Transkrip Khutbah Jumat :
Hadits Amalan Tergantung Niat
(Khutbatul Hajah)
setelah itu :
Kaum muslimin yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab Radhiyallahu 'Anhu. Rasul bersabda:
"إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ"
(متفق عليه)
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan, atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kaum muslimin yang saya hormati,
Hadis ini sangat agung dan penting, mengingatkan kita semua tentang betapa pentingnya niat yang lurus dan ikhlas dalam setiap keadaan dan amal, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Dalam perdagangan, pekerjaan, pendidikan, bahkan dalam ibadah—semuanya harus dimulai dengan niat yang benar.
Para ulama menjadikan hadis ini sebagai pembuka dalam banyak kitab-kitab mereka untuk mengingatkan pentingnya memperbaiki niat dalam setiap amal perbuatan.
Abdurrahman bin Mahdi mengatakan:
Abdurrahman bin Mahdi mengatakan:
من أراد أن يصنف كتابا فليبدأ بحديث الأعمال بالنيات
Oleh karena itu, banyak ulama terdahulu yang memulai kitab-kitab mereka dengan hadis ini, seperti Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, Imam Nawawi dalam Arba’in Nawawi dan Riyadhus Shalihin, Iman Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Umdatul Ahkam, dan yang lainnya.
Hal ini dimaksudkan sebagai pengingat bagi penulis agar ikhlas dalam menyusun kitab tersebut, dan juga sebagai pengingat bagi pembaca agar berniat ikhlas saat membaca dan mengamalkan isi kitab tersebut.
Makna dari hadis ini dijelaskan oleh banyak ulama. Di antaranya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata :
Tidak mungkin seseorang melakukan suatu amal tanpa niat, kecuali jika ia tidak sadar, gila, atau dipaksa.
Maka dari itu, para ulama mengatakan :
Artinya, jika niatnya baik, maka ia akan mendapatkan pahala. Namun jika niatnya buruk, maka ia bisa mendapatkan dosa.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala...
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan sabda beliau:
Hadits ini menunjukkan cara berdakwah yang bijak dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak hanya menyampaikan kaidah umum, tapi juga memberi contoh konkret agar mudah dipahami oleh para sahabat.
Dalam hadits tersebut, Nabi menyebutkan dua jenis niat hijrah:
Hijrah karena Allah dan Rasul-Nya – maka ia akan mendapat pahala dan dicatat sebagai ibadah.
Hijrah karena dunia atau wanita – maka ia hanya mendapat apa yang ia niatkan, tidak bernilai ibadah.
Dari sini kita pahami bahwa setiap amalan itu pasti memiliki niat, dan nilai amal tergantung niatnya. Inilah makna dari hadits “Innamal a’malu binniyyat” – Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.
Contohnya:
Jika seseorang hijrah karena Allah, maka nilainya ibadah.
Jika ia hijrah demi dunia, maka itu hanya urusan dunia.
Demikian pula amalan lain, seperti mandi. Bisa jadi mandi itu hanya sekadar kebiasaan untuk menyegarkan badan, tapi bisa juga mandi yang bernilai ibadah – seperti mandi junub atau mandi Jumat – tergantung niatnya.
Contoh lain, seseorang tidak makan dari pagi hingga sore. Itu bisa jadi hanya karena program diet, atau bisa jadi itu adalah puasa. Maka, niatlah yang membedakan: apakah ia mendapat pahala, atau sekadar lapar karena tujuan duniawi.
Termasuk juga sholat, ia adalah ibadah murni yang tidak mirip dengan kebiasaan (adat). Maka tidak ada pilihan lain kecuali meniatkannya hanya untuk Allah. Bila sholat ditujukan kepada selain Allah, maka itu adalah syirik.
Ada juga jenis amalan kedua yang bercampur dengan adat/kebiasaan, seperti:
Mandi: bisa hanya untuk menyegarkan diri (adat), tapi jika diniatkan untuk ibadah (misal mandi Jumat atau mandi janabah), maka bernilai ibadah.
Hijrah: pindah tempat bisa sekadar karena dunia, tapi jika diniatkan karena Allah dan Rasul-Nya, maka menjadi ibadah.
Tidak makan dari pagi sampai sore: jika karena diet, itu hanya adat. Tapi jika diniatkan puasa karena Allah, maka bernilai ibadah.
Intinya: "Amal bisa berubah menjadi ibadah hanya dengan niat yang benar."
Seorang yang meniatkan amal karena Allah, maka ia mendapatkan pahala. Tapi jika amal tersebut diniatkan bukan untuk Allah, ia tidak berdosa, tapi sangat merugi, karena amal itu hanya bernilai duniawi, bukan ibadah.
Bahkan hal sepele pun bisa jadi ibadah dengan niat, sebagaimana
ucapan Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu:
Ketika beliau ditanya tentang aktivitas malamnya, ia menjawab:
Artinya, Mu’adz meniatkan tidurnya sebagai sarana ibadah, agar bisa bangun dan kuat menjalankan shalat malam. Maka, tidur pun bisa bernilai ibadah, jika niatnya benar.
Demikian juga kerja mencari nafkah. Jika diniatkan semata-mata karena tanggung jawab sebagai kepala keluarga, maka hanya bernilai adat. Tapi jika diniatkan karena Allah, maka bernilai ibadah.
Namun, ada pula jenis ketiga dari amalan, yaitu:
Amalan haram, seperti mencuri, menipu, atau merampok.
Meskipun seseorang berkata, “Saya mencuri untuk disedekahkan kepada fakir miskin,” maka tetap saja itu tidak sah dan berdosa. Hadits tentang niat tidak bisa diterapkan pada amalan haram.
Kenapa? Karena setiap hadits harus diterapkan bersama hadits lain.
Dalam Islam, suatu amalan tidak diterima kecuali memenuhi dua syarat:
Ikhlas, karena Allah – ini adalah pembahasan kita.
Mutaba’ah, yaitu sesuai contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana sabda beliau:
Maka, orang yang melakukan maksiat atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat, tidak bisa beralasan bahwa niatnya baik. Karena niat yang baik tidak menghalalkan cara yang salah.
Oleh sebab itu, marilah kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar:
Kita senantiasa memperbaiki niat,
Baik di awal, di tengah, maupun di akhir amal.
Karena memperbaiki niat itu bukan perkara ringan. Berkata Sufyan ats-Tsauri :
Maka, hendaknya kita selalu introspeksi diri dan senantiasa memperbaharui niat dalam setiap amal yang kita lakukan.
Semoga Allah menjadikan semua amalan kita ikhlas karena-Nya. Aamiin.
"Barang siapa yang ingin menulis sebuah kitab, maka mulailah dengan hadis amalan tergantung niatnya."
Oleh karena itu, banyak ulama terdahulu yang memulai kitab-kitab mereka dengan hadis ini, seperti Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, Imam Nawawi dalam Arba’in Nawawi dan Riyadhus Shalihin, Iman Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Umdatul Ahkam, dan yang lainnya.
Hal ini dimaksudkan sebagai pengingat bagi penulis agar ikhlas dalam menyusun kitab tersebut, dan juga sebagai pengingat bagi pembaca agar berniat ikhlas saat membaca dan mengamalkan isi kitab tersebut.
Makna dari hadis ini dijelaskan oleh banyak ulama. Di antaranya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata :
:
"Setiap amalan yang dilakukan oleh seseorang yang berakal dan memiliki pilihan bebas, maka amalan itu pasti disertai dengan niat."
Tidak mungkin seseorang melakukan suatu amal tanpa niat, kecuali jika ia tidak sadar, gila, atau dipaksa.
Maka dari itu, para ulama mengatakan :
"Seandainya Allah mewajibkan amal kepada manusia tanpa niat, maka itu sesuatu yang mustahil, karena setiap amal pasti ada kemauan di baliknya. Dan kemauan itulah yang disebut niat".Namun, permasalahannya bukan sekadar ada atau tidaknya niat, tetapi bagaimana niat tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melanjutkan dalam hadisnya :
"وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى"
"Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan."
Artinya, jika niatnya baik, maka ia akan mendapatkan pahala. Namun jika niatnya buruk, maka ia bisa mendapatkan dosa.
Disebutkan oleh para ulama, bahwa niat secara bahasa berarti keinginan (iradah), kemauan, dan tujuan. Ketika seseorang terbetik dalam hatinya untuk melakukan sesuatu, maka itu sudah disebut niat. Jadi, niat adalah dorongan hati yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu amal.
Kemudian para ulama membagi pembahasan niat menjadi dua:
Pertama, niat dalam fiqih dan ibadah, yaitu membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lain. Misalnya, ketika seseorang mengerjakan sholat, maka ia harus meniatkan apakah itu sholat wajib atau sunnah. Apakah itu sholat Dzuhur, Ashar, atau lainnya.
Contoh lain adalah mandi. Ada mandi yang termasuk ibadah, seperti mandi junub atau mandi hari Jumat, dan ada pula mandi yang hanya sekadar untuk menyegarkan badan. Maka niatlah yang membedakan apakah mandi itu ibadah atau hanya kebiasaan (adat).
Kedua, niat dalam pembahasan tauhid dan akidah, serta dalam konteks umum amal manusia. Dalam hal ini, niat bermakna menentukan untuk siapa amal itu dilakukan. Apakah semata-mata karena Allah, atau karena yang lain.
Seseorang yang beramal hendaknya meniatkan amal tersebut hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak untuk riya’, tidak untuk mencari pujian manusia. Jika ia menyekutukan niat—misalnya ingin mendapat ridha Allah dan sekaligus ingin dipuji manusia—maka ini adalah niat yang rusak, bahkan bisa menjerumuskan ke dalam dosa syirik. Inilah pembahasan niat dalam konteks akidah dan keikhlasan.
Berbeda dengan niat dalam kitab-kitab fiqih yang lebih fokus pada teknis membedakan ibadah dan adat, maka niat dalam konteks ini lebih luas, mencakup seluruh amal kehidupan.
Kemudian para ulama membagi pembahasan niat menjadi dua:
Pertama, niat dalam fiqih dan ibadah, yaitu membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lain. Misalnya, ketika seseorang mengerjakan sholat, maka ia harus meniatkan apakah itu sholat wajib atau sunnah. Apakah itu sholat Dzuhur, Ashar, atau lainnya.
Contoh lain adalah mandi. Ada mandi yang termasuk ibadah, seperti mandi junub atau mandi hari Jumat, dan ada pula mandi yang hanya sekadar untuk menyegarkan badan. Maka niatlah yang membedakan apakah mandi itu ibadah atau hanya kebiasaan (adat).
Kedua, niat dalam pembahasan tauhid dan akidah, serta dalam konteks umum amal manusia. Dalam hal ini, niat bermakna menentukan untuk siapa amal itu dilakukan. Apakah semata-mata karena Allah, atau karena yang lain.
Seseorang yang beramal hendaknya meniatkan amal tersebut hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak untuk riya’, tidak untuk mencari pujian manusia. Jika ia menyekutukan niat—misalnya ingin mendapat ridha Allah dan sekaligus ingin dipuji manusia—maka ini adalah niat yang rusak, bahkan bisa menjerumuskan ke dalam dosa syirik. Inilah pembahasan niat dalam konteks akidah dan keikhlasan.
Berbeda dengan niat dalam kitab-kitab fiqih yang lebih fokus pada teknis membedakan ibadah dan adat, maka niat dalam konteks ini lebih luas, mencakup seluruh amal kehidupan.
Khutbah Kedua: Contoh Penerapan Niat
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala...
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan sabda beliau:
"Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan, atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia tuju."
Hadits ini menunjukkan cara berdakwah yang bijak dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak hanya menyampaikan kaidah umum, tapi juga memberi contoh konkret agar mudah dipahami oleh para sahabat.
Dalam hadits tersebut, Nabi menyebutkan dua jenis niat hijrah:
Hijrah karena Allah dan Rasul-Nya – maka ia akan mendapat pahala dan dicatat sebagai ibadah.
Hijrah karena dunia atau wanita – maka ia hanya mendapat apa yang ia niatkan, tidak bernilai ibadah.
Dari sini kita pahami bahwa setiap amalan itu pasti memiliki niat, dan nilai amal tergantung niatnya. Inilah makna dari hadits “Innamal a’malu binniyyat” – Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.
Contohnya:
Jika seseorang hijrah karena Allah, maka nilainya ibadah.
Jika ia hijrah demi dunia, maka itu hanya urusan dunia.
Demikian pula amalan lain, seperti mandi. Bisa jadi mandi itu hanya sekadar kebiasaan untuk menyegarkan badan, tapi bisa juga mandi yang bernilai ibadah – seperti mandi junub atau mandi Jumat – tergantung niatnya.
Contoh lain, seseorang tidak makan dari pagi hingga sore. Itu bisa jadi hanya karena program diet, atau bisa jadi itu adalah puasa. Maka, niatlah yang membedakan: apakah ia mendapat pahala, atau sekadar lapar karena tujuan duniawi.
Termasuk juga sholat, ia adalah ibadah murni yang tidak mirip dengan kebiasaan (adat). Maka tidak ada pilihan lain kecuali meniatkannya hanya untuk Allah. Bila sholat ditujukan kepada selain Allah, maka itu adalah syirik.
Ini berlaku pada jenis amalan pertama, yakni ibadah murni—amalan yang tidak menyerupai adat sama sekali, seperti shalat. Maka, niat di sini harus ikhlas untuk Allah.
Ada juga jenis amalan kedua yang bercampur dengan adat/kebiasaan, seperti:
Mandi: bisa hanya untuk menyegarkan diri (adat), tapi jika diniatkan untuk ibadah (misal mandi Jumat atau mandi janabah), maka bernilai ibadah.
Hijrah: pindah tempat bisa sekadar karena dunia, tapi jika diniatkan karena Allah dan Rasul-Nya, maka menjadi ibadah.
Tidak makan dari pagi sampai sore: jika karena diet, itu hanya adat. Tapi jika diniatkan puasa karena Allah, maka bernilai ibadah.
Intinya: "Amal bisa berubah menjadi ibadah hanya dengan niat yang benar."
Seorang yang meniatkan amal karena Allah, maka ia mendapatkan pahala. Tapi jika amal tersebut diniatkan bukan untuk Allah, ia tidak berdosa, tapi sangat merugi, karena amal itu hanya bernilai duniawi, bukan ibadah.
Bahkan hal sepele pun bisa jadi ibadah dengan niat, sebagaimana
ucapan Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu:
Ketika beliau ditanya tentang aktivitas malamnya, ia menjawab:
“Aku tidur dan aku bangun untuk shalat malam. Dan aku mengharapkan pahala dari tidurku sebagaimana aku mengharapkan pahala dari bangunku.”
Artinya, Mu’adz meniatkan tidurnya sebagai sarana ibadah, agar bisa bangun dan kuat menjalankan shalat malam. Maka, tidur pun bisa bernilai ibadah, jika niatnya benar.
Demikian juga kerja mencari nafkah. Jika diniatkan semata-mata karena tanggung jawab sebagai kepala keluarga, maka hanya bernilai adat. Tapi jika diniatkan karena Allah, maka bernilai ibadah.
Namun, ada pula jenis ketiga dari amalan, yaitu:
Amalan haram, seperti mencuri, menipu, atau merampok.
Meskipun seseorang berkata, “Saya mencuri untuk disedekahkan kepada fakir miskin,” maka tetap saja itu tidak sah dan berdosa. Hadits tentang niat tidak bisa diterapkan pada amalan haram.
Kenapa? Karena setiap hadits harus diterapkan bersama hadits lain.
Dalam Islam, suatu amalan tidak diterima kecuali memenuhi dua syarat:
Ikhlas, karena Allah – ini adalah pembahasan kita.
Mutaba’ah, yaitu sesuai contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana sabda beliau:
((من عمل عمال ليس عليه أمرنا فهو رد))
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim)
Maka, orang yang melakukan maksiat atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat, tidak bisa beralasan bahwa niatnya baik. Karena niat yang baik tidak menghalalkan cara yang salah.
Oleh sebab itu, marilah kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar:
Kita senantiasa memperbaiki niat,
Baik di awal, di tengah, maupun di akhir amal.
Karena memperbaiki niat itu bukan perkara ringan. Berkata Sufyan ats-Tsauri :
"ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي إنها تتقلب علي"
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat aku obati daripada niatku. Karena niat itu sering berubah-ubah.”
Maka, hendaknya kita selalu introspeksi diri dan senantiasa memperbaharui niat dalam setiap amal yang kita lakukan.
Semoga Allah menjadikan semua amalan kita ikhlas karena-Nya. Aamiin.
Jumat, 19 Syawal 1446 / 18 April 2025
0 komentar:
Posting Komentar