Senin, 01 Desember 2025

Kitab Nikah 06 : Nazhor


Pembahasan An-Nazhor: Melihat Calon Istri

​Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

​Waalaikumsalam.

​Alhamdulillah washalatu wassalamu ala rasulillah wa ala alihi wa shahbihi wa man walah.

​Masih kita setoran hadis, yang mau setoran hadis, baik hadits "Ma’syara Syabab" atau "Tunkahul Mar'ah". Boleh membaca salah satunya.

​... setoran hadis ...

​Naam, ahsantum.

​Dalil dan Hukum An-Nazhor (Melihat Calon Istri)

​Kita lanjutkan pembahasan berikutnya. Berkata Asy-Syekh As-Sa'di rahimahullah dalam kitab Manhajus Salikin:

​"Wa idza waqa'a fi qalbihi khitbatu imra'atin falahu an yanzhura minha ma yad'uhu ila nikahiha."

(Wa idza (Dan apabila) waqa'a (ada) fi qalbihi (di dalam hatinya) khitbatu (keinginan melamar) imra'atin (seorang wanita), falahu (maka boleh baginya) an yanzhura minha (untuk melihat wanita tersebut) ma yad'uhu (sesuatu yang mendorong dia) ila nikahiha (untuk menikahinya)).


​Ini membahas permasalahan an-nadzar (melihat wanita) kapan? Ketika dia serius ingin menikahinya, ingin melamarnya (khitbah). Maka boleh bagi dia untuk melihatnya.

​Hukum nazhor (melihat) ini menurut pendapat yang lebih kuat adalah mustahab (dianjurkan), tidak sampai wajib, tetapi sangat dianjurkan.

​Dalil-Dalil An-Nazhor

​Berikut adalah dalil-dalil tentang disyariatkannya nazar:

  1. ​Hadits Abu Hurairah: Dahulu aku bersama Nabi ﷺ, kemudian datang seseorang memberitahu kepada Nabi ﷺ bahwa dia ingin menikahi seorang wanita dari kalangan Anshar. Rasulullah ﷺ bertanya: "A nazharta ilaiha? (Sudahkah engkau melihatnya?)" Sahabat itu menjawab: "Tidak, belum." Rasulullah ﷺ bersabda: "Fadzhab, fanzhur ilaiha (Pergilah dan lihatlah wanita tersebut), fa inna fi a'yunil ansar syai'an (karena wanita Ansar itu kebanyakan ada sesuatu di matanya)." (Riwayat Muslim, No. 1424).

  2. ​Hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu ta'ala anhu: Rasulullah ﷺ bersabda: "Idza khathaba ahadukumul mar'ata, fa inistatho'a an yanzhura ilaa ma yad'uuhu ilaa nikahiha falyaf'al." (Apabila seseorang di antara kalian melamar seorang wanita, jika dia mampu untuk melihatnya—melihat kepada sesuatu yang mendorong dia untuk menikahinya—maka lakukanlah.) (Riwayat Abu Daud).

  3. ​Hadis Muhammad bin Maslamah: Rasulullah ﷺ bersabda: "Idza alqallahu fi qalbi rajulin khitbata imra'atin, fala ba'sa an yanzhura ilaiha." (Bila Allah melemparkan—atau memberikan—di hati seseorang khitbah (keinginan melamar) seorang wanita, maka tidak mengapa untuk melihatnya.) (Riwayat Ibnu Majah).

  4. ​Hadits Al-Mughirah bin Syu'bah: Beliau melamar seorang wanita, lalu Nabi ﷺ bersabda: "Unzhur ilaiha (Lihatlah wanita tersebut), fa innahu ahraa an yu'dama bainakuma" (Karena kalau dia melihat, ia lebih membuat kalian berdua cocok, lebih mendatangkan kecocokan/keharmonisan).

  5. ​Hadits Sahl bin Sa'ad: Tentang seorang wanita yang datang kepada Nabi ﷺ dan menghibahkan dirinya untuk dinikahi Nabi. Rasulullah ﷺ melihatnya: "Nazhara ilaiha raf'a wa khafadha..." (Melihat ke atas, melihat ke bawah, setelah itu Rasulullah menundukkan kepalanya). Ini berarti Rasulullah ﷺ melakukan nazar.

​Bolehkah Nazhor Tanpa Sepengetahuan Wanita? (Sirran)

​Apakah disyaratkan harus diketahui oleh wanita tersebut dan walinya?

​Secara hukum, boleh atau tidak disyaratkan harus diketahui oleh wanita tersebut atau walinya, asalkan dilakukan dengan niat serius untuk menikahi, dan ini adalah urusan antara dia dengan Allah ﷻ.

  • ​Dalil Perbuatan Sahabat: Dalam kisah Hadis Jabir tadi, Jabir mengatakan: "Maka aku ingin menikahi seorang jariyah (wanita). Fakuntu atakhobba'u laha (Dan aku bersembunyi dari wanita tersebut) hingga aku melihatnya—melihat kepada sesuatu yang mendorongku untuk menikahinya—kemudian aku menikahinya." Juga Hadis Muhammad bin Maslamah, beliau mengatakan: "Aku ingin melamar seorang wanita, kemudian aku bersembunyi laha (dari wanita tersebut) hingga aku melihatnya di balik pohon kurma." Ketika ada yang menegurnya, beliau menyampaikan hadis Rasulullah ﷺ tadi.

​Ini adalah perbuatan para sahabat dan pemahaman mereka, yang menunjukkan boleh tanpa izin, dan karena tidak ada teguran (takrir) dari Rasulullah ﷺ, maka itu dibolehkan secara hukum.

  • ​Alternatif Praktik: Untuk menghindari fitnah, izin bisa diberikan kepada walinya saja, tanpa perlu diketahui oleh wanita tersebut. Misalnya, izin untuk melihatnya saat wanita tersebut tertidur, dengan ditemani oleh walinya. Hal ini dianggap lebih ringan (akhaff) bagi wanita tersebut agar tidak terlalu sakit hati jika ternyata lamarannya ditolak.

  • ​Peringatan: Di zaman sekarang, jika melakukan hal demikian (melihat sembunyi-sembunyi) bisa menimbulkan fitnah, dituduh yang tidak-tidak, atau disalahgunakan (berniat jahat lalu beralasan ingin nazhor), maka lebih baik izin kepada walinya meskipun ingin melihatnya secara sembunyi-sembunyi.

​Batasan Nazar (Apa Saja yang Boleh Dilihat?)

​Rasulullah ﷺ bersabda boleh melihat "ma yad'uhu ila nikahiha" (sesuatu yang mendorong dia untuk menikahinya).

​Pendapat yang kuat (rajih) adalah batasan yang boleh dilihat adalah yang biasa terlihat oleh mahramnya.

  • ​Pendapat Rajih: Yang biasa terlihat di hadapan mahramnya, yaitu: wajah, rambut, leher, tangan (sampai siku), dan kaki/betis.

    • ​Alasannya: Syaikh Ibnu Ustaimin mengatakan yang paling utama adalah wajahnya, karena jika wajah sudah cocok, biasanya yang lain akan mengikutinya.

    • ​Dalil: Rasulullah ﷺ mengizinkan para sahabat untuk melihat sembunyi-sembunyi. Tidak mungkin melihat sembunyi-sembunyi jika wanita tersebut dalam kondisi bercadar atau tertutup total. Ketika di rumahnya, kondisinya biasa terlihat wajah, rambut, leher, tangan, dan kakinya.

  • ​Hukum: Hukum nazhor adalah mustahab (dianjurkan). Hukum ini juga berlaku bagi wanita, yaitu wanita disunahkan melihat laki-laki yang melamarnya. Karena jika laki-laki tertarik pada perempuan, perempuan pun tertarik pada laki-laki.

​Syarat-Syarat Nazhor

​Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan beberapa syarat agar nazar menjadi dibolehkan:

  1. ​An laa yakuna bi khalwatin (Tidak berdua-duaan/tidak khalwat):

    • ​Nazhor harus ditemani oleh mahram wanita tersebut (ayah atau saudara laki-lakinya).

    • ​Nazhor yang dilakukan berdua saja adalah haram.

  2. ​Aziman 'ala taqaddum (Benar-benar serius dan bertekad melamar/maju):

    • ​Harus fokus ke satu wanita dan benar-benar ingin menikahinya.

    • ​Tidak boleh hanya sekadar menyeleksi (melihat yang pertama, kedua, ketiga, lalu memilih). Jika tidak ada niatan serius, nazhor tidak dibolehkan.

  3. ​Ghalabatul ijabah (Kemungkinan besar diterima):

    • ​Jika kemungkinan besar lamaran akan diterima (misalnya 55% ke atas), maka boleh nazhor.

    • ​Jika kemungkinan besar tertolak, maka tidak perlu nazhor karena tidak ada faedahnya.

  4. ​An laa yataladzdza' (Tidak berlezat-lezat/tidak bersenang-senang):

    • ​Nazhor harus seperlunya (muqaddaran bi qadril hajah). Melihat 1 menit, atau 30 detik sudah cukup.

    • ​Jika melihat terlalu lama (misalnya 10 menit hingga setengah jam), itu sudah termasuk bersenang-senang. Jika setelah melihat timbul fitnah, sebaiknya segera dihentikan.

​Batasan Bicara Saat Nazhor

​Bolehkah berbincang dengan wanita tersebut (muhadatsah thowilah)?

​Kata Syaikh Ibnu Utsaimin, tidak boleh jika berbincang lama (ngobrol panjang) atau seperti wawancara.

  • ​Tujuan utama: Tujuan bolehnya mengajak bicara sebentar adalah hanya ingin mengetahui suaranya (istima').

  • ​Batasannya: Jika ia mengajak bicara dengan pembicaraan yang pendek (satu atau dua pertanyaan) itu adalah cukup (kafin). Untuk mengetahui suaranya, misal suaranya tidak terlalu besar seperti laki-laki.

  • ​Peringatan Keras: Yang lebih tidak boleh adalah melakukan komunikasi setelahnya atau sebelumnya. Wanita yang baru dinazhor atau dilamar sama saja dengan wanita lain (masih ajnabiyah). ​"An laa yatahaddats ilaiha 'an thariqil hatif (Tidaklah dia berbicara kepada wanita tersebut lewat HP/WA/SMS)." ​Jika alasannya tidak tahan, kata Syekh Ibnu Utsaimin: Akad saja! Walaupun pernikahannya sebulan lagi, jika sudah akad, bebas (boleh telepon atau lebih dari itu). ​Jika belum ada akad, wanita yang sudah dilamar atau di nazhor sama saja kedudukannya dengan wanita yang ditemui di pasar. Tidak boleh berbicara lewat HP atau SMS.

​"An laa yatahaddats ilaiha 'an thariqil hatif (Tidaklah dia berbicara kepada wanita tersebut lewat HP/WA/SMS)."



Jika alasannya tidak tahan, kata Syaikh Ibnu Utsaimin: Akad saja! Walaupun pernikahannya sebulan lagi, jika sudah akad, bebas (boleh telepon atau lebih dari itu).

​Jika belum ada akad, wanita yang sudah dilamar atau di nazhor sama saja kedudukannya dengan wanita yang ditemui di pasar. Tidak boleh berbicara lewat HP atau SMS.

Pembahasan berikutnya adalah permasalahan larangan khitbah (melamar) wanita yang sudah dikhitbah (dilamar) oleh seseorang sebelumnya.

​Wallahu Ta'ala A'lam.

Subhanakallahumma wabihamdika, asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaik.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
 

baca selanjutnya “Kitab Nikah 06 : Nazhor”

Minggu, 30 November 2025

Kitab Nikah 05

Alhamdulillah washolatu wasalamu ala Rasulillah wa ala alihi wasohbihi wa walah.

​Kita lanjutkan, kita sampai pada ucapan Syaikh as-Sa'di rahimahullah dalam kitab Manhajus Salikin : 

“wa yanbaghi” (dan sudah sepatutnya), “An yatakhayyara” (memilih seseorang memilih), “dzataddin” (yang memiliki Ad-Din). Wanita yang dayyinah yang beragama, yang taat dalam beragama, “wal hasabi” dan juga yang hasab—ini asy-syaraf, kemuliaan. Al-Hasab adalah asy-syaaraf, kemuliaan. Maksudnya adalah dari keluarga yang mulia, dari keturunan yang baik-baik, atau dari keluarga yang terpandang.

​”Wal waduda” dan juga yang wadud, dan yang mencintai. Yang memiliki sifat mencintai. “Wal walud”, yang subur—maksudnya peranakannya yang memiliki banyak anak atau yang subur peranakannya. “Wal hasibah”, sama tadi al-hasab, wanita yang syarifah, wanita yang mulia, wanita yang dari keturunan yang terpandang.

​Setelah Syaikh as-Sa'di rahimahullah menyebutkan hadis, dan telah kita sebutkan bahwasanya empat kriteria seorang wanita, seorang laki-laki biasanya memilih wanita itu dari empat perkara. Itu adalah kebiasaan laki-laki menikah: bisa jadi karena hartanya, karena keluarganya, karena kecantikannya, dan karena agama.

​Kemudian Rasulullah memberikan bimbingan, “Fadzfar bidzatiddin”, carilah yang wanita yang beragama. Di sini disebutkan, ternyata selain seseorang memilih wanita karena agamanya, ada kriteria-kriteria atau sifat-sifat yang dimiliki seorang wanita yang ternyata secara syar'i ini adalah dianjurkan. Jadi bukan hanya memilih dari sisi agamanya—tentu memilih dari agamanya ini yang paling utama—tetapi kalau ada sifat-sifat yang lain, maka ini lebih baik.

​Yang pertama, yang paling utama, adalah memilih wanita karena agamanya, karena agamanya yang baik. Kemudian dianjurkan pula memilih kriteria-kriteria yang telah disebutkan oleh Syaikh. Jadi, ini membahas sifat-sifat atau kriteria yang ada pada wanita yang selayaknya kita pilih. Ini sifat-sifat ideal bagi wanita, atau seorang laki-laki mencari wanita yang bersifat berikut ini yang tadi disebutkan:

​1. Dzaatuddin (Memiliki Agama)

​dzatuddin yang memiliki agama. Dalilnya hadis yang telah kita bahas sebelumnya, setelah Rasulullah menyebutkan kebanyakan manusia, kebanyakan laki-laki memilih karena empat, diakhiri dengan “Fadzfar bidzatiddin taribat yadak”. Carilah yang beragama, yang taat beragama, maka engkau akan beruntung. Dan telah kita sebutkan makna taribat yadak adalah al-hats, tidak kita terjemahkan tetapi maknanya adalah anjuran. Carilah yang beragama.

​Adapun dalil lain dari Al-Qur'an yang menunjukkan bahwasanya seorang wanita itu dinikahi karena agamanya, di antaranya Surah Al-Baqarah 221: “wa la amatun mukminatun khairun min musyrikatin walau a'jabatkum”. Sungguh budak wanita yang beriman itu lebih baik min musyrikatin dari orang musyrik, orang kafir, walau a'jabatkum, walaupun kecantikannya mengagumkanmu. Jadi agama jelas utama, amatun mukminatun, budak perempuan yang beriman itu lebih baik dibandingkan musyrikah walau a'jabatkum. Ini dalil bahwasanya wanita beriman itu adalah lebih baik, atau kriteria yang dicari adalah yang memiliki agama.

​Dalil lain Surah An-Nur Ayat 26: “Wa At-Thayyibat lith-thayyibin wath-thayyibuna lith-thayyibat”. Wanita yang baik, tentunya yang dimaksud adalah baik agamanya, itu adalah untuk laki-laki yang baik. Wath-thoyyibuuna laki-laki yang baik lith-thoyyibat untuk wanita yang baik. Maka carilah perempuan yang baik agamanya.

​Kemudian dalil lain bahwasanya sifat yang paling utama yang ada pada wanita untuk dinikahi adalah agamanya, adalah Surah An-Nisa Ayat 34: “Fash-shaalihaatu qoonitaatun haafidzootun lil-ghaibi bima hafidzallah”. Wanita yang shalihat, yang qanitat, yang taat, hafidzatun lil-ghayb, yang menjaga diri ketika suaminya tidak ada. Ini adalah dikarenakan Allah telah menjaganya. Ini disebutkan qonitatun lil-ghaib. Adapun dari hadis-hadis yang kita baca, Fadzfar bidzatiddin. Ini sifat yang utama yang pertama yang kita letakkan di nomor pertama adalah dzatuddin.

​2. Al-Walud dan Al-Wadud (Subur dan Mencintai)

​Kemudian sifat yang kedua disebutkan di sini adalah kita bahas dulu yang al-wadud karena ini satu dalilnya dengan al-walud.

​Sifat yang kedua adalah al-wadud. Al-wadud adalah yang mencintai, mencintai suaminya. Jadi sifatnya adalah pengasih, atau dia mencintai, bersifat mencintai suaminya. Dalilnya hadis yang makruf, hadits Ma'qil bin Yasar radhiyallahu ta'ala anhu. Beliau mengatakan:

​”Ja'a rajulun ila an-nabi shallallahu alaihi wasallam faqala :”. Datang seseorang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, kemudian dia mengatakan: “Inni ashobtu imra'atan”. Aku mendapati ada seorang wanita hasabin yang memiliki kemuliaan, orang tuanya adalah dari keturunan mulia, wa jamalin dan cantik. Wa innaha la talidu. Tapi kata pemuda tersebut, akan tetapi wanita tersebut walaupun kedudukannya tinggi, cantik, tetapi tidak memiliki anak atau tidak bisa memiliki anak.

​Afaatazawwajuha? Apakah aku menikah dengannya? Kata Rasulullah, Tidak. Kemudian datang kedua kalinya, Rasulullah tetap melarang: Tidak. Kemudian datang yang ketiga kali, baru Rasulullah mengatakan: Tazawwajul wadud al-walud. Nikahilah wanita yang mencintai—bersifat mencintai—wal walud dan juga banyak anaknya. Fainni mukatsirun bikumul umama. Sesungguhnya aku akan membanggakan dengan jumlahnya, dengan banyaknya umat Islam.

​Ini disebutkan al-wadud. Nikahilah yang al-wadud. Ini dalilnya bahwasanya kriteria yang kedua adalah dia wanita itu adalah pengasih atau menyayangi, penyayang, atau mencintai suaminya. Dilihat dari mana? Ya, dilihat mungkin dari keluarganya, dari ibunya, atau dari sifat orang tuanya, ayahnya, atau keluarganya. Ternyata sifat-sifatnya adalah dia penyayang, tidak cuek, kemudian juga peduli terhadap temannya. Sifat seseorang bisa juga misalnya bertanya terhadap walinya atau juga ibu kita atau kakak perempuan kita, kita tanyakan bagaimana sifat wanita tersebut. Kalau al-wadud maka ini adalah sifat yang termasuk yang terpuji, yang dicari oleh laki-laki, selain dataddin maka juga mencari al-wadud.

​Kemudian dalil lain bahwasanya kriteria wanita yang ideal adalah al-wadud: Saurah yang ma'ruf, Ar-Rum Ayat 21: Wamin ayatihi an khalaqa lakum min anfusikum azwaajan litaskunu ilaiha waja'ala bainakum mawaddatan wa rahmah. Termasuk dari tanda-tanda kebesaran Allah, Allah menciptakan dari jenis kalian dari manusia azwaja berpasangan, litaskunu ilaiha agar kalian condong merasa tentram untuknya, tentram kepada wanita tersebut, terhadap istrinya. Mawaddatan wa rahmah. Allah jadikan antara kalian saling mencintai dan saling menyayangi. Kalimat taskunu ya, wanita yang dia penyayang tentunya seorang suami akan condong dan tenang, tentram terhadap wanita tersebut. Dan juga tadi mawaddatan. Ini termasuk dalil bahwasanya mencari wanita yang sifatnya adalah al-wadud.

​Kemudian sifat berikutnya adalah al-walud. Ini dalilnya sama tadi: ada seseorang yang datang kepada Rasulullah mengatakan ada seorang wanita yang cantik, yang terhormat, tetapi tidak memiliki anak. Rasulullah mengatakan tidak, jangan nikahi wanita tersebut. Larangan ini tidak bersifat haram tetapi sebaiknya saja. Bukan artinya tidak boleh, tetapi Rasulullah memberikan bimbingan cari yang lain. Ini secara umum, kalau memang nanti ada sebab-sebab yang lain maka nanti akan dibahas sebagaimana sifat-sifat yang lainnya.

​Secara umum, kalau bisa cari yang dia memiliki banyak anak. Dari mana seseorang tahu bahwasanya wanita tersebut adalah walud? Tadi dari kerabatnya, dari ibunya ternyata memiliki anak yang banyak, atau dari bibinya, atau dari kakaknya, atau ada kemungkinan lain dia pernah menikah ternyata suami yang pertamanya tidak punya anak dari suami pertamanya, dan atau dari medis ternyata memang tidak bisa memiliki anak. Maka kalau yang seperti ini, jadikan ini pilihan yang terakhir. Kalau bisa mencari yang al-walud yang memiliki banyak anak. Kalau mandul, maka kalau tahu dari awal lebih baik mencari yang lainnya. Karena tujuan utama sebagaimana telah kita sebutkan, hikmah yang besar dari menikah adalah untuk memiliki keturunan.

​3. Al-Hasab (Keturunan Baik)

​Kemudian yang berikutnya adalah al-hasab. Termasuk sifat yang dianjurkan: dari keturunan baik-baik, dari keluarga baik-baik, orang tuanya dari keluarga yang baik-baik. Keluarga yang terpandang. Tadi hadis yang kita baca Rasulullah didatangi seorang sahabat yang mengatakan, "Aku mendapatkan ada wanita yang Dza hasabin." Aku mendapati ada seorang wanita yang dia terhormat. Berarti ini termasuk yang dicari. Rasulullah tidak melarang, berarti ini menunjukkan tidak mengapa atau bahkan dianjurkan mencari wanita yang keluarganya adalah keluarga yang terhormat. Ini hasab. Kalimat di sini al-hasab dan juga al-hasibah, berarti sudah kita bahas.

​Kita ulang di sini, wa yanbaghi selayaknya mencari seseorang memilih dzataddin—telah kita sebutkan dalilnya—al-hasab juga tadi telah kita sebutkan, al-wadud, al-walud telah kita sebutkan.

​4. Al-Bikrun (Gadis)

​Kemudian ada kriteria lain, sifat lain yang di luar ini yang tidak disebutkan oleh Syaikh as-Sa'di rahimahullah, adalah An takuna bikron. Jadi termasuk yang dicari, hukum asalnya adalah yang afdhal adalah bikron. Bikron itu adalah ghairu tsayyib. Lawan dari telah menikah. Jadi yang gadis, yang gadis yang belum menikah.

​Apa dalilnya? Bahwasanya seseorang laki-laki hukum asalnya adalah menikahi wanita yang gadis yang belum menikah sebelumnya. Dalilnya adalah hadits Jabir ibn Abdillah radhiyallahu ta'ala anhuma. Hadits ini yang akan kita baca ini hadis yang ma'ruf, di sini ada dua pendalilan. Ini sekaligus dalil bahwasanya hukum asalnya adalah mencari yang gadis yang belum menikah. Kecuali kalau ada maslahat, kalau ada kebaikan lain, baru boleh mencari atau baru dia menikahi yang janda.

​Hadits Jabir ibn Abdillah radhiyallahu ta'ala anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya kepada Jabir: Ya Jabir tazawwajta? Wahai Jabir, apakah engkau telah menikah? Kata Jabir: Na'am, iya, aku telah menikah. Kemudian Rasulullah bertanya lagi: Menikahnya adalah dengan gadis atau janda? Kata Jabir menjawab: Bahkan janda, ya Rasulullah.

​Kata Rasulullah: Fahalla jariyatan bikran? Mengapa tidak kau nikahi wanita yang masih gadis yang jariyah atau bikron? Alasannya adalah kata Rasulullah: Tula'ibuha wa tula'ibuk. Engkau bisa bermain-main bercanda dengannya dan wanita tersebut bisa bercanda, bermain-main denganmu. Kemudian dalam riwayat lain: tudhaibuha wa tudhabuka. Kau bisa saling tertawa dengannya dan dia bisa tertawa denganmu.

​Ini dalilnya. Berarti Rasulullah menganjurkan mencari yang bikran. Kenapa tidak cari yang belum menikah sebelumnya? Supaya bisa bermain-main, bercanda, bisa lebih romantis.

​Kemudian kata Jabir: Qultu lahu, kata Jabir: Inna abdallah halaka. Sesungguhnya Abdullah, ayahku, meninggal. Di riwayat lain disebutkan bahwasanya ayahku terbunuh di Perang Uhud. Wa taraka banatin sab'in au tis'in. Dan ayahku meninggalkan sembilan anak perempuan. Jadi saudari-saudarinya ada sembilan perempuan. Aku memiliki sembilan saudari. Wa inni karihtu an atiyahunna bijariyah mitslahunna. Dan aku tidak suka mendatangkan wanita kepada mereka yang sepantar, yang seumuran. Fa ahbabtu an atiyahunna biimra'atin ta'ulu hunna wa tanfaq hunna. Aku lebih suka mendatangkan wanita di kalangan di tengah-tengah mereka adalah dengan wanita yang ta'ulu hunna yang bisa mengurusi mereka dan bisa merawat mereka.

​Kata Rasulullah: Semoga Allah memberkahimu. Dan itu adalah kebaikan. Berarti hukum asalnya Rasulullah menganjurkan nikahilah yang bikran yang masih gadis. Tapi kalau ada maslahah kebaikan yang lain, maka tidak mengapa menikahi janda. Di antaranya ini tadi yang disebutkan Jabir, dan nanti ada saya sebutkan contoh-contoh maslahat yang lain.

​Kemudian dalil yang lain yang menunjukkan bahwasanya menikahi gadis itu adalah lebih utama, atsar atau ucapan Utsman ibn Affan kepada Ibnu Mas'ud. Atsar Utsman ibn Affan kepada Ibnu Mas'ud. Hadis Jabir tadi Muttafaqun alaihi.

​Utsman bin Affan mengatakan kepada Ibnu Mas'ud: A la uzawwiju ka bi bikrin tu'akkiruka bi madla? Tidakkah aku berikan kepadamu atau aku tawarkan kepadamu wahai Abu Abdurrahman—kunyah Ibnu Mas'ud—untuk aku nikahkan engkau bikron dengan gadis yang belum menikah? Apa hikmahnya? Kata Utsman bin Affan kepada Ibnu Mas'ud: Agar mengingatkan engkau pada apa yang telah lewat. Dalam riwayat lain: la'allaha tudzakiruka bima dla min asyabi. Semoga kalau engkau menikah dengan gadis bisa mengingatkanmu masa lalu, pada masa mudamu. Jadi lebih mengingatkan ke masa muda ketika masih nasyat, ketika masih semangat. Ini berarti menunjukkan menikah dengan bikran adalah memiliki keutamaan, atau masuk kriteria wanita yang dicari.

​Kemudian juga dalil yang menunjukkan bahwasanya menikah dengan bikran itu adalah memiliki keutamaan, lebih baik mencari yang bikron dulu, adalah Hadis Aisyah radhiallahu ta'ala anha Fil Bukhari nomor hadis 507.

​Kata Aisyah: Ya Rasulullah araita lau nazalta wadian wafihi syajarun quddama fa ukil a kullu syajarin minha wa wujidta syajaran lam yurta minha? Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu kalau engkau singgah wadian di lembah, dan di lembah tersebut ada pohon yang sudah dimakan, jadi ada pepohonan atau rumputan yang sudah dimakan, kemudian engkau dapatkan ada pohon yang belum dimakan? Mana yang tur'i? Mana yang kau pilih untuk menggembalakan untamu?

​Aisyah mengatakan: Mana yang kau pilih untuk menggembalakan hewan ternakmu atau untamu? Kata Rasulullah: Tadi, lam yurta minha—pada tanaman atau rumputan yang belum digembalakan.

​Aisyah ini memberikan permisalan maksudnya adalah Aisyah memiliki keutamaan. Karena Aisyah itu adalah satu-satunya istri Nabi yang dinikahi dalam keadaan bikran. Di dalam hadis di Bukhari tadi disebutkan: Ta'ni anna Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lam yatazawwaj bikron ghayiraha. Maksudnya kata Aisyah, "Engkau ini wahai Rasulullah tidaklah menikah kecuali tidaklah menikahi yang gadis kecuali aku ya, kecuali diriku." Ini sedang membanggakan dirinya dengan permisalan. Ini berarti dalil bahwasanya menikahi bikran itu adalah termasuk perkara yang dicari, termasuk perkara yang lebih utama.

​Adapun istri Rasulullah sisanya—sepuluh dari sebelas—itu adalah semuanya tsayyib, dalam keadaan janda. Jumlah istri Rasulullah waktu itu pernah kita sebutkan ada sebelas. Kenapa disebutkan sembilan di hadis atau kita mengenal sembilan? Karena dua yang dari istri Rasulullah, Khadijah dan salah satunya, meninggal lebih dulu, meninggal sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meninggal. Sehingga ada saat ketika Rasulullah hidup itu adalah tersisa sembilan. Adapun jumlahnya adalah sebelas. Sebagian menyebutkan ada dua lagi dinikahi tapi dicerai. Ada dua wanita yang dinikahi oleh Rasulullah, dua sahabiyah, tetapi dicerai, dan itu tidak dihitung. Dan ada satu lagi, Mariyah, itu adalah amah atau budak. Jadi jumlahnya sebelas, meninggal dua, Khadijah dan salah satunya, sebelum Rasulullah. Sehingga di hadis yang telah kita sebutkan itu sembilan. Aisyah membanggakan dirinya karena tidak ada wanita dari istri Nabi yang dinikahi dalam keadaan gadis kecuali Aisyah radhiyallahu ta'ala anha.

​Kecuali tadi, apabila ada maslahah. Maslahah yang tadi dicontohkan adalah tadi dia menikah kemudian memiliki adik-adik perempuan banyak. Kalau dia menikahi yang seumuran, misalkan yang masih belasan di bawah 20, sedangkan adik-adiknya umur sama sepantaran maka akan sulit. Maka itu termasuk maslahat.

​Kemudian apa maslahat yang lain? Contoh kebaikan yang kita dapatkan menikah dari tsayyib (janda)? Tadi faktanya Rasulullah, sepuluh-sepuluhnya adalah janda. Jadi dua-duanya dikerjakan oleh Rasulullah, tetapi lihat maslahatnya.

​Di antara maslahatnya adalah ketika laki-laki tersebut kasihan terhadap wanita tersebut. Ada seorang wanita kemudian ditinggal suaminya. Kemudian dia merasa kasihan, ingin menolong. Ini termasuk maslahat. Berarti tidak mengapa menikahi tsayyib dalam rangka menolong, karena dia kasihan wanita tersebut butuh pertolongan.

​Atau juga misalkan ingin mendapatkan pahala dari menafkahi anak-anaknya. Ada janda kemudian anaknya banyak, dia ingin mendapatkan, mengharapkan pahala dari memberi makan anak-anaknya. Ini termasuk maslahat. Boleh berarti termasuk alasan yang syar'i menikahi janda karena tadi ingin menolong wanita tersebut kasihan. Atau tadi anak-anaknya banyak dia ingin menolong. Maka ini termasuk maslahat.

​Adapun istri Rasulullah itu adalah kebanyakan dinikahi dalam keadaan janda.

​Kemudian juga dalam Surah At-Tahrim Ayat 5: Asa Rabbuhu in thallaqakum an yubdilahu azwaajan khairan minkunna muslimatin mu'minatin qanitatin ta'ibatin abidatin sa'ihati tsayyibatin wa abkaro. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : in thallaqakum apabila engkau Rasulullah menceraikan, maka Allah akan ganti azwajan (istri-istri) Allah akan gantikan lebih baik dari mereka: muslimatin yang muslimat, mu'minatin yang beriman, qanitatin yang taat, ta'ibatin yang bertaubat, abidatin yang beribadah, sa'ihatin yang berpuasa, kemudian apa ayatnya? Tsayyibatin wa abkar. Allah akan ganti dengan yang tsayyibat yang janda atau yang abkar yang gadis. Jadi ini dua-duanya memiliki maslahat masing-masing. Tapi kalau hukum asalnya, kalau tidak ada pertimbangan secara umum, berarti memilih yang bikran. Jadi walaupun al-adillah tadi menyebutkan bikran-bikran, tadi Rasulullah ternyata ada faktor-faktor lain sehingga kesepuluhnya adalah thayyiban.

​5. Al-Jamilah (Cantik)

​Kemudian yang lain, yang tidak disebutkan atau disebutkan di hadis sebelumnya tersirat, adalah tadi tambahannya adalah bikron (gadis). Kemudian termasuk kriteria yang ideal juga adalah an takuna jamilatan, cantik.

​Bagaimana dengan hadis yang sebelumnya katanya hadis yang sebelumnya itu hanya kebiasaan saja, seorang laki-laki itu memilih karena empat? Berarti kan tidak termasuk lijamaliha tidak termasuk dianjurkan. Kata ulama, itu adalah kalau menikah hanya karena hartanya saja—itu tidak dianjurkan—atau karena hasab nya saja, karena terhormat saja wanita tersebut, atau lijamaliha. Itu yang tidak dianjurkan. Tapi kalau ternyata beragama kemudian ternyata lijamaliha dia juga cantik, maka ini lebih ahsan, atau dari keturunan terhormat, maka ini lebih ahsan.

​Jadi tambahannya tadi adalah wanita tersebut adalah bikron (gadis) maka ini lebih baik, lebih ideal, dan juga jamilatan cantik.

​Apa dalil-dalilnya? Dalil-dalilnya nanti InsyaAllah dalil-dalil yang disebutkan permasalahan nazhor itu menunjukkan berarti disyariatkan untuk mencari yang cantik. Buktinya apa? Diperintah untuk nazhor. Nazhor itu berarti dia melihat apakah wajahnya dia tertarik atau tidak. Ini secara umum.

​Pertemuan berikutnya kita akan membahas tentang nazhor, akan disebutkan dalil-dalilnya. Dalil-dalil itu sekaligus berarti apabila wanita itu adalah jamilah—ingat, awalnya adalah beragama kemudian dia jamilah—maka ini adalah lebih utama.

​Kemudian alasan tadi, alasan pertama adalah dalil-dalil tentang nazhor. Alasan yang kedua adalah lebih iffah. Seorang suami itu lebih menjaga pandangan ketika istrinya adalah cantik. Kemudian juga ini alasan yang kedua, takun asmah, lebih sempurna dalam menjaga kehormatan suami. Jadi lebih betah di rumah terhadap istrinya.

​Kemudian alasan yang ketiga adalah perbuatan Rasulullah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memilih Shafiyyah itu adalah terkenal dengan lijamaliha. Shafiyyah salah satu istri Nabi itu terkenal dengan kecantikannya. Dan dikatakan juga Juwairiyah, salah satu istri Nabi, itu dikenal dengan kecantikannya.

​Kemudian juga di antaranya yang telah kita sebutkan adalah ketika ada wanita yang datang kepada Rasulullah menghibahkan dirinya. Kemudian Rasulullah di dalam hadis disebutkan ra'a ilaiha sya'raha wa tarik ba'da nadhra gammadhha. Rasulullah melihat ke atas, bagian atas wanita tersebut, kemudian menurunkan pandangannya, melihat dari atas ke bawah, kemudian menundukkan pandangannya. Jadi ini nazhor melihat, ternyata Rasulullah saat itu adalah tidak tertarik. Ini menunjukkan berarti kecantikan adalah perkara yang memang boleh atau masyru', disyariatkan, atau dianjurkan. Tapi ingat, utamanya adalah din, baru tambahan-tambahan. Kalau bisa terkumpul semuanya, itu ahsan.

​Wallahu Ta'ala A'lam. Jadi tambahan dari luar kitab adalah an takuna bikron al-bikr, wal jamilah, dan juga cantik.

​Wallahu ta'ala a'lam. Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


baca selanjutnya “Kitab Nikah 05”

Sabtu, 29 November 2025

Transkrip Kitab Nikah 04

Transkrip Kitab Nikah 04: Lanjutan Hadis Sebelumnya dan Kriteria Memilih Istri

​I. Hukum Puasa bagi yang Tidak Mampu Menikah

​Kita masih ada sisa dari hadis sebelumnya, yaitu hadits: yā ma’syara syabāb (wahai para pemuda), barang siapa yang memiliki bā'ah (kemampuan untuk menikah), maka menikahlah. Karena sesungguhnya menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Wa man lam yastathi' (barang siapa yang tidak mampu). Sekarang kita masuk "fa 'alaihi" (maka atasnya), 'alā (atasnya) atau baginya. Ini 'alā min alfāẓ al-wujūb termasuk dari lafaz-lafaz yang menunjukkan wajib. Maka baginya, atasnya, atau kalau misalkan kita artikan wajib baginya, tapi nanti kembali ke hukumnya, maka baginya untuk berpuasa.

​Karena puasa nanti akan disebutkan wijā', bisa melemahkan atau mengendalikan syahwat. Ulama menyebutkan sebagaimana orang yang capek, lelah karena bekerja keras, dari pagi sampai malam. Dia akan kelelahan, biasanya syahwatnya turun. Demikian pula berpuasa. Ketika dia menyibukkan diri dengan berpuasa, kemudian juga menahan haus dan lapar, maka syahwatnya akan turun juga.

​Dan juga tidak lupa bahwasanya termasuk faedah terbesar dari puasa adalah la'allakum tattaqūn (agar kalian bertakwa). Dan takwa adalah menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Sehingga menjadi sebab seseorang dimudahkan untuk meninggalkan kemaksiatan.

​Kemudian ada isykal (sesuatu yang membingungkan). Misalkan ada seseorang yang dia berusaha berpuasa tetapi tidak ada perubahan, sama saja. Disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah, beliau mengatakan ada isykal: wa istasykalā bi annahu yazīdu fī tahyīj al-harārah. Ada isykal, ada kebingungan. Sebagian mengatakan puasa itu malah justru membangkitkan harārah ya, panas, tahyij as-syahawāt, justru dia timbul syahwatnya. Kata Ibnu Hajar, yang demikian ini: lākinna dzālika innamā itu biasanya di awal-awal ketika dia belum terbiasa berpuasa. Tapi kalau sudah rutīn, kalau dia terus-menerus berpuasa—puasa sunah Senin Kamis atau Daud atau sebulan 3 hari atau puasa-puasa sunah yang lainnya—wa adāma (dan dia membiasakan) sakana dzālika, (maka dia akan tenang). Jadi kalau memang sudah ada yang berusaha tidak mampu menikah, kemudian memilih berpuasa, ternyata masih berhasrat, maka coba terus, itu di awal-awal saja, nanti kalau sudah terbiasa akan turun syahwatnya. Jadi puasa nanti akan disebutkan faedahnya adalah wijā'.

​Kemudian tadi disebutkan 'Alā', kalau kita belajar ushul fikih, termasuk dari kata yang menunjukkan wajib. Apa hukum berpuasa bagi kondisi orang ini? Ya, seorang pemuda yang tidak mampu menikah, apa hukum berpuasa baginya? Apakah wajib? Karena di sini disebutkan fa 'alaihi ash-ṣaum, atasnya atau yalzam harus baginya berpuasa.

​Pendapat yang rājiḥ (kuat) bahwasanya berpuasa bagi seseorang yang tidak mampu menikah hukumnya adalah sunah. Afḍal saja, tidak sampai wajib. Yang wajib baginya adalah menjaga diri ('iffah). Yang wajib baginya adalah menahan pandangan. Yang wajib baginya adalah dia memelihara kemaluannya, menjaga kehormatannya, meninggalkan kemaksiatan. Adapun puasanya sunah.

​Apa dalilnya? Padahal di sini disebutkan fa 'alaihi ash-ṣaum, atasnya berpuasa. 'Alā menunjukkan wajib. Dalilnya adalah hadis yang sudah kita sebutkan, hadis Abu Hurairah radhiyallāhu ta'ālā 'anhu, beliau bertanya meminta kepada Rasulullah ﷺ, "Yā Rasūlullāh, innī rajulun syābbun." Kata Abu Hurairah, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah pemuda, dan aku mengkhawatirkan diriku terjatuh kepada kemaksiatan, terjatuh pada zina. Aku tidak memiliki kemampuan untuk menikah."

​Dalam riwayat lain, Abu Hurairah meminta bagaimana kalau yang sepertiku ini adalah dia melakukan khiṣā' (mengkebiri kemaluannya). Fa sakata, maka Rasulullah terdiam. Kemudian Abu Hurairah mengulanginya sampai tiga kali. Baru yang ketiga kali Rasulullah mengatakan, "Yā Abā Hurairah, qalam at-taqdīr sudah tercatat, sama saja engkau mengkebiri ataupun tidak mengkebiri, itu sudah Allah takdirkan." Maksudnya, kata Ibnu Hajar, "Kalau engkau telah mengetahui wahai Abu Hurairah, segala sesuatu ditakdirkan, maka tidak perlu untuk melakukan ikhtisā." Nah, untuk melakukan mengkebiri supaya syahwatnya hilang. Dan ini adalah hukumnya haram. Al-ikhtisā', mengkebiri buah zakarnya, dilukai atau mungkin dipotong, yang seperti ini adalah haram, tidak boleh.

​Di sini Rasulullah tidak menyebutkan puasa. Kalau puasa itu wajib, maka Rasulullah akan mengatakan solusimu adalah berpuasa. Tapi di sini solusinya adalah bersabar. Bersabar untuk 'iffah, untuk menahan dan menjaga diri.

​Jadi hukum berpuasa bagi seorang pemuda yang dia tidak mampu untuk menikah hukumnya adalah sunah, tidak sampai wajib. Tidak bisa kita katakan: engkau tidak mampu menikah, maka wajib untuk berpuasa. Yang wajib adalah tadi menjaga diri, menahan pandangan, meninggalkan kemaksiatan, menjaga kehormatan, itu yang wajib baginya. “fa 'alaihi ash-ṣaum”, maka baginya untuk berpuasa ini bermakna sunah.

​II. Makna Wijā' (Pelemah Syahwat)

​Kemudian lanjutan potongan hadis berikutnya, “fa innahū lahū wijā'un”. Fa innahu, maka inna sesungguhnya hu (huwa), huwa kembali ke ṣaum. Kembali ke ṣaum. Sesungguhnya puasa “lahu” bagi syabab. Syabab yang tidak mampu untuk menikah dalam puasa ada wijā'. Wijā' sering diterjemahkan penawar, ada penawar dari dari ketidakmampuan, atau dari syahwat.

​Apa makna wijā'? Secara bahasa, wajā'a yajū'u wajā'an itu adalah aḍ-ḍarb (memukul), memukul, ḍarb. Yang dimaksud di sini adalah raḍḍu. Wijā' ini makna asalnya itu adalah raḍḍu al-khuṣyatain. Al-khuṣyatain buah zakar. Dua buah zakar itu yuraḍḍu, di jadi dipukul. Dipukul atau dilukai, supaya tidak berfungsi lagi. Itu raḍḍu al-khuṣyatain, jadi di masa-masa dulu, ketika berperang. Kemudian ketika ada keadaan yang di situ mengharuskan untuk raḍḍu wijā' atau ikhtisār. Ada dua ini untuk menghilangkan syahwat, bisa dengan raḍḍu al-khuṣyatain dengan wijā'. Jadi, buah zakarnya. Ini dipukul, tetapi masih ada. Kalau ikhtisā' itu dipotong sehingga hilang syahwatnya. Ini wijā'. Jadi, menghilangkan syahwat dengan cara demikian hukumnya haram, tetapi ini “bimanzilah” sama kedudukannya. Jadi puasa itu seperti wijā', bisa menurunkan syahwat, makanya diterjemahkan penawar, penawar atau penurun atau pelemah dari syahwat. “fa innahū lahū wijā'un”. Sekarang kita paham arti asalnya, kemudian digunakan terjemahannya adalah sesungguhnya puasa bagi orang tersebut adalah penawar, melemahkan syahwat.

​III. Empat Kriteria Motif Manusia dalam Menikah

​Selesai hadis ini, Kita lanjutkan hadis berikutnya. Wa qāla ﷺ: Tunkahu al-mar'atu li-arba'in. Tunkahu (dinikahi) al-mar'atu (seorang wanita) li-arba'in (karena empat perkara): li-mālihā (li: karena māl: harta, -nya kembali ke al-mar'ah) karena hartanya, wa li-ḥasabihā yang kedua, dan li-ḥasabihā karena ḥasab ya, ḥasab sementara kita terjemahkan kehormatannya. Maksudnya, wanita yang dari keturunan terhormat, karena keturunannya, atau sering diterjemahkan karena keturunannya. Wa li-jamālihā dan juga karena jamāl, kecantikannya, wa li-dīnihā dan juga karena dīn (agamanya). Faẓfar, sementara kita terjemahkan (carilah) bi dzāti ad-dīn (dzāt artinya ṣāḥibah (yang memiliki) dīn (agama). Carilah wanita yang beragama atau yang agamanya kuat. Taribat yadāk ya. Taribat yadāk nanti akan kita jelaskan. Hadits Muttafaqun 'alaih.

​Sekarang kita di hadits yang kedua. Di sini membahas kriteria wanita yang sebaiknya dipilih oleh seorang laki-laki ketika ingin menikah. Jadi ini kriteria idealnya. Nanti akan disebutkan hadits ini dan pembahasan berikutnya akan digabung dengan pembahasan berikutnya.

​Kita bahas kalimat “tunkahu”. Disebutkan di syarahnya, ini adalah khabar (berita), wa laisat amr (bukan perintah). Apa yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ ini hanya berita dari Nabi ﷺ, bukan perintah. Jangan diartikan di sini Rasulullah memerintahkan kita menikah karena empat perkara ini, bukan. Jadi, yang dimaksud ini adalah keadaan laki-laki ketika menikah biasanya karena empat ini. Jadi, Rasul sedang menceritakan wāqi' (kenyataan) yang terjadi, realitasnya adalah kebanyakan laki-laki menikah, motif utamanya atau yang dia cari adalah empat ini. Ada yang lainnya tetapi kebanyakan empat. Jadi, ini jangan dipahami Rasulullah memerintahkan kita mencari wanita yang empat-empatnya ini, atau memerintahkan ini li-mālihā. Rasulullah memerintahkan kita menikah, menikahi wanita yang kaya, bukan perintah. Ini adalah khabar (berita) dari Nabi ﷺ tentang keadaan-keadaan manusia atau laki-laki ketika menikah. Itu bermacam-macam, ada yang karena harta, ada yang karena kecantikan. Ini maksud hadits ini. Jadi, ini adalah khabar. Menceritakan kondisi, keadaan kebanyakan calon suami ketika memilih istrinya.

​Pertama adalah li-mālihā. Li-mālihā karena hartanya. Dan kita saksikan banyak yang seperti ini. Ada beberapa yang kita lihat di zaman ini atau di cerita-cerita sebelumnya, ada yang laki-laki memilih menikah karena istrinya kaya. Bahkan ada yang menikah dengan wanita yang berumur, yang ajūz, yang sudah nenek-nenek. Ada yang umur 20 atau umur masih belasan laki-lakinya menikah umur 60, 70, ini kenyataan ada. Kalau dari sisi hukumnya: boleh. Karena Rasulullah tidak melarang di sini. Boleh-boleh saja ada seseorang yang menikahi wanita karena dia kaya, walaupun dia tidak cantik, atau dari keluarga yang misalkan keluarga yang terpandang. Ini boleh saja dari sisi hukum. Tapi ingat nanti di akhir Rasulullah yursyid (membimbing) kita dari empat kebiasaan ini, mana yang harus kita utamakan. Jadi, ini kebiasaan kebanyakan atau beberapa menikah karena harta, dan secara hukum boleh. Kita bukan berbicara masalah afḍal-nya. Mana yang lebih baik? Yang lebih baik tentu bukan semata karena harta, tetapi karena agama. Kalau ternyata agamanya bagus, kemudian kaya, ini adalah “khair 'alal khair” (ia mendapatkan kebaikan di atas kebaikan). Kalau saja memang ada yang benar-benar memilih karena harta saja semata, secara hukum boleh. Tetapi ya, tentunya ini adalah tercela karena dunia adalah tercela. Dia mencari sesuatu yang tidak afdal. Apalagi kalau dia sengaja mencari wanita yang sudah mau meninggal (sudah berusia), dia menunggu warisannya. Ini tidak dikatakan haram, karena caranya halal. Menikah dengan akad yang sah. Tetapi ada niatan-niatan yang manusia kalau tahu akan menilai jelek, akan beranggapan negatif terhadap orang yang semata-mata karena hartanya atau bahkan menunggu warisan. Ini yang pertama. Li-mālihā, kondisi laki-laki, di antaranya kebanyakan di antara empat yang kebanyakan salah satunya adalah ini, karena harta.

​Kemudian yang kedua wa li-ḥasabihā. Al-ḥasab, dengan difathahkan sīn-nya, al-ḥasabu, atau di sini li-ḥasabihā, bukan ḥasbī ya, tapi difathahkan sīn-nya. Maknanya adalah al-'izzu wa asy-syarafu (al-'izz kemuliaan, wa asy-syarafu, syaraf juga kemuliaan). Maksudnya apa? Keluarganya, orang tuanya, kakeknya, itu adalah dari—istilah kita—keluarga terpandang. Dari keluarga terpandang, dan mungkin bisa juga kalau sekarang qabā'il, suku, memiliki marga itu ma'ruf. Ada marga yang terpandang, ada yang sedang, ada yang di bawah. Kalau seseorang ternyata—dan ini banyak—yang jadi pertimbangan ketika ingin menikah, memilih calon istrinya karena melihat dari keturunan keluarga terpandang, dari marga yang terpandang. Karena nanti ada kebanggaan ketika ditanya, menikah dengan siapa? Menikah dengan fulan binti fulan. Ada kebanggaan, orang-orang akan berkomentar: oh ternyata dari keturunan yang terpandang. Seperti ini dari sisi hukum boleh. Orang yang menikah semata-mata karena kehormatan keluarga istri, ini boleh. Tetapi tentunya Nabi ﷺ—akan disebutkan nanti—membimbing manakah yang seharusnya kita cari, bukan hanya sekedar sisi keturunan saja, dari kemuliaan keluarganya. Kalau ternyata cantik, kemudian kaya, kemudian beragama, dari keturunan baik-baik, keluarga terpandang, ini adalah tentunya yang dicari. Tapi permasalahannya apakah wanita yang seperti itu mencari kita? Biasanya akan mencari yang sama juga. Makanya pilihlah “faẓfar bi dzāti ad-dīn”.

​Kemudian yang berikutnya wa li-jamālihā. Dan ini bisa dibilang yang terbanyak. Seseorang dia memilih calon istrinya yang cantik. Nggak masalah dia miskin, nggak masalah dia dari keturunan yang biasa saja, orang tuanya bukan dari keluarga terhormat, bukan dari keluarga terpandang, bukan dari tokoh masyarakat, nggak masalah. Banyak yang mengutamakan kecantikan. Dari sisi hukumnya boleh, seseorang semata-mata menikahi seorang wanita karena kecantikannya. Tapi ingat, ini bukan segalanya. Apalagi harta, kemudian keturunan, kemudian jamāl (kecantikan). Ini adalah sesuatu yang fāna, sesuatu yang akan hilang, akan sirna dengan bertambahnya umur. Dikhawatirkan kalau dia cintanya karena kecantikan, dengan bertambahnya umur, akan memudar kecantikan. Demikian pula yang cintanya karena harta, ketika hartanya berkurang, maka akan hilang atau akan berkurang rasa cinta dia. Ini yang ketiga. Kebanyakan menikah karena memilih istrinya karena kecantikannya.

​Kemudian yang keempat adalah wa li-dīnihā, dan karena agamanya. Masih ada sekarang, dan bahkan banyak para pemuda yang mereka tujuan utamanya atau pilihan kriteria utamanya adalah karena agamanya. Melihat latar belakang pendidikannya, mondok berapa lama, hafalannya, kemudian melihat akhlaknya, melihat dari pendidikan orang tuanya. Seperti ini masih ada. Alhamdulillah pada masa sekarang ini ada para pemuda yang mereka mengedepankan li-dīnihā. Dan ini yang dianjurkan, yang dibimbing oleh Nabi ﷺ, utamanya ini. Kalau ternyata ada kelebihan yang lainnya yang telah disebutkan, maka ini adalah kebaikan di atas kebaikan.

​IV. Bimbingan Nabi: Mengutamakan Wanita Beragama

​Kemudian Rasulullah ﷺ mengatakan faẓfar bi dzāti ad-dīn. Kalimat faẓfar, Aẓ-ẓafar maknanya adalah ḥaṣala 'alaihi, ẓafira ya. Fi'il-nya adalah ẓafira yaẓfaru. Maknanya adalah ḥaṣala 'alaihi, fāza, dan nāla. Ini kalimat ẓafira, fi'il amr-nya faẓfar atau iẓfar. Fi'il māḍī-nya ẓafira, yaẓfaru fi'il muḍāri'-nya. Artinya adalah ḥaṣala, fāza, nāla (mendapatkan), fāza (memenangkan), nāla (mendapatkan). Nah, berarti kalau faẓfar, maka dapatkanlah atau carilah atau kejarlah ya, hal yang demikian. Faẓfar, carilah atau dapatkan olehmu. Rasulullah menyebutkan, "Kebanyakan orang menikah karena harta, kecantikan, keturunan/kehormatan, karena agama." Rasulullah membimbing faẓfar, carilah dzāti dīn, wanita yang beragama, yang dayyinah, yang memiliki agama, yang memiliki ilmu, tentunya yang mengamalkan ilmunya, yang beribadah. Ini faẓfar, tadi maknanya carilah atau dapatlah wanita yang beragama.

​Kemudian taribat yadāk. Sering diterjemahkan maka beruntunglah. Carilah oleh kalian yang beragama, maka kalian akan beruntung. Apa makna asal dari taribat yadāk? Taribat dari kata turāb. Taribat yadāk, yadāk tanganmu. Taribat yadāk artinya adalah iltaqaṭat yadāk. Makna asal dari taribat yadāk adalah iltaqaṭat yadāk. Kedua tanganmu menempel turāb, tanah. Jadi taribat yadāk kedua tanganmu tertempel tanah, tanah menempel di kedua tanganmu. Ini apa maksudnya? Yang dimaksud di sini adalah al-faqr (fakir) miskin. Karena orang miskin itu di tangannya cuma ada tanah. Tidak ada sesuatu kecuali tanah. Ini termasuk dari ungkapan orang-orang Arab yang lā yurādu bihā al-ma'nā (yang tidak dimaukan maknanya). Itu arti faẓfar bi dzāti ad-dīn taribat yadāk. Carilah yang wanita yang memiliki agama, maka taribat yadāk. Kalau makna asalnya adalah semoga tanganmu akan dipenuhi dengan pasir, dengan tanah. Tetapi ini disebutkan oleh para ulama, ini adalah khabar (berita). Taribat, fi'il māḍī, bukan fi'il amr, tetapi bi ma'nā du'ā'. Ini adalah doa semoga engkau miskin. Tetapi apa kata Syekh Ibnu Utsaimin: ini bukan dimaukan makna ini. Ini kalau di bahasa Indonesia hanya ucapan biasa, tapi artinya bukan itu. Ada juga dalam hadis, misalkan Rasulullah ﷺ mengatakan kepada Mu'adz: Tsakilatka ummuk (semoga ibumu kehilanganmu) ini bukan seperti itu maknanya. Hanya ucapan-ucapan yang diucapkan oleh orang-orang Arab, tetapi tidak dimaukan maknanya.

​Kata Syekh Ibnu Utsaimin: Al-kalimāt (kalimat-kalimat) seperti ini itu bi ma'nā yang mereka ucapkan di lidah-lidah mereka. Wa lā yurādu bihā an-nahaya wal lughawiyya. Nah, tidak dimaksudkan maknanya. Sudah ucapan seperti itu. Jadi, kalau di bahasa kita ini untuk supaya memahami, ada kita ketika memuji pakai kalimat "gila" "gila ente". Padahal sedang memuji. Dia bukan bukan mengata-ngatai gila, tetapi sedang memuji. "Gila" maksudnya "dahsyat". Ini seperti itu.

​Kemudian apa maknanya? Ini maknanya adalah al-ḥaṡṡ (anjuran), anjuran wa at-targhīb, targhīb juga anjuran. Jadi, innamā yurādu bihā al-ḥaṡṡu wa at-targhīb. Kata Syekh Utsaimin rahimahullah bahwasanya innamā yurādu bihā (yang dimaksud dengan kalimat taribat) adalah al-ḥaṡṡu wa at-targhīb (anjuran). Anjuran untuk mencari yang beragama. Jadi tidak perlu diterjemahkan secara asalnya. Faẓfar bi dzāti ad-dīn. Carilah oleh kalian yang wanita yang memiliki agama taribat yadāk. Nah, ini tidak perlu diterjemahkan. Ini karena al-ḥaṡṡ saja, anjuran dari Rasulullah ﷺ.

​Tapi kalau mau diterjemahkan, bisa di kita terjemahkan beruntunglah, maka beruntunglah. Sebagian mengatakan demikian. Sebagian lain mengatakan kemungkinan yang lain. Yang dimaksud taribat yadāk di sini, tadi sama taribat yadāk semoga tanganmu dipenuhi dengan tanah, dengan turāb. Tetapi ini ada sesuatu yang dibuang. Ada yang dibuang, ada maḥdzūf-nya. Apa taqdīr-nya? Sesuatu yang dibuang itu: Taribat yadāka in lam taf'al mā amartu biha. Jadi, ini ada kata yang dibuang. Yang dibuangnya adalah semoga engkau miskin (merugi) kalau tidak mencari yang beragama, atau celakalah kalau engkau tidak mencari yang wanita yang dayyinah, yang beragama. Bisa yang pertama atau yang kedua, kemungkinan pertama atau yang kedua. Yang pertama tadi, tidak dimaukan maknanya, hanya kalimat yang biasa diucapkan oleh orang Arab, yang maknanya adalah perintah atau maknanya adalah anjuran. Hanya penguat dari kata faẓfar. Atau tadi, maknanya adalah semoga celaka kalau tidak mencari yang demikian.

​Ini adalah bimbingan Nabi ﷺ adalah untuk memilih kriteria yang paling utamanya adalah wa li-dīnihā. Adapun yang sebelumnya, boleh saja, tapi tetap menjadikan pilihan utamanya adalah karena agamanya.

​V. Kriteria Ideal Wanita Menurut Syekh As-Sa'di

​Kemudian kita baca dulu setelahnya: wa yanbaghī an yatakhyyar (yalzam, seharusnya, sepatutnya, selayaknya). Kalau kalimat lā yanbaghī itu lā yaliq (tidak pantas). Kalau ini “yanbaghi” yang sepantasnya, sepatutnya. Seharusnya an yakhtār, seseorang itu adalah yatakhyyar (memilih) dzāta dīnin, ṣāḥibah dīn yang memiliki agama, wa al-ḥasab. Al-ḥasab tadi telah kita sebutkan, kemuliaan. Maksudnya adalah keturunan mulia. Bisa diterjemahkan dari keluarga terpandang, wa al-wadūda dan memilih al-wadūd. Al-wadūd dari kata wudd, mawaddah, mencintai. Wanita yang mencintai, memiliki sifat mencintai atau kasih sayang. Al-walūda. Al-walūda dari kata walad, yang walūd yang memiliki banyak anak. Maksudnya yang subur. Rahimnya subur, yang memiliki banyak anak. Wa al-ḥasībah. Wa al-ḥasībah dari kata ḥasab, dia dari keluarga yang terpandang.

​Ini disebutkan oleh Syaikh As-Sa'di rahimahullah, secara syar'i kriteria ideal seorang wanita itu adalah ini: dari sisi agamanya. Kemudian juga dari sisi ḥasab ini juga diperintahkan. Nanti akan kita sebutkan dalil-dalil yang menunjukkan demikian. Kemudian tadi dari keluarga yang terpandang, keluarga baik-baik ya, keluarga yang terhormat. Kemudian al-wadūd yang Dia memiliki kasih sayang, dia penyayang. Al-wadūd penyayang terhadap suaminya dan keluarganya dan anaknya. Al-walūd tadi yang subur. Kemudian al-ḥasībah.

​Kalau di hadis sebelumnya menunjukkan satu kriteria saja, di pembahasan berikutnya yang akan kita bahas insyā'allāh pada pertemuan berikutnya, kriteria lainnya, kriteria lainnya yang syar'i: pertama dayyinah (beragama), kemudian ḥasab (dari keluarga yang baik-baik, yang mulia), kemudian penyayang dan subur.

​Nah, insyā'allāh pada pertemuan berikutnya kita sebutkan dalil-dalil dari kriteria-kriteria yang disebutkan oleh Syaikh As-Sa'di rahimahullāh.

Ilā hunā, subḥānakallāhumma wa biḥamdik asyhadu an lā ilāha illā anta astaghfiruka wa atūbu ilaik.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

baca selanjutnya “Transkrip Kitab Nikah 04”

Kitab Nikah 04 : Kriteria Memilih Istri


​Kitabun Nikah 04 : 

Puasa dan Kriteria Memilih Istri

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

​Kita lanjutkan hadis: "Yā ma'syara asy-syabāb..." (Wahai para pemuda). Barang siapa yang memiliki bā'ah (kemampuan menikah), maka menikahlah. Karena sesungguhnya menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.

​Hukum Puasa Bagi yang Tidak Mampu Menikah

  • "Wa man lam yastathi' fa 'alaihi biṣ-ṣaum." (Dan barang siapa yang tidak mampu, maka atasnya/baginya untuk berpuasa).

​Lafaz 'alāihi termasuk lafaz yang dalam ushul fikih menunjukkan wajib. Puasa ini bertujuan untuk wijā' (melemahkan/mengendalikan syahwat), karena menahan lapar dan haus akan menurunkan syahwat, dan faedah terbesarnya adalah agar kalian bertakwa (la'allakum tattaqūn).

Iskal (Permasalahan):

Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa jika puasa justru membangkitkan syahwat, hal itu biasanya terjadi di awal-awal. Jika seseorang rutin berpuasa, syahwatnya akan turun.

Hukum Berpuasa:

Meskipun lafaz 'alāihi menunjukkan wajib, pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa berpuasa bagi pemuda yang tidak mampu menikah hukumnya sunah (afḍal), tidak sampai wajib. Yang wajib adalah menjaga diri ('iffah), menahan pandangan, dan meninggalkan maksiat. Puasa adalah sarana pendukung sunah.

​Makna Wija'

  • "Fa innahū lahū wijā'un." (Maka sesungguhnya puasa baginya adalah wijā').

Al-Wijā' secara bahasa asalnya adalah melukai atau menghancurkan buah zakar untuk menghilangkan syahwat (tindakan yang haram). Maksud hadis: Puasa kedudukannya bimanzilah (seperti) al-wijā', karena ia bisa menurunkan atau melemahkan syahwat.

​Hadis Kedua: Kriteria Memilih Wanita

​Rasulullah ﷺ bersabda:

"Tunkahu al-mar'atu li-arba'in: li-mālihā, wa li-ḥasabihā, wa li-jamālihā, wa li-dīnihā. Faẓfar bi dzāti ad-dīn taribat yadāk." (Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena ḥasab-nya [keturunan/kehormatannya], karena kecantikannya, dan karena agamanya. Carilah wanita yang beragama, niscaya kamu beruntung). (Muttafaqun 'alaihi)


​Analisis Hadis

​Lafaz "Tunkahu al-mar'atu" (Wanita dinikahi) adalah khabar (berita), bukan amr (perintah). Rasulullah ﷺ menceritakan realitas motif kebanyakan laki-laki ketika menikah.

​Empat Kriteria Motif Manusia (Realitas):

  1. Li-mālihā (Karena hartanya/kekayaannya).
    • Hukum: Secara hukum boleh menikah karena harta, meskipun tidak afdal.
  2. Li-ḥasabihā (Karena ḥasab-nya/kemuliaan keluarga/keturunan).
    • Hukum: Secara hukum boleh, karena dari keluarga terpandang (al-'izzu wa asy-syaraf) bisa menjadi kebanggaan.
  3. Li-jamālihā (Karena kecantikannya).
    • Hukum: Secara hukum boleh. Namun, kecantikan itu fān (fana), akan sirna seiring usia.
  4. Li-dīnihā (Karena agamanya).
    • Hukum: Ini adalah pilihan kriteria utama yang dianjurkan Nabi ﷺ.

​Bimbingan Nabi ﷺ:

  • "Faẓfar bi dzāti ad-dīn" (Carilah wanita yang beragama).
    • Faẓfar adalah perintah untuk mencari atau mengejar wanita yang memiliki agama (ḍayyinah).
  • "Taribat yadāk" (Niscaya kamu beruntung).
    • ​Ini adalah ungkapan orang Arab yang tidak dimaksudkan makna harfiahnya. Ia berfungsi sebagai al-ḥathth (anjuran yang kuat) dan at-targhīb (dorongan) dari Nabi ﷺ untuk memilih kriteria yang paling utama, yaitu agama.

​Kriteria Ideal dalam Pandangan Syar'i 

​Secara syar'i, kriteria ideal seorang wanita yang seharusnya dicari adalah:

  1. Dīn (Beragama).
  2. Ḥasab (Dari keluarga terpandang/mulia).
  3. Al-Wadūd (Penyayang/memiliki kasih sayang).
  4. Al-Walūd (Subur/yang memiliki banyak anak).

Insyaallah pada pertemuan berikutnya, kita akan membahas dalil-dalil dari kriteria tambahan ini.

Ila hunā, subhanakallahumma wa bihamdik ashadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


#manhajussalikin

#nikah 04

baca selanjutnya “Kitab Nikah 04 : Kriteria Memilih Istri”

Nikah 03 : Hikmah Pernikahan

Hikmah dan Faedah Pernikahan

Kita lanjutkan pembahasan kita, sampai pada ucapan Nabi ﷺ: "Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian memiliki al-bā'ah (kemampuan untuk menikah)..."

​Telah kita jelaskan bahwa al-bā'ah di sini lebih diarahkan kepada al-mu'nah atau al-muknah (biaya nikah), yaitu dari sisi finansial atau ekonominya, maka menikahlah (fal yatazawwaj).

​Setelah perintah menikah, hadis ini membahas hikmah dan faedah dari nikah. Di sini Rasulullah ﷺ menyebutkan dua faedah.

​1. Faedah Pertama: Lebih Menundukkan Pandangan (Aghaddu lil Bashar)

​Nabi ﷺ bersabda, "Fainnahū..." (Sesungguhnya dia, yakni an-nikah) "aghaddu lil bashar."

​Kata aghaddu adalah isim tafdhīl dari wazan af'al yang berarti "lebih" atau "paling". Kata dasarnya adalah ghadd yaghuḍḍu, yang muradif-nya (persamaan katanya) adalah khafaḍa wa kaffa (merendahkan/menundukkan dan menahan).

​Maka, nikah adalah lebih menundukkan pandangan (lil bashar) atau lebih menahan pandangan.

  • Hikmah: Seseorang yang tadinya belum menikah akan lebih mudah tergoda melihat fitnah (godaan) wanita. Ketika menikah, Allah akan memberikan taufik, sehingga ia lebih mudah untuk menahan pandangan.
  • Hukum: Hadis ini menunjukkan bahwa tidak menundukkan pandangan hukumnya adalah haram, yang disebut dengan zina mata.

​Rasulullah ﷺ bersabda, "Kutiba 'alā Adam nasībuhu minaz zinā..." (Telah ditetapkan bagi anak Adam, bagi manusia, nasib dari zina). Ia akan menghadapi zina, tidak mungkin lepas darinya.

​Zina kedua mata adalah melihat; zina kedua telinga adalah mendengar; zina lisan adalah berbicara; zina tangan adalah meraba; zina kaki adalah melangkah (ke tempat maksiat); dan zina hati adalah ketika dia menginginkan dan mengkhayal perkara yang haram. Penentunya adalah kemaluan (al-farj), apakah ia jatuh terhadap zina atau tidak. (Muttafaqun 'alaihi min hadits Abi Hurairah)


​Jadi, nikah lebih menghindarkan seorang pemuda dari zina mata. Solusinya bagi yang terfitnah dan tidak bisa menahan pandangannya, jika ia memiliki bā'ah, adalah menikah.

​2. Faedah Kedua: Lebih Menjaga Kemaluan (Ahsanu lil Farj)

​Faedah yang kedua adalah "wa ahsanu lil farj."

​Kata hasuna (fi'il) artinya manu'a (sesuatu yang terlindungi) atau 'ashama (terjaga), seperti kata hisnul haṣīn (benteng yang kuat). Ahsanu artinya lebih menjaga lil farj (kemaluan).

​Dengan menikah, seseorang lebih mudah untuk menjaga kemaluannya. Zina hakikatnya adalah ketika melakukan zina al-farj.

​Orang-orang mukmin dipuji karena menjaga kemaluannya.

"Walladzīna hum li furūjihim hāfiẓūn, illā 'alā azwājihim aw mā malakat aimānuhum fa innahum ghairu malūmīn." (Dan merekalah yang menjaga kemaluan mereka, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela). (QS. Al-Ma'arij: 29-30)


​Perintah untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan disebutkan bersamaan.

"Qul lil mu'minīna yaghuḍḍū min abṣārihim wa yaḥfaẓū furūjahum..." (Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, tundukkanlah pandangan mereka dan jagalah kemaluan-kemaluan mereka). (QS. An-Nur: 30)


Kesimpulan Hikmah: Solusi dan obat dari fitnah memandang perkara haram dan menjaga kemaluan adalah dengan nikah.

​Bolehnya Hanya Menyebutkan Sebagian Hikmah

​Syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa bolehnya menyebutkan manfaat atau hikmah dari suatu ibadah hanya beberapa saja. Rasulullah ﷺ hanya menyebutkan dua hikmah ini karena kedua perkara ini adalah fitnah yang paling berat dan paling dekat dengan pemuda: menahan pandangan dan menahan kemaluan. Ini bukan berarti hikmah nikah hanya terbatas pada dua ini saja.

​Hikmah dan Manfaat Lain dari Nikah

​Selain dua faedah di atas, terdapat hikmah dan faedah lain dari menikah:

​1. Imtisāl Amrillāhi wa Rasūlihi (Mentaati Perintah Allah dan Rasul-Nya)

​Hikmah pertama yang umum dari sebuah ibadah adalah mentaati atau mempraktikkan perintah Allah dan Rasul-Nya. Seseorang yang menikah niatkan ia beribadah dalam rangka mempraktikkan perintah ini.

  • Faedah Ketaatan: Mentaati Allah dan Rasul-Nya akan mendatangkan Rahmat Allah (QS. At-Taubah: 71; QS. An-Nur: 56) dan mendatangkan Hidayah dan Istiqamah (QS. Al-A'raf: 158; QS. An-Nur: 54).

​2. Ḥuṣūlu As-Sukūn wa Aṭ-Ṭuma'nīnah wa Ar-Rāḥah (Mendapatkan Ketenangan, Ketentraman, dan Kenyamanan)

"Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājan li taskunū ilaihā wa ja'ala bainakum mawaddatan wa raḥmah..." (Dan termasuk dari tanda-tanda kebesaran Allah, Dia ciptakan untuk kalian dari jenis diri kalian berpasangan agar kalian condong dan merasa tentram kepadanya. Dan Allah akan jadikan untuk kalian di antara kalian mawaddatan wa rahmah—kasih dan sayang). (QS. Ar-Rum: 21)


​Laki-laki akan mendapatkan ketentraman dari istrinya, dan sebaliknya, perempuan akan merasa tenang dari suaminya.

​3. Taḥṣīlu An-Nasl (Mendapatkan Keturunan)

​Ini adalah tujuan (maqāsid) nikah yang paling besar. Keturunan atau anak adalah perhiasan (zīn) kehidupan dunia.

  • Perhiasan Dunia: "Al-mālu wal banūna zīnatul ḥayātid dunyā..." (Harta dan anak-anak itu adalah perhiasan kehidupan dunia). (QS. Al-Kahfi: 46)
  • Doa Para Nabi dan Orang Saleh: Mereka berdoa untuk mendapatkan keturunan.
    • Doa Umum: "Rabbanā hablana min azwājinā wa dhurriyyātinā qurrata a'yun." (Ya Allah, berikanlah kepada kami dari istri-istri kami dan anak-anak kami sebagai penyenjuk mata). (QS. Al-Furqan: 74)
    • Nabi Zakariya: "Rabbi lā tadzarnī fardā." (Ya Rabbku, jangan biarkan aku sendirian [tanpa keturunan]). (QS. Al-Anbiya: 89)
    • Nabi Ibrahim: "Rabbi hab lī minaṣ-ṣāliḥīn." (Ya Rabbku, anugerahilah aku (anak) yang termasuk orang-orang yang saleh). (QS. As-Saffat: 100)
  • Pahala Jariah: Anak saleh menjadi salah satu pahala yang mengalir bagi orang tua.
  • Naiknya Derajat: Rasulullah ﷺ bersabda, sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga. Ketika ia bertanya sebabnya, dikatakan: "...Bistighfāri waladika lak." (Disebabkan istighfar anakmu terhadapmu). (HR. Ibnu Majah)

​4. Taḥqīqu Al-Mubāhāh fil Umam (Merealisasikan Kebanggaan dengan Banyaknya Umat)

​Mewujudkan berbangga (al-mubāhāh) dalam hal kebaikan dengan banyaknya keturunan.

​Rasulullah ﷺ bersabda, "Tazawwajū al-wadūda al-walūd..." (Menikahlah dengan wanita yang penyayang [al-wadūd], yang banyak keturunannya [al-walūd]). "Fa innī mukātsirun bikum al-umama." (Karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat). (HR. Abu Daud)


​5. Ḥuṣūlu Al-Quwwah lil Ummah (Umat Mendapatkan Kekuatan)

​Ketika kaum muslimin berjumlah banyak di atas akidah dan sunah yang benar, umat menjadi kuat.

  • ​QS. Al-Isra: 6: "Wa ja'alnākum akṡara nafīrā." (Dan Kami jadikan kalian kelompok yang paling banyak).
  • ​QS. Al-A'raf: 86: "Wadzkarū idz kuntum qalīlan fa kaṡṡarakum." (Ingatlah ketika kalian dahulu sedikit, lalu Kami banyakkan kalian).

​6. Taqrīb Al-Usar (Mendekatkan Kekeluargaan/Kekerabatan)

​Menikah mendekatkan dua keluarga besar. Hubungan kekerabatan tidak hanya karena nasab, tetapi juga karena pernikahan yang disebut ṣihr (shiḥran).

"Wa Huwalladzī khalaqa minal mā'i basyaran fa ja'alahū nasaban wa ṣihrā." (Dan Dialah Allah yang menciptakan dari air (mani) itu manusia, lalu Dia menjadikannya nasab dan hubungan kekerabatan karena pernikahan). (QS. Al-Furqan: 54)


​Kelanjutan Hadis: Solusi Bagi yang Tidak Mampu

​Kita lanjutkan kalimat berikutnya: "Wa man lam yastathi' fa 'alaihi bish shaum." (Dan barang siapa yang tidak mampu, maka baginya untuk berpuasa).

​Yang dimaksud tidak mampu di sini adalah tidak mampu dari sisi mu'nah (biaya), yaitu al-qūdrāh al-māliyah (kemampuan harta). Karena al-bā'ah mencakup kemampuan fisik dan harta, dan kemampuan fisik (syabab) sudah jelas dimiliki.

Solusi: Bagi yang tidak mampu secara harta, solusinya adalah berpuasa (saum).

​Fitnah Wanita (Fitnatun Nisā')

​Rasulullah ﷺ memberikan solusi puasa karena yang dihadapi para pemuda adalah fitnah yang besar—fitnah wanita (fitnatun nisā'), yang merupakan godaan terbesar bagi laki-laki.

  • ​Rasulullah ﷺ bersabda: "Mā taraktu ba'dī fitnatan aḍarra 'alar rijāl min an-nisā'." (Tidaklah aku meninggalkan sepeninggalanku fitnah/ujian yang lebih berbahaya bagi laki-laki dari wanita). (Muttafaqun 'alaihi - HR. Bukhari: 5096)
  • ​Rasulullah ﷺ bersabda: "Fattaqū ad-dunyā wa ttaqū an-nisā', fa inna awwala fitnati banī Isrā'īl kānat fin nisā'." (Takutlah kalian terhadap fitnah dunia dan takutlah terhadap fitnah wanita, karena dahulu fitnah/ujian terbesar Bani Israil adalah wanita). (HR. Bukhari: 2742)

​Motivasi bagi yang Merasa Tidak Mampu

​Walaupun seseorang tidak mampu secara harta, ia tetap harus sabar. Namun, jika ada celah atau peluang (misalnya orang tua atau kerabat siap membiayai pernikahan, atau biaya pernikahan sangat sederhana), maka bismillah untuk menikah.

Dalil-Dalil Motivasi:

  1. Allah Menanggung Rezeki:
    • "Wa ka'ayyin min dābbatin lā taḥmilu rizqahā Allāhu yarzuquhā wa iyyākum..." (Dan berapa banyak hewan yang dia tidak bisa membawa rezekinya sendiri, Allah yang memberikan rezeki. Dan juga kalian). (QS. Al-Ankabut: 60)
    • "Wa mā min dābbatin fil arḍi illā 'alā Allāhi rizquhā." (Dan tidaklah makhluk di muka bumi ini kecuali Allah yang menanggung rezekinya). (QS. Hud: 6)
    • ​Rasulullah ﷺ bersabda, "Inna nafsan lan tamūta ḥattā tastawfiya rizqahā." (Sesungguhnya jiwa itu tidak akan meninggal sampai selesai rezekinya). (HR. Ibnu Majah)
  2. Keadaan Rasulullah ﷺ: Rasulullah ﷺ pernah tidur bermalam beberapa malam berturut-turut dalam keadaan lapar, dan keluarganya tidak mendapatkan makan malam. Rotinya adalah roti sya'īr (gandum kualitas bawah). Ini adalah teladan bagi yang hidup sederhana.
  3. Kisah Mahar Hafalan Qur'an: Rasulullah ﷺ menikahkan seseorang yang tidak memiliki apa-apa, bahkan cincin dari besi pun tidak ia miliki. Lalu beliau menikahkannya dengan mahar berupa mengajarkan hafalan Qur'annya kepada istrinya.
  4. Tiga Golongan yang Ditolong Allah: Rasulullah ﷺ bersabda, ada tiga golongan yang Allah akan menolongnya:
    1. Al-Mujāhid fī Sabīlillah (Pejuang di jalan Allah).
    2. Al-Mukātab Alladhī Yurīdu Al-'Ada' (Budak yang sedang menyicil dirinya karena ingin melunasinya).
    3. An-Nākiḥ Alladhī Yurīdu Al-'Afāf (Orang yang ingin menikah karena ingin 'afāf [menjaga diri]).

​Bagi yang tidak mampu tetapi ada peluang, maka ia disunahkan (mustaḥabbah) untuk menikah. Hukumnya menjadi wajib jika ia takut terjatuh kepada fitnah.

​Wallahu ta'ala a'lam. Ila hunā, subhanakallahumma wa bihamdik ashadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

#manhajussalikin

#nikah 03

baca selanjutnya “Nikah 03 : Hikmah Pernikahan”

Jumat, 28 November 2025

kitab nikah 01 (rev)

Kitab Nikah 01

​Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah wassalatu wassalamu 'ala rasulillah wa 'ala alihi wa sahbihi wa man walah.

​Alhamdulillah, kita telah selesai dari Kitabul Mawaris, pembahasan tentang ilmu warisan. Sekarang kita masuk ke pembahasan yang baru, Kitabu An-Nikahi (Kitab Nikah).

​Makna Kata Kitab

​Sebagaimana sering kita ulang, kalimat Kitab (huruf kāf, tā', dan bā') itu maknanya adalah Al-Jam'u (mengumpulkan).

​Ibnu Faris rahimahullah dalam kitab Maqayis Al-Lughah mengatakan, "Al-kaf, wa at-ta', wal ba' ashlun shahih wahidun yadullu 'ala jam'i syain ila syain." Huruf kāf, tā', dengan bā' ini maknanya adalah menunjukkan menggabungkan sesuatu ke sesuatu yang lainnya.


Makna Kitab dalam Fikih:

Yang dimaksud Kitab di sini adalah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mulaqin rahimahullah, "Wal murādu bihi mā jama'a abwaban tarji'u ilā ashlin wāhidin." Yaitu yang mengumpulkan bab-bab yang kembalinya ke satu permasalahan.

  • ​Misalnya: Kitabut Thaharah adalah kumpulan bab-bab thaharah (bab air, wudu, mandi).
  • Kitabun Nikah adalah kumpulan pembahasan yang mengumpulkan bab-bab yang berkenaan dengan nikah (syarat nikah, talak, mahram).

​Jadi, Kitabun Nikah berarti kumpulan pembahasan nikah.

​Makna Kata An-Nikah

​Huruf nūn, kāf, dan hā' (An-Nikah), disebutkan oleh Ibnu Faris rahimahullah: "An-nūn, wal kāf, wal hā ashlun wahid wa huwa al-bid'u." Maknanya kembali kepada Al-Bid'u atau Al-Jimak (hubungan badan).

​Nikah memiliki dua makna:

  1. Al-Jimak (Hubungan badan).
  2. Al-'Aqdu (Akad).

​Makna An-Nikah secara Lughah (Bahasa)

​Makna nikah secara lughah adalah Ad-Dhammu wa At-Tadakhul (bergabung atau masuk).

  • ​Contoh: Nakaha al-matharu al-ardha (Hujan masuk ke tanah).
  • ​Contoh: Nakaha an-nu'āsu al-a'yun (Rasa kantuk masuk ke matanya).

​Makna An-Nikah secara Syar'i (Istilah)

​Secara syar'i atau istilah, nikah bisa bermakna Al-Aqdu (akad nikah yang sahih) atau Al-Wat'u (jima').

​Makna Nikah dalam Al-Qur'an

​Kalimat nikah banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an dan kebanyakan bermakna Al-Aqdu (akad).

Pengecualian (Bermakna Selain Akad):

  1. Surah An-Nisa Ayat 6: "Wabtalū al-yatāma... hattā idzā balaghū an-nikāh." Yang dimaksud An-Nikah di sini maknanya adalah Al-Hulūm atau Sinnul Bulūgh (usia baligh). Ujilah anak yatim hingga dia mencapai usia baligh dan mampu mengurus hartanya dengan baik.
  2. Surah Al-Baqarah Ayat 230: "Fa in thallaqahā fa lā tahillu lahū min ba'du hattā tankihā zaujan ghairah." Apabila sudah talak bain (talak ketiga), ia tidak halal bagi suaminya yang pertama kecuali hattā tankihā zaujan ghairah (sampai wanita tersebut menikahi suami yang lainnya). Tankiha di sini maknanya adalah Al-Wat'u atau Al-Jimak, tidak cukup hanya akad saja. Hal ini dikuatkan oleh hadis Nabi ﷺ: "Lā... usailu'q usailat" (tidak boleh) sampai perempuan tersebut merasakan manisnya madu dan yang laki-lakinya merasakan manisnya madu perempuan tersebut (kiasan dari jima').

​Adapun selain dua ayat ini, kebanyakan kalimat nikah dalam Al-Qur'an bermakna Al-Aqdu.

​Nikah Termasuk Sunah Al-Mursalin

​Berkata Asy-Syekh As-Sa'di rahimahullah, "Wa huwa min sunani al-mursalin." Dan dia (nikah) min (termasuk) Sunani Al-Mursalin.

  • Sunan (jamak dari sunah) di sini maknanya adalah At-Tariqah (jalan/ajaran) atau Al-Manhaj (metode).
  • Al-Mursalin maksudnya adalah para Rasul, mencakup juga Al-Anbiya.

​Nikah termasuk ajaran para Rasul secara umum.

Dalil Umum (Sunah Para Rasul):

Surah Ar-Ra'du ayat 38: "Wa laqad arsalnā rusulan min qablika. Wa ja'alnā lahum azwājan wa dzurriyyah." (Sungguh Kami telah utus para rasul sebelummu, dan Kami jadikan untuk mereka azwājan—para istri—dan juga dzurriyyah—keturunan).

Dalil Khusus (Sunah Nabi Muhammad ﷺ):

  1. Hadis Said Ibnu Zubair: Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bertanya kepada Said bin Jubair, "Hal tazawwajt?" (Apakah engkau sudah menikah?). Said bin Jubair menjawab, "Belum." Ibnu Abbas berkata, "Nikahlah. Khairul ummati aktsaruha nisa'an." (Sesungguhnya manusia terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya). Yang dimaksud adalah Nabi kita Muhammad ﷺ.
    • ​Jumlah istri Nabi ﷺ: Totalnya 11, tetapi yang hidup bersama adalah 9.
  2. Atsar Ibnu Mas'ud radhiyallahu ta'ala 'anhu: Disebutkan dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah dengan sanad yang sahih, beliau mengatakan, "Lau lam yabqa minad dahri illā lailatun wāhidatun la ahbabtu an takūna lī fīhi imra'atun." (Kalaulah tidak tersisa dari waktu kecuali satu hari saja, tentu aku akan menyukai pada hari itu adalah aku memiliki istri).
  3. Hadis Abu Hurairah (Larangan Kebiri): Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah ﷺ karena khawatir jatuh ke dalam maksiat tetapi tidak mampu menikah, dan ia meminta untuk dikebiri. Rasulullah ﷺ melarangnya dan berkata: "Yā Abā Hurairah, jaffa al-qalamu bimā anta lāqin." (Sudah catatan takdir sudah kering). Ini menunjukkan larangan untuk mengkebiri diri.
  4. Hadis Anas bin Malik (Penolakan Tabattul): Tiga sahabat datang ke rumah istri-istri Nabi ﷺ menanyakan ibadah beliau. Mereka menganggap ibadah mereka sedikit dibandingkan Nabi ﷺ. Salah satunya berkata, "Wa anā a'tazilu an-nisā' wa lā atazawwaju abadan." (Aku akan menjauhi wanita dan aku tidak akan menikah). Rasulullah ﷺ menegur mereka: "Wallāhi, innī la-akhsyākum lillāhi wa atqākum lahū. Lākinnī ashūmu wa ufthir, wa ushallī wa anām, wa atazawwaju an-nisā'." (Demi Allah, aku adalah yang paling takut di antara kalian dan yang paling bertakwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan juga berbuka, aku salat malam dan juga ada waktu untuk tidur, dan aku juga menikahi wanita). Rasulullah ﷺ melanjutkan, "Faman raghiba 'an sunnatī fa laisa minnī." (Barang siapa yang benci terhadap sunahku, maka dia bukan termasuk dari golonganku).

​Larangan Ruhbaniyyah dan Tabattul

​Lawan dari sunah menikah adalah keyakinan bahwa tidak menikah dan fokus ibadah adalah kebaikan. Ini adalah kesesatan.

  1. Ruhbaniyyah: Disebut juga kependetaan, yang dilakukan oleh Nasrani, memutus dari kelezatan dunia untuk fokus ibadah. Ini dilarang dalam Islam.
    • ​QS. Al-Hadid: "Wa ruhbāniyyatan ibtada'ūhā." (Dan ruhbaaniyyah itu adalah perkara yang mereka buat-buat).
  2. At-Tabattul Al-Mamnu' (Membujang Terlarang): Tabattul di sini adalah membujang terus-menerus dan fokus ibadah berdasarkan keyakinan.
    • ​Sa'ad bin Abi Waqqas mengatakan Rasulullah ﷺ menolak ketika Utsman bin Maz'un izin untuk tabattul (membujang selamanya).
    • Tabattul yang terlarang adalah tidak menikah selama-lamanya kemudian hanya memfokuskan ibadah.
  3. At-Tabattul Al-Masyru' (Tabattul yang Disyariatkan):
    • ​QS. Al-Muzzammil Ayat 8: "Wadzku risma rabbika wa tabattal ilaihi tabtīlā."
    • ​Maknanya adalah yuqbilu bi qalbihī ila rabbihī ta'ālā fī ibādatihi (menghadapkan hatinya kepada Allah ketika ibadah). Ini adalah fokus hati, bukan menjauhi dunia.

​Nikah adalah perkara yang disyariatkan. Barang siapa yang meyakini nikah menghalangi ibadah, maka ini dibantah oleh Rasulullah ﷺ.

​Untuk mukadimah telah selesai. Insyaallah pada pertemuan berikutnya kita akan membahas hadis yang makruf: "Yā ma'syara asy-syabāb..."

​Ila hunā, subhanakallahumma wa bihamdik, asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaika. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


#manhajussalikin

#nikah 01


baca selanjutnya “kitab nikah 01 (rev)”

kitab nikah 02

 

Bismillahirrahmanirrahim. Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

​Alhamdulillah wasalatu wasalamu ala rasulillah wa ala alihi wasahbihi wan waalah.

​Pendahuluan dan Dalil Syariat Nikah

​Kita sudah masuk di kitabun nikah. Pada pertemuan sebelumnya telah kita sebutkan bahwasanya kata an-nikah secara umum keseringannya adalah bermakna al-akad (akad nikah). Tetapi di beberapa ayat atau di ayat yang telah kita sebutkan bermakna al-wat'u atau al-jima'. Dan juga kita telah menyebutkan dalil-dalil tentang disyariatkannya menikah. Menikah merupakan sunah ajaran dari almursalin (para rasul).

​Hadis tentang Perintah Menikah

​Sekarang kita masuk ke hadis dari sahabat Ibnu Mas'udin radhiallahu ta'ala anhu.

​Di dalam hadis disebutkan:

​"Yā ma'syara asy-syabāb, manistathā'a minkumul bā'ah fal yatazawwaj fainnahu aghaddu lil bashar wa ahshanu lil farji, wa man lam yastathi' fa 'alaihi bish shaum fainnahu lahu wajā'."

​Artinya: "Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu di antara kalian (memiliki) al-bā'ah (kemampuan), maka fal yatazawwaj (menikahlah). Karena sesungguhnya ia (nikah) itu aghaddu lil bashar (lebih menundukkan pandangan) dan ahsanul lil farji (lebih melindungi kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka atasnya (baginya) untuk berpuasa. Karena sesungguhnya dia (puasa) baginya adalah wijā' (penawar/pelindung)."

(Muttafaqun 'alaihi - riwayat Bukhari dan Muslim)


​Penjelasan Kata "Yā Ma'syara Asy-Syabāb"

​Ma'syara

​Kata ma'syara maknanya adalah ath-thā'ifah min an-nās alladhīna 'alā wasfin wāhid (sekelompok manusia yang mereka satu sifat). Yaitu sekumpulan orang yang sifat-sifatnya sama, misalnya satu profesi, satu pekerjaan, atau satu jabatan. Lafaz ma'syara adalah jam'un lā wāhida lahū min lafzhīhi (jamak yang tidak ada mufradnya dari lafaznya). Ia bisa dijamakkan lagi menjadi ma'āsyir, seperti ma'āsyiral mukminīn.

​Asy-Syabāb

Asy-syabāb adalah jamak, mufradnya adalah syābbun. Rasulullah ﷺ mengkhususkan seruan ini untuk para pemuda.

​Definisi asy-syabāb atau asy-syābb adalah alladhīna hāluhum bayna dhu'fil athfāl wa dhu'fil kibār (mereka adalah orang-orang yang keadaannya antara kelemahan anak kecil dan juga kelemahan orang tua). Usianya adalah orang-orang yang dia bukan anak kecil lagi dan juga belum orang tua lagi.

Batasan Umur:

Ulama berselisih, ada yang mengatakan dari bāligh sampai 30 tahun. Ada yang mengatakan dari bāligh sampai umur 40 tahun. Dikatakan oleh al-Azhari, yang dinukil oleh Syekh Alu Basam, wa huwa minal bulūgh ilal arba'īn hādha ahsanu tahdīdin lahū (dari dia sudah dewasa/bāligh sampai mencapai umur 40 tahun) adalah batasan yang paling bagus.

​Walaupun hadis ini diarahkan kepada pemuda, tetapi ia tidak mengkhususkan. Jika ada yang kahl (paruh baya, 40 tahun ke atas) atau syekh yang sebab-sebabnya ada sama, maka berlaku pula hadis ini. Rasulullah ﷺ mengkhususkan seruan ini kepada pemuda karena keumumannya pemuda adalah yang kuat syahwatnya (li annal ghālib wujūduhā jima').

​Penjelasan Kata "Al-Bā'ah"

Al-bā'ah dari sisi lughah (bahasa) maknanya adalah al-jima' (bersetubuh). Tetapi yang dimaksud al-bā'ah di sini adalah al-qudrah (kemampuan) yang mencakup dua hal:

  1. Al-Qudrah Al-Badaniyah (Kemampuan secara fisik/biologis): Mampu untuk melakukan jima'.
  2. Al-Qudrah Al-Māliyah (Kemampuan secara harta/finansial): Mampu secara keuangan.

Fokus Makna:

Kemampuan harta yang dimaksud bukanlah sampai mampu punya rumah atau kendaraan, tetapi adalah kemampuan untuk membayar mahar dan juga untuk al-infāq (menafkahi) kehidupan sehari-hari, serta adanya gambaran untuk kehidupan setelah menikah.

​Ulama menjelaskan bahwa al-bā'ah yang dimaksud di hadis ini lebih khusus adalah al-Qudrah Al-Māliyah (kemampuan secara harta), karena Rasulullah ﷺ sudah berbicara kepada asy-syabāb (para pemuda) yang secara umum sudah mampu secara fisik.

​Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Al istithā'atu an-nikāh huwal qudratu 'alā al-mu'nah" (Kemampuan nikah di sini adalah kemampuan dari sisi biaya). Hal ini juga didukung oleh akhir hadis, "wa man lam yastathi' fa 'alaihi bish shaum" (barang siapa yang tidak mampu, maka wajib baginya untuk berpuasa), yang maksudnya adalah tidak mampu secara biaya, karena kalau secara fisik sudah mampu.

​Penjelasan Kalimat "Fal Yatazawwaj" (Hukum Nikah)

​Dalam kalimat fal yatazawwaj, terdapat lām yaitu lāmul amr (lam perintah). Hukum asal dari fi'il amr (kata kerja perintah) adalah lil wujūb (menunjukkan wajib).

​Hukum Nikah Secara Umum (Perbedaan Pendapat Ulama)

  1. Wajib (Wujūb): Berdasarkan dalil-dalil yang berisi perintah seperti hadis ini (fal yatazawwaj) dan ayat-ayat Al-Qur'an (QS. An-Nur: 32; QS. An-Nisa: 3, fankihū).
  2. Sunah (Rajih/Pendapat yang Lebih Kuat): Perintah ini adalah lil irsyād (bimbingan atau arahan), tidak sampai wajib. Dalil yang memalingkan hukum dari wajib adalah pilihan kedua dalam QS. An-Nisa: 3: "aw mā malakat aimānukum" (atau hamba sahaya yang kalian miliki). Jika wajib, maka tidak ada pilihan kedua.

Wallāhu Ta'ala A'lam, pendapat yang lebih kuat, nikah secara umum hukumnya adalah sunah, tidak sampai wajib.

​Hukum Nikah Berdasarkan Keadaan Seseorang (Perincian)

​Secara rinci, seorang laki-laki memiliki beberapa keadaan terkait hukum nikahnya:

  1. Wajib:
    • Attaq ilaihi (Berhasrat untuk menikah).
    • Al-Qādir 'ala al-Muknah (Mampu biaya nikah).
    • Khawatir jatuh terhadap maksiat (seperti zina mata, atau zina lainnya).
    • Kondisi: Pemuda kaya yang takut bermaksiat jika tidak menikah.
    • Hukum: Wajib menikah, menurut pendapat kebanyakan ulama, untuk menjaga diri dari keharaman.
  2. Sunah:
    • Mampu secara fisik.
    • Mampu secara harta.
    • Amān min al-fitnah (Aman dari fitnah/bisa menjaga diri).
    • Hukum: Sunah menikah, menurut jumhur ulama.
  3. Makruh:
    • Indahu syahwah (Ada hasrat untuk menikah).
    • Lā Qādir 'ala al-Muknah (Tidak ada kemampuan secara harta/benar-benar fakir).
    • Kondisi: Dikhawatirkan akan melantarkan istrinya (tidak bisa menafkahi lahir dan batin).
    • Hukum: Makruh untuk menikah, lebih baik dia menahan diri dulu dan solusinya adalah saum (puasa).
  4. Mubah/Sunah:
    • Lā Syahwah (Tidak memiliki syahwat/hasrat, e.g., karena sakit, impoten, atau sudah tua).
    • Mampu secara finansial.
    • Kondisi: Terdapat mashlahah (kemaslahatan) yang dituju, misalnya butuh ada yang mengurusinya, melayaninya, atau ingin menolong seorang wanita.
    • Hukum: Ada yang mengatakan mubah, dan ada yang mengatakan disunahkan. Yang rājih adalah disunahkan karena ini termasuk ibadah secara umum.
  5. Haram:
    • Kondisi: Misalkan dia tinggal di negeri al-harb (peperangan) dan dikhawatirkan istrinya ditawan atau anak-anaknya ditangkap sehingga menjadi budak.
    • Hukum: Haram.

​Hikmah Nikah

​Berikutnya adalah pembahasan mengenai hikmah, manfaat, atau faedah dari nikah, yang disebutkan dalam kalimat:

"Fainnahu aghaddu lil bashar wa ahsanu lil farji"


​Hikmahnya adalah:

  1. Aghaddu lil bashar (Lebih menundukkan pandangan).
  2. Ahsanu lil farji (Lebih menjaga kemaluan).

​Masih banyak hikmah-hikmah yang lain, yang insyaallah akan disebutkan pada pertemuan berikutnya.

​Subhanakallahumma wabihamdik ashadu alla ilaha illa anta astagfiruka waubu ilaik. Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

#manhajussalikin

#nikah 02

baca selanjutnya “kitab nikah 02”

Kitab Nikah 01

Bismillahirrahmanirrahim. Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah wassalatu wassalamu 'ala rasulillah wa 'ala alihi wa sahbihi wa man walah.

​Alhamdulillah, kita telah selesai dari Kitabul Mawaris, pembahasan tentang ilmu warisan. Sekarang kita masuk ke kitab yang baru, pembahasan yang baru, Kitabu An-Nikahi.kita masuk ke Kitabun Nikah.

 Sebagaimana sering kita ulang, kalimat Kitab—huruf kaf, kemudian ta, dan ba—itu maknanya adalah Al-Jam'u (mengumpulkan).  Disebutkan oleh Ibnu Faris rahimahullah dalam kitab Maqayis Al-Lughah di halaman 801, beliau mengatakan, "Al-kaf, wa at-ta, wal ba' ashlun shahih wahidun yadullu 'ala al-jam'i." huruf kaf, huruf ta, dengan ba ini maknanya adalah yadullu 'ala jam'in, menunjukkan menggabungkan sesuatu ke sesuatu yang lainnya. Ini maknanya adalah menggabungkan, mengumpulkan sesuatu ke sesuatu yang lainnya.

​Dan yang dimaksud Kitab di sini, dalam Kitabun Nikah, yang dimaksud Kitab di sini adalah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mulaqin rahimahullah, "Wal muradu bihi ma jama'a abwaban tarji'u ila ashlin wahidin." Yang dimaksud Kitab di sini adalah yang mengumpulkan bab-bab yang kembalinya ke satu permasalahan.  Misalkan disebutkan Kitabut Thaharah, berarti adalah kumpulan bab-bab thaharah. Padanya ada bab air, bab wudu, bab mandi. Demikian pula Kitabun Nikah ini adalah pembahasan yang mengumpulkan bab-bab yang berkenaan dengan nikah. Ada syarat nikah, ada permasalahan talak, permasalahan mahram. Ini akan disebutkan di Kitabun Nikah. Jadi, Kitab di sini adalah kumpulan bab-bab. Kitabun Nikah berarti kumpulan pembahasan nikah.

​Kemudian kata An-Nikah, huruf nun, huruf kaf, dan ha, disebutkan oleh Ibnu Faris rahimahullah: "An-nun, wal kaf, wal ha ashlun wahid wahua al-bid'u." Huruf Nun, huruf kaf, dan ha ini kembalinya maknanya adalah Al-Bid'u. Al-Bid' ini Al-Jimak, hubungan badan. Jadi, nakaha itu adalah jaama'a, ini makna nikah. Dan juga kata Ibnu Faris, bisa maknanya adalah Al-'Aqdu, akadnya. Jadi nikah itu memiliki dua makna: makna yang pertama maknanya adalah Al-Jimak, makna yang kedua maknanya adalah Al-Aqdu. Ketika disebutkan nikah, bisa jadi berarti adalah akad, bisa berarti adalah jimak. Ini makna nikah.

​Adapun secara lughah (bahasa), disebutkan makna nikah secara lughah adalah Ad-Dhammu wa At-Tadakhul. An-Nikahu lughatan adalah Ad-Dhammu (At-Tadakhul), artinya masuk. Ad-Dhammu juga bergabung, berkumpul.  Apabila dikatakan nakaha al-matharu al-ardha, artinya hujan masuk ke tanah, ke bumi. Nakaha al-matharu al-ardha. Ini secara lughah. Jadi, kalimat nakaha secara lughah artinya adalah At-Tadakhul (masuk). Juga disebutkan nakaha an-nu'asu al-a'yuna (rasa kantuk masuk ke matanya). Ini secara lughah adalah At-Tadakhul wa Ad-Dhamm.

​Adapun secara syar'i ataupun secara istilah, tadi bisa jadi bermakna Al-Aqdu, bisa jadi bermakna Al-Wat'u (waw, tha, dan hamzah). Al-Wat'u bisa bermakna secara istilah atau secara syar'i. Nikah adalah bisa bermakna Al-Aqdu, bisa bermakna Al-Wat'u. Kalau yang dimaksud akad, ya akad nikah, akad nikah yang sahih, yang dengannya sah lelaki dengan perempuan.

​Kemudian faedah kalimat nikah di dalam Al-Qur'an disebutkan di beberapa tempat dan kebanyakan maknanya adalah Al-Aqdu. Jadi, kalimat nikah banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an, dan kebanyakan yang disebutkan di dalam Al-Qur'an itu bermakna akad. Apabila ada kalimat nikah di dalam Al-Qur'an, itu kebanyakan bermakna akadnya. Jadi, pernikahan (Az-Zawaj), akadnya.

​Kecuali ada di beberapa tempat, ada di beberapa ayat yang di sini maknanya bukan akad, tetapi adalah selain akad. Yang pertama adalah di Surah An-Nisa ayat yang keenam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Wabtalu al-yatama" (dan ujilah al-yatama, anak yatim, diuji apakah dia sudah bisa pegang uang, sudah bisa tasharruf dengan baik, bisa mempergunakan uang tersebut dengan baik), “hatta idza balaghu an-nikah.” hingga dia mencapai An-Nikah, yang dimaksud An-Nikah di sini maknanya adalah Al-Hulumu. Kalimat Nikah, kata Nikah yang ada di Surah An-Nisa di sini maknanya bukan akad, tetapi adalah Al-Hulumu. Ujilah, teslah anak-anak yatim itu apakah sudah bisa baik mempergunakan hartanya hingga dia mencapai Al-Hulum. Al-Hulum artinya sinnul bulugh (usia balig). Jadi, Nikah di sini bermakna Al-Hulum, yakni sinnul bulugh (sampai dia sudah mencapai usia baligh). Karena ini pernah kita bahas tentang permasalahan anak yatim, kalau sudah bisa mengurus hartanya dengan baik maka diberikan hartanya.

​Kemudian dalam ayat lain, dalam Surah Al-Baqarah 230, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, “Fa in thallaqaha fa la tahillu lahu min ba'du hatta tankiha zaujan ghairah.” apabila seseorang thallaqaha (menceraikan istrinya)—ini setelah cerai yang kedua, talak pertama, talak kedua, kemudian ini berarti talak ketiga—apabila sudah talak bain (talak yang ketiga yang tidak bisa kembali lagi), fa la tahillu lahu (maka tidak halal bagi dia). Min ba'du setelahnya, “hatta tankiha zaujan ghairah” (sampai wanita tersebut menikahi suami yang lainnya). jadi kalau sudah talak ketiga, itu sudah tidak bisa rujuk kembali kecuali wanita tersebut nikah dengan orang lain. dan nikah yang dimaksudnya adalah setelah nikah kemudian tidak cukup dengan nikah tetapi ada hubungan badan. tankiha di sini maknanya adalah Al-Wat'u, yakni Al-Jimak. Jadi, tidak cukup akad saja. Kalau sudah ada Al-Wat'u atau Al-Jimak kemudian diceraikan, baru setelah itu bisa dinikahi kembali. Ini talak ketiga (talak bain yang sudah tidak bisa kembali lagi) kalau sudah nikah dengan suami yang barunya. kalau baru akad saja kemudian diceraikan, tidak bisa dinikahi. Kapan bisa dinikahi? Kalau sudah akad dan Al-Wat'u, sudah jimak. Sebagaimana Hadis Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam riwayat Bukhari nomor hadis 2639 ini tentang ayat ini kemudian dipadukan dengan hadis ini. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika ada seseorang yang ingin rujuk kembali setelah talak yang ketiga, Rasulullah mengatakan, “La,” tidak boleh, “usailu'q usailat,” tidak bisa, sampai perempuan tersebut merasakan manisnya madu dan yang laki-lakinya merasakan manisnya madu perempuan tersebut. Nah, ini hanya kiasan dari jimak. Nah, jadi tidak cukup di sini kalimat “hatta tankiha zaujan ghairah” sampai dia nikah kemudian Al-Wat'u. jadi nikah di tankiha di sini maknanya adalah tidak cukup akad tetapi Al-Wat'u. Nah, adapun selain dua ayat ini, kebanyakannya bermakna Al-Aqdu. Jadi, kalau kita jumpai kalimat nikah dalam Al-Qur'an, maknanya adalah akad, kecuali di dua ayat yang tadi kita sebutkan. Nah, ini makna An-Nikah. Jadi, bisa bermakna akad, bisa bermakna Al-Wat'u.

​Kemudian kita baca selanjutnya. Berkata Asy-Syekh As-Sa'di rahimahullah, “Wa huwa min sunani al-mursalin.” Wa huwa (dan dia)—maksudnya ini kembali ke An-Nikah—(dan nikah) min. Min ini maknanya adalah lit-tab'idh (dari kata ba'dh, sebagian). Makanya diartikan sebagian atau termasuk. Min bisa artinya dari, bisa artinya termasuk. Wa huwa (dan nikah) min (termasuk) Sunani Al-Mursalin. Sunan jamak dari sunnah. Nah, yang dimaksud sunnah di sini adalah bukan sunah secara istilah fuqaha, bukan sunah yang dimaksud di istilah para ahlul fiqih, tapi yang dimaksud ini adalah At-Tariqah. Sunnah di sini maknanya adalah Tariqah (jalan atau ajaran), atau Al-Manhaj (metode atau ajaran).

​Dan ini termasuk dari ajaran Al-Mursalin (para rasul). Mursal (arsala mengutus, mursal yang diutus). Al-Mursalin yang diutus maksudnya adalah para Rasul. mencakup juga Al-Anbiya.  kalau disebutkan Al-Mursal termasuk juga Al-Anbiya. Di sini disebutkan nikah itu adalah termasuk ajaran Nabi, bukan hanya ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam saja, tetapi bahkan secara umum termasuk ajaran dari Al-Mursalin.

​Dalilnya adalah Surah Ar-Ra'du ayat 38. Surah Ar-Ra'du ayat 38. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, “Wa laqad arsalna rusulan min qablika.” (Sungguh Kami telah utus para rasul sebelummu). “Wa ja'alna lahum azwajan wa dzurriyyah.” (Dan Kami jadikan untuk mereka, untuk para nabi dan rasul, azwajan—para istri—dan juga keturunan).

​Dan sebagaimana makruf, kita mengetahui dari tarikh, dari cerita, dari sirah, bahwasanya Nabi Adam memiliki istri, Nabi Nuh memiliki istri, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishak, Nabi Yakub, Nabi Luth, Nabi Zakaria, Nabi Musa, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Mereka, dan yang tidak disebutkan, mereka memiliki istri. Dan ini secara umum termasuk dari sunah para rasul, dan juga termasuk dari rasul adalah jelas Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

​Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ini dalil tentang sunahnya atau yang menunjukkan bahwasanya nikah itu adalah sunah para nabi atau lebih khusus lagi adalah sunah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Di antaranya hadis ini, kita akan sebutkan beberapa adillah (dalil) yang menunjukkan bahwasanya nikah adalah sunah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

​yang pertama, Hadis Said Ibnu Zubair, ia berkata, ia bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma. Kata Said Ibnu Jubair, telah berkata Ibnu Abbas, ia bertanya Ibnu Abbas kepada Said bin Jubair, "Hal tazawwajt?" (Apakah engkau sudah menikah?) Ia berkata, "La." (Belum), kata Said bin Jubair. Ia berkata, "Ya," kata Ibnu Abbas, "Nikahlah." Kata Ibnu Abbas radhiyallahu ta'ala 'anhuma, "Menikahlah. Khairul ummati aktsaruha nisa'an." Sesungguhnya hadzil ummah (manusia terbaik di umat ini) adalah aktsaruha nisa' (yang paling banyak istrinya).  yang dimaksud adalah yang paling banyak istrinya adalah Nabi, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Jadi, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam itu adalah paling banyak istrinya. Paling banyak istrinya. kata Ibnu Abbas, "Sesungguhnya manusia terbaik di umat ini adalah aktsaruha nisa'an." Disebutkan di dalam syarah hadis ini yang dimaksud adalah Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

​Berapa jumlah istri Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam? yang makruf atau yang banyak menyebar itu adalah berapa? Sembilan. Yang banyak menyebar sembilan. Tetapi, istri Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam itu adalah 11. Kenapa yang menyebar sembilan? Karena itu yang pernah hidup bersama. Artinya, pernah Rasulullah bersama dengan istrinya itu adalah sembilan yang hidup bersama. sebelumnya ada Khadijah, kemudian ada yang lainnya. Jadi, kalau totalnya 11. Adapun yang 12 itu adalah Mariah, itu bukan istri Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, tapi adalah termasuk dari amah, termasuk budak yang di jimâk. kalau yang mengatakan 9 itu yang hidup bersama. Adapun yang mengatakan 11 itu adalah jumlah istrinya semuanya totalnya. Yang mengatakan 12 itu karena dia menganggap sebagian ulama itu adalah Mariah, adalah istrinya. Yang rajih adalah itu adalah budak.

​Ini disebutkan dari Anas radhiyallahu ta'ala 'anhu tentang jumlah istri Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Qala Anas radhiyallahu ta'ala 'anhu (sebagaimana dalam Muslim) bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah keliling ke istri-istrinya dalam satu malam, wa lahu yauma'idzin tisu'u niswatin. ini sembilan. mungkin kalau yang hanya membaca hadis ini saja maka akan menjawab jumlah istri Nabi adalah sembilan. Padahal itu yang hidup bersama. Hadis ini muttafaqun 'alaih. Kalau di dalam Bukhari nomor hadis 284, bisa dilihat di Al-Bukhari 284. Wa lahu yauma'idzin tisu'u niswatin. Nah, ini kalau lah tidak menunjukkan ini banyaknya istri Nabi, ini menunjukkan bahwasanya itu adalah sunah, itu adalah perkara ibadah. Nah, adapun tadi jumlahnya adalah 11 totalnya.

​Kemudian termasuk dari atsar yang menunjukkan keutamaan menikah atau sunahnya menikah adalah ucapan Ibnu Mas'ud radhiyallahu ta'ala 'anhu. Nah, Ibnu Mas'ud disebutkan di dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah dengan sanad yang sahih. Beliau mengatakan, "Lau lam yabqa minad dahri illa lailatun wahidatun la ahbabtu an takuna li fihi imra'atun." Kalaulah lau lam yabqa (kalaulah tidak tersisa) minad dahri (dari waktu, dari zaman) illa lailatun wahidah (kecuali satu hari saja), la ahbabtu (tentu aku akan menyukai) an takuna li fihi imra'atun (pada hari itu adalah aku memiliki istri). Kalau misalkan zaman itu hanya satu hari saja, maka kata Ibnu Mas'ud, tidaklah aku menyukai kecuali aku berstatus sebagai suami, memiliki istri.

​kemudian juga yang menunjukkan tentang disunahkan menikah adalah nanti akan disebutkan hadis di sini, tapi ini hadis-hadis yang tidak disebutkan di dalam kitab. Yaitu Hadis Abu Hurairah riwayat Bukhari nomor hadis 5076. Abu Hurairah mengatakan, "Ya Rasulullah, inni rajulun syabbun." (Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah laki-laki yang pemuda, dan aku ingin menikah, akan tetapi aku khawatir jatuh terhadap maksiat). Akan tetapi kata Abu Hurairah, "Aku tidak mampu menikah." Abu Hurairah meminta bagaimana kalau dikebiri saja. Artinya, ketika tidak ada kemampuan menikah, ingin menikah, khawatir terhadap takut terhadap jatuh terhadap berzina, maka bagaimana kalau seorang itu adalah dikebiri, tidak mampu untuk menikah. Kata Rasulullah, "Ya Abu Hurairah, jaffa al-qalamu bima anta laqin." Nah, kata Rasulullah, "Sudah catatan takdir sudah kering." Nah, engkau dikebiri ataupun tidak dikebiri sama saja. ini maksudnya larangan. Larangan disebutkan di dalam syarahnya, tidak boleh orang yang dia tidak mampu menikah, tidak boleh dia mengkebiri, mengkebiri kemaluannya sehingga dia tidak bernafsu lagi. Ini menunjukkan berarti tetap harus nikah, atau di sini menunjukkan larangan untuk mengkebiri.

​Dan juga hadis yang makruf tentang sunahnya menikah adalah dari Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ta'ala 'anhu. Beliau menceritakan, “Jaa tsalatsatu rahtin.” (Datang ada tiga kelompok, ada tiga orang) “ila buyutin azwaji Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam” (pada rumah para istri Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam). Jadi, ada tiga orang dari kalangan sahabat mendatangi rumah istri-istri Nabi, yas'aluna 'ibadati Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (mereka bertanya, bagaimana ibadah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika di rumahnya). karena kalau ketika di luarnya, mereka bisa melihatnya, bagaimana ketika di rumahnya. Falamma ukhbiru (ketika mereka diberitahu), ka'annahum taqallaluha (mereka merasa menganggap sedikit amalan mereka). mereka mengatakan, “Faqalu : ayna nahnu minallahi 'alaihi wa sallam,” di mana kami dibandingkan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, “qad ghufira taqaddama min dzambih wa ta'akhkhar” (padahal Rasulullah telah diampuni dosa-dosanya yang telah lewat dan yang akan datang). Jadi, ketika diceritakan, menganggap kurang ibadah mereka dibandingkan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam—padahal Nabi adalah telah dijamin, telah diampuni dosa-dosanya—maka tiga orang tersebut mengatakan, salah satunya, “Amma ana fa inni ushallil laila abada.” orang pertama mengatakan, "Adapun aku, -karena merasa kurang ibadahnya dibandingkan apa yang diceritakan para istri Nabi- maka mengatakan, Adapun aku, aku akan salat malam terus-menerus." Jadi, semalam suntuk akan salat, tidak tidur. Fa qala al-akhar, kemudian yang kedua mengatakan, “Ana ashumud dahra wa la uftir.” Aku akan puasa setahun penuh dan tidak berbuka. Maksudnya yang berbuka adalah tidak buka di sore hari, di magrib, di waktu magrib, tetapi tiap hari berpuasa. Al-akhar yang ketiga mengatakan, “Wa ana a'tazilun nisa' wa la atazawwaju abada.” Nah, ini syahidnya, dia mengatakan, Aku akan menjauhi wanita dan aku tidak akan menikah.

​Fa jaa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Kemudian Rasulullah datang, “Fa qala antumulladzina qultum kadza wa kadza?” (Kaliankah yang telah mengatakan ini dan ini?) Rasulullah mendengar berita tersebut kemudian menegurnya. Kalian bertiga, apakah yang mengatakan ini dan ini yang tadi disebutkan? Kemudian kata Rasulullah, “Wallahi, inni la-akhsyakum lillahi wa atqakum lahu.” (Demi Allah, aku adalah yang paling takut di antara kalian dan yang paling bertakwa di antara kalian). “Lakinni ashumu wa uftir, wa ushalli wa anam, wa atazawwaju an-nisa'.” Tapi kata Rasulullah, Akan tetapi aku berpuasa dan juga berbuka, aku salat malam dan juga ada waktu untuk tidur, dan aku juga menikahi wanita. Kemudian Rasulullah melanjutkan, “Faman raghiba 'an sunnati fa laisa minni.” Barang siapa yang benci terhadap sunahku, maka dia bukan termasuk dari golonganku. Nah, maksudnya adalah itu bukan termasuk dari ajaran Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

​Nah, ini dalil-dalil yang menunjukkan secara umum, menikah adalah sunah para nabi dan juga sunah dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Nah, berarti lawan dari ini adalah ketika ada seseorang yang dia meyakini bahwasanya tidak menikah adalah ibadah, ini sebuah kesesatan, sebuah perkara yang tidak sesuai dengan syariat, yaitu adalah seseorang dia fokus ibadah. Tetapi ini berdasarkan keyakinannya, bukan karena keadaan ketidakmampuan kemudian akhirnya sampai meninggalnya tidak menikah. Tapi ini adalah berdasarkan keyakinan dia menganggap bahwasanya beribadah terus-menerus, tidak menikah, tidak menikmati kenikmatan dunia, ini adalah perkara yang baik.

​Ini yang disebut dengan Ruhbaniyyah. Rohbaniyyah dari kata rahib (kependetaan). ini yang dilakukan oleh Nasrani, yang mereka hanya beribadah saja kemudian memutus dari kelezatan dunia. Nah, ini adalah perkara yang dilarang. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Surah Al-Hadid, “Wa ruhbaaniyyatan ibtada'uha.” (Dan ruhbaaniyyah—mereka melakukan kependetaan—ibtada'uha itu adalah perkara yang mereka buat-buat). “Ma katabnaha 'alaihim illa ibtigha'a ridwanah.” (Kami tidak mewajibkan kepada mereka, kecuali yang sesuai, kecuali ketika mereka mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala). jadi Ruhbaniyyah ini adalah perkara yang dilarang dalam agama.

​Dan juga ada istilah lain yang ini mirip dengan Ruhbaniyyah adalah At-Tabattul. Tabattul sering diterjemahkan membujang, tapi yang dimaksud adalah membujang terus-menerus dan dia fokus dengan ibadah dan itu adalah berdasarkan keyakinan, bukan karena keadaan tadi. Sa'ad bin Abi Waqqas mengatakan, “Radda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam 'ala Utsman bin Maz'un atta'attul.” Rasulullah menolak ketika Utsman bin Maz'un izin untuk tabattul (membujang selamanya), Rasulullah menolaknya. Kemudian kata Sa'ad bin Abi Waqqas, “Walau adzina lahu, la ikhtashaina.” (Kalau seandainya Utsman bin Maz'un itu adalah diizinkan boleh tabattul, maka kami akan ikhtasina—akan mengkebiri). supaya hilang hasrat untuk menikah. Dan tabattul yang di sini adalah tabattul yang terlarang itu adalah tidak menikah selama-lamanya kemudian dia hanya memfokuskan ibadah. ini istilah lain dari Ruhbaniyyah.

​Tapi ada hati-hati, ada tabattul yang diperintahkan, ada tabattul mamnu' (yang tadi, dia tidak menikah kemudian fokus ibadah berdasarkan keyakinan), ada tabattul yang disyariatkan ini di Surah Al-Muzzammil ayat yang ke-8: “Wadzkurisma rabbika wa tabattal ilaihi tabtila.” Yang dimaksud tabattul di sini adalah seseorang menghadapkan hatinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini masalah hati. Yang dimaksud tabattul dalam Surah Al-Muzzammil ayat yang ke-8 adalah “yuqbilu bi qalbihi ila rabbihi ta'ala fi ibadatihi.” Menghadapkan hatinya kepada Allah ketika ibadah. Jadi, hati dia adalah dia arahkan sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalau tabattul tadi, badan dia yang dia khususkan untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, padahal syariat tidak mensyaratkan demikian. Adapun fokus beribadah, hatinya dihadapkan sepenuhnya kepada Allah, itu adalah perkara yang disyariatkan, walaupun dia memiliki harta benda dunia yang banyak tetapi itu hanya di tangan. Ulama mengatakan, jadikanlah harta itu adalah fi yadihi, adapun qalbuhu maqbulun 'ala rabbihi ta'ala. Jadi, enggak masalah dia punya harta banyak tapi itu adalah hanya di badan dia. Adapun hatinya adalah sepenuhnya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini namanya tabattul, fokus memfokuskan hatinya adalah untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala.

​Adapun nikah ini adalah perkara yang disyariatkan. Barang siapa yang dia meyakini nikah adalah menghalangi ibadah, kemudian tabattul adalah perkara yang baik, maka ini adalah dibantah oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

​Ini untuk mukadimah, tentang dalil-dalil yang tidak disebutkan di dalam kitab. Insyaallah pada pertemuan berikutnya kita akan membahas hadis yang makruf: “Ya ma'syara asy-syabab” insyaallah akan kita bahas pada pertemuan berikutnya.

​Ila huna, subhanakallahumma wa bihamdik, asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaika. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


https://t.me/manhajus_salikin/349


#manhajussalikin

#nikah 01

baca selanjutnya “Kitab Nikah 01”