Jumat, 13 Juni 2025

Perseteruan Ahlu Tauhid dengan Ahlu syirik


 بسم الله الرحمن الرحيم


Perseteruan Ahlu Tauhid dengan Ahlu syirik


Sudah merupakan ketetapan Allah تعالى, ketika para nabi mendakwahkan dakwah tauhid, mereka mendapatkan perlawanan dari musuh-musuh dakwah tauhid, Allah تعالى berfirman : 

{ وَكَذَ ٰ⁠لِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِیٍّ عَدُوࣰّا شَیَـٰطِینَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ یُوحِی بَعۡضُهُمۡ إِلَىٰ بَعۡضࣲ زُخۡرُفَ ٱلۡقَوۡلِ غُرُورࣰاۚ}

{Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh, yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan.}

[Surat Al-An'am: 112]


Perseteruan nabi Nuh dengan kaumnya


Perseteruan ahlu tauhid dengan ahlu syirik sudah berlangsung lama, bahkan semenjak zaman nabi Nuh عليه السلام, Allah berfirman : 

{ لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَقَالَ یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۤ إِنِّیۤ أَخَافُ عَلَیۡكُمۡ عَذَابَ یَوۡمٍ عَظِیمࣲ (59) قَالَ ٱلۡمَلَأُ مِن قَوۡمِهِۦۤ إِنَّا لَنَرَىٰكَ فِی ضَلَـٰلࣲ مُّبِینࣲ (60) }

{59 : Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada Tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang dahsyat (Kiamat).

60 : Pemuka-pemuka kaumnya berkata, “Sesungguhnya kami memandang kamu benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.”}

[Surat Al-A'raf: 59-60]


lihatlah ketika nabi Nuh mengajak kaumnya kepada tauhid, mereka malah menganggap nabi Nuh adalah orang sesat.


Nabi Hud dengan kaum Ad


Demikian pula perseteruan terjadi antara nabi Hud dan kaum Ad, Allah berfirman :

{ ۞ وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمۡ هُودࣰاۚ قَالَ یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۤۚ أَفَلَا تَتَّقُونَ (65) قَالَ ٱلۡمَلَأُ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ مِن قَوۡمِهِۦۤ إِنَّا لَنَرَىٰكَ فِی سَفَاهَةࣲ وَإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ ٱلۡكَـٰذِبِینَ (66) }

{65 : Dan kepada kaum 'Ad (Kami utus) Hud, saudara mereka. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa?”

66 : 

Pemuka-pemuka orang-orang yang kafir dari kaumnya berkata, “Sesungguhnya Kami memandang kamu benar-benar kurang waras dan kami kira kamu termasuk orang-orang yang berdusta.”}

[Surat Al-A'raf: 65-66]


Lihatlah ketika nabi Hud mengajak kaumnya kepada tauhid, mereka menganggap nabi Hud adalah orang bodoh, lagi pendusta.


Nabi Shalih dengan kaum Tsamud


Perseteruan juga terjadi antara nabi Shalih dengan kaum Tsamud, Allah تعالى berfirman :

{ وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمۡ صَـٰلِحࣰاۚ قَالَ یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۖ }

{Dan kepada kaum Ṡamud (Kami utus) saudara mereka Ṣalih. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan yang hak) bagimu selain Dia.}

[Surat Al-A'raf: 73]


maka mereka menjawab :

{ قَالَ ٱلَّذِینَ ٱسۡتَكۡبَرُوۤا۟ إِنَّا بِٱلَّذِیۤ ءَامَنتُم بِهِۦ كَـٰفِرُونَ }

{Orang-orang yang menyombongkan diri berkata, “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu percayai.”}

[Surat Al-A'raf: 76]


Lihatlah ketika nabi Shalih mengajak kaumnya kepada tauhid, mereka terang-terangan menginkarinya.


Nabi Syuaib dan kaum Madyan :


Perseteruan juga terjadi antara nabi Syuaib dengan kaum Madyan, Allah تعالى berfirman :


{ وَإِلَىٰ مَدۡیَنَ أَخَاهُمۡ شُعَیۡبࣰاۚ قَالَ یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۖ}

{Dan kepada penduduk Madyan, Kami (utus) Syu’aib, saudara mereka sendiri. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah. Tidak ada tuhan (sesembahan yang hak) bagi kamu selain Dia.}

[Surat Al-A'raf: 85]


maka mereka menjawab :

{ ۞ قَالَ ٱلۡمَلَأُ ٱلَّذِینَ ٱسۡتَكۡبَرُوا۟ مِن قَوۡمِهِۦ لَنُخۡرِجَنَّكَ یَـٰشُعَیۡبُ وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ مَعَكَ مِن قَرۡیَتِنَاۤ أَوۡ لَتَعُودُنَّ فِی مِلَّتِنَاۚ }

{Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri dari kaum Syu’aib berkata, “Wahai Syu’aib! Pasti kami usir engkau bersama orang-orang yang beriman dari negeri kami, kecuali engkau kembali kepada agama kami.”}

[Surat Al-A'raf: 88]


Lihatlah ketika nabi Syuaib mengajak kaumnya kepada tauhid, mereka mengancam mengusir nabi Syuaib.


Nabi Ibrahim dan kaumnya


Perseteruan juga terjadi antara nabi Ibrahim dengan kaumnya, Allah تعالى berfirman :


{ قَالَ أَفَتَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا یَنفَعُكُمۡ شَیۡـࣰٔا وَلَا یَضُرُّكُمۡ (66) أُفࣲّ لَّكُمۡ وَلِمَا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ (67) قَالُوا۟ حَرِّقُوهُ وَٱنصُرُوۤا۟ ءَالِهَتَكُمۡ إِن كُنتُمۡ فَـٰعِلِینَ (68) }

{66 : Dia (Ibrahim) berkata, “Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu?

67 : Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?”

68 : Mereka berkata, "Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat.”}

[Surat Al-Anbiya': 66-68]


Lihatlah ketika nabi Ibrahim mengajak kaumnya kepada tauhid, mereka membakar nabi Ibrahim.


Nabi Muhammad dan kaum Quraisy 


demikian pula nabi Muhammad صلى الله عيله و سلم tidak luput dari permusuhan kaumnya, ketika beliau mendakwahkan tauhid, Allah تعالى berfirman :

{ وَعَجِبُوۤا۟ أَن جَاۤءَهُم مُّنذِرࣱ مِّنۡهُمۡۖ وَقَالَ ٱلۡكَـٰفِرُونَ هَـٰذَا سَـٰحِرࣱ كَذَّابٌ (4) أَجَعَلَ ٱلۡـَٔالِهَةَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰ⁠حِدًاۖ إِنَّ هَـٰذَا لَشَیۡءٌ عُجَابࣱ (5) }

{4 : Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, "Orang ini adalah pesihir yang banyak berdusta."

5 : Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sungguh, ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan.}

[Surat Shad: 4-5]


Lihatlah bagaimana ketika nabi Muhammad mengajak kaumnya untuk bertauhid, mereka menuduh nabi sebagai penyihir dan pendusta.


Demikianlah perseteruan ahlu tauhid dengan ahlu syirik, tidaklah datang para rasul mengajak kaumnya untuk bertauhid melainkan mereka menuduh rasul tersebut dengan tuduhan-tuduhan keji, Allah berfirman : { كَذَ ٰ⁠لِكَ مَاۤ أَتَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلَّا قَالُوا۟ سَاحِرٌ أَوۡ مَجۡنُونٌ }

{Demikianlah setiap kali seorang rasul yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, mereka (kaumnya) pasti mengatakan, "Dia itu pesihir atau orang gila."}

[Surat Adz-Dzariyat: 52]


Demikian pula yang mengikuti jejak para nabi dalam mengajak manusia untuk bertauhid, mereka pun sama akan mendapatkan ujian dari manusia, dimusuhi, dicaci maki, di ancam, dan ujian lainnya. Namun itu semua tidak menyurutkan semangat ahlu tauhid dalam berjuang mendakwahkan tauhid.

Mereka yakin kemenangan akan diraih oleh ahlu tauhid, Allah berfirman :

{ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ یَنصُرۡكُمۡ وَیُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ }

{Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.}

[Surat Muhammad: 7]

{ وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ ٱلۡغَـٰلِبُونَ }

{Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang.}

[Surat Ash-Shaffat: 173]


Maka teruslah berjuang dalam mendakwahkan tauhid, harapkanlah kemenangan dari Allah تعالى. Adapun ahlu syirik mereka Akan mendapatkan kekalahan -biidznillah-, selain itu mereka mendapatkan kerugian-kerugian dan bahaya lainnya, baik di dunia maupun di akhirat.


Bahaya kesyirikan

Ahlu syirik akan mendapatkan bahaya-bahaya, diantaranya adalah :


Syirik adalah dosa paling besar

Rasulullah ﷺ  bersabda :

" أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ". ثَلَاثًا، قَالُوا : بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ : " الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ ". وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ : " أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ ". قَالَ : فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا : لَيْتَهُ سَكَتَ.

"maukah aku kabarkan kepada kalian apakah dosa yang paling besar? Rasul mengulangnya tiga kali.

Maka kami menjawab : “tentu wahai Rasulullah”

Rasul bersabda : “Syirik kepada Allah, dan durhaka kepada kedua orangtua”

Rasul yang tadinya berbaring, sekarang duduk dab bersabda :

“hati-hatilah kalian dari persaksian palsu”

terus diulang-ulang, hingga kamipun berkata kapankan beliau diam.

H.R. Bukhari dan Muslim


Syirik tidak mendapatkan ampunan

Allah تعالى berfirman : 

{ إِنَّ ٱللَّهَ لَا یَغۡفِرُ أَن یُشۡرَكَ بِهِۦ وَیَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَ ٰ⁠لِكَ لِمَن یَشَاۤءُۚ }

{Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.}

[Surat An-Nisa': 48, 116]


Syirik menggugurkan amal

Allah تعالى berfirman :

{ ذَ ٰ⁠لِكَ هُدَى ٱللَّهِ یَهۡدِی بِهِۦ مَن یَشَاۤءُ مِنۡ عِبَادِهِۦۚ وَلَوۡ أَشۡرَكُوا۟ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ }

{Itulah petunjuk Allah, dengan itu Dia memberi petunjuk kepada siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan.}

[Surat Al-An'am: 88]

{ وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ }

{Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.}

[Surat Az-Zumar: 65]


Syirik sebab masuk neraka

{ إِنَّهُۥ مَن یُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَیۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِینَ مِنۡ أَنصَارࣲ }

{Sesungguhnya barang siapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang-orang yang zalim itu.}

[Surat Al-Maidah: 72]


Syirik adalah kedzaliman yang besar

{ وَإِذۡ قَالَ لُقۡمَـٰنُ لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ یَعِظُهُۥ یَـٰبُنَیَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِیمࣱ }

{Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku! Janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”}

[Surat Luqman: 13]

dan masih ada bahaya-bahaya syirik lainnya yang disebutkan para ulama.


Takut terjatuh dalam kesyirikan

Mengingat betapa bahayanya kesyirikan, maka kita harus belajar tentang tauhid, dan lawannya yaitu syirik agar kita tidak terjatuh padanya. Jangan kita meremehkannya, jangankan kita para nabipun mereka takut terjatuh pada kesyirikan, dan mereka senantiasa berdoa agar dirinya dan keluarganya dijauhkan dari kesyirikan,

Allah تعالى berfirman :

{ وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَـٰذَا ٱلۡبَلَدَ ءَامِنࣰا وَٱجۡنُبۡنِی وَبَنِیَّ أَن نَّعۡبُدَ ٱلۡأَصۡنَامَ }

{Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala.}

[Surat Ibrahim: 35]


Demikian pula nabi Muhammad ﷺ mengkhawatirkan umatnya jatuh

pada kesyirikan, beliau bersabda : 

" إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ ". قَالُوا : وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : " الرِّيَاءُ…"

“sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil”

para sahabat bertanya : “apakah syirik kecil wahai Rasulullah?”

Rasul menjawab : “Riya”...

H.R. Ahmad


Marilah kita berdoa kepada Allah تعالى agar kita dijauhi dari perbuatan syirik, sebagaimana doa yang diajarkan nabi ﷺ 


"اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ"

”ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dalam keadaan sadar, dan aku memohon ampunan dari syirik yang tidak aku sadari”


وصلى الله على نبينا وعلى آله و صحبه و سلم


Jumat, 17 Dzulhijjah 1446 / 13 Juni 2025





















baca selanjutnya “Perseteruan Ahlu Tauhid dengan Ahlu syirik”

Selasa, 10 Juni 2025

Pentingnya Dakwah Tauhid

بسم الله الرحمن الرحيم


PENTINGNYA DAKWAH TAUHID


Allah تعالى menciptakan jin dan manusia untuk sebuah tujuan yang mulia, yaitu untuk beribadah hanya kepada Allah, sebagaimana firman Allah تعالى :

{ وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ }

{Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.}

[Surat Adz-Dzariyat: 56]


Makna (beribadah) adalah mentauhidkan Allah تعالى, berkata Ibnu Abbas رضي الله عنه : 

“كل موضع في القرآن (اعبدوا الله) فمعناه (وحدوا الله)

"setiap kalimat (beribadahlah kepada Allah) dalam alquran maka bermakna (tauhidkanlah Allah)


Tauhid merupakan dakwah para rasul, setiap rasul mengajak kepada tauhid dan memperingati dari kesyirikan, Allah تعالى berfirman :

 { وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ }

{Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah ṭāgūt,”}

[Surat An-Nahl: 36]

{ وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ }

{Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.}

[Surat Al-Anbiya': 25]


Tauhid merupakan perkara pertama di ajarkan kepada umat, sebagaimana nasihat Rasulallah kepada Muadz bin Jabal ketika berdakwah ke negeri Yaman :

" إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى"

"Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahlu kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang engkau dakwahlan kepada mereka adalah untuk mentauhidkan Allah تعالى”

Muttafaq Alaih



KEUTAMAAN TAUHID

barangsiapa yang bertauhid maka akan mendapatkan keutamaan-keutamaan, diantara keutamaan tersebut adalah :


Mendapatkan keamanan dan hidayah

Orang yang bertauhid akan mendapatkan hidayah di dunia dan mendapat keamanan di akhirat, sebagaimana firman Allah تعالى :


{ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَلَمۡ یَلۡبِسُوۤا۟ إِیمَـٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ }


“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.”

[Surat Al-An'am: 82]


Dimasukan kedalam surga

Orang yang bertauhid akan Allah masukan ke dalam surga, sebagaimana sabda Nabi :


" مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ - أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ ". 

“siapa yang bersaksi tidak tuhan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu baginya, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Dan Isa adalah hamba dan rasul-Nya, kalimat-Nya yang dilemaparkan kepada Maryam, dan ruh dari-Nya. Surga adalah ada, neraka adalah ada. Maka Allah akan masukan dia kedalam surga bagaimanapun amalnya.”

Muttafaq Alaih


Dijauhkan dari api neraka

Orang yang bertauhid akan dijauhkan dari api neraka, sebagaimana sabda Nabi :

" فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ؛ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ ".

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan api neraka menyentuh orang yang berkata “la ilaha illallah” dengan mengharap wajah Allah”

Muttafaq Alaih


Mendapat ampunan dari Allah تعالى

Siapa yang meninggal dalam keadaan bertauhid, Allah akan memberikan ampunan untuknya, sebagaimana sabda Nabi : Allah berkata dalam hadits qudsi :

"يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً ".

"Wahai anak adam, sesungguhnya engkau apabila mendatangiku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau menemuiku dalam keadaan tidak berbuat syirik, maka Aku akan mendatangimu dengan sepenuh bumi ampunan”

H.R. Tirmidzi


dan masih ada keutamaan tauhid lainnya yang disebutkan para ulama dalam kitab-kitabnya.


MENDAKWAHKAN TAUHID

Setelah mengetahui uraian diatas, kita mengetahui betapa pentingnya tauhid. Marilah kita mempelajari tauhid dan mendakwahkannya, sebagaimana dakwah para nabi dan rasul secara umum dan dakwah nabi Muhammad secara khusus. Kita diperintahkan mengikuti nabi Muhammad dalam segala aspek kehidupan, karena nabi Muhammad adalah suri tauladan bagi kita semua, Allah تعالى berfirman :

{ لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِی رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةࣱ لِّمَن كَانَ یَرۡجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلۡیَوۡمَ ٱلۡـَٔاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِیرࣰا }

{Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.}

[Surat Al-Ahzab: 21]


Demikian pula perkara dakwah, kita  mengikuti dakwah rasulullah. Dakwah tauhid adalah dakwah rasulullah, dakwah tauhid adalah jalan rasulullah, Allah berfirman :

{ قُلۡ هَـٰذِهِۦ سَبِیلِیۤ أَدۡعُوۤا۟ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِیرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِیۖ وَسُبۡحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَاۤ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ }

{Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.”}

[Surat Yusuf: 108]


Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang bertauhid, mengamalkannya, serta mendakwahkannya.


و صلى الله على نبينا و على آله و صحبه و سلم


Jumat, 14 Dzulhijjah 1446 (10 juni 2025)












baca selanjutnya “Pentingnya Dakwah Tauhid”

Rabu, 30 April 2025

Kitabul Ath'imah

 

Kitabul Ath’imah

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah,
Wa ash-hadu alla ilaha illallah, wa ash-hadu anna Muhammadan Rasulullah.
Wa ba’du,

Kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kita kesempatan untuk melanjutkan pelajaran di majelis ini.

Pada hari ini, kita melanjutkan pembahasan menuju bab berikutnya. Kita masuk pada pembahasan yang baru setelah sebelumnya menyelesaikan pembahasan sebelumnya.

Sekarang kita masuk ke halaman 99 (jika cetakannya sama dengan yang kita miliki), pada pembahasan tentang ath’aimah wal asyribah—makanan dan minuman.

Di sini disebutkan kalimat "kitab", sebuah istilah yang sering kita dengar dan lewati. Apa yang dimaksud dengan "kitab" dalam pembahasan seperti ini? Misalnya, dalam kitab fiqih, kitab akidah, dan yang lainnya ketika disebutkan "kitab".

Ibnu Mulaqqin rahimahullah mengatakan dalam kitab Al-I'lam bi Fawaid ‘Umdatul Ahkam:
Dalam kitab-kitab agama, seringkali disebut istilah kitab. Asal makna dari kata kitab adalah "penggabungan" atau "pengumpulan". Disebut kitab karena isinya merupakan kumpulan berbagai bab atau topik yang dikaitkan dalam satu susunan tertentu.

Jadi, asal katanya berkaitan dengan kata jama’, yaitu mengumpulkan atau menggabungkan. Bila disebut kitab, maka itu merujuk pada sesuatu yang mengandung kumpulan bab-bab ilmu dalam satu tema besar.

Beliau melanjutkan penjelasannya: yang dimaksud dengan kitab adalah sesuatu yang mengumpulkan berbagai bab, seperti kitab thaharah yang memuat bab air, bab mandi, bab wudhu, bab najis, dan seterusnya. Semua bab tersebut berada dalam satu kumpulan pembahasan: yaitu pembahasan tentang thaharah (bersuci).

Demikian pula dengan kitab sholat, yang membahas berbagai bab tentang sholat—termasuk bab adzan, waktu sholat, syarat-syarat sholat, dan lainnya. Maka ketika kita mendengar istilah kitab, yang dimaksud bukan hanya buku dalam bentuk fisik, tetapi kumpulan bab-bab yang disusun dalam satu struktur ilmu tertentu.

Demikian pula, kitabul ath'imah. Jadi, ini membahas permasalahan tentang makanan dan minuman, dan ada bab-babnya.

Karena makanan itu ada yang disebutkan berbentuk hewan, ada juga yang berupa tumbuhan, maka pembahasannya tidak cukup hanya satu bab saja. Itulah yang dimaksud dengan kumpulan bab.

Kata ath'imah (الأطعمة) ini bentuk jamak. Mufrad (bentuk tunggal) dari ath'imah adalah ta'am (طعام). Jadi, kata ath'imah berarti makanan-makanan, sedangkan ta'am berarti makanan (secara tunggal).

Dalam bahasa Arab, ketika disebutkan ta'am atau ath'imah, definisinya adalah:

"Kullu mā yu’kal wa yusyrab"
(Setiap yang bisa dimakan dan diminum.)

Artinya, segala sesuatu yang bisa dimakan dan diminum termasuk dalam istilah "makanan". Jadi, walaupun pembahasannya tentang makanan (ta’am), ia juga mencakup minuman. Ini berbeda dengan kebiasaan kita dalam memahami kata "makanan", yang biasanya hanya terbatas pada yang bisa dikunyah dan ditelan, tidak termasuk minuman.

Namun dalam istilah syar’i atau bahasa Arab klasik, ketika disebutkan "ta’am", itu bisa meliputi minuman juga, karena yang dimaksud adalah sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan memberi nutrisi, baik itu padat maupun cair.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa ta’am adalah:

"Kullu mā yu’kal aw yusyrab"
(Segala sesuatu yang bisa dimakan atau diminum.)

Namun ada juga pendapat yang membedakan antara makanan dan minuman. Dalam pendapat ini, ta’am hanya mencakup makanan, sedangkan minuman disebut dengan istilah tersendiri seperti asy-ribah (minuman-minuman) atau syarāb (minuman).

Makanan dan Minuman dalam Penggunaan Bahasa Arab dan Dalilnya

Jadi, terdapat dua definisi ulama dalam memahami kata ta‘ām (طعام):

  1. Ta‘ām adalah segala sesuatu yang bisa dimakan dan diminum.
  2. Ta‘ām adalah makanan, tetapi dalam penggunaannya secara umum, kadang juga bermakna minuman.

Secara dominan, kata ta‘ām memang merujuk pada makanan. Namun dalam beberapa konteks, ia juga dapat digunakan untuk menunjuk minuman. Contohnya disebutkan dalam Al-Qur’an:

Dalam Surat Al-Baqarah ayat 249, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai kisah Thalut dan pasukannya:

"فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللّٰهَ مُبْتَلِيكُم بِنَهَرٍ، فَمَن شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي، وَمَن لَّمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي"

Artinya:
"Maka ketika Thalut keluar bersama tentaranya, ia berkata: 'Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan sebuah sungai. Siapa yang meminum darinya, maka ia bukan dari golonganku. Dan siapa yang tidak meminumnya, maka sungguh ia dari golonganku.'”

Dalam ayat ini, disebutkan kata "lām yat‘amhu" (tidak memakannya), padahal yang dimaksud adalah tidak meminumnya. Ini menunjukkan bahwa kata ta‘ām dalam konteks tersebut merujuk kepada minuman, bukan makanan padat.

Hal ini menjadi salah satu dalil bahwa penggunaan ta‘ām bisa berarti minuman dalam situasi tertentu.

Contoh lainnya adalah dalam hadits tentang air zamzam. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Mā’u Zamzam limā syuriba lah."
“Air zamzam tergantung pada niat orang yang meminumnya.”

Jika seseorang meminumnya dengan niat sebagai obat, maka air zamzam akan menjadi obat bagi penyakitnya — sesuai dengan niatnya.

Ini juga menunjukkan bahwa meskipun pembahasan awalnya tentang makanan (ta‘ām), minuman juga bisa termasuk di dalamnya, baik dalam pengertian bahasa maupun dalil syar’i.

 

 

baca selanjutnya “Kitabul Ath'imah”

Rabu, 23 April 2025

Harta Yang Haram Sebab Tidak Terkabul Doa



Harta Yang Haram Sebab Tidak Terkabul Doa


Transkrip Khutbah Jumat Masjid Al-Ikhlas

(Pembukaan Khutbah)


Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kaum Muslimin jamaah Jumat yang semoga dirahmati Allah, setiap manusia tentu memiliki keinginan untuk memberikan yang terbaik—baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang-orang yang dicintainya, seperti anak, istri, dan keluarganya.

Akan tetapi, sebagai seorang Muslim dan Mukmin, keinginan itu harus selalu diiringi dengan bimbingan dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini berbeda dengan orang-orang kafir yang bebas melakukan apa saja demi kebahagiaan duniawi. Sementara bagi orang beriman, ada aturan dan tuntunan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala serta Rasul-Nya yang harus diikuti.

Pada kesempatan khutbah ini, kita akan membacakan satu hadits yang disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Kitab Arba’in An-Nawawiyyah, hadits ke-10, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya Allah itu Thayyib (Maha Baik) dan tidak menerima kecuali yang thayyib (baik)."

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Ibn Rajab rahimahullah menjelaskan bahwa makna "thayyib" di sini adalah suci. Artinya, Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat yang Maha Suci, bersih dari segala kekurangan dan aib. Oleh karena itu, Allah tidak menerima kecuali dari yang suci dan baik.

Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dalam perkara sedekah: Allah tidak menerima kecuali dari harta yang halal dan baik. Namun, sebagian ulama lainnya menafsirkan bahwa ini bersifat umum: Allah tidak menerima sedekah, amalan, keyakinan, maupun ucapan, kecuali yang berasal dari sumber yang baik dan benar.





Kaum Muslimin yang dirahmati Allah,

Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Allah tidak menerima kecuali dari yang thayyib (baik). Maka, sudah sepatutnya seorang hamba memperhatikan dari mana ia mendapatkan harta, bagaimana ia beramal, dan apa yang ia ucapkan, karena semua itu akan dinilai oleh Allah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian."
(QS. Al-Baqarah: 172)

Kemudian, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan tentang seseorang yang sedang dalam keadaan safar, rambutnya kusut dan tubuhnya berdebu. Ia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, "Ya Rabbi, Ya Rabbi." Namun, Rasulullah bersabda:

"Makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan?"
(HR. Muslim)

Ini menunjukkan bahwa walaupun seorang hamba berada dalam kondisi yang sangat memungkinkan untuk dikabulkan doanya—seperti musafir, dalam keadaan butuh, merendahkan diri di hadapan Allah—tetapi jika yang dikonsumsi haram, maka itu menjadi penghalang dikabulkannya doa.

Maka, hendaknya kita memperhatikan sumber nafkah kita, dari mana kita mendapatkan makanan, minuman, dan pakaian. Jangan sampai yang haram menjadi sebab tidak diterimanya amal dan doa kita.






Kaum Muslimin rahimakumullah,

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat yang Maha Sempurna, Maha Suci, dan bersih dari segala kekurangan. Oleh karena itu, Allah tidak menerima kecuali dari perkara yang baik.

Sebagian ulama menjelaskan bahwa maksud hadits ini berkaitan dengan sedekah—bahwa Allah hanya menerima sedekah dari harta yang halal dan thayyib. Namun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa makna ini bersifat umum: Allah tidak menerima sedekah, amalan, keyakinan, ataupun ucapan kecuali yang berasal dari perkara yang baik.

Oleh sebab itu, hendaknya kita semua memeriksa amalan, keyakinan, dan ucapan kita. Apakah itu semua benar-benar baik atau tidak? Karena jika tidak baik, maka tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Perintah Allah kepada Para Rasul dan Orang Beriman

Dalam lanjutan hadits tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman sebagaimana Ia memerintahkan kepada para Rasul.”

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan beramallah dengan amal yang shalih."
(QS. Al-Mu’minun: 51)

Dan kepada orang-orang yang beriman, Allah juga berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian."
(QS. Al-Baqarah: 172)






Di sini jelas bahwasanya kita semua diperintahkan untuk makan dari perkara yang halal dan juga dari perkara yang thayyib.

Halal dari cara meraihnya, dari cara mencarinya. Dan thayyib dari zatnya, baik untuk kesehatan, dan juga baik menurut ilmu dunia. Secara kesehatan, itu adalah baik untuk tubuh kita.

Kemudian disebutkan oleh Syaikh, bahwa perintah kepada Rasul itu adalah sama dengan perintah kepada orang-orang beriman, kepada kaum muslimin secara umum.

Di sini ada pelurusan terhadap sebagian kaum muslimin yang salah paham. Mereka meyakini bahwa orang-orang Islam itu berbeda kedudukannya: ada yang kedudukannya adalah syariat, ada yang tingkatannya adalah hakikat, dan juga ma’rifat.

Karena mereka membagi kedudukan-kedudukan tersebut, mereka kemudian mengatakan bahwa ketakwaan, melakukan amalan shalih, dan meninggalkan keharaman itu hanya khusus bagi orang-orang awam—orang-orang yang tingkatannya masih syariat. Akan tetapi, menurut mereka, kalau sudah ma’rifat, sudah mengenal Allah, sudah menyatu dengan Allah, sudah sampai pada hakikat, maka tidak perlu lagi melakukan amalan shalih dan tidak perlu lagi meninggalkan keharaman.

Maka ini adalah pemahaman yang tidak sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Perintah terhadap Rasulullah adalah juga perintah kepada kaum muslimin.

Sebagian mereka yang mengatasnamakan agama tidak melakukan sholat. Ketika ditegur, mereka mengatakan, “Aku berbeda dengan kalian. Aku sudah hakikat, aku sudah ma’rifat. Sholat itu yang penting eling, yang penting ingat. Dan aku sudah ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aku tidak perlu sholat.”

Kemudian, ketika mereka tidak sholat Jumat dan hanya mengurung diri di kamar, saat ditegur mereka mengatakan, “Aku sudah sholat Jumat. Ragaku di sini, tetapi jiwaku sudah sholat di Mekkah.”

Ini adalah ucapan-ucapan yang tidak sesuai dengan bimbingan Islam.

Bahkan, ketika tokoh mereka datang ke tempat maksiat seperti diskotek dan meminum minuman khamr (minuman beralkohol), ia mengatakan, “Aku beda. Menurut kalian ini alkohol. Tapi menurutku, ketika sampai di bibirku dan masuk ke tenggorokanku, ini adalah air suci.”


 Ini sebenarnya adalah kemaksiatan-kemaksiatan yang dibungkus dengan agama.

Bahkan sebagian mereka berzina mengatasnamakan agama, mengatakan ini adalah kawin kontrak.

Ini adalah ajaran-ajaran yang, wahai kaum Muslimin, perlu diwaspadai. Kalau kita mempelajari hadits-hadits dari Rasulullah, maka jelaslah bahwasanya kedudukan kaum Muslimin, setinggi apa pun—walaupun dia, misalkan, diklaim sebagai wali—tetap tidak lebih tinggi dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Rasul saja diperintahkan:
"Kuluu minath-thayyibaat" (makanlah dari yang baik-baik/halal).
Maka dari makanan yang halal, Rasulullah masih melakukan shalat, masih melakukan ibadah.

Badan dan jiwa yang sholeh meninggalkan keharaman. Terlebih lagi kita yang jauh di bawah Rasulullah.




Khutbah Kedua :





Alhamdulillah...

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan dalam hadits Abu Hurairah, yang disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam hadits ke-10 dari kitab Arba'in Nawawiyah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, dan badannya berdebu. Ia mengangkat kedua tangannya ke langit, berdoa:

"Yā Rabbī, Yā Rabbī..."
"Wahai Rabbku, wahai Rabbku..."

Namun, kata Rasulullah, makanan orang ini berasal dari yang haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari sesuatu yang haram pula.

"Fa-annā yustajābu lahu?"
"Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan?"

(HR. Muslim)

Hadits ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab rahimahullah, bahwa dalam potongan hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan adab-adab dalam berdoa, serta sebab-sebab yang menjadikan doa dikabulkan. Akan tetapi, juga disebutkan adanya penghalang-penghalang doa yang bisa menyebabkan doa tidak dikabulkan.

Di antara sebab dikabulkannya doa, sebagaimana disebutkan dalam hadits ini adalah:

  1. Melakukan perjalanan (safar)
    Perjalanan jauh merupakan salah satu keadaan yang mustajab untuk berdoa.

Namun sayangnya, meskipun orang tersebut berada dalam kondisi mustajab, doanya tidak dikabulkan karena dia memakan yang haram, memakai yang haram, dan diberi makan dari yang haram.




Dan ini adalah salah satu waktu yang sangat diharapkan dikabulkannya doa.

Maka barang siapa ketika melakukan perjalanan safar keluar kota, manfaatkan momen tersebut untuk berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena ini adalah salah satu waktu yang sangat diharapkan dikabulkan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:

"Dakwatu mustajabat, la syakka fihinna" – Ada tiga doa yang sangat diharapkan dikabulkan, tidak ada keraguan padanya:

  1. Doanya orang yang terzalimi (dakwatu al-mazhlum).
  2. Doanya orang yang sedang safar (dakwatu al-musafir).
  3. Doanya orang tua kepada anaknya (dakwatu al-walid li waladih).

Maka, manfaatkanlah kesempatan apabila kita sedang safar dalam perjalanan untuk berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Kemudian, sebab dikabulkannya doa yang disebutkan dalam hadits ini adalah asy'atsa dan aghbaro, yaitu kondisi seseorang dalam keadaan yang payah—rambutnya kusut, badannya berdebu, dalam kondisi yang sangat sederhana. Ini adalah momen yang merupakan sebab dikabulkannya doa.

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika melakukan shalat istisqa (shalat meminta hujan), beliau memerintahkan para jamaah untuk menggunakan pakaian yang sederhana. Karena kondisi seperti ini menjadi salah satu sebab doa seseorang dikabulkan.

Kemudian, sebab dikabulkannya doa yang ketiga yang disebutkan dalam hadits ini adalah yamuddu yadaihi ila as-sama’—dia mengangkat tangannya ke langit. Mengangkat tangan ini merupakan salah satu adab dalam berdoa dan juga menjadi sebab terkabulnya doa.






Menjadi salah satu sebab doa seseorang dikabulkan adalah ketika ia mengangkat tangannya ke langit. Mengangkat tangan ini merupakan salah satu adab dalam berdoa, dan juga menjadi sebab dikabulkannya doa seseorang, terutama jika doanya bersifat mutlak—yaitu tidak terikat dengan ibadah tertentu.

Jika seseorang berdoa di malam atau siang hari, di waktu yang tidak tertentu, maka disunnahkan baginya untuk mengangkat tangan. Ini adalah salah satu sebab dikabulkannya doa, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

"Sesungguhnya Allah Maha Hidup dan Maha Mulia. Dia malu apabila seorang hamba mengangkat kedua tangannya kepada-Nya, lalu dikembalikan dalam keadaan kosong."

Allah memiliki sifat malu yang mulia. Allah malu untuk mengembalikan tangan seorang hamba dalam keadaan hampa jika ia benar-benar bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya.

Selanjutnya, sebab keempat dikabulkannya doa adalah al-ilhah, yaitu merengek, bersungguh-sungguh, dan serius dalam meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk juga menyebut nama Allah secara berulang-ulang, seperti “Ya Rabbi” atau dengan menyebut Asmaul Husna lainnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Walillahil Asma’ul Husna fad’uuhu bihaa”, yang artinya: Allah memiliki nama-nama yang indah, maka berdoalah dengan menyebut nama-nama tersebut.

Contohnya, ketika kita memohon rezeki, kita dapat berkata: “Ya Razzaq, wahai pemberi rezeki, berilah aku rezeki yang halal dan baik.”
Atau saat memohon ampunan: “Ya Ghaffar, wahai Dzat yang Maha Pengampun, ampunilah aku.”
Ini adalah sebab-sebab terkabulnya doa yang disebutkan dalam hadis.

Namun, meskipun seseorang telah melakukan semua sebab tersebut, bisa jadi doanya tidak dikabulkan.
Kenapa? Karena makanannya haram, minumannya berasal dari yang haram, pakaiannya dari hasil yang haram, bahkan ia disuapi dari hal-hal yang haram. Maka, fa annā yustajābu lahu – bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?

Oleh karena itu, tidak cukup hanya melakukan sebab-sebab terkabulnya doa. Kita juga harus menjauhi sebab-sebab yang membuat doa tidak dikabulkan—yaitu meninggalkan perkara-perkara yang haram.

Jika seseorang merasa doanya belum dikabulkan, hendaknya ia melakukan introspeksi:
Apakah pakaian yang dikenakan bersih dari yang haram?
Apakah makanan dan minuman yang dikonsumsi berasal dari sumber yang halal?
Apakah rezeki yang diberikan kepada keluarga juga bersih dari yang haram?


Jika masih ada yang haram, maka mulai sekarang mari kita tinggalkan.

Jangan sampai kita tergoda oleh keuntungan dunia yang sementara—misalnya dengan melakukan kecurangan atau korupsi. Walaupun nilainya miliaran atau bahkan triliunan, itu tetap kecil jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat.

Jangan sampai demi dunia, kita mengorbankan akhirat, bahkan keluarga kita sendiri.

Memberi keluarga kita harta yang haram mungkin terasa menyenangkan sesaat, tetapi akibatnya sangat buruk. Amalan tidak diterima, doa pun tidak diijabah.

Sekaranglah waktunya kita kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mari bangkit dan bertaubat, membersihkan diri dan apa yang kita berikan kepada keluarga dari hal-hal yang tidak halal.

Kita mohon kepada Allah dengan penuh harap agar diberikan rezeki yang baik dan amalan yang diterima oleh-Nya.

Sebagaimana doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang diterima." 


و صلى الله على نبينا وعلى آله و صحبه و سلم

و الحمد لله رب العالمين


Purwakarta, 26 Maret 2021

baca selanjutnya “Harta Yang Haram Sebab Tidak Terkabul Doa”

Sabtu, 19 April 2025

Putra-Putri Nabi ﷺ Dari Khodijah

 
Sirah Nabi bag. 020 :


أولاده ﷺ من خديجة :
هم : القاسم، ثم زينب، ثم رقية، ثم أم كلثوم، ثم فاطمة، ثم عبد الله، وقيل غير
ذلك في عددهم وترتيبهم، وقد مات البنون كلهم صغاراً، أما البنات فقد أدركن كلّهن
زمن النبوة، فأسلمن وهاجرن، ثم توفاهن الموت قبل النبي ﷺ - إلا فاطمة - رضي الله
عنها، فإنها عاشت بعده ﷺ ستة أشهر.


Putra-putri Nabi ﷺ dari Khadijah رضي الله عنها:

Nama anak-anak beliau ﷺ (dari Khodijah) – secara berurutan – adalah: Al-Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fatimah, Abdullah.
Ada juga pendapat lain mengenai jumlah dan urutannya.

Anak laki-laki semuanya meninggal saat masih kecil. Adapun anak-anak perempuan hidup hingga dewasa dan mengalami masa kenabian (nubuwah). Mereka masuk Islam dan ikut berhijrah. Semuanya meninggal sebelum Nabi ﷺ wafat, kecuali Fatimah, yang wafat enam bulan setelah Rasulullah ﷺ wafat.

Sumber : Raudhatul Anwar

baca selanjutnya “Putra-Putri Nabi ﷺ Dari Khodijah”

Jumat, 18 April 2025

Amalan Tergantung Niat

Transkrip Khutbah Jumat :


Hadits Amalan Tergantung Niat


(Khutbatul Hajah)

setelah itu :


Kaum muslimin yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab Radhiyallahu 'Anhu. Rasul bersabda:
 "إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ"
(متفق عليه)


“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan, atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Kaum muslimin yang saya hormati,
Hadis ini sangat agung dan penting, mengingatkan kita semua tentang betapa pentingnya niat yang lurus dan ikhlas dalam setiap keadaan dan amal, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Dalam perdagangan, pekerjaan, pendidikan, bahkan dalam ibadah—semuanya harus dimulai dengan niat yang benar.

Para ulama menjadikan hadis ini sebagai pembuka dalam banyak kitab-kitab mereka untuk mengingatkan pentingnya memperbaiki niat dalam setiap amal perbuatan.
Abdurrahman bin Mahdi mengatakan:

 من أراد أن يصنف كتابا فليبدأ بحديث الأعمال بالنيات        
"Barang siapa yang ingin menulis sebuah kitab, maka mulailah dengan hadis amalan tergantung niatnya."

Oleh karena itu, banyak ulama terdahulu yang memulai kitab-kitab mereka dengan hadis ini, seperti Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, Imam Nawawi dalam Arba’in Nawawi dan Riyadhus Shalihin, Iman Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Umdatul Ahkam, dan yang lainnya.
Hal ini dimaksudkan sebagai pengingat bagi penulis agar ikhlas dalam menyusun kitab tersebut, dan juga sebagai pengingat bagi pembaca agar berniat ikhlas saat membaca dan mengamalkan isi kitab tersebut.

Makna dari hadis ini dijelaskan oleh banyak ulama. Di antaranya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata :
:
"Setiap amalan yang dilakukan oleh seseorang yang berakal dan memiliki pilihan bebas, maka amalan itu pasti disertai dengan niat."


Tidak mungkin seseorang melakukan suatu amal tanpa niat, kecuali jika ia tidak sadar, gila, atau dipaksa.
Maka dari itu, para ulama mengatakan :

"Seandainya Allah mewajibkan amal kepada manusia tanpa niat, maka itu sesuatu yang mustahil, karena setiap amal pasti ada kemauan di baliknya. Dan kemauan itulah yang disebut niat".
Namun, permasalahannya bukan sekadar ada atau tidaknya niat, tetapi bagaimana niat tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melanjutkan dalam hadisnya :

 

"وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى"
"Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan."

Artinya, jika niatnya baik, maka ia akan mendapatkan pahala. Namun jika niatnya buruk, maka ia bisa mendapatkan dosa.

Disebutkan oleh para ulama, bahwa niat secara bahasa berarti keinginan (iradah), kemauan, dan tujuan. Ketika seseorang terbetik dalam hatinya untuk melakukan sesuatu, maka itu sudah disebut niat. Jadi, niat adalah dorongan hati yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu amal.

Kemudian para ulama membagi pembahasan niat menjadi dua:

Pertama, niat dalam fiqih dan ibadah, yaitu membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lain. Misalnya, ketika seseorang mengerjakan sholat, maka ia harus meniatkan apakah itu sholat wajib atau sunnah. Apakah itu sholat Dzuhur, Ashar, atau lainnya.

Contoh lain adalah mandi. Ada mandi yang termasuk ibadah, seperti mandi junub atau mandi hari Jumat, dan ada pula mandi yang hanya sekadar untuk menyegarkan badan. Maka niatlah yang membedakan apakah mandi itu ibadah atau hanya kebiasaan (adat).

Kedua, niat dalam pembahasan tauhid dan akidah, serta dalam konteks umum amal manusia. Dalam hal ini, niat bermakna menentukan untuk siapa amal itu dilakukan. Apakah semata-mata karena Allah, atau karena yang lain.

Seseorang yang beramal hendaknya meniatkan amal tersebut hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak untuk riya’, tidak untuk mencari pujian manusia. Jika ia menyekutukan niat—misalnya ingin mendapat ridha Allah dan sekaligus ingin dipuji manusia—maka ini adalah niat yang rusak, bahkan bisa menjerumuskan ke dalam dosa syirik. Inilah pembahasan niat dalam konteks akidah dan keikhlasan.

Berbeda dengan niat dalam kitab-kitab fiqih yang lebih fokus pada teknis membedakan ibadah dan adat, maka niat dalam konteks ini lebih luas, mencakup seluruh amal kehidupan.


Khutbah Kedua: Contoh Penerapan Niat

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala...
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan sabda beliau:
"Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan, atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia tuju."

Hadits ini menunjukkan cara berdakwah yang bijak dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak hanya menyampaikan kaidah umum, tapi juga memberi contoh konkret agar mudah dipahami oleh para sahabat.

Dalam hadits tersebut, Nabi menyebutkan dua jenis niat hijrah:
Hijrah karena Allah dan Rasul-Nya – maka ia akan mendapat pahala dan dicatat sebagai ibadah.
Hijrah karena dunia atau wanita – maka ia hanya mendapat apa yang ia niatkan, tidak bernilai ibadah.

Dari sini kita pahami bahwa setiap amalan itu pasti memiliki niat, dan nilai amal tergantung niatnya. Inilah makna dari hadits “Innamal a’malu binniyyat”Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.
Contohnya:
Jika seseorang hijrah karena Allah, maka nilainya ibadah.
Jika ia hijrah demi dunia, maka itu hanya urusan dunia.
Demikian pula amalan lain, seperti mandi. Bisa jadi mandi itu hanya sekadar kebiasaan untuk menyegarkan badan, tapi bisa juga mandi yang bernilai ibadah – seperti mandi junub atau mandi Jumat – tergantung niatnya.
Contoh lain, seseorang tidak makan dari pagi hingga sore. Itu bisa jadi hanya karena program diet, atau bisa jadi itu adalah puasa. Maka, niatlah yang membedakan: apakah ia mendapat pahala, atau sekadar lapar karena tujuan duniawi.

Termasuk juga sholat, ia adalah ibadah murni yang tidak mirip dengan kebiasaan (adat). Maka tidak ada pilihan lain kecuali meniatkannya hanya untuk Allah. Bila sholat ditujukan kepada selain Allah, maka itu adalah syirik.


Ini berlaku pada jenis amalan pertama, yakni ibadah murni—amalan yang tidak menyerupai adat sama sekali, seperti shalat. Maka, niat di sini harus ikhlas untuk Allah.


Ada juga jenis amalan kedua yang bercampur dengan adat/kebiasaan, seperti:
Mandi: bisa hanya untuk menyegarkan diri (adat), tapi jika diniatkan untuk ibadah (misal mandi Jumat atau mandi janabah), maka bernilai ibadah.
Hijrah: pindah tempat bisa sekadar karena dunia, tapi jika diniatkan karena Allah dan Rasul-Nya, maka menjadi ibadah.
Tidak makan dari pagi sampai sore: jika karena diet, itu hanya adat. Tapi jika diniatkan puasa karena Allah, maka bernilai ibadah.
Intinya: "Amal bisa berubah menjadi ibadah hanya dengan niat yang benar."
Seorang yang meniatkan amal karena Allah, maka ia mendapatkan pahala. Tapi jika amal tersebut diniatkan bukan untuk Allah, ia tidak berdosa, tapi sangat merugi, karena amal itu hanya bernilai duniawi, bukan ibadah.

Bahkan hal sepele pun bisa jadi ibadah dengan niat, sebagaimana
ucapan Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu:
Ketika beliau ditanya tentang aktivitas malamnya, ia menjawab:
“Aku tidur dan aku bangun untuk shalat malam. Dan aku mengharapkan pahala dari tidurku sebagaimana aku mengharapkan pahala dari bangunku.”


Artinya, Mu’adz meniatkan tidurnya sebagai sarana ibadah, agar bisa bangun dan kuat menjalankan shalat malam. Maka, tidur pun bisa bernilai ibadah, jika niatnya benar.
Demikian juga kerja mencari nafkah. Jika diniatkan semata-mata karena tanggung jawab sebagai kepala keluarga, maka hanya bernilai adat. Tapi jika diniatkan karena Allah, maka bernilai ibadah.

Namun, ada pula jenis ketiga dari amalan, yaitu:
Amalan haram, seperti mencuri, menipu, atau merampok.
Meskipun seseorang berkata, “Saya mencuri untuk disedekahkan kepada fakir miskin,” maka tetap saja itu tidak sah dan berdosa. Hadits tentang niat tidak bisa diterapkan pada amalan haram.
Kenapa? Karena setiap hadits harus diterapkan bersama hadits lain.
Dalam Islam, suatu amalan tidak diterima kecuali memenuhi dua syarat:
Ikhlas, karena Allah – ini adalah pembahasan kita.
Mutaba’ah, yaitu sesuai contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana sabda beliau:

((من عمل عمال ليس عليه أمرنا فهو رد))
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim)



Maka, orang yang melakukan maksiat atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat, tidak bisa beralasan bahwa niatnya baik. Karena niat yang baik tidak menghalalkan cara yang salah.
Oleh sebab itu, marilah kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar:
Kita senantiasa memperbaiki niat,
Baik di awal, di tengah, maupun di akhir amal.

Karena memperbaiki niat itu bukan perkara ringan. Berkata Sufyan ats-Tsauri :

"ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي إنها تتقلب علي"

“Tidak ada sesuatu yang lebih berat aku obati daripada niatku. Karena niat itu sering berubah-ubah.”

Maka, hendaknya kita selalu introspeksi diri dan senantiasa memperbaharui niat dalam setiap amal yang kita lakukan.
Semoga Allah menjadikan semua amalan kita ikhlas karena-Nya. Aamiin.


Jumat, 19 Syawal 1446 / 18 April 2025

baca selanjutnya “Amalan Tergantung Niat”

Pernikahan Dengan Khodijah

 Sirah Nabi bag. 019 :



زواجه بخديجة :
ورأت خديجة من الأمانة والبركة ما يبهِر القلوب، وقصّ عليها ميسرة ما رآى في النبي ﷺ من كرم الشمائل وعذوبة الخِلال - يقال: وبعض الخوارق، مثل تظليل الملكين له في الحر - فشعرت خديجة بنيلٍ بغيتها فيه، فأرسلت إليه إحدى صديقاتها تبدي رغبتها في الزواج به، فرحب ﷺ بذلك، وكلّم أعمامه، فخطبوه له إلى عمها عمرو بن أسد فزوجها عمهـا بالنبي ﷺ في محضر من بني هاشم، ورؤساء قريش على صداق قدره عشرون بكرة، وقيل سبع بكارات، وكان الذي ألقى خُطبة النكاح هو عمه أبو طالب، فحمد الله، وأثنى عليه، ثم ذكر شرف النسب، وفضل النبي ﷺ، ثم ذكر كلمة العقد بين الصداق.
ثم تم الزواج بعد رجوعه ﷺ من الشام بشهرين أو أيام، وكان عمره إذ ذاك خمسًا وعشرين سنة، أما خديجة فالمشهور أن سنها كانت أربعين سنة. وقيل: ثمانٍ وعشرين سنة، وقيل غير ذلك، وكانت أولاً متزوجة بعتيق بن عائذ المخزومي، ثم مات عنها، فتزوجها أبو هالة التيمي، فمات عنها أيضًا بعد أن ترك لها ولدًا، ثم حرص على زواجها كبار رؤساء قريش فأبت حتى رغبت في رسول الله ﷺ وتزوجت به، فسعدت سعادة يغبط عليها الأولون والآخرين.
وهي أول أزواجه ﷺ، لم يتزوج عليها حتى ماتت، وكل أولاده ﷺ منها إلا إبراهيم، فإنه من مارية القبطية.

Pernikahan dengan Khadijah رضي الله عنها :

Khadijah رضي الله عنها melihat kejujuran Nabi Muhammad ﷺ dan keberkahan yang memukau hati. Ditambah lagi, Maisarah menceritakan kepada Khadijah رضي الله عنها bagaimana kemuliaan Nabi ﷺ dan akhlaknya yang mulia. Konon, Maisarah juga menceritakan kejadian luar biasa, seperti dua malaikat yang menaungi Nabi ﷺ dengan awan ketika cuaca sangat terik.

Khadijah رضي الله عنها merasa tertarik padanya, maka ia mengutus salah satu temannya untuk menyampaikan keinginan menikah dengan Nabi ﷺ. Nabi ﷺ menyambutnya, lalu menyampaikan hal tersebut kepada paman-pamannya. Maka mereka melamar Khadijah رضي الله عنها untuk Nabi ﷺ kepada paman Khadijah, ‘Amr bin Asad.

Kemudian paman Khadijah رضي الله عنها menikahkan Nabi ﷺ dengannya di hadapan suku Bani Hasyim dan para pemuka Quraisy, dengan mahar dua puluh ekor unta—ada pula yang mengatakan tujuh ekor. Abu Thalib yang membacakan khutbah nikah, memuji Allah, mengulang-ulang pujian kepada-Nya, lalu menyebutkan kemuliaan nasab Nabi ﷺ dan keutamaannya. Setelah itu dilaksanakan akad nikah dan disebutkan jumlah mahar.

Pernikahan ini terjadi dua bulan—atau beberapa hari—setelah kepulangan Nabi ﷺ dari Syam. Saat itu Nabi ﷺ berusia dua puluh lima tahun, sedangkan usia Khadijah رضي الله عنها adalah empat puluh tahun menurut pendapat yang paling masyhur. Ada juga yang berpendapat dua puluh delapan tahun, atau pendapat lainnya.

Sebelumnya, suami pertama Khadijah رضي الله عنها adalah ‘Atiq bin ‘Aidz al-Makhzumi, namun ia meninggal dunia. Adapun suami kedua Khadijah رضي الله عنها adalah Abu Halah at-Taimi, yang juga wafat dan meninggalkan seorang anak darinya. Banyak tokoh Quraisy yang berkeinginan meminangnya, namun Khadijah رضي الله عنها menolak mereka.
Hingga akhirnya Khadijah رضي الله عنها tertarik kepada Rasulullah ﷺ, lalu menikah dengannya, dan hidup dalam kebahagiaan yang didambakan oleh setiap orang.

Khadijah رضي الله عنها adalah istri pertama Nabi ﷺ, dan beliau tidak menikah lagi dengan siapa pun selama Khadijah رضي الله عنها masih hidup. Semua anak-anak Nabi ﷺ dilahirkan dari rahim Khadijah رضي الله عنها, kecuali Ibrahim yang dilahirkan dari Mariyah al-Qibthiyah.

Sumber : Raudhatul Anwar hal. 14-15

baca selanjutnya “Pernikahan Dengan Khodijah”