Imāmatu fiddīn (Dengan kesabaran dan keyakinan akan diraih kepemimpinan dalam agama). Perjuangan ini sudah diuji sejak awal, baik melalui godaan dari diri sendiri (rasa khawatir), dari lingkungan, maupun dari setan.

​D. Bekal (Bulghatun)

​Yang keempat adalah bekal atau biaya untuk membeli kitab, makan, dan keperluan lainnya.

​E. Menyertai Guru (Ṣuḥbatu Ustādz)

​Yang kelima adalah menyertai ustaz atau berguru, karena hal ini dapat menyingkat proses belajar. Apa yang disampaikan oleh ustaz adalah ringkasan dari berbagai kitab.

​F. Waktu yang Panjang (Ṭūlu Zamān)

​Yang keenam adalah waktu yang panjang. Menuntut ilmu itu membutuhkan proses yang lama, yaitu 1, 2, 3, hingga 5 tahun, bahkan lebih, dan harus terus-menerus.

​IV. Contoh-Contoh Perjuangan (Ijtihād) dari Kalangan Salaf

​Kita akan menyebutkan beberapa kisah singkat agar kita bisa menambah semangat dan melihat bahwa perjuangan kita masih belum seberapa dibandingkan perjuangan para ulama salaf.

​Nabi Muhammad ﷺ: Beliau merasakan kesulitan (Tsiqal) saat menerima wahyu, hingga wajah beliau berubah dan keluar keringat di musim dingin, menunjukkan beratnya menerima ilmu.

​'Umar bin Khaṭṭāb: Beliau dan tetangganya dari kaum Anṣār bergantian menghadiri majelis Rasulullah ﷺ karena kesibukan mencari nafkah. Mereka saling memberikan informasi dan faedah yang didapat pada hari itu, menunjukkan usaha keras agar tidak kehilangan ilmu.

​'Abdullāh bin Mas'ūd: Beliau mengatakan, seandainya ia tahu ada seseorang yang lebih paham tentang Kitabullāh darinya dan unta bisa sampai ke tempatnya, maka ia akan datang kepadanya. Ini menunjukkan kesediaan untuk melakukan perjalanan jauh (bisa sebulan) hanya untuk meraih satu faedah.

​'Abdullāh bin 'Abbās: Beliau datang dan menunggu di depan rumah seorang Sahabat, menggelar selendangnya, tanpa mengetuk pintu, karena tidak ingin mengganggu istirahat Sahabat tersebut. Beliau berkata, "Aku yang lebih berhak datang kepadamu," karena beliaulah yang membutuhkan ilmu.

​'Aṭā' bin Abī Rabāḥ (Tābi'ī): Dicertakan bahwa masjid adalah kasurnya (Al-Masjid Firāsuhū) selama 20 tahun, menunjukkan ketekunan beliau beribadah dan menuntut ilmu di masjid.

​Asy-Sya'bī (Tābi'ī): Ketika ditanya dari mana ia mendapatkan ilmu, beliau menyebutkan kuncinya, yaitu: Nafyul I'timād (meniadakan penyandaran/ketergantungan pada orang lain), Sīr fil Bilād (melakukan perjalanan ke negeri-negeri), Ṣabrin Jamād (sabar seperti benda mati, yaitu istiqamah dan tekun), serta Bukūrul Ghurāb (bersegera di pagi hari seperti gagak).

​Al-Imām Az-Zuhri (Tābi'ī): Beliau berguru kepada Ibnul Musayyab selama 8 tahun, dengan lutut selalu menempel. Beliau dan murid-muridnya selalu membawa papan atau lembaran (Alwāḥ) untuk menulis setiap faedah yang didengar, menunjukkan pentingnya mengikat ilmu.

​Al-Imām Bukhārī: Beliau diceritakan bangun 17 atau 18 kali dalam satu malam untuk menyalakan pelita dan menuliskan faedah yang terlintas di pikirannya saat tidur, menunjukkan semangat luar biasa dalam menuntut ilmu.

​V. Penutup dan Harapan

​Semoga apa yang kita sebutkan ini bukan hanya sekadar wawasan atau cerita, tetapi yang terpenting adalah untuk dipraktikkan agar kita bisa meraih ilmu yang bermanfaat, baik untuk diri kita sendiri dan juga untuk yang lainnya. Wallāhu ta'āla a'lam. Subḥānakallāhumma wa biḥamdika asyhadu an lā ilāha illā anta astaghfiruka wa atūbu ilayk. Wa'alaikumussalāmu warahmatullahi wabarakatuh.

baca selanjutnya “ ”