Rabu, 30 April 2025

Kitabul Ath'imah

 

Kitabul Ath’imah

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah,
Wa ash-hadu alla ilaha illallah, wa ash-hadu anna Muhammadan Rasulullah.
Wa ba’du,

Kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kita kesempatan untuk melanjutkan pelajaran di majelis ini.

Pada hari ini, kita melanjutkan pembahasan menuju bab berikutnya. Kita masuk pada pembahasan yang baru setelah sebelumnya menyelesaikan pembahasan sebelumnya.

Sekarang kita masuk ke halaman 99 (jika cetakannya sama dengan yang kita miliki), pada pembahasan tentang ath’aimah wal asyribah—makanan dan minuman.

Di sini disebutkan kalimat "kitab", sebuah istilah yang sering kita dengar dan lewati. Apa yang dimaksud dengan "kitab" dalam pembahasan seperti ini? Misalnya, dalam kitab fiqih, kitab akidah, dan yang lainnya ketika disebutkan "kitab".

Ibnu Mulaqqin rahimahullah mengatakan dalam kitab Al-I'lam bi Fawaid ‘Umdatul Ahkam:
Dalam kitab-kitab agama, seringkali disebut istilah kitab. Asal makna dari kata kitab adalah "penggabungan" atau "pengumpulan". Disebut kitab karena isinya merupakan kumpulan berbagai bab atau topik yang dikaitkan dalam satu susunan tertentu.

Jadi, asal katanya berkaitan dengan kata jama’, yaitu mengumpulkan atau menggabungkan. Bila disebut kitab, maka itu merujuk pada sesuatu yang mengandung kumpulan bab-bab ilmu dalam satu tema besar.

Beliau melanjutkan penjelasannya: yang dimaksud dengan kitab adalah sesuatu yang mengumpulkan berbagai bab, seperti kitab thaharah yang memuat bab air, bab mandi, bab wudhu, bab najis, dan seterusnya. Semua bab tersebut berada dalam satu kumpulan pembahasan: yaitu pembahasan tentang thaharah (bersuci).

Demikian pula dengan kitab sholat, yang membahas berbagai bab tentang sholat—termasuk bab adzan, waktu sholat, syarat-syarat sholat, dan lainnya. Maka ketika kita mendengar istilah kitab, yang dimaksud bukan hanya buku dalam bentuk fisik, tetapi kumpulan bab-bab yang disusun dalam satu struktur ilmu tertentu.

Demikian pula, kitabul ath'imah. Jadi, ini membahas permasalahan tentang makanan dan minuman, dan ada bab-babnya.

Karena makanan itu ada yang disebutkan berbentuk hewan, ada juga yang berupa tumbuhan, maka pembahasannya tidak cukup hanya satu bab saja. Itulah yang dimaksud dengan kumpulan bab.

Kata ath'imah (الأطعمة) ini bentuk jamak. Mufrad (bentuk tunggal) dari ath'imah adalah ta'am (طعام). Jadi, kata ath'imah berarti makanan-makanan, sedangkan ta'am berarti makanan (secara tunggal).

Dalam bahasa Arab, ketika disebutkan ta'am atau ath'imah, definisinya adalah:

"Kullu mā yu’kal wa yusyrab"
(Setiap yang bisa dimakan dan diminum.)

Artinya, segala sesuatu yang bisa dimakan dan diminum termasuk dalam istilah "makanan". Jadi, walaupun pembahasannya tentang makanan (ta’am), ia juga mencakup minuman. Ini berbeda dengan kebiasaan kita dalam memahami kata "makanan", yang biasanya hanya terbatas pada yang bisa dikunyah dan ditelan, tidak termasuk minuman.

Namun dalam istilah syar’i atau bahasa Arab klasik, ketika disebutkan "ta’am", itu bisa meliputi minuman juga, karena yang dimaksud adalah sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan memberi nutrisi, baik itu padat maupun cair.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa ta’am adalah:

"Kullu mā yu’kal aw yusyrab"
(Segala sesuatu yang bisa dimakan atau diminum.)

Namun ada juga pendapat yang membedakan antara makanan dan minuman. Dalam pendapat ini, ta’am hanya mencakup makanan, sedangkan minuman disebut dengan istilah tersendiri seperti asy-ribah (minuman-minuman) atau syarāb (minuman).

Makanan dan Minuman dalam Penggunaan Bahasa Arab dan Dalilnya

Jadi, terdapat dua definisi ulama dalam memahami kata ta‘ām (طعام):

  1. Ta‘ām adalah segala sesuatu yang bisa dimakan dan diminum.
  2. Ta‘ām adalah makanan, tetapi dalam penggunaannya secara umum, kadang juga bermakna minuman.

Secara dominan, kata ta‘ām memang merujuk pada makanan. Namun dalam beberapa konteks, ia juga dapat digunakan untuk menunjuk minuman. Contohnya disebutkan dalam Al-Qur’an:

Dalam Surat Al-Baqarah ayat 249, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai kisah Thalut dan pasukannya:

"فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللّٰهَ مُبْتَلِيكُم بِنَهَرٍ، فَمَن شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي، وَمَن لَّمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي"

Artinya:
"Maka ketika Thalut keluar bersama tentaranya, ia berkata: 'Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan sebuah sungai. Siapa yang meminum darinya, maka ia bukan dari golonganku. Dan siapa yang tidak meminumnya, maka sungguh ia dari golonganku.'”

Dalam ayat ini, disebutkan kata "lām yat‘amhu" (tidak memakannya), padahal yang dimaksud adalah tidak meminumnya. Ini menunjukkan bahwa kata ta‘ām dalam konteks tersebut merujuk kepada minuman, bukan makanan padat.

Hal ini menjadi salah satu dalil bahwa penggunaan ta‘ām bisa berarti minuman dalam situasi tertentu.

Contoh lainnya adalah dalam hadits tentang air zamzam. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Mā’u Zamzam limā syuriba lah."
“Air zamzam tergantung pada niat orang yang meminumnya.”

Jika seseorang meminumnya dengan niat sebagai obat, maka air zamzam akan menjadi obat bagi penyakitnya — sesuai dengan niatnya.

Ini juga menunjukkan bahwa meskipun pembahasan awalnya tentang makanan (ta‘ām), minuman juga bisa termasuk di dalamnya, baik dalam pengertian bahasa maupun dalil syar’i.

 

 

baca selanjutnya “Kitabul Ath'imah”

Rabu, 23 April 2025

Harta Yang Haram Sebab Tidak Terkabul Doa



Harta Yang Haram Sebab Tidak Terkabul Doa


Transkrip Khutbah Jumat Masjid Al-Ikhlas

(Pembukaan Khutbah)


Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kaum Muslimin jamaah Jumat yang semoga dirahmati Allah, setiap manusia tentu memiliki keinginan untuk memberikan yang terbaik—baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang-orang yang dicintainya, seperti anak, istri, dan keluarganya.

Akan tetapi, sebagai seorang Muslim dan Mukmin, keinginan itu harus selalu diiringi dengan bimbingan dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini berbeda dengan orang-orang kafir yang bebas melakukan apa saja demi kebahagiaan duniawi. Sementara bagi orang beriman, ada aturan dan tuntunan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala serta Rasul-Nya yang harus diikuti.

Pada kesempatan khutbah ini, kita akan membacakan satu hadits yang disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Kitab Arba’in An-Nawawiyyah, hadits ke-10, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya Allah itu Thayyib (Maha Baik) dan tidak menerima kecuali yang thayyib (baik)."

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Ibn Rajab rahimahullah menjelaskan bahwa makna "thayyib" di sini adalah suci. Artinya, Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat yang Maha Suci, bersih dari segala kekurangan dan aib. Oleh karena itu, Allah tidak menerima kecuali dari yang suci dan baik.

Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dalam perkara sedekah: Allah tidak menerima kecuali dari harta yang halal dan baik. Namun, sebagian ulama lainnya menafsirkan bahwa ini bersifat umum: Allah tidak menerima sedekah, amalan, keyakinan, maupun ucapan, kecuali yang berasal dari sumber yang baik dan benar.





Kaum Muslimin yang dirahmati Allah,

Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Allah tidak menerima kecuali dari yang thayyib (baik). Maka, sudah sepatutnya seorang hamba memperhatikan dari mana ia mendapatkan harta, bagaimana ia beramal, dan apa yang ia ucapkan, karena semua itu akan dinilai oleh Allah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian."
(QS. Al-Baqarah: 172)

Kemudian, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan tentang seseorang yang sedang dalam keadaan safar, rambutnya kusut dan tubuhnya berdebu. Ia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, "Ya Rabbi, Ya Rabbi." Namun, Rasulullah bersabda:

"Makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan?"
(HR. Muslim)

Ini menunjukkan bahwa walaupun seorang hamba berada dalam kondisi yang sangat memungkinkan untuk dikabulkan doanya—seperti musafir, dalam keadaan butuh, merendahkan diri di hadapan Allah—tetapi jika yang dikonsumsi haram, maka itu menjadi penghalang dikabulkannya doa.

Maka, hendaknya kita memperhatikan sumber nafkah kita, dari mana kita mendapatkan makanan, minuman, dan pakaian. Jangan sampai yang haram menjadi sebab tidak diterimanya amal dan doa kita.






Kaum Muslimin rahimakumullah,

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat yang Maha Sempurna, Maha Suci, dan bersih dari segala kekurangan. Oleh karena itu, Allah tidak menerima kecuali dari perkara yang baik.

Sebagian ulama menjelaskan bahwa maksud hadits ini berkaitan dengan sedekah—bahwa Allah hanya menerima sedekah dari harta yang halal dan thayyib. Namun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa makna ini bersifat umum: Allah tidak menerima sedekah, amalan, keyakinan, ataupun ucapan kecuali yang berasal dari perkara yang baik.

Oleh sebab itu, hendaknya kita semua memeriksa amalan, keyakinan, dan ucapan kita. Apakah itu semua benar-benar baik atau tidak? Karena jika tidak baik, maka tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Perintah Allah kepada Para Rasul dan Orang Beriman

Dalam lanjutan hadits tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman sebagaimana Ia memerintahkan kepada para Rasul.”

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan beramallah dengan amal yang shalih."
(QS. Al-Mu’minun: 51)

Dan kepada orang-orang yang beriman, Allah juga berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian."
(QS. Al-Baqarah: 172)






Di sini jelas bahwasanya kita semua diperintahkan untuk makan dari perkara yang halal dan juga dari perkara yang thayyib.

Halal dari cara meraihnya, dari cara mencarinya. Dan thayyib dari zatnya, baik untuk kesehatan, dan juga baik menurut ilmu dunia. Secara kesehatan, itu adalah baik untuk tubuh kita.

Kemudian disebutkan oleh Syaikh, bahwa perintah kepada Rasul itu adalah sama dengan perintah kepada orang-orang beriman, kepada kaum muslimin secara umum.

Di sini ada pelurusan terhadap sebagian kaum muslimin yang salah paham. Mereka meyakini bahwa orang-orang Islam itu berbeda kedudukannya: ada yang kedudukannya adalah syariat, ada yang tingkatannya adalah hakikat, dan juga ma’rifat.

Karena mereka membagi kedudukan-kedudukan tersebut, mereka kemudian mengatakan bahwa ketakwaan, melakukan amalan shalih, dan meninggalkan keharaman itu hanya khusus bagi orang-orang awam—orang-orang yang tingkatannya masih syariat. Akan tetapi, menurut mereka, kalau sudah ma’rifat, sudah mengenal Allah, sudah menyatu dengan Allah, sudah sampai pada hakikat, maka tidak perlu lagi melakukan amalan shalih dan tidak perlu lagi meninggalkan keharaman.

Maka ini adalah pemahaman yang tidak sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Perintah terhadap Rasulullah adalah juga perintah kepada kaum muslimin.

Sebagian mereka yang mengatasnamakan agama tidak melakukan sholat. Ketika ditegur, mereka mengatakan, “Aku berbeda dengan kalian. Aku sudah hakikat, aku sudah ma’rifat. Sholat itu yang penting eling, yang penting ingat. Dan aku sudah ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aku tidak perlu sholat.”

Kemudian, ketika mereka tidak sholat Jumat dan hanya mengurung diri di kamar, saat ditegur mereka mengatakan, “Aku sudah sholat Jumat. Ragaku di sini, tetapi jiwaku sudah sholat di Mekkah.”

Ini adalah ucapan-ucapan yang tidak sesuai dengan bimbingan Islam.

Bahkan, ketika tokoh mereka datang ke tempat maksiat seperti diskotek dan meminum minuman khamr (minuman beralkohol), ia mengatakan, “Aku beda. Menurut kalian ini alkohol. Tapi menurutku, ketika sampai di bibirku dan masuk ke tenggorokanku, ini adalah air suci.”


 Ini sebenarnya adalah kemaksiatan-kemaksiatan yang dibungkus dengan agama.

Bahkan sebagian mereka berzina mengatasnamakan agama, mengatakan ini adalah kawin kontrak.

Ini adalah ajaran-ajaran yang, wahai kaum Muslimin, perlu diwaspadai. Kalau kita mempelajari hadits-hadits dari Rasulullah, maka jelaslah bahwasanya kedudukan kaum Muslimin, setinggi apa pun—walaupun dia, misalkan, diklaim sebagai wali—tetap tidak lebih tinggi dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Rasul saja diperintahkan:
"Kuluu minath-thayyibaat" (makanlah dari yang baik-baik/halal).
Maka dari makanan yang halal, Rasulullah masih melakukan shalat, masih melakukan ibadah.

Badan dan jiwa yang sholeh meninggalkan keharaman. Terlebih lagi kita yang jauh di bawah Rasulullah.




Khutbah Kedua :





Alhamdulillah...

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan dalam hadits Abu Hurairah, yang disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam hadits ke-10 dari kitab Arba'in Nawawiyah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan tentang seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, dan badannya berdebu. Ia mengangkat kedua tangannya ke langit, berdoa:

"Yā Rabbī, Yā Rabbī..."
"Wahai Rabbku, wahai Rabbku..."

Namun, kata Rasulullah, makanan orang ini berasal dari yang haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari sesuatu yang haram pula.

"Fa-annā yustajābu lahu?"
"Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan?"

(HR. Muslim)

Hadits ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab rahimahullah, bahwa dalam potongan hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan adab-adab dalam berdoa, serta sebab-sebab yang menjadikan doa dikabulkan. Akan tetapi, juga disebutkan adanya penghalang-penghalang doa yang bisa menyebabkan doa tidak dikabulkan.

Di antara sebab dikabulkannya doa, sebagaimana disebutkan dalam hadits ini adalah:

  1. Melakukan perjalanan (safar)
    Perjalanan jauh merupakan salah satu keadaan yang mustajab untuk berdoa.

Namun sayangnya, meskipun orang tersebut berada dalam kondisi mustajab, doanya tidak dikabulkan karena dia memakan yang haram, memakai yang haram, dan diberi makan dari yang haram.




Dan ini adalah salah satu waktu yang sangat diharapkan dikabulkannya doa.

Maka barang siapa ketika melakukan perjalanan safar keluar kota, manfaatkan momen tersebut untuk berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena ini adalah salah satu waktu yang sangat diharapkan dikabulkan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:

"Dakwatu mustajabat, la syakka fihinna" – Ada tiga doa yang sangat diharapkan dikabulkan, tidak ada keraguan padanya:

  1. Doanya orang yang terzalimi (dakwatu al-mazhlum).
  2. Doanya orang yang sedang safar (dakwatu al-musafir).
  3. Doanya orang tua kepada anaknya (dakwatu al-walid li waladih).

Maka, manfaatkanlah kesempatan apabila kita sedang safar dalam perjalanan untuk berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Kemudian, sebab dikabulkannya doa yang disebutkan dalam hadits ini adalah asy'atsa dan aghbaro, yaitu kondisi seseorang dalam keadaan yang payah—rambutnya kusut, badannya berdebu, dalam kondisi yang sangat sederhana. Ini adalah momen yang merupakan sebab dikabulkannya doa.

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika melakukan shalat istisqa (shalat meminta hujan), beliau memerintahkan para jamaah untuk menggunakan pakaian yang sederhana. Karena kondisi seperti ini menjadi salah satu sebab doa seseorang dikabulkan.

Kemudian, sebab dikabulkannya doa yang ketiga yang disebutkan dalam hadits ini adalah yamuddu yadaihi ila as-sama’—dia mengangkat tangannya ke langit. Mengangkat tangan ini merupakan salah satu adab dalam berdoa dan juga menjadi sebab terkabulnya doa.






Menjadi salah satu sebab doa seseorang dikabulkan adalah ketika ia mengangkat tangannya ke langit. Mengangkat tangan ini merupakan salah satu adab dalam berdoa, dan juga menjadi sebab dikabulkannya doa seseorang, terutama jika doanya bersifat mutlak—yaitu tidak terikat dengan ibadah tertentu.

Jika seseorang berdoa di malam atau siang hari, di waktu yang tidak tertentu, maka disunnahkan baginya untuk mengangkat tangan. Ini adalah salah satu sebab dikabulkannya doa, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

"Sesungguhnya Allah Maha Hidup dan Maha Mulia. Dia malu apabila seorang hamba mengangkat kedua tangannya kepada-Nya, lalu dikembalikan dalam keadaan kosong."

Allah memiliki sifat malu yang mulia. Allah malu untuk mengembalikan tangan seorang hamba dalam keadaan hampa jika ia benar-benar bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya.

Selanjutnya, sebab keempat dikabulkannya doa adalah al-ilhah, yaitu merengek, bersungguh-sungguh, dan serius dalam meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk juga menyebut nama Allah secara berulang-ulang, seperti “Ya Rabbi” atau dengan menyebut Asmaul Husna lainnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Walillahil Asma’ul Husna fad’uuhu bihaa”, yang artinya: Allah memiliki nama-nama yang indah, maka berdoalah dengan menyebut nama-nama tersebut.

Contohnya, ketika kita memohon rezeki, kita dapat berkata: “Ya Razzaq, wahai pemberi rezeki, berilah aku rezeki yang halal dan baik.”
Atau saat memohon ampunan: “Ya Ghaffar, wahai Dzat yang Maha Pengampun, ampunilah aku.”
Ini adalah sebab-sebab terkabulnya doa yang disebutkan dalam hadis.

Namun, meskipun seseorang telah melakukan semua sebab tersebut, bisa jadi doanya tidak dikabulkan.
Kenapa? Karena makanannya haram, minumannya berasal dari yang haram, pakaiannya dari hasil yang haram, bahkan ia disuapi dari hal-hal yang haram. Maka, fa annā yustajābu lahu – bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?

Oleh karena itu, tidak cukup hanya melakukan sebab-sebab terkabulnya doa. Kita juga harus menjauhi sebab-sebab yang membuat doa tidak dikabulkan—yaitu meninggalkan perkara-perkara yang haram.

Jika seseorang merasa doanya belum dikabulkan, hendaknya ia melakukan introspeksi:
Apakah pakaian yang dikenakan bersih dari yang haram?
Apakah makanan dan minuman yang dikonsumsi berasal dari sumber yang halal?
Apakah rezeki yang diberikan kepada keluarga juga bersih dari yang haram?


Jika masih ada yang haram, maka mulai sekarang mari kita tinggalkan.

Jangan sampai kita tergoda oleh keuntungan dunia yang sementara—misalnya dengan melakukan kecurangan atau korupsi. Walaupun nilainya miliaran atau bahkan triliunan, itu tetap kecil jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat.

Jangan sampai demi dunia, kita mengorbankan akhirat, bahkan keluarga kita sendiri.

Memberi keluarga kita harta yang haram mungkin terasa menyenangkan sesaat, tetapi akibatnya sangat buruk. Amalan tidak diterima, doa pun tidak diijabah.

Sekaranglah waktunya kita kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mari bangkit dan bertaubat, membersihkan diri dan apa yang kita berikan kepada keluarga dari hal-hal yang tidak halal.

Kita mohon kepada Allah dengan penuh harap agar diberikan rezeki yang baik dan amalan yang diterima oleh-Nya.

Sebagaimana doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang diterima." 


و صلى الله على نبينا وعلى آله و صحبه و سلم

و الحمد لله رب العالمين


Purwakarta, 26 Maret 2021

baca selanjutnya “Harta Yang Haram Sebab Tidak Terkabul Doa”

Sabtu, 19 April 2025

Putra-Putri Nabi ﷺ Dari Khodijah

 
Sirah Nabi bag. 020 :


أولاده ﷺ من خديجة :
هم : القاسم، ثم زينب، ثم رقية، ثم أم كلثوم، ثم فاطمة، ثم عبد الله، وقيل غير
ذلك في عددهم وترتيبهم، وقد مات البنون كلهم صغاراً، أما البنات فقد أدركن كلّهن
زمن النبوة، فأسلمن وهاجرن، ثم توفاهن الموت قبل النبي ﷺ - إلا فاطمة - رضي الله
عنها، فإنها عاشت بعده ﷺ ستة أشهر.


Putra-putri Nabi ﷺ dari Khadijah رضي الله عنها:

Nama anak-anak beliau ﷺ (dari Khodijah) – secara berurutan – adalah: Al-Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fatimah, Abdullah.
Ada juga pendapat lain mengenai jumlah dan urutannya.

Anak laki-laki semuanya meninggal saat masih kecil. Adapun anak-anak perempuan hidup hingga dewasa dan mengalami masa kenabian (nubuwah). Mereka masuk Islam dan ikut berhijrah. Semuanya meninggal sebelum Nabi ﷺ wafat, kecuali Fatimah, yang wafat enam bulan setelah Rasulullah ﷺ wafat.

Sumber : Raudhatul Anwar

baca selanjutnya “Putra-Putri Nabi ﷺ Dari Khodijah”

Jumat, 18 April 2025

Amalan Tergantung Niat

Transkrip Khutbah Jumat :


Hadits Amalan Tergantung Niat


(Khutbatul Hajah)

setelah itu :


Kaum muslimin yang semoga dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab Radhiyallahu 'Anhu. Rasul bersabda:
 "إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ"
(متفق عليه)


“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan, atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Kaum muslimin yang saya hormati,
Hadis ini sangat agung dan penting, mengingatkan kita semua tentang betapa pentingnya niat yang lurus dan ikhlas dalam setiap keadaan dan amal, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Dalam perdagangan, pekerjaan, pendidikan, bahkan dalam ibadah—semuanya harus dimulai dengan niat yang benar.

Para ulama menjadikan hadis ini sebagai pembuka dalam banyak kitab-kitab mereka untuk mengingatkan pentingnya memperbaiki niat dalam setiap amal perbuatan.
Abdurrahman bin Mahdi mengatakan:

 من أراد أن يصنف كتابا فليبدأ بحديث الأعمال بالنيات        
"Barang siapa yang ingin menulis sebuah kitab, maka mulailah dengan hadis amalan tergantung niatnya."

Oleh karena itu, banyak ulama terdahulu yang memulai kitab-kitab mereka dengan hadis ini, seperti Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, Imam Nawawi dalam Arba’in Nawawi dan Riyadhus Shalihin, Iman Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Umdatul Ahkam, dan yang lainnya.
Hal ini dimaksudkan sebagai pengingat bagi penulis agar ikhlas dalam menyusun kitab tersebut, dan juga sebagai pengingat bagi pembaca agar berniat ikhlas saat membaca dan mengamalkan isi kitab tersebut.

Makna dari hadis ini dijelaskan oleh banyak ulama. Di antaranya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata :
:
"Setiap amalan yang dilakukan oleh seseorang yang berakal dan memiliki pilihan bebas, maka amalan itu pasti disertai dengan niat."


Tidak mungkin seseorang melakukan suatu amal tanpa niat, kecuali jika ia tidak sadar, gila, atau dipaksa.
Maka dari itu, para ulama mengatakan :

"Seandainya Allah mewajibkan amal kepada manusia tanpa niat, maka itu sesuatu yang mustahil, karena setiap amal pasti ada kemauan di baliknya. Dan kemauan itulah yang disebut niat".
Namun, permasalahannya bukan sekadar ada atau tidaknya niat, tetapi bagaimana niat tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melanjutkan dalam hadisnya :

 

"وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى"
"Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan."

Artinya, jika niatnya baik, maka ia akan mendapatkan pahala. Namun jika niatnya buruk, maka ia bisa mendapatkan dosa.

Disebutkan oleh para ulama, bahwa niat secara bahasa berarti keinginan (iradah), kemauan, dan tujuan. Ketika seseorang terbetik dalam hatinya untuk melakukan sesuatu, maka itu sudah disebut niat. Jadi, niat adalah dorongan hati yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu amal.

Kemudian para ulama membagi pembahasan niat menjadi dua:

Pertama, niat dalam fiqih dan ibadah, yaitu membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lain. Misalnya, ketika seseorang mengerjakan sholat, maka ia harus meniatkan apakah itu sholat wajib atau sunnah. Apakah itu sholat Dzuhur, Ashar, atau lainnya.

Contoh lain adalah mandi. Ada mandi yang termasuk ibadah, seperti mandi junub atau mandi hari Jumat, dan ada pula mandi yang hanya sekadar untuk menyegarkan badan. Maka niatlah yang membedakan apakah mandi itu ibadah atau hanya kebiasaan (adat).

Kedua, niat dalam pembahasan tauhid dan akidah, serta dalam konteks umum amal manusia. Dalam hal ini, niat bermakna menentukan untuk siapa amal itu dilakukan. Apakah semata-mata karena Allah, atau karena yang lain.

Seseorang yang beramal hendaknya meniatkan amal tersebut hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak untuk riya’, tidak untuk mencari pujian manusia. Jika ia menyekutukan niat—misalnya ingin mendapat ridha Allah dan sekaligus ingin dipuji manusia—maka ini adalah niat yang rusak, bahkan bisa menjerumuskan ke dalam dosa syirik. Inilah pembahasan niat dalam konteks akidah dan keikhlasan.

Berbeda dengan niat dalam kitab-kitab fiqih yang lebih fokus pada teknis membedakan ibadah dan adat, maka niat dalam konteks ini lebih luas, mencakup seluruh amal kehidupan.


Khutbah Kedua: Contoh Penerapan Niat

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala...
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan sabda beliau:
"Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan, atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia tuju."

Hadits ini menunjukkan cara berdakwah yang bijak dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak hanya menyampaikan kaidah umum, tapi juga memberi contoh konkret agar mudah dipahami oleh para sahabat.

Dalam hadits tersebut, Nabi menyebutkan dua jenis niat hijrah:
Hijrah karena Allah dan Rasul-Nya – maka ia akan mendapat pahala dan dicatat sebagai ibadah.
Hijrah karena dunia atau wanita – maka ia hanya mendapat apa yang ia niatkan, tidak bernilai ibadah.

Dari sini kita pahami bahwa setiap amalan itu pasti memiliki niat, dan nilai amal tergantung niatnya. Inilah makna dari hadits “Innamal a’malu binniyyat”Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.
Contohnya:
Jika seseorang hijrah karena Allah, maka nilainya ibadah.
Jika ia hijrah demi dunia, maka itu hanya urusan dunia.
Demikian pula amalan lain, seperti mandi. Bisa jadi mandi itu hanya sekadar kebiasaan untuk menyegarkan badan, tapi bisa juga mandi yang bernilai ibadah – seperti mandi junub atau mandi Jumat – tergantung niatnya.
Contoh lain, seseorang tidak makan dari pagi hingga sore. Itu bisa jadi hanya karena program diet, atau bisa jadi itu adalah puasa. Maka, niatlah yang membedakan: apakah ia mendapat pahala, atau sekadar lapar karena tujuan duniawi.

Termasuk juga sholat, ia adalah ibadah murni yang tidak mirip dengan kebiasaan (adat). Maka tidak ada pilihan lain kecuali meniatkannya hanya untuk Allah. Bila sholat ditujukan kepada selain Allah, maka itu adalah syirik.


Ini berlaku pada jenis amalan pertama, yakni ibadah murni—amalan yang tidak menyerupai adat sama sekali, seperti shalat. Maka, niat di sini harus ikhlas untuk Allah.


Ada juga jenis amalan kedua yang bercampur dengan adat/kebiasaan, seperti:
Mandi: bisa hanya untuk menyegarkan diri (adat), tapi jika diniatkan untuk ibadah (misal mandi Jumat atau mandi janabah), maka bernilai ibadah.
Hijrah: pindah tempat bisa sekadar karena dunia, tapi jika diniatkan karena Allah dan Rasul-Nya, maka menjadi ibadah.
Tidak makan dari pagi sampai sore: jika karena diet, itu hanya adat. Tapi jika diniatkan puasa karena Allah, maka bernilai ibadah.
Intinya: "Amal bisa berubah menjadi ibadah hanya dengan niat yang benar."
Seorang yang meniatkan amal karena Allah, maka ia mendapatkan pahala. Tapi jika amal tersebut diniatkan bukan untuk Allah, ia tidak berdosa, tapi sangat merugi, karena amal itu hanya bernilai duniawi, bukan ibadah.

Bahkan hal sepele pun bisa jadi ibadah dengan niat, sebagaimana
ucapan Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu:
Ketika beliau ditanya tentang aktivitas malamnya, ia menjawab:
“Aku tidur dan aku bangun untuk shalat malam. Dan aku mengharapkan pahala dari tidurku sebagaimana aku mengharapkan pahala dari bangunku.”


Artinya, Mu’adz meniatkan tidurnya sebagai sarana ibadah, agar bisa bangun dan kuat menjalankan shalat malam. Maka, tidur pun bisa bernilai ibadah, jika niatnya benar.
Demikian juga kerja mencari nafkah. Jika diniatkan semata-mata karena tanggung jawab sebagai kepala keluarga, maka hanya bernilai adat. Tapi jika diniatkan karena Allah, maka bernilai ibadah.

Namun, ada pula jenis ketiga dari amalan, yaitu:
Amalan haram, seperti mencuri, menipu, atau merampok.
Meskipun seseorang berkata, “Saya mencuri untuk disedekahkan kepada fakir miskin,” maka tetap saja itu tidak sah dan berdosa. Hadits tentang niat tidak bisa diterapkan pada amalan haram.
Kenapa? Karena setiap hadits harus diterapkan bersama hadits lain.
Dalam Islam, suatu amalan tidak diterima kecuali memenuhi dua syarat:
Ikhlas, karena Allah – ini adalah pembahasan kita.
Mutaba’ah, yaitu sesuai contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana sabda beliau:

((من عمل عمال ليس عليه أمرنا فهو رد))
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim)



Maka, orang yang melakukan maksiat atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat, tidak bisa beralasan bahwa niatnya baik. Karena niat yang baik tidak menghalalkan cara yang salah.
Oleh sebab itu, marilah kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar:
Kita senantiasa memperbaiki niat,
Baik di awal, di tengah, maupun di akhir amal.

Karena memperbaiki niat itu bukan perkara ringan. Berkata Sufyan ats-Tsauri :

"ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي إنها تتقلب علي"

“Tidak ada sesuatu yang lebih berat aku obati daripada niatku. Karena niat itu sering berubah-ubah.”

Maka, hendaknya kita selalu introspeksi diri dan senantiasa memperbaharui niat dalam setiap amal yang kita lakukan.
Semoga Allah menjadikan semua amalan kita ikhlas karena-Nya. Aamiin.


Jumat, 19 Syawal 1446 / 18 April 2025

baca selanjutnya “Amalan Tergantung Niat”

Pernikahan Dengan Khodijah

 Sirah Nabi bag. 019 :



زواجه بخديجة :
ورأت خديجة من الأمانة والبركة ما يبهِر القلوب، وقصّ عليها ميسرة ما رآى في النبي ﷺ من كرم الشمائل وعذوبة الخِلال - يقال: وبعض الخوارق، مثل تظليل الملكين له في الحر - فشعرت خديجة بنيلٍ بغيتها فيه، فأرسلت إليه إحدى صديقاتها تبدي رغبتها في الزواج به، فرحب ﷺ بذلك، وكلّم أعمامه، فخطبوه له إلى عمها عمرو بن أسد فزوجها عمهـا بالنبي ﷺ في محضر من بني هاشم، ورؤساء قريش على صداق قدره عشرون بكرة، وقيل سبع بكارات، وكان الذي ألقى خُطبة النكاح هو عمه أبو طالب، فحمد الله، وأثنى عليه، ثم ذكر شرف النسب، وفضل النبي ﷺ، ثم ذكر كلمة العقد بين الصداق.
ثم تم الزواج بعد رجوعه ﷺ من الشام بشهرين أو أيام، وكان عمره إذ ذاك خمسًا وعشرين سنة، أما خديجة فالمشهور أن سنها كانت أربعين سنة. وقيل: ثمانٍ وعشرين سنة، وقيل غير ذلك، وكانت أولاً متزوجة بعتيق بن عائذ المخزومي، ثم مات عنها، فتزوجها أبو هالة التيمي، فمات عنها أيضًا بعد أن ترك لها ولدًا، ثم حرص على زواجها كبار رؤساء قريش فأبت حتى رغبت في رسول الله ﷺ وتزوجت به، فسعدت سعادة يغبط عليها الأولون والآخرين.
وهي أول أزواجه ﷺ، لم يتزوج عليها حتى ماتت، وكل أولاده ﷺ منها إلا إبراهيم، فإنه من مارية القبطية.

Pernikahan dengan Khadijah رضي الله عنها :

Khadijah رضي الله عنها melihat kejujuran Nabi Muhammad ﷺ dan keberkahan yang memukau hati. Ditambah lagi, Maisarah menceritakan kepada Khadijah رضي الله عنها bagaimana kemuliaan Nabi ﷺ dan akhlaknya yang mulia. Konon, Maisarah juga menceritakan kejadian luar biasa, seperti dua malaikat yang menaungi Nabi ﷺ dengan awan ketika cuaca sangat terik.

Khadijah رضي الله عنها merasa tertarik padanya, maka ia mengutus salah satu temannya untuk menyampaikan keinginan menikah dengan Nabi ﷺ. Nabi ﷺ menyambutnya, lalu menyampaikan hal tersebut kepada paman-pamannya. Maka mereka melamar Khadijah رضي الله عنها untuk Nabi ﷺ kepada paman Khadijah, ‘Amr bin Asad.

Kemudian paman Khadijah رضي الله عنها menikahkan Nabi ﷺ dengannya di hadapan suku Bani Hasyim dan para pemuka Quraisy, dengan mahar dua puluh ekor unta—ada pula yang mengatakan tujuh ekor. Abu Thalib yang membacakan khutbah nikah, memuji Allah, mengulang-ulang pujian kepada-Nya, lalu menyebutkan kemuliaan nasab Nabi ﷺ dan keutamaannya. Setelah itu dilaksanakan akad nikah dan disebutkan jumlah mahar.

Pernikahan ini terjadi dua bulan—atau beberapa hari—setelah kepulangan Nabi ﷺ dari Syam. Saat itu Nabi ﷺ berusia dua puluh lima tahun, sedangkan usia Khadijah رضي الله عنها adalah empat puluh tahun menurut pendapat yang paling masyhur. Ada juga yang berpendapat dua puluh delapan tahun, atau pendapat lainnya.

Sebelumnya, suami pertama Khadijah رضي الله عنها adalah ‘Atiq bin ‘Aidz al-Makhzumi, namun ia meninggal dunia. Adapun suami kedua Khadijah رضي الله عنها adalah Abu Halah at-Taimi, yang juga wafat dan meninggalkan seorang anak darinya. Banyak tokoh Quraisy yang berkeinginan meminangnya, namun Khadijah رضي الله عنها menolak mereka.
Hingga akhirnya Khadijah رضي الله عنها tertarik kepada Rasulullah ﷺ, lalu menikah dengannya, dan hidup dalam kebahagiaan yang didambakan oleh setiap orang.

Khadijah رضي الله عنها adalah istri pertama Nabi ﷺ, dan beliau tidak menikah lagi dengan siapa pun selama Khadijah رضي الله عنها masih hidup. Semua anak-anak Nabi ﷺ dilahirkan dari rahim Khadijah رضي الله عنها, kecuali Ibrahim yang dilahirkan dari Mariyah al-Qibthiyah.

Sumber : Raudhatul Anwar hal. 14-15

baca selanjutnya “Pernikahan Dengan Khodijah”

Rabu, 16 April 2025

Berdagang Ke Syam

Sirah Nabi bag. 18 :


سفره إلى الشام وتجارته في مال خديجة:

وكانت خديجة بنت خويلد - رضي الله عنها - من أفضل نساء قريش شرفاً ومالاً، وكانت تعطي مالها للتجار يتجرون فيه على أجرة، فلما سمعت عن النبي ﷺ عرضت عليه مالها، ليخرج فيه إلى الشام تاجراً، وتعطيه أفضل ما أعطته غيره.
وخرج رسول الله ﷺ مع غلامها ميسرة إلى الشام، فباع وابتاع، وربح ربحاً عظيماً، وحصل في مالها من البركة ما لم يحصل من قبل، ثم رجع إلى مكة، وأدى الأمانة.

Perjalanan ke Syam dan Berdagang Dagangan Khodijah :

Khodijah bintu Khuwailid رضي الله- عنها- merupakan wanita Quraisy paling mulia dan paling kaya. Ia biasa memberi modal kepada para pedagang untuk dikelola dagang dengan sistem bagi hasil. Ketika khodijah mendengar tentang Nabi, ia menawarkan modal kepada Nabi, untuk di kelola dagang ke Syam. Khodijah mempercayakan modal terbesar dibanding modal ke pedagang lainnya.

Nabi pergi berdagang ke Syam ditemani Maisarah, budak khodijah. Berdagang di sana, akhirnya mendapatkan untung yg besar. Belum pernah Nabi mendapat keberkahan harta yang seperti ini sebelumnya. Kemudian kembali ke Mekah, dan mengembalikan modal serta keuntungan tersebut.


 

baca selanjutnya “Berdagang Ke Syam”

Dialog Santai Seputar Manhaj Salaf

 🎙️ Dialog Santai Seputar Manhaj



Kajian berjudul "Dialog Santai Seputar Manhaj" disampaikan oleh Ustadz Muhammad Umar Assewed pada Jum’at, 21 Juli 2017 di Masjid Daarul Muhajir, Bandung. Dalam sesi ini dibahas hal-hal penting seperti:
Perbedaan antara Salafy dan Wahabi
Tuduhan-tuduhan terhadap dakwah salafiyah
Pentingnya mengikuti pemahaman para salafus shalih

Rekaman audionya tersedia di:

atau 

baca selanjutnya “Dialog Santai Seputar Manhaj Salaf”

Selasa, 15 April 2025

Fase Bekerja Nabi Muhammad ﷺ

Sirah Nabi bag. 17 : 



 : حياة العمل
معلوم أن النبي ﷺ ولد يتيماً، ونشأ في كفالة جده ثم عمه، ولم يرث عن أبيه شيئاً يغنيه. فلما بلغ سناً يمكن العمل فيه عادة، رعى الغنم مع إخوته من الرضاعة في بني سعد. ولما رجع إلى مكة رعاها لأهلها على قُراريط، والقراريط جزءٌ يسير من الدنانير؛ نصف العُشر أو عشر العُشر منه. فقُدِّر في هذا الزمان عشرة ريالات تقريباً.
ورعي الغنم من سنن الأنبياء في أوائل حياتهم، فقد قال ﷺ مرةً بعد أن أكرمه الله بالنبوة: "ما من نبيٍ إلا ورعاها."
ولما شبَّ ﷺ وبلغ الفتوة، فكأنه كان يتجر، فقد ورد أنه كان يتجر مع السائب بن أبي السائب، فكان خير شريكٍ له، لا يجاريه ولا يماري.
وعُرف ﷺ في معاملته بغاية الأمانة، والصدق، والعفاف، وكان هذا هدياً له في جميع مجالات الحياة حتى لُقِّب بالأمين.
 

Fase Bekerja Nabi Muhammad ﷺ :

Telah diketahui bahwa Nabi Muhammad ﷺ dilahirkan dalam kondisi yatim. Beliau tumbuh dalam asuhan kakeknya, kemudian berpindah ke pangkuan pamannya. Nabi tidak mendapatkan warisan yang banyak dari ayahnya.
Ketika menginjak usia kerja, beliau mulai menggembala kambing bersama saudara-saudara sesusuan di perkampungan Bani Sa'ad. Setelah kembali ke Mekah, beliau menggembala kambing milik penduduk Mekah dengan imbalan beberapa qirath. Qirath adalah mata uang pecahan kecil dari dinar, sekitar seperdua puluh dinar atau bahkan lebih kecil. Jika disesuaikan dengan nilai sekarang, kira-kira setara dengan sepuluh riyal.
Menggembala kambing merupakan kebiasaan para nabi di masa muda mereka. Nabi ﷺ pernah bersabda setelah Allah memuliakan beliau dengan kenabian:
"Tidak seorang pun dari para nabi, kecuali mereka pernah menggembala kambing."

Ketika beliau beranjak remaja dan memasuki usia pemuda, beliau memulai aktivitas berdagang. Dikisahkan bahwa beliau pernah berdagang bersama as-Saib bin Abi as-Saib. Nabi merupakan rekan dagang terbaik baginya—tidak pernah menipu dan tidak pernah berselisih.

Nabi Muhammad ﷺ dikenal sangat amanah dalam bermuamalah, jujur, serta menjaga kehormatan dirinya. Beliau menjadi teladan dalam segala aspek kehidupan, hingga penduduk Mekah pun menjulukinya dengan gelar "al-Amîn" (yang terpercaya).


Sumber : Raudhatul Anwar hal. 14  (Karya Syaikh Shofiyyur Rahman Al-Mubarakfuri)

baca selanjutnya “Fase Bekerja Nabi Muhammad ﷺ”

Mencukur Rambut Bayi Perempuan



السائل : أثابك الله يقول : هل من السنة حلق شعر الأمة في السابعة كالذكر أم الحلق خاص للذكر فقط ؟

الشيخ : لا نجد في السنة ما يستثني الجارية ولا نقول الأمة لأن الأمة خاصة بغير الحرة والمقصود الجارية البنت ، لا نجد ما يفرق بين الجارية وبين الغلام فيما يتعلق بحلق الرأس في اليوم السابع ، أقول هذا وإن كان ليس هناك حديث صريح بأن الجارية كالغلام لكننا نأخذ ذلك من عموم قوله عليه الصلاة والسلام : ( إنما النساء شقائق الرجال ) فإذا لم يأت حكم خاص بالنساء ألحقن بالرجال في هذا الحديث وإن كان في بعض الأحكام ينفصلن فيها عن الرجال لكن هذا لا بد له من نص يدل على خصوصية المرأة بذلك الحكم والأمر هنا ليس كذلك فنقول حين ذلك يحلق شعر الجارية كما يحلق شعر الغلام في اليوم السابع، نعم .

السائل : جزاك الله خيراً.


Sunnah Mencukur Rambut, Berlaku Juga untuk Bayi Perempuan*


_Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani رحمه الله_


*Penanya:*

Semoga Allah memberimu pahala. Ia bertanya: Apakah termasuk sunnah mencukur rambut anak perempuan pada hari ketujuh seperti halnya anak laki-laki, ataukah mencukur hanya khusus untuk anak laki-laki saja?


*Asy-Syaikh:*

Kami tidak menemukan dalam sunnah sesuatu yang mengecualikan anak perempuan (الجارية). Dan kami tidak mengatakan "al-amah" (الأمة), karena kata "al-amah" khusus untuk budak wanita, sedangkan yang dimaksud di sini adalah anak perempuan (الجارية البنت).


*Kami tidak menemukan adanya perbedaan antara anak perempuan dan anak laki-laki dalam hal mencukur rambut di hari ketujuh.* Saya katakan demikian meskipun tidak ada hadits yang secara tegas menyatakan bahwa anak perempuan seperti anak laki-laki, namun kami mengambil hal itu dari keumuman sabda Nabi ﷺ: _“Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki”_ *(إنما النساء شقائق الرجال).*


Jika tidak ada hukum khusus bagi perempuan, maka mereka disamakan dengan laki-laki berdasarkan hadits ini. Meskipun memang ada beberapa hukum yang membedakan antara perempuan dan laki-laki, namun hal itu harus berdasarkan nash (dalil) yang menunjukkan kekhususan hukum bagi perempuan. Dalam masalah ini, tidak terdapat kekhususan tersebut.


*Oleh karena itu, kita katakan: rambut anak perempuan dicukur sebagaimana rambut anak laki-laki dicukur pada hari ketujuh. _Na'am_.*


*Penanya:* _Jazakallahu khairan_ (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan).


Sumber : https://youtu.be/mu3LGAXypM8?feature=shared


baca selanjutnya “Mencukur Rambut Bayi Perempuan”

Perjanjian Fudhul

 Sirah Nabi bag. 16 :




حلف الفضول:

وفي شهر ذي القعدة على إثر هذه الحرب تم حلف الفضول بين خمسة بطون من قبيلة قريش وهم: بنو هاشم، وبنو المطلب، وبنو أسد، وبنو زهرة، وبنو تيم.

وسببـه أن رجلاً من زبيد جاء بـسلعة إلى مكة فاشتراها منه العاص بن وائل السهمي، وحبس عنه حقه، فاستعدى عليه بني عبد الدار، وبني مخزوم، وبني جمح، وبني سهم، وبني عدي، فلم يكترثوا له، فعلا جبل أبي قبيس، وذكر ظلماته في أبيات، و نادى من يعينه على حقه، فمشى في ذلك الزبير بن عبد المطلب حتى اجتمع مع الذين مضى ذكرهم في دار عبد الله بن جدعان رئيس بني تيم، وتحالفوا وتعاهدوا على أن لا يجدوا بمكة مظلوماً من أهلها أو من غيرهم إلا قاموا معه حتى تُرد عليه مظلمته، ثم قاموا إلى العاص بن وائل السهمي، فانتزعوا منه حق الزبيدي، ودفعوه إليه.

وقد حضر رسول الله ﷺ هذا الحلف مع أعمامه، وقال بعد أن شرفه الله بالرسالة:
«لقد شهدت في دار عبد الله بن جدعان حلفاً ما أحب أن لي به حمر النعم، ولو أُدعى به في الإسلام لأجبت».

Perjanjian Al-Fudhul :

Pada bulan Dzulqa'dah, setelah perang Fijar, terjadi perjanjian Al-Fudhul antara lima kabilah arab : Bani Hasyim, Bani Al-Muthalib, Bani Asad, Bani Zahrah, Bani Taim.

Sebab perjanjian ini, datang seorang dari Zubaid membawa dagangan ke Mekah, Al-Ash bin Wail bin As-Sahmi membelinya. Tetapi tidak membayar. Maka ia meminta tolong kepada bani Abdul al-Dar, bani Makhzum, bani Jumah, bani Sahm, dan bani Adi, Namun mereka tidak mempedulikannya.
Lalu ia naik ke bukit Abu Qubais, menyuarakan kedzoliman yang dialaminya dalam bait-bait syair.
Menyeru siapakah yang bisa menolongnya untuk mendapatkan haknya. Lewatlah Zubair bin Muthalib, lalu mengumpul suku-suku yang tersebut diatas, di rumah Abdulloh bin Jud'an pemimpin bani Taim. Mereka sepakat dan berjanji jika ada orang terdzolimi baik peduduk Mekah atau pendatang maka mereka akan membelanya. Lalu mereka mendatangi al-Ash bin Wail as-Sahmi, meminta hak orang Zubaidi, akhirnya dibayar.

Rosulullah disertai paman-pamannya ikut hadir dalam perjanjian tersebut. Setelah masa keislaman Nabi bersabda : 《 Aku menyaksikan perjanjian Fudhul di rumah Abdullah bin Jud'an, perjanjian itu lebih aku sukai dibandingkan onta merah, kalau sekarang aku diajak dalam perjanjian serupa pasti aku akan ikut》.

Sumber : Raudhatul Anwar hal. 13-14

baca selanjutnya “Perjanjian Fudhul”

Senin, 14 April 2025

Hikmah di Balik Ujian dan Cobaan

Hikmah di Balik Ujian dan Cobaan

(Transkrip khutbah jumat)


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


KHUTBATUL HAJAH (MUKADIMAH) :


إِنَّ الْـحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ، وَنَسْتَعِينُهُ، وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.


Segala puji bagi Allah. Kita memohon ampun kepada-Nya dari keburukan amal perbuatan kita. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada beliau, keluarganya, dan para sahabatnya.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ


Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, dan janganlah kalian meninggal dunia kecuali dalam keadaan Muslim.


يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا


Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa (Adam), dan dari jiwa itu Allah menciptakan pasangannya (Hawa), dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kalian saling meminta, dan peliharalah hubungan silaturahim. Sungguh, Allah senantiasa mengawasi kalian.



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۚ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki amal perbuatan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah mendapatkan kemenangan yang besar.

Amma ba’du,



أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.

ISI KHUTBAH :

Ibadallah, kaum Muslimin jamaah Jum’at rahimakumullah,

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya, sehingga kita dimudahkan kembali untuk melaksanakan ibadah yang mulia ini, yaitu shalat Jum’at berjamaah.

Sebagai seorang Muslim, kita wajib menghadiri shalat Jum’at. Dan tentunya, seorang Muslim yang baik tidak hanya menjadikan ibadah sebagai rutinitas biasa. Namun, dia berusaha mengambil manfaat dari setiap amalnya. Terlebih lagi ini adalah ibadah.

Sudah semestinya kita mengambil pelajaran dari khutbah Jum’at, lalu mengamalkannya jika sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Kaum Muslimin yang dirahmati Allah,

Ketahuilah bahwa hidup di dunia ini pasti akan diiringi dengan ujian dan cobaan. Setiap orang, terlebih lagi orang yang beriman, pasti akan diuji oleh Allah.

Siapa saja yang mengucapkan syahadat ‘Lā ilāha illallāh’ dan mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tentu tidak akan dibiarkan begitu saja tanpa diuji.

Allah berfirman dalam surat Al-‘Ankabūt ayat 1–3:

الم * أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ * وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

Artinya:
"Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, 'Kami telah beriman', dan mereka tidak diuji? Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka pasti Allah mengetahui orang-orang yang benar dan pasti Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. Al-Ankabut: 1–3)


Ujian itu menimpa seluruh manusia, tidak terkecuali. Bukan hanya orang biasa yang penuh dosa, tapi bahkan para Nabi pun diuji oleh Allah. Bahkan ujian yang menimpa para Nabi adalah ujian yang paling berat.

Sebagaimana diceritakan bahwa Sa’ad bin Abī Waqqās radhiyallāhu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?”

Beliau menjawab:

أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ

“Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang terbaik setelah mereka, kemudian yang berikutnya.”

Kemudian Rasulullah bersabda:

يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صَلَابَةٌ، زِيدَ فِي بَلَائِهِ

“Seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika dalam agamanya ada keteguhan, maka ujiannya akan ditambah.”


Sesungguhnya ujian itu terasa semakin berat, bahkan menimpa para nabi. Maka jika iman seseorang lemah, saat melihat musibah seperti ini, ia akan merasa sangat tertekan. Padahal, ujian yang datang akan sesuai dengan kadar keimanan seseorang.

Ketika kita mengetahui bahwa para nabi pun mendapatkan ujian dan cobaan, semoga pengetahuan itu menjadikan kita lebih ringan dalam menghadapi ujian hidup. Musibah yang kita alami terasa lebih ringan dibandingkan dengan apa yang dihadapi oleh para nabi.

Saat seseorang merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling berat ujiannya, maka ingatlah: semua orang mendapatkan ujian. Bahkan, ujian yang paling berat adalah ujian para nabi.

Tentang ujian dan cobaan, penting untuk diketahui bahwa ketika kita mendengar kata "ujian", yang pertama kali muncul dalam pikiran adalah musibah: kemiskinan, kebakaran, kekurangan harta, dan semisalnya. Padahal, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan bahwa ujian tidak hanya berupa kemiskinan atau musibah, tetapi juga bisa berupa kekayaan dan kesenangan.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anbiya:

وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
"Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami kalian akan dikembalikan."
(QS. Al-Anbiya: 35)

Jadi bentuk ujian bukan hanya berupa kekurangan harta atau bencana, tetapi juga berupa kenikmatan: harta, jabatan, anak, bahkan pernikahan – semuanya adalah ujian dari Allah.

Para ulama bahkan menyebutkan bahwa ujian berupa kenikmatan dan kekayaan lebih berat dibandingkan ujian kemiskinan. Karena, biasanya ketika seseorang diuji dengan kekurangan, ia justru semakin dekat kepada Allah. Misalnya saat musibah banjir datang, orang akan segera mengingat Allah.

Namun ketika seseorang diberi amanah berupa harta, kekuasaan, dan jabatan, justru banyak dari kita yang semakin lupa kepada Allah.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun bersabda bahwa yang paling beliau khawatirkan bukanlah kemiskinan umatnya, tetapi kelapangan dunia. Beliau bersabda:

مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ، كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
"Bukanlah kemiskinan yang aku takutkan atas kalian. Namun aku khawatir dunia akan dibukakan untuk kalian sebagaimana telah dibukakan untuk umat-umat sebelum kalian. Lalu kalian berlomba-lomba (mendapatkannya) sebagaimana mereka telah berlomba-lomba, dan akhirnya dunia membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, ketika kita mendapatkan kelebihan harta, anak, jabatan, itu semua adalah ujian dan amanah. Bisakah kita mengemban amanah tersebut? Bisakah nikmat itu menjadi sebab kita makin dekat kepada Allah?

Ukuran kebaikan bukan pada kaya atau miskin. Kita tidak bisa mengatakan bahwa orang miskin tidak dicintai Allah, atau orang kaya pasti dicintai-Nya. Bukan itu ukurannya. Ukurannya adalah bagaimana seseorang menyikapi kekayaan dan kemiskinan tersebut.

Kalau kekayaan adalah ukuran kebaikan dari Allah, tentu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang paling kaya. Tapi kenyataannya, kehidupan beliau sangat sederhana.

Kalau kemiskinan adalah tanda kebencian Allah, maka Fir'aun seharusnya adalah orang yang paling miskin. Padahal ia sangat durhaka kepada Allah, tapi justru memiliki kekayaan melimpah. Maka jelas, kaya atau miskin bukanlah ukuran utama, melainkan bagaimana seseorang menyikapi takdir tersebut.

KHUTBAH KE DUA :

Hadirin yang dirahmati Allah,

Di negeri kita tercinta, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mentakdirkan kaum muslimin, khususnya di Indonesia, untuk diuji dengan berbagai musibah. Baik berupa pandemi yang melanda seluruh dunia, maupun musibah banjir dan bencana alam yang terjadi di berbagai tempat akhir-akhir ini.

Sebagai orang beriman, kita tidak hanya memandang musibah sebagai penderitaan semata. Kita harus mampu mengambil hikmah di balik setiap ujian yang Allah turunkan kepada kita.

Para ulama menyebutkan banyak sekali hikmah dan rahasia yang tersembunyi di balik musibah yang menimpa kaum muslimin. Namun dalam kesempatan yang terbatas ini, kita akan menyebutkan satu hikmah utama: bahwa hakikat dari musibah adalah peringatan (teguran) dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Mengapa? Karena ada di antara kita yang mulai lalai terhadap Allah. Maka Allah menegur hamba-hamba-Nya dengan musibah agar mereka kembali sadar dan mengingat-Nya. Jangan sampai kita hidup dalam kenikmatan dunia tanpa pernah mendapatkan teguran, lalu akhirnya lalai dan terlena. Tetapi jika Allah menegur, justru itu adalah rahmat, karena kita masih diberi kesempatan untuk sadar dan kembali sebelum datang penyesalan yang tiada guna.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia..."
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (bertaubat)."
(QS. Ar-Rum: 41)

Maka ketika kita mendengar musibah terjadi di berbagai tempat, janganlah kita memperkeruh keadaan. Jangan terburu-buru menyalahkan satu pihak, apalagi pemerintah. Ingatlah bahwa ini adalah tanggung jawab kita bersama.

Tugas kita adalah membantu mereka yang tertimpa musibah, baik dengan harta, tenaga, doa, maupun dukungan moral. Dan yang paling penting, masing-masing dari kita harus kembali kepada Allah dengan memperbanyak istighfar dan taubat.

Selagi musibah itu belum menimpa kita secara langsung, mari kita ambil pelajaran dari yang lain. Jangan sampai suatu hari kita justru menjadi contoh yang diambil pelajaran oleh orang lain karena kelalaian kita sendiri.

Semoga dengan musibah yang terjadi ini, kita semakin dekat kepada Allah, semakin sadar akan kelemahan kita, dan semakin giat dalam memperbaiki diri dan masyarakat kita.



Kita semua perlu memperbanyak istighfar, memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kita masih diberi kesempatan hidup, diberi waktu untuk memperbaiki diri, dan mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa orang lain.

Jangan sampai kita baru sadar setelah musibah menimpa diri kita sendiri—ketika kita sudah tiada, lalu orang lain yang mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut.

Maka, manfaatkanlah kesempatan ini sebaik-baiknya. Semoga musibah yang terjadi membuat kita semakin dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jangan saling menyalahkan, karena pada hakikatnya kita semua memiliki andil, baik secara langsung—seperti karena kelalaian kita membuang sampah sembarangan—maupun secara tidak langsung karena dosa-dosa kita.

Dosa-dosa itu berpengaruh, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap masyarakat sekitar.

Terkadang kita lupa, saat sedang bekerja lalu di jalan kendaraan kita mogok, atau saat sampai di kantor lalu mendapat teguran dari atasan, kita hanya berpikir "kenapa tadi tidak mengecek kendaraan?" Itu memang benar, tapi kita lupa untuk introspeksi diri—dosa apa yang kita lakukan tadi pagi? Dosa apa yang kita perbuat malam sebelumnya?

Jangan hanya ketika ada banjir besar kita menyalahkan pemerintah. Tapi ketika musibah kecil terjadi pada diri sendiri, kita malah lupa untuk mengevaluasi dosa kita sendiri. Maka hendaknya kita semua mengambil pelajaran (ibrah) dari setiap kejadian, sekecil apapun itu. Jadikan setiap peristiwa sebagai jalan untuk semakin mendekat kepada Allah.

Jika ujian yang datang justru membuat kita semakin sadar, semakin ingat kepada Allah, semakin mendekat kepada-Nya, maka itu adalah kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
"Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin, semua urusannya adalah kebaikan. Dan itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang mukmin. Jika mendapatkan kebahagiaan, dia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ditimpa musibah, dia bersabar, maka itu juga baik baginya."
(HR. Muslim)

Kita juga tidak boleh lupa untuk mendoakan saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Semoga Allah meringankan beban mereka, mengangkat musibah dari negeri kita, dan memberi kita semua kekuatan serta kesabaran dalam menghadapi ujian.

Doa:

اللَّهُمَّ أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا، وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا
"Ya Allah, limpahkan kepada kami kesabaran, dan teguhkanlah kaki-kaki kami."

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
"Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta lindungilah kami dari siksa neraka."
(QS. Al-Baqarah: 201)

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ



(Khutbah Jumat, 26 Februari 2021)


baca selanjutnya “Hikmah di Balik Ujian dan Cobaan”