'HILAL'
Penulis: Abu Muawiah
Penentuan Awal Waktu Berpuasa
Puasa ramadhan dimulai dengan masuknya bulan ramadhan. Karenanya untuk menentukan awal waktu berpuasa maka kita harus mengetahui kapan masuknya bulan ramadhan.
Para ulama bersepakat bahwa bulan dalam Islam hanya 29 atau 30 hari, dan mereka juga bersepakat bahwa dalam penentuan bulan-bulan hijriah hanya digunakan salah satu dari dua cara: Rukyat (melihat) hilal bulan berikutnya atau menggenapkan bulan sebelumnya menjadi 30 hari jika hilal tidak terlihat. Sehingga bulan ramadhan bisa kita tentukan dengan: Rukyat hilal ramadhan atau menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari jika hilal ramadhan tidak terlihat. Demikian pula penentuan idul fithr: Dengan rukyat hilal syawal atau menggenapkan ramadhan menjadi 30 hari jika hilal syawal tidak terlihat.
Apa itu hilal?
Dia adalah bulan sabit kecil yang muncul setelah matahari terbenam di akhir tanggal 29 tiap bulannya. Munculnya sesaat setelah itu menghilang kembali.
Sehingga dalam penentuan masuknya ramadhan, maka pada tanggal 29 sya’ban menjelang magrib, kita pergi ke tempat-tempat yang memungkinkan hilal terlihat dari situ . Ketika matahari terbenam maka dilihat: Jika hilalnya terlihat, artinya besok sudah 1 ramadhan, jika tidak terlihat -baik karena tertutupi awan atau karena hujan- maka berarti bulan ramadhan tahun itu jumlahnya 30 hari dan secara otomatis lusa sudah masuk 1 syawal, karena telah dijelaskan bahwa bulan dalam Islam maksimal 30 hari. Demikian pula yang kita lakukan dalam penentuan bulan syawal atau hari idul fithr.
Semua ini berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ
“Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya (hilal syawal) maka berbukalah. Jika hilal terhalangi dari kalian maka hitunglah dia.” HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080)
Dalam riwayat Muslim:
فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ
“Kalau awan menghalangi kalian melihatnya maka hitunglah dia menjadi 30.”
Dalam riwayat Al-Bukhari:
الشَّهْرُ تَسْعَةٌ وَعِشْرُوْنَ, فَلاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ. فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Bulan itu 29 malam, karenanya janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika dia terhalangi dari kalian maka sempurnakanlah jumlahnya menjadi 30.” (HR. Al-Bukhari no. 1907)
Dari Aisyah beliau berkata, “Adalah Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- berjaga-jaga pada (akhir) sya’ban tidak sebagaimana beliau berjaga-jaga pada bulan lainnya. Kemudian beliau mulai berpuasa karena melihat hilal, dan jika awan menghalangi beliau dari melihatnya maka beliau menghitung (menggenapkan sya’ban) 30 hari kemudian baru berpuasa.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang shahih)
Faidah:
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Adapun menggunakan alat yang bernama dirbil -yaitu teropong pembesar dalam melihat hilal- maka itu tidak mengapa, hanya saja bukan merupakan kewajiban, karena lahiriah hadits menunjukkan hanya bersandar pada pandangan normal (tanpa bantuan alat, pent.), bukan dengan selainnya.” Fatawa Ramadhan (1/62)
[Subulus Salam Syarh Bulughul Maram: 1/161-162 dan Ithaf Al-Anam hal. 11]
Jika Ada Sebuah Negeri Yang Melihat Hilal (Ramadhan/Syawal), Apakah Wajib Atas Negeri Lainnya Untuk Mengikutinya (Berpuasa/Berbuka)?
Tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari bahwa setiap negeri mempunyai hilal tersendiri, karena hal itu adalah kenyataan dan juga sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Kuraib yang akan datang. Hanya saja yang mereka perselisihkan adalah, jika sudah ada sebuah negeri yang lebih dahulu melihat hilal lantas dia mereka mengabarkannya ke negeri-negeri lain, apakah semua negeri tersebut harus mengikutinya ataukah mereka menunggu hilal di negeri mereka masing-masing?
Ada beberapa pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini, di antaranya:
1. Wajib atas seluruh negeri lainnya untuk mengikutinya. Ini adalah pendapat Al-Hanafiah, Al-Malikiah, Asy-Syafi’i dan sebagian Asy-Syafi’iyah, dan yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad, juga merupakan mazhab Al-Laits bin Sa’ad. Ini yang dikuatkan oleh banyak ulama di antaranya: Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa, Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ibnu Baz.
Mereka berdalil dengan ayat 185 dari surah Al-Baqarah, “Maka barangsiapa di antara kalian yang melihatnya (hilal ramadhan) maka hendaknya dia berpuasa.” Dan juga hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal ramadhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal syawal).” (HR. Al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081) Dan juga hadits Ibnu Umar yang telah berlalu.
Mereka mengatakan bahwa perintah dalam hadits ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin tanpa ada pengkhususan pada daerah tertentu. Sama seperti ketika diperintah shalat maka perintahnya berlaku umum untuk seluruh kaum muslimin di berbagai negeri, tidak terkhusus pada kaum muslimin di tempat tertentu. Lihat ucapan Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (4/194)
Mereka juga mengatakan bahwa pendapat ini lebih menyatukan kaum muslimin dan menampakkan syiar Islam di berbagai negeri tatkala secara serentak mereka semua berpuasa, dan itu memberikan pengaruh tersendiri kepada musuh-musuh Islam.
2. Yang wajib mengikutinya hanyalah negeri yang semathla’ (tempat terbitnya matahari) dengan negeri yang melihatnya. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’iyah, sebagian Al-Malikiah dan Al-Hanafiah, dan salah satu pendapat Ahmad. Ini adalah pilihan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid dan Ibnu Taimiah dalam Al-Ikhtiyarat, serta yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Mereka juga berdalil dengan dalil yang sama dengan pendapat pertama, hanya saja mereka mengatakan perintah pada dalil-dalil tersebut ditujukan kepada negeri-negeri yang semathla’ dengannya.
3. Setiap negeri tidak wajib mengikutinya, tapi mereka menunggu hilal di negeri mereka masing-masing. Ibnu Al-Mundzir menukil pendapat ini dari Ikrimah, Al-Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdillah bin Umar, dan Ishaq bin Rahawaih.
Mereka berdalilkan dengan kisah Abu Kuraib yang diutus oleh Ibnu Abbas yang berada di Madinah untuk menuju Syam. Dia diutus pada bulan sya’ban kemudian kembali ke Madinah di akhir bulan ramadhan. Lalu Ibnu Abbas bertanya kepadanya, “Kapan kalian melihat hilal (ramadhan)?” dia menjawab, “Kami melihatnya pada malam jumat,” Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam sabtu. Maka kami akan tetap berpuasa sampai 30 hari atau kami melihatnya (hilal syawal).” Maka Kuraib berkata, “Kenapa kamu tidak mencukupkan dengan (baca: mengikuti) rukyat dan puasanya Muawiah (Amirul Mukminin yang ketika itu berdiam di Syam)?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, demikianlah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- perintahkan kepada kami.” (HR. Muslim no. 1078)
4. Setiap negeri mengikuti pemimpinnya, kalau dia berpuasa maka mereka juga ikut berpuasa, dan kalau tidak maka mereka tidak boleh berpuasa. Demikian pula halnya dalam idul fithr. Kalau umat Islam mempunyai khalifah lantas dia menetapkan berpuasa maka wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikutinya.
Mereka berdalil dengan hadits:
الصَّوْمُ يَوْمَ يَصُوْمُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
“Waktu berpuasa adalah hari ketika semua orang berpuasa dan hari berbuka adalah hari ketika semua orang berbuka.” (HR. At-Tirmizi no. 697 dari Abu Hurairah)
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/311), “Yang diamalkan oleh manusia pada umumnya di zaman ini adalah pendapat ini, yaitu jika pemerintah sudah menetapkan maka wajib atas seluruh rakyat yang berada di bawah wilayahnya untuk mengikutinya dalam hal berpuasa dan berbuka (lebaran).”
Tarjih:
Pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang pertama.
Adapun pendapat yang kedua maka kita katakan bahwa perbedaan mathla’ adalah perkara yang tidak bisa ditetapkan dengan batasan dan ukuran tertentu. Apa yang menjadi batasan dalam menggolongkan sebuah negeri ikut ke mathla’ ini dan yang lainnya tidak?! Karenanya Syaikh Al-Albani berkata dalam Tamamul Minnah, “Mathla-mathla’ adalah perkara nisbi, dia tidak mempunyai batasan nyata yang dengannya manusia bisa mengetahuinya dengan jelas.”
Adapun dalil pendapat ketiga maka itu hanyalah ijtihad dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- semata dan beliau tidak membawakan dalil dari Nabi. Adapun ucapannya, “Tidak, demikianlah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- perintahkan kepada kami,” maka yang dimaksudkan dengannya adalah hadits Ibnu Umar dan Abu Hurairah tentang perintah berpuasa dan berbuka karena melihat hilal. Demikian yang diterangkan oleh Ibnu Taimiah, Ibnu Daqiqil Id, Asy-Syaukani, dan selainnya.
Adapun pendapat yang keempat, maka dalil mereka itu berlaku bagi orang yang berpuasa dengan rukyat negerinya, kemudian di tengah ramadhan datang kabar bahwa hilal di negeri lain terlihat sehari atau dua hari sebelum negerinya. Maka dalam keadaan seperti itu hendaknya dia melanjutkan puasanya bersama penduduk negerinya hingga 30 hari atau mereka melihat hilal. Jawaban semisal ini disebutkan oleh Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam
Catatan:
Walaupun pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, akan tetapi yang berpendapat dengannya hendaknya tidak menampakkan penyelisihannya terhadap pemerintah, guna menjaga persatuan kaum muslimin, sebagaimana yang akan ditengkan setelah ini.
[Asy-Syarhul Mumti’: 6/308-312, Ithaful Anam hal. 13-16 dan Shahih Fiqhus Sunnah: 2/95-96]
Orang Yang Melihat Hilal Sendirian, Apa Yang Wajib Dia Lakukan?
Misalnya dia melapor ke pemerintah bahwa dia melihat hilal akan tetapi pemerintah tidak menerima persaksiannya. Kalau yang dia lihat adalah hilal ramadhan maka ada dua pendapat di kalangan ulama:
1. Wajib atasnya berpuasa walaupun dia sendirian. Ini adalah mazhab Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ash-Shan’ani dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Mereka berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang memerintahkan berpuasa bagi orang yang melihat hilal, sementara orang ini telah melihatnya.
2. Dia harus ikut kepada orang-orang di negerinya. Ini adalah pendapat Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin dan salah satu riwayat dari Ahmad. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Al-Albani. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah riwayat At-Tirmizi di atas.
Yang kuat adalah pendapat mayoritas ulama. Adapun dalil pendapat kedua dijawab bahwa hadits itu berlaku bagi orang yang tidak mengetahui adanya hilal yang berbeda dengan hilal negerinya atau dia belum yakin akan munculnya hilal, sebagaimana telah diterangkan di atas.
Adapun kalau yang dia lihat adalah hilal syawal, maka juga ada dua pendapat di kalangan ulama:
1. Dia tetap berbuka akan tetapi tidak terang-terangan untuk menjaga persatuan dan jangan sampai disangka dia tidak mau taat kepada pemerintah. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari Ahmad, dan yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm. Adapun masalah shalat, maka hendaknya dia shalat bersama pemerintah di negerinya. Mereka berdalilkan dengan keumuman perintah berbuka ketika melihat hilal syawal.
2. Dia tidak boleh berbuka dan harus tetap berpuasa bersama penduduk negerinya. Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat At-Tirmizi di atas.
Yang kuat adalah pendapat pertama. Jawaban atas dalil pendapat kedua telah disebutkan di atas.
[Ithaful Anam hal. 21-22 dan Shahih Fiqhus Sunnah: 2/92-93]
Jika Dia Mendapat Kabar Dari Orang Lain Bahwa Hilal Sudah Nampak.
Sekelompok ulama Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyatakan bahwa dia tetap wajib untuk berpuasa walaupun pemerintah tidak menerima persaksian orang itu, selama orang yang mengabarinya adalah jujur, walaupun dia sendirian.
Adapun pada hilal syawal, maka dipersyaratkan saksi atau yang mengabarinya harus minimal dua orang. Ini adalah pendapat Malik, Al-Laits, Al-Auzai, Ats-Tsauri, salah satu dari dua pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ibnu Al-Mubarak dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
[Ithaful Anam hal. 19-21 dan Shahih Fiqhus Sunnah: 2/91-92]
Orang Yang Terlambat Mendapatkan Kabar Tentang Adanya Hilal
Jika hilalnya ramadhan, yang kuat dalam masaah ini adalah pendapat yang menyatakan hendaknya dia langsung berpuasa walaupun dia telah makan sebelumnya, dan itu sudah syah baginya, tidak perlu diqadha`. Ini adalah pendapat Umar bin Abdil Aziz, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiah dan yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah.
Mereka berdalilkan kisah ketika diwajibkannya puasa asyura yang ketika itu Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- umumkan di pagi hari dimana beliau bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa maka hendaknya dia melanjutkan puasanya, dan barangsiapa yang telah berbuka (makan sebelumnya) maka hendaknya dia menyempurnakan berpuasa pada sisa harinya.” (HR. Muslim dari Salamah bin Al-Akwa’)
Jika hilalnya syawal, maka Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/161) menukil ijma’ ulama akan wajibnya mereka berbuka ketika itu juga dan langsung mengerjakan shalat id jika kabarnya diterima sebelum tergelincirnya matahari. Adapun jika kabarnya diterima setelah matahari tergelincir maka yang kuat adalah bahwa shalat id dikerjakan keesokan paginya karena para ulama bersepakat bahwa shalat id tidak boleh dikerjakan setelah tergelincirnya matahari. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri dan yang dikuatkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah.
[Ithaful Anam hal. 24-27]
Sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1545
Penulis: Abu Muawiah
Penentuan Awal Waktu Berpuasa
Puasa ramadhan dimulai dengan masuknya bulan ramadhan. Karenanya untuk menentukan awal waktu berpuasa maka kita harus mengetahui kapan masuknya bulan ramadhan.
Para ulama bersepakat bahwa bulan dalam Islam hanya 29 atau 30 hari, dan mereka juga bersepakat bahwa dalam penentuan bulan-bulan hijriah hanya digunakan salah satu dari dua cara: Rukyat (melihat) hilal bulan berikutnya atau menggenapkan bulan sebelumnya menjadi 30 hari jika hilal tidak terlihat. Sehingga bulan ramadhan bisa kita tentukan dengan: Rukyat hilal ramadhan atau menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari jika hilal ramadhan tidak terlihat. Demikian pula penentuan idul fithr: Dengan rukyat hilal syawal atau menggenapkan ramadhan menjadi 30 hari jika hilal syawal tidak terlihat.
Apa itu hilal?
Dia adalah bulan sabit kecil yang muncul setelah matahari terbenam di akhir tanggal 29 tiap bulannya. Munculnya sesaat setelah itu menghilang kembali.
Sehingga dalam penentuan masuknya ramadhan, maka pada tanggal 29 sya’ban menjelang magrib, kita pergi ke tempat-tempat yang memungkinkan hilal terlihat dari situ . Ketika matahari terbenam maka dilihat: Jika hilalnya terlihat, artinya besok sudah 1 ramadhan, jika tidak terlihat -baik karena tertutupi awan atau karena hujan- maka berarti bulan ramadhan tahun itu jumlahnya 30 hari dan secara otomatis lusa sudah masuk 1 syawal, karena telah dijelaskan bahwa bulan dalam Islam maksimal 30 hari. Demikian pula yang kita lakukan dalam penentuan bulan syawal atau hari idul fithr.
Semua ini berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ
“Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya (hilal syawal) maka berbukalah. Jika hilal terhalangi dari kalian maka hitunglah dia.” HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080)
Dalam riwayat Muslim:
فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ
“Kalau awan menghalangi kalian melihatnya maka hitunglah dia menjadi 30.”
Dalam riwayat Al-Bukhari:
الشَّهْرُ تَسْعَةٌ وَعِشْرُوْنَ, فَلاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ. فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Bulan itu 29 malam, karenanya janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika dia terhalangi dari kalian maka sempurnakanlah jumlahnya menjadi 30.” (HR. Al-Bukhari no. 1907)
Dari Aisyah beliau berkata, “Adalah Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- berjaga-jaga pada (akhir) sya’ban tidak sebagaimana beliau berjaga-jaga pada bulan lainnya. Kemudian beliau mulai berpuasa karena melihat hilal, dan jika awan menghalangi beliau dari melihatnya maka beliau menghitung (menggenapkan sya’ban) 30 hari kemudian baru berpuasa.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang shahih)
Faidah:
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Adapun menggunakan alat yang bernama dirbil -yaitu teropong pembesar dalam melihat hilal- maka itu tidak mengapa, hanya saja bukan merupakan kewajiban, karena lahiriah hadits menunjukkan hanya bersandar pada pandangan normal (tanpa bantuan alat, pent.), bukan dengan selainnya.” Fatawa Ramadhan (1/62)
[Subulus Salam Syarh Bulughul Maram: 1/161-162 dan Ithaf Al-Anam hal. 11]
Jika Ada Sebuah Negeri Yang Melihat Hilal (Ramadhan/Syawal), Apakah Wajib Atas Negeri Lainnya Untuk Mengikutinya (Berpuasa/Berbuka)?
Tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari bahwa setiap negeri mempunyai hilal tersendiri, karena hal itu adalah kenyataan dan juga sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Kuraib yang akan datang. Hanya saja yang mereka perselisihkan adalah, jika sudah ada sebuah negeri yang lebih dahulu melihat hilal lantas dia mereka mengabarkannya ke negeri-negeri lain, apakah semua negeri tersebut harus mengikutinya ataukah mereka menunggu hilal di negeri mereka masing-masing?
Ada beberapa pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini, di antaranya:
1. Wajib atas seluruh negeri lainnya untuk mengikutinya. Ini adalah pendapat Al-Hanafiah, Al-Malikiah, Asy-Syafi’i dan sebagian Asy-Syafi’iyah, dan yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad, juga merupakan mazhab Al-Laits bin Sa’ad. Ini yang dikuatkan oleh banyak ulama di antaranya: Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa, Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ibnu Baz.
Mereka berdalil dengan ayat 185 dari surah Al-Baqarah, “Maka barangsiapa di antara kalian yang melihatnya (hilal ramadhan) maka hendaknya dia berpuasa.” Dan juga hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal ramadhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal syawal).” (HR. Al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081) Dan juga hadits Ibnu Umar yang telah berlalu.
Mereka mengatakan bahwa perintah dalam hadits ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin tanpa ada pengkhususan pada daerah tertentu. Sama seperti ketika diperintah shalat maka perintahnya berlaku umum untuk seluruh kaum muslimin di berbagai negeri, tidak terkhusus pada kaum muslimin di tempat tertentu. Lihat ucapan Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (4/194)
Mereka juga mengatakan bahwa pendapat ini lebih menyatukan kaum muslimin dan menampakkan syiar Islam di berbagai negeri tatkala secara serentak mereka semua berpuasa, dan itu memberikan pengaruh tersendiri kepada musuh-musuh Islam.
2. Yang wajib mengikutinya hanyalah negeri yang semathla’ (tempat terbitnya matahari) dengan negeri yang melihatnya. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’iyah, sebagian Al-Malikiah dan Al-Hanafiah, dan salah satu pendapat Ahmad. Ini adalah pilihan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid dan Ibnu Taimiah dalam Al-Ikhtiyarat, serta yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Mereka juga berdalil dengan dalil yang sama dengan pendapat pertama, hanya saja mereka mengatakan perintah pada dalil-dalil tersebut ditujukan kepada negeri-negeri yang semathla’ dengannya.
3. Setiap negeri tidak wajib mengikutinya, tapi mereka menunggu hilal di negeri mereka masing-masing. Ibnu Al-Mundzir menukil pendapat ini dari Ikrimah, Al-Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdillah bin Umar, dan Ishaq bin Rahawaih.
Mereka berdalilkan dengan kisah Abu Kuraib yang diutus oleh Ibnu Abbas yang berada di Madinah untuk menuju Syam. Dia diutus pada bulan sya’ban kemudian kembali ke Madinah di akhir bulan ramadhan. Lalu Ibnu Abbas bertanya kepadanya, “Kapan kalian melihat hilal (ramadhan)?” dia menjawab, “Kami melihatnya pada malam jumat,” Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam sabtu. Maka kami akan tetap berpuasa sampai 30 hari atau kami melihatnya (hilal syawal).” Maka Kuraib berkata, “Kenapa kamu tidak mencukupkan dengan (baca: mengikuti) rukyat dan puasanya Muawiah (Amirul Mukminin yang ketika itu berdiam di Syam)?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, demikianlah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- perintahkan kepada kami.” (HR. Muslim no. 1078)
4. Setiap negeri mengikuti pemimpinnya, kalau dia berpuasa maka mereka juga ikut berpuasa, dan kalau tidak maka mereka tidak boleh berpuasa. Demikian pula halnya dalam idul fithr. Kalau umat Islam mempunyai khalifah lantas dia menetapkan berpuasa maka wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikutinya.
Mereka berdalil dengan hadits:
الصَّوْمُ يَوْمَ يَصُوْمُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
“Waktu berpuasa adalah hari ketika semua orang berpuasa dan hari berbuka adalah hari ketika semua orang berbuka.” (HR. At-Tirmizi no. 697 dari Abu Hurairah)
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/311), “Yang diamalkan oleh manusia pada umumnya di zaman ini adalah pendapat ini, yaitu jika pemerintah sudah menetapkan maka wajib atas seluruh rakyat yang berada di bawah wilayahnya untuk mengikutinya dalam hal berpuasa dan berbuka (lebaran).”
Tarjih:
Pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang pertama.
Adapun pendapat yang kedua maka kita katakan bahwa perbedaan mathla’ adalah perkara yang tidak bisa ditetapkan dengan batasan dan ukuran tertentu. Apa yang menjadi batasan dalam menggolongkan sebuah negeri ikut ke mathla’ ini dan yang lainnya tidak?! Karenanya Syaikh Al-Albani berkata dalam Tamamul Minnah, “Mathla-mathla’ adalah perkara nisbi, dia tidak mempunyai batasan nyata yang dengannya manusia bisa mengetahuinya dengan jelas.”
Adapun dalil pendapat ketiga maka itu hanyalah ijtihad dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- semata dan beliau tidak membawakan dalil dari Nabi. Adapun ucapannya, “Tidak, demikianlah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- perintahkan kepada kami,” maka yang dimaksudkan dengannya adalah hadits Ibnu Umar dan Abu Hurairah tentang perintah berpuasa dan berbuka karena melihat hilal. Demikian yang diterangkan oleh Ibnu Taimiah, Ibnu Daqiqil Id, Asy-Syaukani, dan selainnya.
Adapun pendapat yang keempat, maka dalil mereka itu berlaku bagi orang yang berpuasa dengan rukyat negerinya, kemudian di tengah ramadhan datang kabar bahwa hilal di negeri lain terlihat sehari atau dua hari sebelum negerinya. Maka dalam keadaan seperti itu hendaknya dia melanjutkan puasanya bersama penduduk negerinya hingga 30 hari atau mereka melihat hilal. Jawaban semisal ini disebutkan oleh Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam
Catatan:
Walaupun pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, akan tetapi yang berpendapat dengannya hendaknya tidak menampakkan penyelisihannya terhadap pemerintah, guna menjaga persatuan kaum muslimin, sebagaimana yang akan ditengkan setelah ini.
[Asy-Syarhul Mumti’: 6/308-312, Ithaful Anam hal. 13-16 dan Shahih Fiqhus Sunnah: 2/95-96]
Orang Yang Melihat Hilal Sendirian, Apa Yang Wajib Dia Lakukan?
Misalnya dia melapor ke pemerintah bahwa dia melihat hilal akan tetapi pemerintah tidak menerima persaksiannya. Kalau yang dia lihat adalah hilal ramadhan maka ada dua pendapat di kalangan ulama:
1. Wajib atasnya berpuasa walaupun dia sendirian. Ini adalah mazhab Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ash-Shan’ani dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Mereka berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang memerintahkan berpuasa bagi orang yang melihat hilal, sementara orang ini telah melihatnya.
2. Dia harus ikut kepada orang-orang di negerinya. Ini adalah pendapat Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin dan salah satu riwayat dari Ahmad. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Al-Albani. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah riwayat At-Tirmizi di atas.
Yang kuat adalah pendapat mayoritas ulama. Adapun dalil pendapat kedua dijawab bahwa hadits itu berlaku bagi orang yang tidak mengetahui adanya hilal yang berbeda dengan hilal negerinya atau dia belum yakin akan munculnya hilal, sebagaimana telah diterangkan di atas.
Adapun kalau yang dia lihat adalah hilal syawal, maka juga ada dua pendapat di kalangan ulama:
1. Dia tetap berbuka akan tetapi tidak terang-terangan untuk menjaga persatuan dan jangan sampai disangka dia tidak mau taat kepada pemerintah. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari Ahmad, dan yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm. Adapun masalah shalat, maka hendaknya dia shalat bersama pemerintah di negerinya. Mereka berdalilkan dengan keumuman perintah berbuka ketika melihat hilal syawal.
2. Dia tidak boleh berbuka dan harus tetap berpuasa bersama penduduk negerinya. Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat At-Tirmizi di atas.
Yang kuat adalah pendapat pertama. Jawaban atas dalil pendapat kedua telah disebutkan di atas.
[Ithaful Anam hal. 21-22 dan Shahih Fiqhus Sunnah: 2/92-93]
Jika Dia Mendapat Kabar Dari Orang Lain Bahwa Hilal Sudah Nampak.
Sekelompok ulama Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyatakan bahwa dia tetap wajib untuk berpuasa walaupun pemerintah tidak menerima persaksian orang itu, selama orang yang mengabarinya adalah jujur, walaupun dia sendirian.
Adapun pada hilal syawal, maka dipersyaratkan saksi atau yang mengabarinya harus minimal dua orang. Ini adalah pendapat Malik, Al-Laits, Al-Auzai, Ats-Tsauri, salah satu dari dua pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ibnu Al-Mubarak dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
[Ithaful Anam hal. 19-21 dan Shahih Fiqhus Sunnah: 2/91-92]
Orang Yang Terlambat Mendapatkan Kabar Tentang Adanya Hilal
Jika hilalnya ramadhan, yang kuat dalam masaah ini adalah pendapat yang menyatakan hendaknya dia langsung berpuasa walaupun dia telah makan sebelumnya, dan itu sudah syah baginya, tidak perlu diqadha`. Ini adalah pendapat Umar bin Abdil Aziz, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiah dan yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah.
Mereka berdalilkan kisah ketika diwajibkannya puasa asyura yang ketika itu Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- umumkan di pagi hari dimana beliau bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa maka hendaknya dia melanjutkan puasanya, dan barangsiapa yang telah berbuka (makan sebelumnya) maka hendaknya dia menyempurnakan berpuasa pada sisa harinya.” (HR. Muslim dari Salamah bin Al-Akwa’)
Jika hilalnya syawal, maka Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/161) menukil ijma’ ulama akan wajibnya mereka berbuka ketika itu juga dan langsung mengerjakan shalat id jika kabarnya diterima sebelum tergelincirnya matahari. Adapun jika kabarnya diterima setelah matahari tergelincir maka yang kuat adalah bahwa shalat id dikerjakan keesokan paginya karena para ulama bersepakat bahwa shalat id tidak boleh dikerjakan setelah tergelincirnya matahari. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri dan yang dikuatkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah.
[Ithaful Anam hal. 24-27]
Sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1545
0 komentar:
Posting Komentar