Kitabul Ath’imah
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah,
Wa ash-hadu alla ilaha illallah, wa ash-hadu anna Muhammadan Rasulullah.
Wa ba’du,
Kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kita
kesempatan untuk melanjutkan pelajaran di majelis ini.
Pada hari ini, kita melanjutkan pembahasan menuju bab berikutnya. Kita masuk
pada pembahasan yang baru setelah sebelumnya menyelesaikan pembahasan
sebelumnya.
Sekarang kita masuk ke halaman 99 (jika cetakannya sama dengan yang kita
miliki), pada pembahasan tentang ath’aimah wal asyribah—makanan dan
minuman.
Di sini disebutkan kalimat "kitab", sebuah istilah yang sering
kita dengar dan lewati. Apa yang dimaksud dengan "kitab" dalam
pembahasan seperti ini? Misalnya, dalam kitab fiqih, kitab akidah, dan yang
lainnya ketika disebutkan "kitab".
Ibnu Mulaqqin rahimahullah mengatakan dalam kitab Al-I'lam bi Fawaid
‘Umdatul Ahkam:
Dalam kitab-kitab agama, seringkali disebut istilah kitab. Asal makna
dari kata kitab adalah "penggabungan" atau
"pengumpulan". Disebut kitab karena isinya merupakan
kumpulan berbagai bab atau topik yang dikaitkan dalam satu susunan tertentu.
Jadi, asal katanya berkaitan dengan kata jama’, yaitu mengumpulkan
atau menggabungkan. Bila disebut kitab, maka itu merujuk pada sesuatu
yang mengandung kumpulan bab-bab ilmu dalam satu tema besar.
Beliau melanjutkan penjelasannya: yang dimaksud dengan kitab adalah
sesuatu yang mengumpulkan berbagai bab, seperti kitab thaharah yang
memuat bab air, bab mandi, bab wudhu, bab najis, dan seterusnya. Semua bab
tersebut berada dalam satu kumpulan pembahasan: yaitu pembahasan tentang
thaharah (bersuci).
Demikian pula dengan kitab sholat, yang membahas berbagai bab
tentang sholat—termasuk bab adzan, waktu sholat, syarat-syarat sholat, dan
lainnya. Maka ketika kita mendengar istilah kitab, yang dimaksud bukan
hanya buku dalam bentuk fisik, tetapi kumpulan bab-bab yang disusun dalam satu
struktur ilmu tertentu.
Demikian pula, kitabul ath'imah. Jadi, ini membahas permasalahan
tentang makanan dan minuman, dan ada bab-babnya.
Karena makanan itu ada yang disebutkan berbentuk hewan, ada juga yang berupa
tumbuhan, maka pembahasannya tidak cukup hanya satu bab saja. Itulah yang
dimaksud dengan kumpulan bab.
Kata ath'imah (الأطعمة) ini bentuk jamak. Mufrad (bentuk tunggal)
dari ath'imah adalah ta'am (طعام). Jadi, kata ath'imah
berarti makanan-makanan, sedangkan ta'am berarti makanan (secara
tunggal).
Dalam bahasa Arab, ketika disebutkan ta'am atau ath'imah,
definisinya adalah:
"Kullu mā yu’kal wa yusyrab"
(Setiap yang bisa dimakan dan diminum.)
Artinya, segala sesuatu yang bisa dimakan dan diminum termasuk dalam istilah
"makanan". Jadi, walaupun pembahasannya tentang makanan (ta’am),
ia juga mencakup minuman. Ini berbeda dengan kebiasaan kita dalam memahami kata
"makanan", yang biasanya hanya terbatas pada yang bisa dikunyah dan
ditelan, tidak termasuk minuman.
Namun dalam istilah syar’i atau bahasa Arab klasik, ketika disebutkan
"ta’am", itu bisa meliputi minuman juga, karena yang dimaksud adalah
sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan memberi nutrisi, baik itu
padat maupun cair.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa ta’am adalah:
"Kullu mā yu’kal aw yusyrab"
(Segala sesuatu yang bisa dimakan atau diminum.)
Namun ada juga pendapat yang membedakan antara makanan dan minuman. Dalam
pendapat ini, ta’am hanya mencakup makanan, sedangkan minuman disebut
dengan istilah tersendiri seperti asy-ribah (minuman-minuman) atau syarāb
(minuman).
Makanan dan Minuman dalam Penggunaan Bahasa Arab dan Dalilnya
Jadi, terdapat dua definisi ulama dalam memahami kata ta‘ām (طعام):
- Ta‘ām adalah segala sesuatu
yang bisa dimakan dan diminum.
- Ta‘ām adalah makanan, tetapi
dalam penggunaannya secara umum, kadang juga bermakna minuman.
Secara dominan, kata ta‘ām memang merujuk pada makanan. Namun dalam
beberapa konteks, ia juga dapat digunakan untuk menunjuk minuman. Contohnya
disebutkan dalam Al-Qur’an:
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 249, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman mengenai kisah Thalut dan pasukannya:
"فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللّٰهَ مُبْتَلِيكُم
بِنَهَرٍ، فَمَن شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي، وَمَن لَّمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ
مِنِّي"
Artinya:
"Maka ketika Thalut keluar bersama tentaranya, ia berkata:
'Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan sebuah sungai. Siapa yang
meminum darinya, maka ia bukan dari golonganku. Dan siapa yang tidak
meminumnya, maka sungguh ia dari golonganku.'”
Dalam ayat ini, disebutkan kata "lām yat‘amhu" (tidak
memakannya), padahal yang dimaksud adalah tidak meminumnya.
Ini menunjukkan bahwa kata ta‘ām dalam konteks tersebut merujuk kepada
minuman, bukan makanan padat.
Hal ini menjadi salah satu dalil bahwa penggunaan ta‘ām bisa
berarti minuman dalam situasi tertentu.
Contoh lainnya adalah dalam hadits tentang air zamzam.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
"Mā’u Zamzam limā syuriba lah."
“Air zamzam tergantung pada niat orang yang meminumnya.”
Jika seseorang meminumnya dengan niat sebagai obat, maka air zamzam akan
menjadi obat bagi penyakitnya — sesuai dengan niatnya.
Ini juga menunjukkan bahwa meskipun pembahasan awalnya tentang makanan (ta‘ām),
minuman juga bisa termasuk di dalamnya, baik dalam pengertian bahasa maupun
dalil syar’i.
0 komentar:
Posting Komentar