Kamis, 27 Oktober 2011

Kejahilan Penyakit Kronis yang Tercela

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)

Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan penyakit kronis dalam pembahasan akhlak kali ini? Sudah mafhum, dalam tinjauan medis, penyakit kronis adalah penyakit menahun yang tak kunjung sembuh atau bahkan sulit tertolong lagi melainkan hanya menunggu detik-detik ajal datang menjemput, kecuali Allah l menghendaki yang lain.

Pada taraf ini, setiap orang atau keluarga yang sakit, umumnya tidak akan berpikir panjang, apapun akan dikorbankan menuju kesembuhan. Namun penyakit kronis apapun, tetaplah suatu penyakit yang masih bisa dideteksi ahlinya.
Tentu kita akan bertanya-bertanya pada diri kita, penyakit kronis apakah yang mengancam keselamatan seluruh jenis manusia namun susah sekali dideteksi itu? Terlebih, keselamatan bila terbebaskan dari penyakit ini bukan tanggung-tanggung yaitu keselamatan dunia dan akhirat?
Namun demikianlah, tabiat manusia menyukai sesuatu yang bersifat menguntungkan sementara dan keselamatan yang bersifat semu serta melupakan yang hakiki. Itulah sifat kelalaian dan lupa yang selalu melekat pada setiap insani kecuali yang dirahmati oleh Allah l.
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami.” (Yunus: 7)
“Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu, supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.” (Yunus: 92)
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum: 7)
Dan Allah l telah mengajarkan kepada kita sebuah sikap dalam bergaul bersama mereka sebagaimana dalam firman-Nya:
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (An-Najm: 29-30)
Al-Imam Al-Qurthubi t di dalam tafsirnya menjelaskan: “Mereka berilmu tentang urusan dunia mereka namun jahil tentang urusan akhirat mereka. Al-Farra` berkata: ‘Allah merendahkan dan menghinakan mereka. Itulah batas akal mereka, mereka mengutamakan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat’.”
Ibnu Katsir t menyatakan: “Mencari dunia dan berusaha untuknya merupakan puncak tujuan pencarian mereka. Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad t dari Ummul Mukminin ‘Aisyah x bahwa Rasulullah n berkata: ‘Dunia merupakan negeri orang yang tidak memiliki negeri dan harta bagi orang yang tidak memilikinya serta yang akan berusaha mengumpulkannya adalah orang yang tidak memiliki akal’.”
Penyakit kronis dalam pembahasan kali ini amat sangat terkait dengan agama dan keselamatan seseorang di dunia dan di akhirat. Sekali lagi, tahukah anda penyakit kronis apakah itu?
Itulah penyakit kejahilan (kebodohan), yang merupakan akhlak tercela serta akhlak orang-orang yang hina.

Kejahilan adalah Penyakit yang Berbahaya
Sedikit sekali orang mengetahui bahwa kejahilan adalah sebuah penyakit yang lebih berbahaya dari segala penyakit kronis. Bahkan bukan sesuatu yang aneh lagi, orang yang dijangkiti penyakit ini tidak merasa kalau dirinya sakit. Justru yang terjadi adalah mengklaim diri sebagai orang yang sehat segala-galanya. Seseorang yang tertimpa penyakit kronis hanya merasakannya di dunia. Namun penyakit kejahilan akan dirasakan pedihnya di dunia dan di akhirat.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179)
Dengan kejahilan, seseorang akan terjatuh dalam perbuatan dosa yang tidak diampuni oleh Allah l, perbuatan kedzaliman yang paling besar, yang akan mengharamkan masuk ke dalam surga serta mengekalkan di neraka. Perbuatan yang akan menghalalkan darah, kehormatan, dan harta pelakunya. Itulah perbuatan menyekutukan Allah l alias syirik.
Al-Imam Al-Albani t ketika menjelaskan tentang menggantung jimat menyatakan: “Dan terus berkesinambungan kesesatan ini, tersebar baik di tengah orang-orang yang tinggal di pegunungan, para petani, maupun sebagian orang yang tinggal di perkotaan. Termasuk dalam kategori jimat adalah kharazat yang diletakkan oleh para sopir di bagian depan mobil mereka yang digantung di atas spion (tengah). Sebagian mereka menggantung sandal yang telah usang di depan atau di belakang mobil mereka. Yang lain menggantungkan sepatu kuda di depan rumah atau toko. Semuanya mereka jadikan sebagai tameng dari kejahatan mata yang jahat –menurut sangkaan mereka– dan selainnya (dari bentuk-bentuk kesyirikan). Semuanya telah tersebar dan menjadi musibah besar, disebabkan kejahilan tentang tauhid dan apa yang dinafikannya berupa segala bentuk kesyirikan dan berhalaisme. Yang tidaklah para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan melainkan untuk membatalkan segala kesyirikan itu serta menghakiminya. Kepada Allah l sajalah kita mengadu akan kejahilan kaum muslimin dan jauhnya mereka dari agama mereka.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah 1/890, no. 492)
Kejahilan juga akan menjatuhkan ke dalam amalan yang paling disukai iblis setelah syirik, yakni perbuatan mengada-ada dalam syariat alias bid’ah, serta segala bentuk penyimpangan syariat lainnya. Hingga seseorang akan menolak kebenaran yang datang dari Allah l dan Rasul-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menyatakan: “Tidaklah engkau menemukan seseorang terjatuh dalam kebid’ahan melainkan karena kurangnya mereka dalam berpegang dengan As-Sunnah, baik ilmu maupun amal. Dan barangsiapa berilmu tentang As-Sunnah lalu mengikutinya, maka tidak terdapat pendorong pada dirinya untuk melakukan kebid’ahan. Maka orang yang jahil tentang As-Sunnah akan terjatuh pada kebid’ahan.” (Syarah Hadits Laa Yazni Az-Zani hal. 35)
Demikianlah orang jahil. Kejahilannya akan menjadi malapetaka dahsyat yang menghampirinya. Kesulitan hidup menjadi terbuka di hadapannya. Kesempurnaan manusia akan menghilang di benaknya sehingga segala gerak-geriknya dikendalikan oleh hawa nafsu. Sungguh betapa malang nasib hidupnya.
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa`: 17)
Ibnu Katsir t menjelaskan: “Mujahid dan selain beliau mengatakan: ‘Barangsiapa bermaksiat kepada Allah l baik karena tersalah atau sengaja maka dia adalah orang jahil, hingga dia mencabut diri dari dosa tersebut’.”
Qatadah t berkata dari Abul ‘Aliyah bahwa dia bercerita bahwa seluruh sahabat nabi g berkata: ‘Segala dosa yang dilakukan oleh seorang hamba adalah karena kejahilan.’
Abdurrazzaq t berkata: Ma’mar menyampaikan kepada kami dari Qatadah, dia berkata: ‘Para sahabat Rasulullah n telah bersepakat bahwa segala sesuatu yang Allah l dimaksiati dengannya, maka itu dilandasi kejahilan baik disengaja ataupun tidak.’
Abu Shalih t meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c bahwa dia berkata: ‘Barangsiapa jahil tentang sesuatu maka dia akan melakukan kejahatan.’ (Tafsir Ibnu Katsir dengan ringkas 1/572)
Ibnul Qayyim  t berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan hidup manusia berkisar pada dua poros, yaitu mengetahui kebenaran dari kebatilan dan mengutamakan kebenaran dari selainnya. Tidaklah terjadi perbedaan kedudukan seorang hamba di hadapan Allah l melainkan perbedaan mereka dalam dua fondasi ini. Dengan kedua hal inilah, Allah l memuji para nabi-Nya di dalam sebuah firman-Nya.
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45)
أُولِي الْأَيْدِي artinya kekuatan dalam menerapkan kebenaran. الْأَبْصَارِ artinya ilmu tentang agama. Allah l menyifati mereka dengan kesempurnaan pengetahuan mereka tentang kebenaran dan kesempurnaan penerapan mereka dengannya.” (Al-Jawabul Kafi hal. 139)
Al-Imam Ahmad l berkata: “Sesungguhnya seseorang melakukan penyelisihan karena sedikitnya pengetahuan mereka tentang segala apa yang datang dari Rasulullah n.” (I’lamul Muwaqqi’in, 1/44)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Kebenaran banyak hilang di tengah orang-orang yang jahil lagi ummi (tidak pandai membaca dan menulis).” (Majmu’ Fatawa 25/129)
Ibnul Qayyim n berkata: “Sebab tertolaknya kebenaran banyak sekali. Di antaranya adalah kejahilan, dan inilah sebab yang mendominasi pada kebanyakan orang. Karena barangsiapa jahil terhadap sesuatu niscaya dia akan menentangnya dan menentang pemeluknya.” (Hidayatul Hayara Fi Ajwibati Al-Yahudi wan Nashara hal. 18)
Setelah ini, tidakkah anda menganggap bahwa kejahilan adalah sebuah penyakit yang kronis dan berbahaya? Tidakkah cukup sebagai bukti bahwa terjatuhnya seseorang pada kesyirikan, kekufuran, kemaksiatan, dan segala bentuk penyelisihan terhadap syariat merupakah akibat dari kejahilan? Bahkan sekte Rafidhah, yang dicetuskan oleh seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam di masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan z, Abdullah bin Saba` Al-Yahudi, di mana mazhab yang diusungnya adalah mazhab paling jahat dan paling sesat yang muncul dan bisa berkembang pesat di tengah kaum muslimin, juga disebabkan kejahilan. Hal ini telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t: “Sesungguhnya yang mencetuskan mazhab Rafidhah adalah seorang zindiq (munafik), mulhid (menyeleweng), musuh Islam dan kaum muslimin. Dan dia, Abdullah bin Saba`, tidak termasuk ahli bid’ah1 yang melakukan penakwilan sebagaimana golongan Khawarij dan Qadariyyah, sekalipun doktrin-doktrinnya berkembang pesat di tengah kaum yang memiliki iman namun terkuasai oleh kejahilan mereka.” (Minhaj As-Sunnah 4/363)
Penyakit kronis ini butuh obat yang ampuh dan mujarab, di mana tidak akan didapati obatnya melalui pemeriksaan medis di belahan dunia manapun.

Obat Penyakit Kronis Kejahilan
Seseorang yang mengerti sedikit ilmu agama niscaya akan mengetahui obat yang manjur bagi penyakit kronis yang sangat berbahaya tersebut. Itulah ilmu agama yang bersumberkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n yang dipahami dengan pemahaman Salafus Shalih. Ilmu yang akan memperbaiki hubungan lahiriah dan batiniah dengan Allah l. Ilmu yang akan membimbing ke jalan yang diridhai Allah l serta menjauhi amalan-amalan yang dimurkai-Nya. Ilmu yang akan membimbing kepada jalan yang benar serta yang akan menjauhkan dari jalan yang batil. Ilmu yang akan membuahkan rasa takut kepada Allah l sehingga mencegah dirinya untuk bermaksiat kepada-Nya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t menjelaskan: “Ilmu adalah mengenal Allah l, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama-Nya dengan dalil-dalil.” (Tsalatsatul Ushul karya beliau)
Ibnul Qayyim t berkata: “Ilmu adalah firman Allah l, sabda Rasulullah n, dan ucapan para sahabat g.”
Al-Auza’i t berkata: “Ilmu adalah apa yang diajarkan oleh para sahabat Muhammad n. Maka yang selainnya tidaklah dikatakan ilmu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar t, 2/29)
Demikian juga yang diucapkan oleh Al-Imam Ahmad t. (Fadhlu Ilmis Salaf ‘alal Khalaf hal. 42)
Al-Junaidi t berkata: “Ilmu kita adalah terikat dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan orang yang tidak membaca Al-Qur`an dan Al-Hadits maka tidak bisa dijadikan panutan dalam ilmu kami.” (idem, hal. 44)
Ibnu Mas’ud z dan selain beliau berkata: “Cukuplah rasa takut kepada Allah l sebagai ilmu dan cukuplah ketertipuan sebagai kejahilan.”2
Sebagian ulama salaf berkata: “Ilmu bukan karena banyak meriwayatkan, akan tetapi ilmu adalah yang akan mendatangkan rasa takut.”
Sebagian mereka menegaskan: “Barangsiapa takut kepada Allah l maka dia adalah orang ‘alim dan barangsiapa bermaksiat maka dia adalah orang jahil.” (idem, hal. 47)
As-Sa’di t menjelaskan dalam sebuah manzhumah-nya: “Ketahuilah –semoga Allah l memberimu hidayah– bahwa seutama-utama pemberian adalah ilmu yang akan menghilangkan keraguan (yaitu syubhat) dan kekotoran (yaitu syahwat). Ilmu yang akan membuka tabir kebenaran bagi yang berakal, dan ilmu yang akan menyampaikan kepada apa yang dicari.”
Kesimpulan kita bahwa ilmu adalah pohon yang akan membuahkan ucapan yang baik dan amal shalih. Sebaliknya, kejahilan adalah pohon yang membuahkan ucapan dan perbuatan yang jelek. (Risalah Qawa’id Fiqhiyyah karya As-Sa’di t hal. 12-13)
Rasulullah n bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah kebaikan, niscaya Allah akan memberikan kefaqihan dalam agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Mu’awiyah z)
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلىَ الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah z)
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Tiadalah suatu kaum berkumpul di rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Al-Kitab (Al-Qur`an) dan mengkajinya, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan orang-orang yang ada di sisi-Nya .” (HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah z)

Dalil-dalil yang Mengecam Kejahilan
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
“Dan kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu. Setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: ‘Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan (berhala).’ Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil yang tidak mengetahui (sifat-sifat Allah)’.” (Al-A’raf: 138)
“Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang bodoh (akibat perbuatanmu).” (An-Naml: 55)
“Katakanlah: ‘Maka apakah kamu menyuruh Aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?’." (Az-Zumar: 64)
“Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan kamu, sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri. Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.’ Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu. Mereka berkata: ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’ Katakanlah: ‘Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.’ Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu serta untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (Ali ‘Imran: 154)
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9)
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنَّ اللهَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ اللهُ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًَا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga bila Allah tidak lagi menyisakan seorang pun dari mereka, lalu orang-orang mengangkat pemimpinnya dari orang jahil kemudian mereka bertanya kepadanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu, sesat lagi menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c)

Akibat bila Terjangkiti Penyakit Kejahilan
1. Bila Dia Seorang Da’i
Tidak ada yang memungkiri bahwa kedudukan seorang da’i di sisi Allah l adalah sangat tinggi. Bahkan Allah l dan Rasul-Nya telah memuji mereka di dalam banyak dalil, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’.” (Fushshilat: 33)
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Rasulullah n bersabda:
وَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, seseorang mendapatkan hidayah dari Allah karenamu maka itu lebih baik daripada kamu memiliki unta-unta merah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Sa’d As-Sa’idi z)
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa menyeru kepada petunjuk maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 2674 dari sahabat Abu Hurairah z)
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti yang mengamalkannya.” (HR. Muslim no. 1493 dari sahabat Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Anshari Al-Badri z)
Bukanlah suatu keanehan jika seorang da’i mendapatkan martabat seperti ini, karena mereka adalah pewaris tugas para nabi. Dan kita mengetahui bahwa tugas mereka adalah berdakwah di jalan Allah l. Oleh karena itu, seseorang dituntut agar bersemangat dalam memikul amanat ini untuk mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah l. Bersamaan dengan realita umat ini yang sangat butuh kepada da’i-da’i yang shalihin, nashihin, dan penuh kasih sayang. Selain itu, juga dengan adanya peperangan yang dikobarkan musuh Islam terhadap pemikiran umat ini, aqidah dan akhlaknya, yang puncaknya mereka terpenjarakan dalam fitnah syahwat dan syubhat.
Kita telah diajarkan oleh agama bahwa berdakwah adalah sebuah amanat besar dan sebuah tanggung jawab. Tidak hanya di dunia, namun juga sebuah tanggung jawab di akhirat. Seorang da’i akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah l, ke mana dia mengajak umat. Dan untuk menyelamatkan diri dari tanggung jawab ini, Allah l mensyaratkan agar berdakwah dilakukan di atas ilmu. Berdakwah di atas ilmu merupakan jalan Rasulullah n dan para pengikut beliau, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah l di dalam firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (Yusuf: 108)
Dari sini kita mengetahui bahwa orang-orang yang tidak berilmu tentang syariat tidak diperbolehkan baginya memosisikan diri sebagai penerus tugas para nabi, terlebih dikenai perintah untuk berdakwah. Karena bila salah menyampaikan atau menyesatkan orang lain, ancamannya sangat besar. Rasulullah n bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no. 2674 dari sahabat Abu Hurairah z)

2. Bila dia seorang pemimpin
Amat bisa dibayangkan jika seorang pemimpin berasal dari orang yang jahil tentang agama. Segala sepak terjangnya akan dibangun di atas kejahilan. Yang tergambar adalah sebuah bentuk kedzaliman, pemerkosaan hak rakyatnya, bahkan akan memperkosa agama dan kaum muslimin, lagi sesat menyesatkan.
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنَّ اللهَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ اللهُ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًَا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga bila Allah tidak lagi menyisakan seorangpun dari mereka, lalu orang-orang mengangkat pemimpinnya dari orang jahil kemudian mereka bertanya kepadanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu, sesat lagi menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c)
3. Bila dia seorang biasa
Jika kejahilan merupakan sebuah akhlak yang tercela, yang akan merusak jati diri seorang da’i dan seorang pemimpin, apatah lagi jika akhlak ini disandang oleh seseorang yang awam tentang agama. Tentu akan semakin rusak dan jahat. Dia akan dijangkiti oleh penyakit kronis lainnya seperti taqlid buta, fanatisme, lancang, menolak kebenaran, membela kebatilan dan berkubang padanya, memusuhi kebenaran dan pelakunya, iri hati, dengki, sombong dan berbagai sifat berbahaya lainnya.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Dan barangsiapa ridha dengan kebid’ahannya, tidak mau mencari dalil-dalil syariat dan tidak mau mencari ilmu yang akan bisa memisahkan antara haq dan batil, serta tidak mau membelanya, menolak apa yang datang dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, dibarengi kejahilan dan kesesatan serta berkeyakinan bahwa dirinya berada di atas kebenaran, maka orang seperti ini termasuk orang dzalim dan fasik. (Derajat kedzaliman dan kefasikannya) sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang dia tinggalkan dan keberanian dirinya melaksanakan keharaman-keharaman Allah l.” (Irsyad Ulil Basha`ir wal Albab hal. 300)

Hindarilah Penyakit Kejahilan!
Asy-Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr berkata: “Ilmu merupakan pokok pangkal segala kebaikan. Sedangkan kejahilan merupakan pokok pangkal segala kejelekan. Cinta kepada kedzaliman, permusuhan, melakukan kekejian dan melanggar larangan-larangan, sebabnya yang pertama adalah kejahilan serta rusaknya ilmu atau rusaknya niat. Dan rusaknya niat disebabkan karena rusaknya ilmu. Kejahilan dan rusaknya ilmu merupakan sebab pertama dalam kerusakan amal dan berkurangnya iman… Nafsu selalu mendorong untuk melakukan sesuatu yang mendatangkan mudarat dan tidak bermanfaat, karena kejahilannya tentang sesuatu yang membahayakannya. Oleh karena itu, barangsiapa mendalami Al-Qur`an maka dia akan menemukan isyarat yang besar bahwa kejahilan merupakan sebab segala dosa dan kemaksiatan.” (Asbab Ziyadatil Iman hal. 62)
Beliau juga menjelaskan: “Jahil tentang Allah l adalah penyakit yang berbahaya dan membinasakan yang akan menggiring pemiliknya menuju kecelakaan dan adzab yang besar. Barangsiapa yang penyakit ini mengakar pada dirinya dan menguasainya, jangan engkau bertanya tentang kebinasaannya (yakni pasti akan binasa). Dia akan berkubang dalam kemaksiatan dan dosa, terjungkir balik dari jalan Allah l yang lurus, pasrah dalam seruan syubhat dan syahwat. Kecuali bila dia dijemput oleh rahmat Allah l dengan siraman hati dan cahaya penglihatan. Itulah kunci kebaikan, yaitu ilmu yang bermanfaat yang akan membuahkan amal shalih. Sebab, tidak ada obat terhadap penyakit itu melainkan ilmu. Dan seseorang tidak akan terlepas dari penyakit ini melainkan bila Allah l mengajarkan kepadanya ilmu yang bermanfaat dan memberikan bimbingan kepadanya. Barangsiapa yang Allah l menginginkan kebaikan kepadanya, Dia akan mengajarkannya ilmu yang bermanfaat dan memberikan kedalaman tentang agama serta memperlihatkan kepadanya segala yang akan menjadikan dia bahagia dan bergembira, kemudian dia keluar dari kubangan kejahilan. Dan kapan saja Allah l tidak menginginkan kebaikan untuknya, maka Allah l akan menetapkan dia di atas kejahilan. Kepada Allah l sajalah kita meminta agar Dia menyirami hati kita dengan ilmu dan iman, serta melindungi kita dari kejahilan dan permusuhan.” (idem hal. 64)
Wallahu a’lam.


1 Karena dia telah kafir.
2 Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad t di dalam kitab Az-Zuhd (no. 158) dan Ath-Thabarani t di dalam Al-Kabir (9/211) namun terdapat kelemahan, serta pada sanadnya ada inqitha` (keterputusan). Lihat ta’liq dan tahqiq Risalah Fadhlu ‘Ilmi As-Salaf hal. 46)

sumber : http://www.asysyariah.com/syariah/akhlak/135-kejahilan-penyakit-kronis-yang-tercela-akhlak-edisi-35.html

0 komentar:

Posting Komentar