Rabu, 30 April 2025

Kitabul Ath'imah

 

Kitabul Ath’imah

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah,
Wa ash-hadu alla ilaha illallah, wa ash-hadu anna Muhammadan Rasulullah.
Wa ba’du,

Kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kita kesempatan untuk melanjutkan pelajaran di majelis ini.

Pada hari ini, kita melanjutkan pembahasan menuju bab berikutnya. Kita masuk pada pembahasan yang baru setelah sebelumnya menyelesaikan pembahasan sebelumnya.

Sekarang kita masuk ke halaman 99 (jika cetakannya sama dengan yang kita miliki), pada pembahasan tentang ath’aimah wal asyribah—makanan dan minuman.

Di sini disebutkan kalimat "kitab", sebuah istilah yang sering kita dengar dan lewati. Apa yang dimaksud dengan "kitab" dalam pembahasan seperti ini? Misalnya, dalam kitab fiqih, kitab akidah, dan yang lainnya ketika disebutkan "kitab".

Ibnu Mulaqqin rahimahullah mengatakan dalam kitab Al-I'lam bi Fawaid ‘Umdatul Ahkam:
Dalam kitab-kitab agama, seringkali disebut istilah kitab. Asal makna dari kata kitab adalah "penggabungan" atau "pengumpulan". Disebut kitab karena isinya merupakan kumpulan berbagai bab atau topik yang dikaitkan dalam satu susunan tertentu.

Jadi, asal katanya berkaitan dengan kata jama’, yaitu mengumpulkan atau menggabungkan. Bila disebut kitab, maka itu merujuk pada sesuatu yang mengandung kumpulan bab-bab ilmu dalam satu tema besar.

Beliau melanjutkan penjelasannya: yang dimaksud dengan kitab adalah sesuatu yang mengumpulkan berbagai bab, seperti kitab thaharah yang memuat bab air, bab mandi, bab wudhu, bab najis, dan seterusnya. Semua bab tersebut berada dalam satu kumpulan pembahasan: yaitu pembahasan tentang thaharah (bersuci).

Demikian pula dengan kitab sholat, yang membahas berbagai bab tentang sholat—termasuk bab adzan, waktu sholat, syarat-syarat sholat, dan lainnya. Maka ketika kita mendengar istilah kitab, yang dimaksud bukan hanya buku dalam bentuk fisik, tetapi kumpulan bab-bab yang disusun dalam satu struktur ilmu tertentu.

Demikian pula, kitabul ath'imah. Jadi, ini membahas permasalahan tentang makanan dan minuman, dan ada bab-babnya.

Karena makanan itu ada yang disebutkan berbentuk hewan, ada juga yang berupa tumbuhan, maka pembahasannya tidak cukup hanya satu bab saja. Itulah yang dimaksud dengan kumpulan bab.

Kata ath'imah (الأطعمة) ini bentuk jamak. Mufrad (bentuk tunggal) dari ath'imah adalah ta'am (طعام). Jadi, kata ath'imah berarti makanan-makanan, sedangkan ta'am berarti makanan (secara tunggal).

Dalam bahasa Arab, ketika disebutkan ta'am atau ath'imah, definisinya adalah:

"Kullu mā yu’kal wa yusyrab"
(Setiap yang bisa dimakan dan diminum.)

Artinya, segala sesuatu yang bisa dimakan dan diminum termasuk dalam istilah "makanan". Jadi, walaupun pembahasannya tentang makanan (ta’am), ia juga mencakup minuman. Ini berbeda dengan kebiasaan kita dalam memahami kata "makanan", yang biasanya hanya terbatas pada yang bisa dikunyah dan ditelan, tidak termasuk minuman.

Namun dalam istilah syar’i atau bahasa Arab klasik, ketika disebutkan "ta’am", itu bisa meliputi minuman juga, karena yang dimaksud adalah sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan memberi nutrisi, baik itu padat maupun cair.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa ta’am adalah:

"Kullu mā yu’kal aw yusyrab"
(Segala sesuatu yang bisa dimakan atau diminum.)

Namun ada juga pendapat yang membedakan antara makanan dan minuman. Dalam pendapat ini, ta’am hanya mencakup makanan, sedangkan minuman disebut dengan istilah tersendiri seperti asy-ribah (minuman-minuman) atau syarāb (minuman).

Makanan dan Minuman dalam Penggunaan Bahasa Arab dan Dalilnya

Jadi, terdapat dua definisi ulama dalam memahami kata ta‘ām (طعام):

  1. Ta‘ām adalah segala sesuatu yang bisa dimakan dan diminum.
  2. Ta‘ām adalah makanan, tetapi dalam penggunaannya secara umum, kadang juga bermakna minuman.

Secara dominan, kata ta‘ām memang merujuk pada makanan. Namun dalam beberapa konteks, ia juga dapat digunakan untuk menunjuk minuman. Contohnya disebutkan dalam Al-Qur’an:

Dalam Surat Al-Baqarah ayat 249, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai kisah Thalut dan pasukannya:

"فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللّٰهَ مُبْتَلِيكُم بِنَهَرٍ، فَمَن شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي، وَمَن لَّمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي"

Artinya:
"Maka ketika Thalut keluar bersama tentaranya, ia berkata: 'Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan sebuah sungai. Siapa yang meminum darinya, maka ia bukan dari golonganku. Dan siapa yang tidak meminumnya, maka sungguh ia dari golonganku.'”

Dalam ayat ini, disebutkan kata "lām yat‘amhu" (tidak memakannya), padahal yang dimaksud adalah tidak meminumnya. Ini menunjukkan bahwa kata ta‘ām dalam konteks tersebut merujuk kepada minuman, bukan makanan padat.

Hal ini menjadi salah satu dalil bahwa penggunaan ta‘ām bisa berarti minuman dalam situasi tertentu.

Contoh lainnya adalah dalam hadits tentang air zamzam. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Mā’u Zamzam limā syuriba lah."
“Air zamzam tergantung pada niat orang yang meminumnya.”

Jika seseorang meminumnya dengan niat sebagai obat, maka air zamzam akan menjadi obat bagi penyakitnya — sesuai dengan niatnya.

Ini juga menunjukkan bahwa meskipun pembahasan awalnya tentang makanan (ta‘ām), minuman juga bisa termasuk di dalamnya, baik dalam pengertian bahasa maupun dalil syar’i.

 

 

0 komentar:

Posting Komentar