Harta Yang Haram Sebab Tidak Terkabul Doa
Transkrip Khutbah Jumat Masjid Al-Ikhlas
(Pembukaan Khutbah)
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kaum Muslimin jamaah Jumat yang semoga dirahmati Allah, setiap manusia tentu memiliki keinginan untuk memberikan yang terbaik—baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang-orang yang dicintainya, seperti anak, istri, dan keluarganya.
Akan tetapi, sebagai seorang Muslim dan Mukmin, keinginan itu harus selalu diiringi dengan bimbingan dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini berbeda dengan orang-orang kafir yang bebas melakukan apa saja demi kebahagiaan duniawi. Sementara bagi orang beriman, ada aturan dan tuntunan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala serta Rasul-Nya yang harus diikuti.
Pada kesempatan khutbah ini, kita akan membacakan satu hadits yang disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Kitab Arba’in An-Nawawiyyah, hadits ke-10, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah itu Thayyib (Maha Baik) dan tidak menerima kecuali yang thayyib (baik)."
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Ibn Rajab rahimahullah menjelaskan bahwa makna "thayyib" di sini adalah suci. Artinya, Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat yang Maha Suci, bersih dari segala kekurangan dan aib. Oleh karena itu, Allah tidak menerima kecuali dari yang suci dan baik.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dalam perkara sedekah: Allah tidak menerima kecuali dari harta yang halal dan baik. Namun, sebagian ulama lainnya menafsirkan bahwa ini bersifat umum: Allah tidak menerima sedekah, amalan, keyakinan, maupun ucapan, kecuali yang berasal dari sumber yang baik dan benar.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah,
Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Allah tidak menerima kecuali dari yang thayyib (baik). Maka, sudah sepatutnya seorang hamba memperhatikan dari mana ia mendapatkan harta, bagaimana ia beramal, dan apa yang ia ucapkan, karena semua itu akan dinilai oleh Allah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian."
(QS. Al-Baqarah: 172)
Kemudian, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan tentang seseorang yang sedang dalam keadaan safar, rambutnya kusut dan tubuhnya berdebu. Ia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, "Ya Rabbi, Ya Rabbi." Namun, Rasulullah bersabda:
"Makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan?"
(HR. Muslim)
Ini menunjukkan bahwa walaupun seorang hamba berada dalam kondisi yang sangat memungkinkan untuk dikabulkan doanya—seperti musafir, dalam keadaan butuh, merendahkan diri di hadapan Allah—tetapi jika yang dikonsumsi haram, maka itu menjadi penghalang dikabulkannya doa.
Maka, hendaknya kita memperhatikan sumber nafkah kita, dari mana kita mendapatkan makanan, minuman, dan pakaian. Jangan sampai yang haram menjadi sebab tidak diterimanya amal dan doa kita.
Kaum Muslimin rahimakumullah,
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat yang Maha Sempurna, Maha Suci, dan bersih dari segala kekurangan. Oleh karena itu, Allah tidak menerima kecuali dari perkara yang baik.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa maksud hadits ini berkaitan dengan sedekah—bahwa Allah hanya menerima sedekah dari harta yang halal dan thayyib. Namun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa makna ini bersifat umum: Allah tidak menerima sedekah, amalan, keyakinan, ataupun ucapan kecuali yang berasal dari perkara yang baik.
Oleh sebab itu, hendaknya kita semua memeriksa amalan, keyakinan, dan ucapan kita. Apakah itu semua benar-benar baik atau tidak? Karena jika tidak baik, maka tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Perintah Allah kepada Para Rasul dan Orang Beriman
Dalam lanjutan hadits tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman sebagaimana Ia memerintahkan kepada para Rasul.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan beramallah dengan amal yang shalih."
(QS. Al-Mu’minun: 51)
Dan kepada orang-orang yang beriman, Allah juga berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian."
(QS. Al-Baqarah: 172)
Di sini jelas bahwasanya kita semua diperintahkan untuk makan dari perkara yang halal dan juga dari perkara yang thayyib.
Halal dari cara meraihnya, dari cara mencarinya. Dan thayyib dari zatnya, baik untuk kesehatan, dan juga baik menurut ilmu dunia. Secara kesehatan, itu adalah baik untuk tubuh kita.
Kemudian disebutkan oleh Syaikh, bahwa perintah kepada Rasul itu adalah sama dengan perintah kepada orang-orang beriman, kepada kaum muslimin secara umum.
Di sini ada pelurusan terhadap sebagian kaum muslimin yang salah paham. Mereka meyakini bahwa orang-orang Islam itu berbeda kedudukannya: ada yang kedudukannya adalah syariat, ada yang tingkatannya adalah hakikat, dan juga ma’rifat.
Karena mereka membagi kedudukan-kedudukan tersebut, mereka kemudian mengatakan bahwa ketakwaan, melakukan amalan shalih, dan meninggalkan keharaman itu hanya khusus bagi orang-orang awam—orang-orang yang tingkatannya masih syariat. Akan tetapi, menurut mereka, kalau sudah ma’rifat, sudah mengenal Allah, sudah menyatu dengan Allah, sudah sampai pada hakikat, maka tidak perlu lagi melakukan amalan shalih dan tidak perlu lagi meninggalkan keharaman.
Maka ini adalah pemahaman yang tidak sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Perintah terhadap Rasulullah adalah juga perintah kepada kaum muslimin.
Sebagian mereka yang mengatasnamakan agama tidak melakukan sholat. Ketika ditegur, mereka mengatakan, “Aku berbeda dengan kalian. Aku sudah hakikat, aku sudah ma’rifat. Sholat itu yang penting eling, yang penting ingat. Dan aku sudah ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aku tidak perlu sholat.”
Kemudian, ketika mereka tidak sholat Jumat dan hanya mengurung diri di kamar, saat ditegur mereka mengatakan, “Aku sudah sholat Jumat. Ragaku di sini, tetapi jiwaku sudah sholat di Mekkah.”
Ini adalah ucapan-ucapan yang tidak sesuai dengan bimbingan Islam.
Bahkan, ketika tokoh mereka datang ke tempat maksiat seperti diskotek dan meminum minuman khamr (minuman beralkohol), ia mengatakan, “Aku beda. Menurut kalian ini alkohol. Tapi menurutku, ketika sampai di bibirku dan masuk ke tenggorokanku, ini adalah air suci.”
Ini sebenarnya adalah kemaksiatan-kemaksiatan yang dibungkus dengan agama.
Bahkan sebagian mereka berzina mengatasnamakan agama, mengatakan ini adalah kawin kontrak.
Ini adalah ajaran-ajaran yang, wahai kaum Muslimin, perlu diwaspadai. Kalau kita mempelajari hadits-hadits dari Rasulullah, maka jelaslah bahwasanya kedudukan kaum Muslimin, setinggi apa pun—walaupun dia, misalkan, diklaim sebagai wali—tetap tidak lebih tinggi dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Rasul saja diperintahkan:
"Kuluu minath-thayyibaat" (makanlah dari yang baik-baik/halal).
Maka dari makanan yang halal, Rasulullah masih melakukan shalat, masih melakukan ibadah.
Badan dan jiwa yang sholeh meninggalkan keharaman. Terlebih lagi kita yang jauh di bawah Rasulullah.
Khutbah Kedua :
Alhamdulillah...
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan dalam hadits Abu Hurairah, yang disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam hadits ke-10 dari kitab Arba'in Nawawiyah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, dan badannya berdebu. Ia mengangkat kedua tangannya ke langit, berdoa:
"Yā Rabbī, Yā Rabbī..."
"Wahai Rabbku, wahai Rabbku..."
Namun, kata Rasulullah, makanan orang ini berasal dari yang haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari sesuatu yang haram pula.
"Fa-annā yustajābu lahu?"
"Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan?"
(HR. Muslim)
Hadits ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab rahimahullah, bahwa dalam potongan hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan adab-adab dalam berdoa, serta sebab-sebab yang menjadikan doa dikabulkan. Akan tetapi, juga disebutkan adanya penghalang-penghalang doa yang bisa menyebabkan doa tidak dikabulkan.
Di antara sebab dikabulkannya doa, sebagaimana disebutkan dalam hadits ini adalah:
- Melakukan perjalanan (safar)
Perjalanan jauh merupakan salah satu keadaan yang mustajab untuk berdoa.
Namun sayangnya, meskipun orang tersebut berada dalam kondisi mustajab, doanya tidak dikabulkan karena dia memakan yang haram, memakai yang haram, dan diberi makan dari yang haram.
Dan ini adalah salah satu waktu yang sangat diharapkan dikabulkannya doa.
Maka barang siapa ketika melakukan perjalanan safar keluar kota, manfaatkan momen tersebut untuk berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena ini adalah salah satu waktu yang sangat diharapkan dikabulkan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
"Dakwatu mustajabat, la syakka fihinna" – Ada tiga doa yang sangat diharapkan dikabulkan, tidak ada keraguan padanya:
- Doanya orang yang terzalimi (dakwatu al-mazhlum).
- Doanya orang yang sedang safar (dakwatu al-musafir).
- Doanya orang tua kepada anaknya (dakwatu al-walid li waladih).
Maka, manfaatkanlah kesempatan apabila kita sedang safar dalam perjalanan untuk berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kemudian, sebab dikabulkannya doa yang disebutkan dalam hadits ini adalah asy'atsa dan aghbaro, yaitu kondisi seseorang dalam keadaan yang payah—rambutnya kusut, badannya berdebu, dalam kondisi yang sangat sederhana. Ini adalah momen yang merupakan sebab dikabulkannya doa.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika melakukan shalat istisqa (shalat meminta hujan), beliau memerintahkan para jamaah untuk menggunakan pakaian yang sederhana. Karena kondisi seperti ini menjadi salah satu sebab doa seseorang dikabulkan.
Kemudian, sebab dikabulkannya doa yang ketiga yang disebutkan dalam hadits ini adalah yamuddu yadaihi ila as-sama’—dia mengangkat tangannya ke langit. Mengangkat tangan ini merupakan salah satu adab dalam berdoa dan juga menjadi sebab terkabulnya doa.
Menjadi salah satu sebab doa seseorang dikabulkan adalah ketika ia mengangkat tangannya ke langit. Mengangkat tangan ini merupakan salah satu adab dalam berdoa, dan juga menjadi sebab dikabulkannya doa seseorang, terutama jika doanya bersifat mutlak—yaitu tidak terikat dengan ibadah tertentu.
Jika seseorang berdoa di malam atau siang hari, di waktu yang tidak tertentu, maka disunnahkan baginya untuk mengangkat tangan. Ini adalah salah satu sebab dikabulkannya doa, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Sesungguhnya Allah Maha Hidup dan Maha Mulia. Dia malu apabila seorang hamba mengangkat kedua tangannya kepada-Nya, lalu dikembalikan dalam keadaan kosong."
Allah memiliki sifat malu yang mulia. Allah malu untuk mengembalikan tangan seorang hamba dalam keadaan hampa jika ia benar-benar bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya.
Selanjutnya, sebab keempat dikabulkannya doa adalah al-ilhah, yaitu merengek, bersungguh-sungguh, dan serius dalam meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk juga menyebut nama Allah secara berulang-ulang, seperti “Ya Rabbi” atau dengan menyebut Asmaul Husna lainnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Walillahil Asma’ul Husna fad’uuhu bihaa”, yang artinya: Allah memiliki nama-nama yang indah, maka berdoalah dengan menyebut nama-nama tersebut.
Contohnya, ketika kita memohon rezeki, kita dapat berkata: “Ya Razzaq, wahai pemberi rezeki, berilah aku rezeki yang halal dan baik.”
Atau saat memohon ampunan: “Ya Ghaffar, wahai Dzat yang Maha Pengampun, ampunilah aku.”
Ini adalah sebab-sebab terkabulnya doa yang disebutkan dalam hadis.
Namun, meskipun seseorang telah melakukan semua sebab tersebut, bisa jadi doanya tidak dikabulkan.
Kenapa? Karena makanannya haram, minumannya berasal dari yang haram, pakaiannya dari hasil yang haram, bahkan ia disuapi dari hal-hal yang haram. Maka, fa annā yustajābu lahu – bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?
Oleh karena itu, tidak cukup hanya melakukan sebab-sebab terkabulnya doa. Kita juga harus menjauhi sebab-sebab yang membuat doa tidak dikabulkan—yaitu meninggalkan perkara-perkara yang haram.
Jika seseorang merasa doanya belum dikabulkan, hendaknya ia melakukan introspeksi:
Apakah pakaian yang dikenakan bersih dari yang haram?
Apakah makanan dan minuman yang dikonsumsi berasal dari sumber yang halal?
Apakah rezeki yang diberikan kepada keluarga juga bersih dari yang haram?
Jika masih ada yang haram, maka mulai sekarang mari kita tinggalkan.
Jangan sampai kita tergoda oleh keuntungan dunia yang sementara—misalnya dengan melakukan kecurangan atau korupsi. Walaupun nilainya miliaran atau bahkan triliunan, itu tetap kecil jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat.
Jangan sampai demi dunia, kita mengorbankan akhirat, bahkan keluarga kita sendiri.
Memberi keluarga kita harta yang haram mungkin terasa menyenangkan sesaat, tetapi akibatnya sangat buruk. Amalan tidak diterima, doa pun tidak diijabah.
Sekaranglah waktunya kita kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mari bangkit dan bertaubat, membersihkan diri dan apa yang kita berikan kepada keluarga dari hal-hal yang tidak halal.
Kita mohon kepada Allah dengan penuh harap agar diberikan rezeki yang baik dan amalan yang diterima oleh-Nya.
Sebagaimana doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang diterima."
و صلى الله على نبينا وعلى آله و صحبه و سلم
و الحمد لله رب العالمين
Purwakarta, 26 Maret 2021
0 komentar:
Posting Komentar