Sabtu, 30 Juli 2011

NASEHAT UNTUK ORGANISASI MUHAMMADIYYAH

Penulis: Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Yahya

Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepada umat Islam assunnah dan isnad. Dan yang telah meninggikan derajat ulama hadits di setiap zaman dan tempat. Dan yang telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kita dengan sambungan riwayat. Dan yang telah membaguskan dan membuat indah wajah-wajah para muhaddits dan para periwayat. Yaitu orang-orang yang berjalan dan mengajak manusia untuk menempuh jalan yang penuh petunjuk lagi selamat.Kami memohon perlindungan dan ampunan kepada Allah dari kejelekan perbuatan jiwa dan dosa-dosa yang berkarat. Barangsiapa yang diberi petunjuk-Nya, niscaya tidak ada yang bisa membuatnya sesat.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan keharibaan Muhammad bin Abdillah shalallahu ‘alaihi wasallam yang diutus untuk menghapus seluruh syariat. Kemudian mengemban syariat Islam yang mulia dan terhormat. Dan yang dijadikan sebagai penutup para Nabi sampai hari kiamat. Dan semoga shalawat dan salam dilimpahkan pula kepada keluarga, para Sahabat dan pengikutnya sampai datangnya yaumut-tanad.

Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Allah Al Ahad Ash-Shamad. Dan saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diikuti selain Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.

Amma ba’du :

Sesungguhnya agama ini adalah wahyu dari Allah azza wa jalla. Dan didapat dengan cara talaqqi dan isnad. Bukan dengan otodidak dan kreatifitas. Barangsiapa menyangkanya demikian, maka dia telah menjauhkan dirinya dari petunjuk sejauh-jauhnya.

Adalah Nabi shalallahu ‘alihi wasallam telah membacakan Al Qur’an kepada para Sahabat radhiyallahu ‘anhum, lalu mereka membacanya dihadapan Nabi. shalallahu ‘alihi wasallam. Dan para Shahabat membacakannya kepada para Tabi’in, lalu mereka membacanya dihadapan para Shahabat dan seterusnya. Demikianlah silsilah agama ini. Para Ulama dari dulu hingga sekarang telah menjalaninya sebagai standar baku untuk mendapatkan ilmu agama.

Demikian pula ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi shalallahu ‘alihi wasallam adalah bagian dari wahyu dan ilham. Orang-orang yang adil, shalih dan terpercaya sebelum kita telah menukilnya dan menyampaikannya kepada kita tanpa bias sedikitpun, baik pengurangan atau penambahan maupun kerancuan atau kesamaran. Bahkan dengan sangat jelas dan gamblang.

Hanya para pembaca kitab-kitab hadits dan mereka yang duduk bersimpuh untuk belajar dan mengambil faidah dari para Ulama yang mengetahui tingginya kedudukan As-Sunnah dan ilmu periwayatan yang disertai usaha maksimal untuk mendapatkan validitas dan kemurnian redaksi dan isnadnya.

Al Imam Abdullah bin Mubarak berkata :

الإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ. وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ.

Artinya: isnad adalah bagian dari agama. Dan jika tanpa isnad, niscaya siapapun bebas berbicara seenaknya (tentang agama ini). Muqaddimah Shahih Muslim

Pembaca yang budiman, terdapat berita sebagai berikut

Muhammadiyah: Teropong Digital Bisa Atasi Awan

Imam Wahyudiyanta - detikcom

Surabaya - Penggunaan teropong canggih untuk melihat hilal dinilai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Prof Syafiq Mughni sah-sah saja. Namun, Rukyat tidak bisa hanya ditentukan dengan melihat hilal baik menggunakan mata telanjang maupun teropong digital.


Penentuan hilal dengan mata telanjang dilakukan karena belum berkembangnya ilmu pengetahuan. “Itu dulu waktu jaman Nabi Muhammad melihat dengan mata telanjang,” ujar Mughni saat dihubungi detiksurabaya.com, Kamis (6/9/2007)

Seiring berkembangnya waktu, kata Mughni, ilmu hisab (perhitungan) dan falak (perbintangan) semakin maju dan berkembang. Nah, dengan bertambah akuratnya kedua ilmu itulah penentuan hari awal puasa bisa ditetapkan.

Namun, kata Mughni, sah-sah saja jika menggunakan alat teknologi canggih. Sebab melihat bulan dengan mata telanjang belum bisa menjamin penentuan rukyat. “Bisa saja awan menghalangi pandangan mata terhadap bulan,” katanya. (iwd/mar)

Pembaca yang budiman, mari kita bandingkan pernyataan ini dengan keterangan dan penjelasan berikut :

Saya berkata dengan mengharap taufiq dari Allah :

حَدَّثَنِيْ شَيْخُنَا الوَالِد الشَّيْخُ المُحَدِّثُ الحَافِظُ المُعَمَّرُ الفَقِيْهُ أَحْمَدُ بنُ يَحْيَى بنِ مُحَمَّد شَبِيْر النَّجْمِيُّ آل شَبِيْر الأَثَرِيُّ –حفظه الله -

عَنْ مُحَمَّد خَيْرِ الحَجِّيِّ عَنْ أَمَةِ اللهِ الدَّهْلَوِيَّةِ عَنْ أَبِيْهاَ عَبْدِ الغَنِيِّ الدَّهْلَوِيِّ المَدَنِيِّ عَنْ مُحَمَّد عَابِدِ السِّنْدِيِّ,

(ح) وَعَنْ مُحَمَّدِ بنِ عَبدِ الرَّحْمَنِ بنِ إِسْحَاقَ آلُ الشَّيْخِ عَن سَعْدِ بنِ حَمَدِ بنِ عَتِيْقٍ عَنْ صَدِّيْق حَسَن خَان القَنُوْجِيِّ عَن عَبْدِ الحَقِّ بنِ فَضْلِ اللهِ العُثْمَانِيِّ,

كِلاَهُمَا عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مُحَمَّدِ بنِ إِسْمَاعِيلَ الأَمِيرِ عَنْ أَبِيْهِ مُحَمَّدِ بنِ إِسْمَاعِيلَ الأَمِيْرِ الصَّنْعَانِيِّ عَنْ عَبدِ اللهِ بنِ سَالِمِ البَصْرِيِّ المَكِّيِّ عَن إِبْرَاهِيْمَ الكَوْرَانِيِّ عَنْ سُلْطَانِ المُزَاحِيِّ عَن النُّوْرِ الزِّيَادِيِّ عَن الشَّمْسِ مُحَمَّدِ الرَّمْلِيِّ عَن زَكَرِيَّا الأَنْصَارِيِّ عَنِ العِزِّ بنِ الفُرَاتِ عَن عُمَرَ ابنِ أميلة عَنِ ابنِ البُخَارِيِّ عَنِ الإِمَامِ الحَافِظِ أَبِي مُحَمَّدٍ عَبدِ الغَنِيِّ بنِ عَبدِ الوَاحِدِ المَقْدِسِيِّ-رحمه الله- صَاحِبِ عُمْدَةِ الأَحْكَامِ, أَنَّهُ قَالَ :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : ((إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْـدُرُوْا لَهُ)).

Telah menyampaikan kepada saya Syaikhuna As-Syaikh Al Muhaddits Al Hafizh Al Faqih Mufti Kerajaan Saudi Arabia Bagian Selatan, Ahmad bin Yahya bin Muhammad Syabir An-Najmi Alu Syabir Al Atsari Hafizhahullah dengan sanad yang bersambung sampai kepada Al Imam Al Hafizh Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al Maqdisi rahimahullah, beliau berkata dalam kitabnya Umdatul Ahkam :

Dari Abdullah bin Umar Radhiyalahu ‘anhuma, beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda :

“Apabila kalian melihatnya, maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya, maka berbukalah. Jika penglihatan kalian terhalang, maka sempurnakanlah 30 hari.”

Syaikhuna Ahmad An-Najmi hafizhahullah berkata :

Tema Hadits:

Yang mewajibkan puasa Ramadhan dan yang mewajibkan berbuka darinya serta hukumnya saat terjadi kesamaran.

Kosa Kata:

(إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ) : Kata ganti hu kembali kepada hilal. Dan wawu al jama’ah terarah kepada seluruh kaum muslimin.

(فَصُوْمُوْا) : Kalimat ini sebagai jawab syarth wa jaza dari kata idza. Dan yang serupa dengan kalimat ini adalah sabda Nabi: (وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا)

(فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ) : Yaitu jika penglihatan kalian terhalang oleh debu yang pekat atau mendung.

(فَاقْـدُرُوْا لَهُ) : Yaitu sempurnakanlah 30 hari.

Makna Umum :

Nabi memerintahkan umatnya untuk berpuasa dan berbuka berdasarkan ru’yatul hilal. Perintah ini terarah kepada seluruh kaum muslimin. Apabila salah seorang muslim melihatnya, maka seluruh kaum muslimin wajib berpuasa. Dan apabila dua orang atau lebih melihatnya saat keluarnya bulan Ramadhan dan masuknya bulan Syawal, maka seluruh kaum muslimin wajib berbuka dan berhari raya Idul Fitri, sebagaimana petunjuk yang terdapat pada dalil-dalil yang ada.

Fikih Hadits :

1. Dipahami darinya tentang penentuan hukumnya dengan rukyat. Dan maksud dari rukyat adalah penglihatan mata telanjang setiap individu umat ini. Oleh sebab itu terdapat hadits dari Nabi bahwa beliau bersabda :

((إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ, الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا …ألخ)) (1).

Artinya: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak bisa menulis dan berhitung. Satu bulan demikian dan demikian…dst”.

Sabda Nabi (إِنَّا أُمَّّةٌ أُمِّيًّةٌ) menunjukkan pengingkaran terhadap penyebutan sebagian orang untuk bersandar kepada perhitungan bintang-bintang dan kedudukannya serta yang semisal dengannya.

2. Dipahami dari sabda Nabi (إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ) bahwa standarnya adalah penglihatan mata telanjang. Bukan bersandar pada penggunaan teropong bintang dan teropong digital serta teknologi canggih apapun. Perintah ini terarah kepada seluruh umat. Apa yang dikenal pada zaman tersebut sebagai cara untuk melihat hilal, maka itulah standar hukum syar’inya.

3. Dipahami dari sabda Nabi (فَصُوْمُوْا) yang merupakan jawaban dari syarat sebelumnya, bahwa rukyat dengan mata telanjanglah yang mewajibkan untuk berpuasa.

Para Ulama’ berbeda pendapat tentang persaksian yang mewajibkan puasa.

Terdapat hadits dari Abdullah bin Abbas radhiyalahu ‘anhuma beliau berkata :

جَاءَ أَعْراَبِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الهِلاَلَ. قَالَ : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ؟ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : يَا بِلاَلُ, أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُوْمُوْا غَداً. (2)

Artinya: Seorang Arab Badui datang kepada Nabi, kemudian berkata: “Sesungguhnya saya telah melihat hilal.”

Nabi bertanya: “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Allah? Apakah anda bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia menjawab: “Ya”.

Nabi bersabda: “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia agar berpuasa besok”.

Terdapat juga hadits bahwa keluarnya bulan harus dipersaksikan oleh dua orang (3).

Sedangkan standar saksi untuk masuknya bulan Ramadhan atau masuknya bulan Syawal adalah cukuplah dia sebagai seorang muslim.

4. Sabda Nabi, (وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا) yaitu apabila kalian melihat bulan Syawal, maka berbukalah. Dipahami darinya bahwa rukyat atau menyempurnakan bilangan bulan 30 hari adalah standar untuk berbuka.

5. Terdapat perbedaan dalam memahami sabda Nabi (صُوْمُوْا) dan (أَفْطِرُوْا) yang menunjukkan bahwa perintah tersebut terarah kepada seluruh umat. Apakah rukyat satu orang cukup untuk seluruhnya atau masing-masing kaum dengan rukyat mereka sendiri-sendiri.

Oleh sebab itu para Ulama berbeda pendapat: Apakah rukyat satu orang berlaku untuk seluruh kaum muslimin atau tidak berlaku kecuali kepada penduduk negerinya dan negara sekitarnya ?

Diantara para Ulama ada yang berpendapat bahwa rukyat satu orang berlaku untuk seluruh kaum muslimin. Mereka berdalil bahwa manusia di zaman Nabi dan Khulafa Ar-Rasyidin tidak mengenal rukyat setiap kaum berlaku bagi mereka sendiri. Bahkan yang tampak bahwa rukyat satu orang berlaku untuk seluruh kaum muslimin.

Saya berkata: Terdapat catatan pada pendapat ini.

Pertama: Bahwa tidak adanya penukilan tidak menunjukkan tidak terjadinya suatu kejadian. Manusia pada zaman tersebut berkomunikasi dengan alat komunikasi yang kuno. Sarana komunikasi seperti ini menjadikan penduduk setiap negeri terputus hubungan dengan negeri lainnya. Maka masing-masing negeri dengan rukyatnya untuk berpuasa dan berbuka.

Diantara buktinya adalah kisah Kuraib ketika tampak bulan kepadanya di Damaskus. Kemudian ketika sampai di Madinah pada akhir bulan, dia mengabarkan bahwa manusia melihat hilal pada malam jum’at. Maka Ibnu Abbas menjawab :

أَمَّا نَحْنُ فَقَدْ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ, فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتَّى نَرَاهُ أَوْ نُكْمِلَ العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ.(4)

Artinya: “Sedangkan kami melihatnya pada malam sabtu. Maka kami akan terus berpuasa sampai kami melihatnya atau menyempurnakan bilangan 30 hari.”

Dengan hadits ini jelaslah bahwa rukyat tidak berlaku kepada mereka seluruhnya.

Kedua: Pada saat itu tidak terdapat sarana komunikasi yang dapat menyampaikan berita kepada seluruh manusia ketika hilal terlihat.

Oleh sebab itu kami katakan: Sesungguhnya pendapat terkuat bahwa manusia pada zaman itu berpegang dengan rukyat masing-masing negerinya atau menyempurnakan bilangan bulan untuk berpuasa dan berbuka.

Dan yang tampak dengan jelas menurut saya pada masalah ini dan pada zaman ini adalah: Bahwa setiap negeri berbeda rukyatnya berdasarkan perbedaan tempat keluarnya hilal. Oleh sebab itu, apabila hilal terlihat penduduk timur bumi, kelazimannya akan berlaku bagi penduduk barat bumi.

Contohnya: Jika hilal terlihat di Pakistan, maka negara-negara setelahnya yang waktu tenggelam mataharinya belakangan, diwajibkan berpegang dengan rukyat tersebut. Sebab jika matahari telah mendahului bulan di Pakistan, maka pasti lebih jauh matahari mendahului bulan pada negara-negara setelahnya.

Demikian pula jika hilal terlihat di Saudi Arabia misalnya, maka negara-negara setelahnya wajib berpuasa dan tidak wajib bagi negara-negara sebelumnya.

Praktisnya sebagai contoh, jika hilal terlihat di Saudi Arabia, maka wajib bagi Sudan, Mesir dan setelahnya dari negara-negara di Afrika dan Eropa yang waktu tenggelamnya matahari belakangan setelah Saudi Arabia untuk berpuasa. Dan tidak wajib bagi negara-negara sebelumnya seperti Pakistan, Afghanistan, Irak, dan semisalnya.

Sebab telah dimaklumi bahwa semakin ke barat, maka waktu tenggelamnya matahari pada negara bagian barat bumi semakin terbelakang daripada negara bagian timur. Ini adalah perkara jelas yang tidak diperdebatkan dan nyata keberadaannya. Demikianlah kesimpulan pada masalah ini. Wabillahit-taufiq. Selesai

Demikianlah, saya memohon kepada Allah untuk memberikan tambahan ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan ikhlash dalam berkata dan berbuat. Dan semoga penjelasan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.

Al Faqir ila ‘afwi Rabbihi

Abu Abdillah Muhammad Yahya()

17 Ramadhan 1428 H/30 September 2007 M

Desa Nijamiyah-Kab. Shamithah-Prop. Jazan

Kerajaan Saudi Arabia



( 1 ) Al Bukhari dalam Kitab Ash-Shaum Bab Qaul An-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ) no 1913, Muslim dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (وُجُوْبُ صَوْمِ رَمَضَانَ لِرُئْيَةِ الهِلاَلِ وَالفِطْرِ لِرُئْيَةِ الهِلاَلِ) no 1080, An-Nasa ’ I dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (فِي كَم الشَّهْر) no 2140 dan Abu Daudِا dalam Kitab Ash-Shiyam no 2319 Bab (الشَّهْرُ يَكُوْنُ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ).


( 2 ) At-Tirmidzi dalam Kitab Ash-Shaum Bab (مَا جَاءَ فِي الصَّوْمِ بِاالشَّهَادَةِ) no 691, An-Nasa ’ I dalam Kitab Ash- Shiyam Bab (قَبُوْلُ شَهَادَتِ الرَّجُلِ الوَاحِدِ عَلَى هِلاَلِ شَهْرِ رَمَضَانَ) no 2112 dan 2113, Abu Daud dalam Kitab Ash-Shaum Bab (شَهَادَةُ الوَاحِدِ عَلَى رُئْيَةِ هِلاَلِ رَمَضَانَ) no 2340, Ibnu Majah dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (مَا جَاءَ فِي الشَّهَادَةِ عَلَى رُئْيَةِ الهِلاَلِ) no 1652 dan Ad-Darimi dalam Kitab Ash-Shaum Bab (الشَّهَادَةُ عَلَى رُؤْيَتِ هِلاَلِ رَمَضَانَ) no 1692. Al Albani mendha ’ ifkan hadits ini.

( 3 ) Terdapat beberapa hadits dalam masalah ini. Diantaranya adalah :

1. Dari Rib ’ I bin Hirasy dari salah seorang Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , dia berkata :
( اخْتِلَفَ النَّاسُ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ, فَقَدِمَ أَعْرَابِيَانِ فَشَهِدَا عِنْدَ النَّبِيِّ 3 بِاللهِ لأَهَلاَّ الهِلاَل أَمْسِ عَشِيَّةً, فَأَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ 3 النَّاسَ أَنْ يُّفْطِرُؤْا) رواه أحمد وأبو داود و زاد (وَأَنْ يَغْدُ وْا إِلَى مُصَلاَّهُمْ) رقم 2339.

“ Manusia berbeda pendapat tentang hari terakhir bulan Ramadhan. Kemudian dua orang Arab Badui maju dan bersaksi dengan bersumpah atas nama Allah dihadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa keduanya telah melihat hilal kemarin petang. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan manusia untuk berbuka ” . HR Ahmad dan Abu Daud. Abu Daud menambahkan : “ Dan untuk berangkat ke tanah lapang pada pagi hari ” . No 2339.

2. Dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khaththab, bahwa dia berkhuthbah di hari yang diragukan :
(أَلاَ إِنِّي جَالَسْتُ أَصْحَابَ رَسُوْلِ الله 3 وَسَاءَلْتُهُمْ, وَإِنَّهُمْ حَدَّثُوْنِي أَنَّ رَسُوْلَ الله 3 قَالَ : صُوْ مُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوْا لَهَا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوْا ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ مُسْلِمَانِ فَصُوْمُوْا وَأَفْطِرُوْا).
“ Ketahuilah bahwa saya telah bermajlis dengan para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan bertanya kepada mereka. Sesungguhnya mereka menyampaikan kepada saya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“ Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya dan berkurbanlah kalian karena melihatnya. Jika penglihatan kalian terhalang, maka sempurnakanlah 30 hari. Jika dua orang muslim bersaksi, maka berpuasa dan berbukalah ” . HR Ahmad dalam Musnad Al Kufiyin dan An-Nasa ’ I dalam Ash-Shiyam Bab (قَبُوْلُ شَهَادَةِ الرَّجُلِ الوَاحِدِ عَلَى هِلاَلِ شَهْرِ رَمَضَانَ) no 1997. Dan tidak tersebut didalamnya : (مُسْلِمَانِ).

3. Dari Amir Makkah Al Harits bin Hathib, dia berkata :
(عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُوْلُ 3 أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَ بِشَهَادَتِهِمَا)
“ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengamanatkan kepada kami untuk berkurban karena melihat hilal. Jika kami tidak melihatnya sementara ada dua orang yang adil bersaksi melihatnya, maka kami berkurban karena persaksian keduanya ” . HR Abu Daud dalam Ash-Shiyam no 2338 dan Ad-Daraquthni, dan dia berkata : “ Isnadnya bersambung ” . Al Albani Rahimahullah menshahihkan ketiga hadits diatas.

( 4 ) HR Muslim dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (بَيَانُ أَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ) no 1087, An-Nasa ’ I dalam Kitab Ash- Shiyam Bab (اخْتِلاَفُ أَهْلِ الآفَاقِ فِي الرُّؤْيَةِ) no 2111, At-Tirmidzi dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (مَا جَاءَ لِكُلِّ أَهْلِ بَلَدٍ رُؤْيَتُهُمْ) no 693 dan Abu Daud dalam Kitab Ash-Shiyam Bab (إِذَا رُئِيَ الهِلاَلُ فِي بَلَدٍ قَبْلَ الآ خَرِيْنَ بِلَيْلَةٍ) no 2332.

( 5 ) Pada tanggal 8 Ramadhan 1428 H, saya berkunjung ke rumah mantan guru besar fakultas As-Sunnah Universitas Islam Madinah, yang mulia Prof. Dr. Syaikh Rabi ’ bin Hadi Al Madkhali -Hafizhahullah- di Makkah Al Mukarramah. Beliau berkata kepada saya : “ Jika engkau ganti namamu -Muhammad Cahyo- dengan Muhammad Yahya, maka itu lebih baik. Sebab Yahya adalah nama Nabi ” . Dan hal ini disepakati oleh Syaikhuna Ahmad An-Najmi -Hafizhahullah-.

Sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=923

0 komentar:

Posting Komentar