Kamis, 27 Oktober 2011

Menyayangi Binatang

Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu'thi, Lc.

Islam merupakan agama yang sempurna, dimana seluruh aspek kehidupan manusia telah diatur sedemikian rapi. Hal ini karena Islam datang membawa kasih sayang dan rahmat bagi alam semesta. Di antara bentuk rahmat agama ini bahwa ia telah sejak dahulu menggariskan kepada pemeluknya agar berbuat baik dan menaruh belas kasihan terhadap binatang. Prinsip ini telah ditancapkan jauh sebelum munculnya organisasi/kelompok pecinta atau penyayang binatang.
Karena menyayangi binatang adalah bagian dari ajaran agama ini, maka sepanjang sejarah umat Islam, mereka menjaga dan menjalankan prinsip ini dengan baik. Namun ada perbedaan yang mendasar sekali antara keumuman kelompok pecinta binatang dengan kaum muslimin dalam menyayangi binatang. Kaum muslimin melakukannya karena sikap patuh terhadap perintah agama dan adanya harapan mendapatkan pahala dari menyayangi binatang serta takut terhadap azab neraka bila sampai menzalimi binatang. Nabi n bersabda:
مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
“Orang yang tidak menyayangi maka tidak disayangi (oleh Allah l).” (HR. Al-Bukhari no. 6013)
Sahabat Abu Hurairah z meriwayatkan bahwa Nabi n bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطْشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطْشِ فَقَالَ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِـي. فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقى فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لَنَـا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟ قَالَ: فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطبَةٍ أَجْرٌ
Ketika tengah berjalan, seorang laki-laki mengalami kehausan yang sangat. Dia turun ke suatu sumur dan meminum darinya. Tatkala ia keluar tiba-tiba ia melihat seeokor anjing yang sedang kehausan sehingga menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah yang basah. Orang itu berkata: “Sungguh anjing ini telah tertimpa (dahaga) seperti yang telah menimpaku.” Ia (turun lagi ke sumur) untuk memenuhi sepatu kulitnya (dengan air) kemudian memegang sepatu itu dengan mulutnya lalu naik dan memberi minum anjing tersebut. Maka Allah l berterima kasih terhadap perbuatannya dan memberikan ampunan kepadanya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasullulah, apakah kita mendapat pahala (bila berbuat baik) pada binatang?” Beliau bersabda: “Pada setiap yang memiliki hati yang basah maka ada pahala. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Lihatlah! Betapa mendalamnya sikap belas kasihan lelaki tersebut, dimana ia harus bersusah payah turun ke dalam sumur, lalu mengisi sepatunya dengan air dan dibawanya dengan mulutnya, sedangkan kedua tangannya digunakan untuk naik sampai memberi minum anjing yang malang tersebut. Coba anda perhatikan hadits ini. Apa yang mendorongnya rela bersusah payah demi memberi minum seekor anjing?! Sesungguhnya pengalaman pahit dan kondisi sulit yang pernah dia alami mendorongnya untuk memberikan pertolongan kepada yang mengalami nasib yang serupa. Oleh karena itu, di antara faedah puasa adalah menumbuhkan sikap suka berderma dan menyantuni orang yang kesulitan. Orang yang berpuasa merasakan beratnya lapar dan dahaga di siang hari, padahal di malam harinya dia makan dan minum. Lalu bagaimana kiranya orang fakir yang setiap harinya kelaparan dan kehausan?! Saudaraku, dari hadits tadi kita jadi tahu bahwa suatu kebaikan sekecil apapun tidak boleh kita remehkan. Karena siapa tahu, satu suapan makanan yang kita berikan kepada orang yang lapar dengan ikhlas atau satu teguk air yang dengannya menjadi basah kerongkongan orang yang kehausan, ternyata diterima di sisi Allah l. Dengan sebab yang ringan ini, kita diberi pahala dan diselamatkan dari siksa dan kemarahan Allah l. Allah l berfirman:
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya." (Al-Zalzalah: 7)
Bila orang yang berbuat baik kepada binatang mendapatkan ampunan dari Allah l, maka sebaliknya orang yang menzalimi binatang akan diancam dengan azab. Nabi n bersabda:
عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ، فَدَخَلَتْ فِيْهَا النَّارَ، لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَسَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ
Seorang wanita disiksa karena kucing yang dikurungnya sampai mati. Dengan sebab itu dia masuk ke neraka, (dimana) dia tidak memberinya makanan dan minuman ketika mengurungnya, dan dia tidak pula melepaskannya sehingga dia bisa memakan serangga yang ada di bumi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abdullah bin Umar c)
Bimbingan Nabi n untuk memerhatikan hak-hak binatang
Tiada satu kebaikan pun kecuali Rasulullah n telah menjelaskan kepada umatnya, sebagaimana tiada kejelekan apapun kecuali umat telah diperingatkan darinya. Kita tahu bahwa Rasulullah n tidaklah diutus kecuali membawa rahmat, sebagaimana firman Allah l:
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiya: 107)
Di antara nama Rasulullah n adalah Nabiyurrahmah, yaitu nabi yang membawa kasih sayang. Rahmat beliau tentu tidak khusus untuk manusia bahkan untuk alam semesta, termasuk binatang.
Hak-hak binatang yang harus diperhatikan
1. Memerhatikan pemberian makanan
Nabi n bersabda:
إِذَا سِرْتُمْ فِي أَرْضٍ خصْبَةٍ فَأَعْطُوا الدَّوَابَّ حَظَّهَا وَإِذَا سِرْتُمْ فَي أَرْضٍ مَجْدَبَةٍ فَانْجُوا عَلَيْهَا
“Bila kamu melakukan perjalanan di tanah subur, maka berilah binatang (tunggangan) itu haknya. Bila kamu melakukan perjalanan di bumi yang tandus maka percepatlah perjalanan.” (HR. Al-Bazzar, lihat Ash-Shahihah no. 1357)
Hadits ini memberi petunjuk bila seseorang melakukan perjalanan dengan mengendarai binatang serta melewati tanah yang subur dan banyak rumputnya agar memberi hak hewan dari rumput dan tetumbuhan yang ada di tempat itu. Namun bila melewati tempat yang tandus sementara dia tidak membawa pakan binatang tunggangannya serta tidak menemukan pakan di jalan, hendaknya dia mempercepat perjalanan agar dia sampai tujuan sebelum binatang itu kelelahan.
2. Tidak memeras tenaga binatang secara berlebihan
Dari sahabat Abdullah bin Ja’far z, dia berkata: Nabi n pernah masuk pada suatu kebun dari kebun-kebun milik orang Anshar untuk suatu keperluan. Tiba-tiba di sana ada seekor unta. Ketika unta itu melihat Nabi n maka ia datang dan duduk di sisi Nabi n dalam keadaan berlinang air matanya. Nabi n bertanya, “Siapa pemilik unta ini?” Maka datang (pemiliknya) seorang pemuda dari Anshar. Nabi n bersabda, “Tidakkah kamu takut kepada Allah l dalam (memperlakukan) binatang ini yang Allah l menjadikanmu memilikinya?! Sesungguhnya unta ini mengeluh kepadaku bahwa kamu meletihkannya dengan banyak bekerja.” (HR. Abu Dawud dll, Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Ash-Shahihah no. 20)
3. Menajamkan pisau yang akan digunakan untuk menyembelih
Pisau yang tumpul dan tidak tajam akan sulit digunakan untuk menyembelih sehingga binatang yang disembelih tersiksa karenanya. Nabi n bersabda:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah l telah menentukan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu. Bila kamu membunuh maka baguskanlah dalam membunuh dan bila menyembelih maka baguslah dalam cara menyembelih. Hendaklah salah seorang kamu menajamkan belatinya dan menjadikan binatang sembelihan cepat mati.” (HR. Muslim)
Namun janganlah seorang mengasah belatinya di hadapan binatang yang akan disembelihnya. Dahulu Nabi n pernah menegur orang yang melakukan demikian dengan sabdanya: “Mengapa kamu tidak mengasah sebelum ini?! Apakah kamu ingin membunuhnya dua kali?!” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi. Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Ash-Shahihah no. 24)
4. Tidak memberi cap dengan besi yang dipanaskan pada wajah binatang
Sahabat Ibnu Abbas c meriwayatkan bahwa Nabi n melewati seekor keledai yang dicap pada wajahnya, maka beliau mengatakan:
لَعَنَ اللهُ الَّذِي وَسَمَهُ
“Allah l melaknat orang yang memberinya cap.” (HR. Muslim)
Namun boleh memberi cap pada binatang pada selain wajah.
5. Tidak menjadikan binatang yang hidup sebagai sasaran dalam latihan memanah dan yang semisalnya.
Sahabat Ibnu Umar c berkata: “Sesungguhnya Rasulullah n mengutuk orang yang menjadikan sesuatu yang padanya ada ruh sebagai sasaran untuk dilempar.” (Muttafaqun ‘alaih)
Inilah sekelumit dari sekian banyak petunjuk Nabi kita n. Lalu setelah ini, apakah masih ada orang-orang non-muslim yang mengatakan bahwa Islam menzalimi binatang?! Sungguh keji dan amat besar kedustaan yang keluar dari mulut-mulut mereka!
Praktik salaf umat ini
Tidak bisa dipungkiri bahwa salaf (generasi awal) umat ini adalah orang-orang yang terdepan dalam segala kebaikan dan paling jauh dari setiap kenistaan dan kezaliman. Ilmu yang mereka serap tidak sekadar kliping pengetahuan, tetapi dipraktikkan di alam nyata. Adalah sahabat Umar bin Al-Khaththab z ketika beliau mengetahui ada seorang mengangkut barang menggunakan unta yang melebihi kemampuan binatang tersebut, maka Umar sebagai penguasa memukul orang tersebut sebagai bentuk hukuman. Beliau z menegurnya dengan mengatakan, “Mengapa kamu mengangkut barang di atas untamu sesuatu yang dia tidak mampu?” (Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d).
Adalah sahabat Abud Darda z dahulu punya unta yang dipanggil Dimun. Apabila orang-orang hendak meminjamnya, maka ia berpesan untuk tidak membebaninya kecuali sekian dan sekian (yakni batas kemampuan unta) karena unta itu tidak mampu membawa yang lebih dari itu. Maka ketika kematian telah datang menjemput Abud Darda z, beliau berkata: “Wahai Dimun, janganlah kamu mengadukanku besok (di hari kiamat) di sisi Rabbku, karena aku tidaklah membebanimu kecuali apa yang kamu mampu.” (Lihat Ash-Shahihah, 1/67-69)
Penjelasan Ulama Fiqih
Bimbingan Nabi n dan contoh mulia dari salaf umat ini senantiasa membekas pada benak para ulama. Oleh karenanya, ulama fiqih telah memberikan penjelasan hukum seputar menyayangi binatang, sehingga perkara ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena, seseorang tidak bisa berbuat kebajikan yang besar bila yang kecil saja diabaikan.
Al-Imam Ibnu Muflih t dalam kitabnya ‘Al-Adab Asy-Syar’iyah (jilid 3) menyebutkan pembahasan tentang makruhnya berlama-lama memberdirikan binatang tunggangan dan binatang pengangkut barang melampaui kebutuhannya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi n (yang artinya): “Naikilah binatang itu dalam keadaan baik dan biarkanlah ia dalam keadaan bagus, serta janganlah kamu jadikan binatang itu sebagai kursi.” (HR. Ahmad dll, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’)
Maksudnya, janganlah salah seorang dari kalian duduk di atas punggung binatang tunggangan untuk berbincang-bincang bersama temannya, dalam keadaan kendaraan itu berdiri seperti kalian berbincang-bincang di atas kursi. Namun larangan dari berlama-lama di atas punggung binatang ini bila tidak ada keperluan. Sedangkan bila diperlukan seperti di saat perang atau wukuf di padang Arafah ketika haji maka tidak mengapa. (Faidhul Qadir 1/611)
Mar’i Al-Hanbali berkata: "Wajib atas pemilik binatang untuk memberi makanan dan minumannya. Jika dia tidak mau memberinya maka dipaksa (oleh penguasa) untuk memberinya. Bila dia tetap menolak atau sudah tidak mampu lagi memberikan hak binatangnya maka ia dipaksa untuk menjualnya, menyewakannya, atau menyembelihnya bila binatang tersebut termasuk yang halal dagingnya. Diharamkan untuk mengutuk binatang, membebaninya dengan sesuatu yang memberatkan, memerah susunya sampai pada tingkatan memudharati anaknya, memukul dan memberi cap pada wajah, serta diharamkan menyembelihnya bila tidak untuk dimakan."
Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa apabila ada kucing buta berlindung di rumah seseorang, maka wajib atas pemilik rumah itu untuk menafkahi kucing itu karena ia tidak mampu pergi.
Ibnu As-Subki t berkata ketika menyebutkan tukang bangunan yang biasa menembok dengan tanah dan semisalnya: “Termasuk kewajiban tukang bangunan untuk tidak menembok suatu tempat kecuali setelah memeriksanya apakah padanya ada binatang atau tidak. Karena kamu sering melihat kebanyakan pekerja bangunan itu terburu-buru menembok, padahal terkadang mengenai sesuatu yang tidak boleh dibunuh kecuali untuk dimakan, seperti burung kecil dan semisalnya. Dia membunuh binatang tadi dan memasukannya ke dalam lumpur tembok. Dengan ini ia telah berkhianat kepada Allah l dari sisi membunuh binatang ini."
Asy-Syaikh Abu Ali bin Ar-Rabbal(????) berkata: “Apa yang disebutkan tentang (bolehnya mengurung burung dan semisalnya) hanyalah bila padanya tidak ada bentuk menyiksa, membikin lapar dan haus meski tanpa sengaja. Atau mengurungnya dengan burung lain yang akan mematuk kepala burung yang sekandang, seperti yang dilakukan oleh ayam-ayam jantan (bila) berada di kurungan, sebagiannya mematuk sebagian yang lain sampai terkadang yang dipatuk mati. Ini semua, menurut kesepakatan ulama, adalah haram.” (Lihat Arba’un Haditsan fit Tarbiyati wal Manhaj hal. 32-33 karya Dr. Abdul Aziz As-Sadhan)
Coba cermati ucapan Abu Ali bin Ar-Rahhal(????) tadi, lalu bagaimana dengan orang yang sengaja mengadu ayam jantan, benggala (domba), dan semisalnya?! Apakah tidak lebih haram?!
Binatang-binatang yang boleh dibunuh
Keharusan menyayangi binatang bukan berarti kita tidak boleh menyembelih binatang yang halal untuk dimakan. Karena agama Islam berada di tengah-tengah, antara mereka yang mengharamkan seluruh daging binatang dan di antara orang-orang yang memakan binatang apapun, meskipun babi. Demikian pula dibolehkan membunuh binatang yang jahat dan banyak mengganggu orang, merusak tanaman dan memakan ternak, seperti burung gagak, burung rajawali, kalajengking, tikus, anjing hitam, dan semisalnya. Nabi n bersabda:
خَمْسٌ مِنَ الدَّوَابِّ كُلُهُنَّ فَاسِقٌ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ: الْغُرَابُ وَالْحدأة وَالْعَقْرَبُ وَالْفَأْرَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
“Lima binatang yang semuanya jahat, (boleh) dibunuh di tanah haram (suci) yaitu: burung gagak, burung rajawali, kalajengking, tikus, dan anjing yang suka melukai.” (HR. Al-Bukhari no. 1829)
Masih banyak lagi jenis binatang yang boleh dibunuh karena mudharat yang muncul darinya. Namun membunuhnya juga dengan cara yang bagus. Tidak boleh dengan dibakar dengan api, dicincang, atau diikat hingga mati.
Wallahu a'lam.

0 komentar:

Posting Komentar