Sabtu, 23 Juli 2011

Mendulang Pahala dengan Tawassul

hand-pray


Oleh :Abu Yusuf Abdurrahman
Allah telah menjadikan begitu banyak jalan untuk beribadah. Mulai dari bangun tidur, hingga tidur lagi, bahkan tidur itu sendiri bisa kita niatkan sebagai ibadah. Ini adalah kemudahan dari Allah kepada para hamba-Nya. Berdoa adalah salah satu di antara ibadah-ibadah yang agung. Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan, “Doa, itulah ibadah [yang paling besar].”[H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah].
Banyak dari kaum muslimin melakukan tawassul di dalam doanya. Padahal, kebanyakan dari muslimin tidak mengetahui tata cara ber-tawassul yang syar’i. Di lain pihak, tawassul bisa menjadi sesuatu yang terlarang. Bahkan, bisa jadi tawassul ini menjadi sumber kesyirikan jika diletakkan di tempat yang tidak benar. Marilah kita kaji mana tawassul yang boleh kita amalkan dan mana yang tidak. Supaya, kita bisa beramal di atas ilmu sehingga ibadah kita ini dikabulkan oleh Allah, bukan justru merupakan sebab adzab dari Allah ta’ala.
Mengenal Tawassul
Secara bahasa, tawassul (mencari wasilah) maknanya adalah mendekatkan kepada yang diinginkannya serta mencari jalan yang bisa menyampaikan kepadanya dengan disertai kecintaan terhadap hal tersebut. Karena, ‘wasala’ maknanya adalah mencintai dan mencari. Dari pengertian ini, terkadang yang dimaksud dengan ‘wasil’ adalah orang yang mencintai Allah dan mendekatkan diri kepadanya dengan beramal.
Sedangkan di dalam Al-Qur`an istilah ‘mencari wasilah’ terdapat di dalam ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan carilah wasilah kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, semoga kalian beruntung.” [Q.S. Al-Maidah:35]. Dan juga dalam ayat:
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
“Yang mereka seru, juga mencari wasilah kepada Rabb mereka, manakah di antara mereka yang lebih dekat…” [Q.S. Al-Isra:57]. Ayat yang kedua ini merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang berdoa kepada orang-orang shalih, di mana orang-orang shalih ini ternyata mendekatkan diri juga kepada Allah.
Poinnya, di dalam dua ayat ini Allah l menjadikan tanda orang shalih adalah ber-tawassul. Pertanyaannya, apakah makna tawassul ini? Apakah ini maknanya adalah menjadikan orang-orang shalih sebagai perantara dalam berdoa sebagaimana dipahami oleh sebagian kaum muslimin? Marilah kita simak tafsiran para ulama.
  1. Qatadah mengatakan, “Dekatkanlah dirimu kepada-Nya dengan menaati-Nya dan beramal yang membuat-Nya ridha.”
  2. Ibnu Zaid mengatakan, “[Makna wasilah di sini adalah] kecintaan. Cintailah Allah.”
  3. ‘Atha` mengatakan, “[Wasilah maknanya adalah] mendekatkan diri.”
  4. Abu Wa`il mengatakan, “mendekatkan diri di dalam beramal.”
Nah, inilah makna “mencari wasilah” di dalam ayat tersebut: beramal untuk mencari ridha Allah. Maknanya bukan ber-tawassul dengan nama Nabi, berdoa kepadanya, dan menjadikan jah (kedudukan) beliau sebagai wasilah.
Selain itu, ada makna tawassul lain yang kita dapati dalam ucapan para sahabat. Umar bin Al-Khaththab z mengatakan, “Ya Allah, dahulu jika kami kekeringan, kami ber-tawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami ber-tawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan.” [H.R. Ath-Thabarani].
Apa makna dari tawassul ini? Maksudnya adalah meminta didoakan olehnya. Dengan catatan, orang yang dimintai doa masih hidup, mampu mendoakan, dan tidak menggantungkan diri kepadanya. Hal ini disimpulkan karena para sahabat tidak pernah meminta didoakan oleh Nabi saat beliau tidak ada. Justru, ketika para sahabat memiliki hajat, mereka mendatangi Rasulullah ` dan meminta didoakan oleh beliau. Mereka juga tidak meminta kepada beliau saat beliau sudah meninggal. Hal inilah yang menunjukkan syarat-syarat tawassul yang telah kita sebutkan di muka.
Mendulang Pahala Dengan Tawassul
Sebagaimana telah kami singgung di muka, tawassul ada yang disyariatkan ada juga yang haram.
Tawassul yang disepakati kebolehannya ada tiga, yaitu:
  1. Ber-tawassul dengan Asma`ul Husna, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Allah l berfirman yang artinya, “Dan Allah memiliki Asma`ul Husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan Asma`ul Husna tersebut…” [Q.S. Al-A’raf:180].
Rasulullah ` pernah mengajarkan doa:
مَا أَصَابَ أَحَداً قَطُّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّى عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِى بِيَدِكَ مَاضٍ فِىَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِىَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِى وَنُورَ صَدْرِى وَجَلاَءَ حُزْنِى وَذَهَابَ هَمِّى. إِلاَّ أَذْهَبَ اللَّهُ هَمَّهُ وَحُزْنَهُ وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَجاً
“Tidaklah seseorang ditimpa kegalauan dan kesedihan lalu berdoa, “Ya Allah, saya adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu laki-laki dan perempuan. Ubun-ubunku berada di Tangan-Mu. Hukum-Mu berlaku padaku. Qadha`-Mu adil padaku. Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki, Engkau menamai Diri-Mu Sendiri, Engkau ajarkan kepada salah seorang makhluk-Mu, Engkau turunkan di dalam kitab suci-Mu, atau Engkau ketahui sendiri di dalam ilmu gaib-Mu, jadikanlah Al-Qur`an sebagai pencerah kalbuku, cahaya dadaku, pengusir kesedihanku, dan penghilang galauku.” Kecuali pasti Allah akan menghilangkan kegalauan dan kesedihannya lalu menggantikannya dengan kelapangan.” [H.R. Ahmad, dari Ibnu Mas’ud z, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t].
  1. Ber-tawassul dengan amal shalih yang pernah dia lakukan. Yakni, dia menyebutkan di dalam doanya amalan shalih yang pernah dia lakukan. Di dalam suatu hadits Rasulullah ` pernah menceritakan tentang tiga orang yang terjebak di dalam gua. Mereka masuk ke dalam gua lalu pintu gua tertutup batu yang longsor. Mereka pun berdoa dan ber-tawassul dengan menyebutkan amalan shalih mereka. Akhirnya, batu pun bergeser dan mereka bisa keluar dari gua tersebut. [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
  2. Ber-tawassul dengan meminta didoakan orang yang shalih. Kami telah menyebutkan di depan kisah Umar bin Al-Khaththab yang meminta ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, paman Nabi, untuk mendoakan agar turun hujan. Diambil dari sini, diperbolehkan ber-tawassul dengan meminta didoakan orang yang shalih. Akan tetapi, ada beberapa catatan mengenai hal ini. Beberapa catatan itu adalah:
  1. Yang dimintai doa masih hidup. Tidak boleh meminta doa kepada orang yang sudah mati. Karena, orang yang sudah mati tidak bisa mendengar. Allah l berfirman:
فَإِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ
“Engkau tidak bisa memperdengarkan orang yang mati dan tidak memperdengarkan orang yang tuli dengan seruan, jika mereka berpaling ke belakang.” [Q.S. Ar-Rum:52].
  1. Yang dimintai doa mampu untuk mendoakannya. Maka, tidak boleh meminta doa dari orang yang tidak berakal, orang yang sudah mati, dan sejenisnya.
  2. Yang dimintai doa hadir di dekatnya atau bisa berkomunikasi dengan yang meminta doa.
  3. Tidak menyebabkan ketergantungan hati terhadap yang dimintai doa.
  4. Tidak meyakini bahwa orang yang dimintai doa memiliki kemampuan untuk mengatur alam.
Tawassul Yang Berbahaya
Doa adalah ibadah dan ibadah tidak boleh diberikan kecuali untuk Allah semata. Sebagian orang berdoa kepada selain Allah dengan persangkaan bahwa dia sedang ber-tawassul dengan orang shalih. Mereka mendatangi kuburan-kuburan orang shalih tersebut, berdoa di samping kuburannya, menyembelih untuknya, dan mengharapkan bahwa orang shalih tersebut berkenan untuk mengabulkan doanya. Dalih mereka, mereka hanya menginginkan agar orang shalih tersebut menyampaikan hajat mereka kepada Allah (syafa’at). Realitanya, orang-orang musyrik zaman Rasulullah ` pun banyak yang berdalih dengan hal ini. Allah l telah menghikayatkan salah satu argumen mereka:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللهِ
“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak memberi mereka mudharat dan manfaat. Mereka mengatakan, ‘Mereka ini adalah pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah.’” [Q.S. Yunus:18]. Bagaimanapun, amalan ini merupakan hal yang tidak diperbolehkan di dalam agama Islam, meskipun diberi nama yang mengesankan baiknya hal tersebut. Karena, hakekat hal ini adalah kesyirikan. Orang-orang musyrik dahulu juga menyembah orang-orang shalih dengan berdoa meminta kepadanya. Sebagai contoh, Latta, berhala agung kaum musyrikin, dahulunya adalah orang shalih yang sering memberi makan jama’ah haji. Orang-orang musyrik berkumpul di sekitar kuburnya dan meminta syafa’atnya.
Sebagian orang ber-tawassul dengan cara menyebut-nyebut jah (kedudukan), hak, dan kehormatan orang shalih dalam doanya. Padahal, cara ini adalah cara yang sama sekali tidak pernah diajarkan di dalam Al-Qur`an ataupun hadits. Sebagian ulama pun mengingkari hal ini dan tidak menyukainya.
Az-Zubaidi mengatakan di dalam Syarhul Ihya`, “Abu Hanifah dan kedua pengikut beliau tidak menyukai seseorang mengatakan, ‘Dengan hak Fulan, dengan hak Nabi-Nabi-Mu, dengan hak para Rasul-Mu, dengan hak Baitul Haram, dengan hak Masy’aril Haram,’ dan yang semisal itu karena tidak ada seorang pun yang berhak atas Allah.”
Kesimpulan
Tawassul dalam berdoa adalah sesuatu yang disyariatkan dalam agama Islam. Doa yang mengandung makna tawassul ini telah Allah perintahkan dan contohkan di dalam Al-Qur`an serta Rasulullah ` sabdakan di dalam hadits-hadits shahih. Akan tetapi, tawassul ini tidak secara mutlak diperbolehkan. Beberapa jenis tawassul justru merupakan praktek dari kaum musyrikin.
Maka dari itu, hendaknya seorang muslim berhati-hati dalam ber-tawassul. Lebih umum, hendaknya berhati-hati dalam melakukan ibadah. Seyogianya kita berjalan di atas koridor syariat dalam ibadah kita. Agar kita mendapatkan pahala yang kita idamkan, bukan justru terjerumus dalam kubangan dosa dan kesyirikan. Semoga Allah agar memberi petunjuk dalam ibadah kita. Amin. Allahu a’lam bish shawab.
Mutiara Hikmah
Timbangan Mutlak: Al-Qur`an dan Sunnah
Imam Asy-Syafi’i t berkata, “Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang di udara, janganlah kalian tertipu dengannya, hingga kalian mencocokkan dirinya dengan Al-Qur`an dan Sunnah.”
Hadits Palsu
توسلوا بجاهي فإن جاهي عند الله عظيم
bertawassullah dengan jah-ku karena jah-ku di sisi Allah agung.
Hadits ini dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani: Tidak memiliki asal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hadits ini adalah kebohongan. Tidak tercantum di dalam kitab-kitab kaum muslimin yang dijadikan sandaran oleh para ahli hadits.”
sumber : http://tashfiyah.net/?p=11

0 komentar:

Posting Komentar