Kamis, 27 Oktober 2011

Jangan Meremehkan Dosa

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc)


Manusia adalah makhluk yang lalai. Tidak hanya lalai untuk mengerjakan amal ketakwaan namun juga lalai dari dosa-dosa. Lebih memilukan lagi jika manusia acap mengentengkan dosa atau maksiat yang ia perbuat. Seolah-olah dengan sikapnya itu, ia aman dari adzab Allah l di dunia ataupun di akhirat.
Allah l telah menciptakan bumi dan menghiasinya dengan berbagai perhiasan yang indah dan menawan untuk menguji hamba-Nya, siapa di antara mereka yang taat kepada-Nya dan siapa yang membangkang perintah-Nya. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya. Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang ada di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (Al-Kahfi: 7-8)
Diperintahnya hamba untuk melakukan kebaikan dan dilarangnya dari kemaksiatan adalah semata-mata demi kebaikan hamba, karena Allah l sangat penyayang terhadap manusia. Dan suatu hal yang pasti bahwa tidaklah Allah l memerintahkan suatu kebaikan sekecil apapun kecuali pasti di dalamnya terkandung maslahat, baik disadari ataupun tidak. Demikian pula jika melarang sesuatu, tentu di dalamnya terdapat mudarat yang membahayakan hamba.
Kewajiban Mengagungkan Allah l dan Takut Kepada-Nya
Tak kenal maka tak sayang. Demikian keadaan orang yang tidak mengenal Allah l dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sehingga, sesuai dengan kadar pengetahuan seseorang terhadap Allah l, sebatas itu pula pengagungannya terhadap-Nya. Sesungguhnya mengenal Allah l dengan sebenar-benar pengenalan merupakan pokok kebaikan. Dengannya, seseorang selalu merasa diawasi oleh Allah l. Sehingga tidaklah dia berucap kecuali yang benar dan tidak berbuat melainkan yang baik. Berbeda dengan orang yang tidak mengenal Allah l dengan sebenar-benar pengenalan. Allah l berfirman:
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya.” (Az-Zumar: 67)
Ayat ini mencakup setiap orang yang meremehkan kedudukan Allah l seperti orang-orang atheis yang mengingkari adanya Allah l. Demikian pula orang–orang musyrik yang meyakini adanya Allah l serta meyakini bahwa Ia yang mengatur alam semesta, namun dalam beribadah mempersekutukan Allah l dengan makhluk-Nya. Ayat ini juga meliputi orang–orang yang mengingkari nama-nama Allah l dan sifat-sifat-Nya atau memercayainya tetapi menakwilkannya dengan selain makna yang sesungguhnya.
Termasuk meremehkan keagungan Allah l adalah bermaksiat kepada-Nya dan melakukan apa yang diharamkan-Nya berupa kemaksiatan, serta meninggalkan ketaatan yang Allah l wajibkan.
Suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa orang yang membangkang kepada makhluk (misalnya raja) berarti dia telah meremehkannya. Bagaimana dengan orang yang membangkang terhadap Al-Khaliq (Allah l)?! (Lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab At-Tauhid Asy-Syaikh Al-Fauzan, 2/442-447)
Sebab-sebab Terjatuhnya Seseorang dalam Maksiat
Sesungguhnya lemahnya keimanan dan keyakinan seseorang terhadap Allah l, Dzat yang menciptakan makhluk dan yang mengaturnya, merupakan perkara yang berbahaya. Tidak adanya perasaan takut kepada Allah l akan menyebabkan seseorang meremehkan janji Allah l dan ancaman-Nya. Janji-Nya di dunia (bagi yang taat) adalah kemenangan dan kebahagiaan, serta di akhirat adalah surga yang luasnya seperti langit dan bumi. Adapun ancaman-Nya (bagi yang membangkang) di dunia adalah kehinaan dan ketidaktentraman, serta di akhirat kelak adalah belenggu yang melilit tubuhnya dan diseret ke dalam neraka yang menyala-nyala.
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan atas hamba yang beriman untuk bertakwa kepada Allah l serta takut kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Adalah ‘Umar bin Al-Khaththab z berkata: “Kalau seandainya ada yang memanggil dari langit: ‘Wahai manusia, seluruh kalian masuk surga kecuali satu orang,’ maka saya khawatir bahwa sayalah orangnya.”
Di antara sebab terjatuhnya seseorang ke dalam maksiat adalah kebodohan seseorang tentang Allah l dan syariat-Nya. Kebodohan merupakan penyakit kronis yang jika tidak segera diobati akan membinasakan pemiliknya. Obat dari kebodohan adalah mempelajari Al-Qur`an dan Sunnah (hadits Rasulullah n).
Cinta dunia dan tenggelam dalam kelezatannya sehingga melalaikan dari ketaatan juga faktor utama yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam dosa. Demikian pula lalai dengan tujuan hidup yang sesungguhnya serta tidak mau mengambil pelajaran dari yang telah lewat. Allah l berfirman:
“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian dan takutlah suatu hari yang (pada hari itu) seorang ayah tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong ayahnya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayamu dan jangan pula penipu (syaitan) memperdayamu dalam menaati Allah.” (Luqman: 33)
Allah l juga berfirman:
“Dan berapa banyak umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, padahal mereka (yang telah dibinasakan itu) pernah menjelajahi beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)?” (Qaf: 36) [Lihat Taujihul Muslimin ila Thariq An-Nashri Wat Tamkin karya Muhammad Jamil Zainu, dkk, hal. 39-45)
Tingkatan-tingkatan Dosa
Dosa adalah bentuk pelanggaran terhadap larangan Allah l atau meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya. Dan dosa itu bertingkat-tingkat kejahatannya. Ada yang besar dan ada pula yang kecil. Adapun dosa besar adalah setiap pelanggaran yang pelakunya mendapatkan had (hukuman yang telah ada ketentuannya dari syariat) seperti membunuh, berzina dan mencuri, atau yang ada ancaman secara khusus di akhirat nanti berupa adzab dan kemurkaan Allah l, atau yang pelakunya dilaknat melalui lisan Rasulullah n. (Al-Kaba`ir karya Adz-Dzahabi t hal. 13-14, cet. Maktabah As Sunnah)
Adapun jumlah dosa besar lebih dari tujuh puluh. Sekian banyak dosa besar itupun bertingkat-tingkat. Ada dosa besar yang paling besar misalnya syirik, membunuh jiwa tanpa hak, dan durhaka kepada orangtua. Karena bahaya yang mengancam pelaku dosa besar di dunia dan di akhirat nanti, kita dapati sebagian ulama Ahlus Sunnah menulis kitab tentang dosa-dosa besar (al-kaba`ir) semisal Al-Imam Adz-Dzahabi dan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumallah. Hal ini agar orang tahu tentang dosa-dosa besar sehingga mereka akan menjauhinya.
Allah l telah menjanjikan surga dan ampunan-Nya bagi yang menjauhi dosa-dosa besar sebagaimana dalam firman-Nya:
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (An-Nisa`: 31)
Allah l juga telah menjadikan orang yang meninggalkan dosa-dosa besar masuk dalam golongan orang yang beriman dan bertawakal kepada-Nya. Allah l berfirman:
“Maka segala sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang–orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakal, dan bagi orang–orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (Asy-Syura: 36-37)
Nabi n bersabda:
الصَّلاَة ُالْـخَمْسُ وَالْـجُمُعَةُ إِلَى الْـجُمُعَةِ كَفَّارَةٌ لِـمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَـمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu dan Jum’at ke Ju’mat (berikutnya) adalah penghapus apa yang di antaranya dari dosa selagi dosa besar tidak didatangi (dilakukan).” (HR. Muslim Kitabut Thaharah Bab Fadhlul Wudhu wash Shalah ‘Aqibihi no. 233 dari Abu Hurairah z)
Kapan suatu Dosa menjadi Besar?
Ketika hendak melakukan dosa, janganlah melihat kepada kecilnya dosa. Namun lihatlah, kepada siapa dia berbuat dosa? Patutkah bagi seseorang yang diciptakan dan diberi oleh Allah l sarana yang lengkap dan cukup, lantas melanggar larangan-Nya?!
Sesungguhnya suatu dosa bisa menjadi besar karena hal-hal berikut:
1. Dosa yang dilakukan secara rutin. Sehingga dahulu dikatakan: “Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus, dan tidak ada dosa besar jika diikuti istighfar (permintaan ampunan kepada Allah l).”
2. Menganggap remeh suatu dosa. Ketika seorang hamba menganggap besar dosa yang dilakukannya maka menjadi kecil di sisi Allah l. Namun jika ia menganggap kecil maka menjadi besar di sisi Allah l. Disebutkan dalam suatu atsar bahwa seorang mukmin melihat dosa-dosanya laksana dia duduk di bawah gunung di mana ia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sedangkan orang durhaka melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya lalu dia halau dengan tangannya. (Shahih Al-Al-Bukhari no. 6308)
3. Bangga dengan dosa yang dilakukannya serta menganggap bisa melakukan dosa sebagai suatu nikmat. Setiap kali seorang hamba menganggap manis suatu dosa, maka menjadi besar kemaksiatannya serta besar pula pengaruhnya dalam menghitamkan hati. Karena setiap kali seorang berbuat dosa, akan dititik hitam pada hatinya.
4. Menganggap ringan suatu dosa karena mengira ditutupi oleh Allah l dan diberi tangguh serta tidak segera dibeberkan atau diadzab. Orang yang seperti ini tidak tahu bahwa ditangguhkannya adzab adalah agar bertambah dosanya.
5. Sengaja menampakkan dosa di mana sebelumnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah l, sehingga mendorong orang yang pada dirinya ada bibit–bibit kejahatan untuk ikut melakukannya. Demikian pula orang yang sengaja berbuat maksiat di hadapan orang. Nabi n bersabda:
كُلُّ أُمَّتِـي مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ وَإِنَّ مِنَ الْـمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ فَيَقُولُ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا؛ وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ
“Semua umatku dimaafkan oleh Allah kecuali orang yang berbuat (maksiat) terang-terangan. Dan di antara bentuk menampakkan maksiat adalah seorang melakukan pada malam hari perbuatan (dosa) dan berada di pagi hari Allah menutupi (tidak membeberkan) dosanya lalu dia berkata: ‘Wahai Si fulan, tadi malam aku melakukan begini dan begini.’ Padahal dia berada di malam hari ditutupi oleh Rabbnya namun di pagi hari ia membuka apa yang Allah l tutupi darinya.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dari Abu Hurairah z)
Ibnu Baththal t mengatakan: “Menampakkan maksiat merupakan bentuk pelecehan terhadap hak Allah l, Rasul-Nya, dan orang–orang shalih dari kaum mukminin…” (Fathul Bari, 10/486)
Sebagian salaf mengatakan: “Janganlah kamu berbuat dosa. Jika memang terpaksa melakukannya, maka jangan kamu mendorong orang lain kepadanya, nantinya kamu melakukan dua dosa.”
Oleh karena itu, Allah l berfirman:
“Orang–orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma’ruf.” (At-Taubah: 67)
6. Dosa menjadi besar jika dilakukan seorang yang alim (berilmu) yang menjadi panutan. (Lihat Taujihul Muslimin ila Thariq An-Nashri Wat Tamkin hal. 29-32 karya Muhammad Jamil Zainu)
 
baca selanjutnya “Jangan Meremehkan Dosa”

Umur, Anugrah yang Banyak Diabaikan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.)


Ada sebagian kaum muslimin yang masih berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah l setelah senja, setelah pensiun atau purna tugas. Padahal pada usia berapa kita mati, kita tak pernah mengetahuinya.
Orang yang akan melakukan perjalanan jauh pasti akan menyiapkan perbekalan yang cukup. Lihatlah misalnya orang yang hendak menunaikan ibadah haji. Terkadang ia mengumpulkan harta dan perbekalan sekian tahun lamanya, padahal itu berlangsung sebentar, hanya beberapa hari saja. Maka mengapa untuk suatu perjalanan yang tidak pernah ada akhirnya –yakni perjalanan akhirat– kita tidak berbekal diri dengan ketaatan?! Padahal kita yakin bahwa kehidupan dunia hanyalah bagaikan tempat penyeberangan untuk sampai kepada kehidupan yang kekal nan abadi yaitu kehidupan akhirat, di mana manusia terbagi menjadi: ashhabul jannah (penghuni surga) dan ashhabul jahim (penghuni neraka). Itulah hakikat perjalanan manusia di dunia ini. Maka sudah semestinya kita mengisi waktu dan sisa umur yang ada dengan berbekal amal kebaikan untuk menghadapi kehidupan yang panjang. Allah l berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)
Ibnu Katsir t berkata: “Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan serta (yang akan) dipaparkan kepada Rabb kalian.” (Taisir Al-‘Aliyil Qadir, 4/339)
Umur Bukan Pemberian Cuma-Cuma
Waktu adalah sesuatu yang terpenting untuk diperhatikan. Jika ia berlalu tak akan mungkin kembali. Setiap hari dari waktu kita berlalu, berarti ajal semakin dekat. Umur merupakan nikmat yang seseorang akan ditanya tentangnya. Nabi n bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari yang ia ketahui (ilmu).” (HR. At-Tirmidzi dari jalan Ibnu Mas’ud z. Lihat Ash-Shahihah, no. 946)
Jangan Menunda-nunda Beramal
Mungkin kita sering mendengar orang mengatakan: “Mumpung masih muda kita puas-puaskan berbuat maksiat, gampang kalau sudah tua kita sadar.” Sungguh betapa kejinya ucapan ini. Apakah dia tahu kalau umurnya akan panjang? Kalau seandainya dia ditakdirkan panjang, apa ada jaminan dia akan sadar? Atau justru akan bertambah kesesatannya?! Allah l berfirman:
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Ibnul Qayyim t berkata: “Sesung-guhnya angan-angan adalah modal utama orang-orang yang bangkrut.” (Ma’alim Fi Thariqi Thalabil ‘Ilmi hal. 32)
Abdullah bin Umar c berkata:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْـمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لـِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لـِمَوْتِكَ
“Apabila engkau berada di waktu sore janganlah menunggu (menunda beramal) di waktu pagi. Dan jika berada di waktu pagi, janganlah menunda (beramal) di waktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu dan kesempatan hidupmu untuk saat kematianmu.” (HR. Al-Bukhari no. 6416)
Selagi kesempatan masih diberikan, jangan menunda-nunda lagi. Akankah seseorang menunda hingga apabila ajal menjemput, betis bertaut dengan betis, sementara lisanpun telah kaku dan tubuh tidak bisa lagi digerakkan? Dan ia pun menyesali umur yang telah dilalui tanpa bekal untuk suatu kehidupan yang panjang?! Allah l berfirman menjelaskan penyesalan orang-orang kafir ketika datang kematian:
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan. ’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.” (Al-Mu`minun: 99-100)
Menyia-nyiakan Kesempatan
Banyak orang yang melewati hari-harinya dengan hura-hura, berfoya-foya, dan perbuatan sia-sia. Bahkan tidak jarang dari mereka yang tenggelam dalam dosa. Tidaklah mereka melakukan ketaatan sebagai bekal di hari kemudian dan tidak pula mengisi dengan kegiatan positif yang bermanfaat bagi kehidupannya di dunia. Seolah keadaannya mengatakan bahwa hidup hanyalah di dunia ini saja. Tiada yang terbayang di benaknya kecuali terpenuhi syahwat dan nafsunya. Orang yang seperti ini tidak jauh dari binatang bahkan lebih jelek keadaannya. Nabi n bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“(Ada) dua nikmat yang kebanyakan orang tertipu padanya, (yaitu nikmat) sehat dan senggang.” (HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi, lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2304)
Sesungguhnya Nabi kita n telah mengajarkan untuk serius dalam memanfaatkan kesempatan sebelum datangnya penghalang. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c, bahwa Nabi n mengatakan kepada seseorang dengan menasihatinya:
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَشَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa hidupmu sebelum matimu, masa sehatmu sebelum sakitmu, masa senggangmu sebelum masa sibukmu, masa mudamu sebelum tuamu, dan masa kaya/kecukupanmu sebelum fakirmu.” (HR. Al-Hakim dan selainnya. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahihul Jami’ no. 1077)
Al-Munawi t berkata: “Lakukanlah lima perkara sebelum mendapatkan lima perkara. “Hidupmu sebelum matimu” yakni pergunakan (hidupmu pada) apa yang akan memberi manfaat setelah matimu, karena orang yang mati telah terputus amalannya, pupus harapannya, datang penyesalannya serta beruntun kesedihannya. Maka gadaikanlah dirimu untuk kebaikanmu. “Dan masa sehatmu sebelum sakitmu” yakni gunakan masa sehat untuk beramal, karena terkadang datang penghalang seperti sakit sehingga kamu mendatangi akhirat tanpa bekal. “Dan masa senggangmu sebelum masa sibukmu” yakni manfaatkan (kesempatan) senggangmu di dunia ini sebelum tersibukkan dengan kedahsyatan hari kiamat yang awal persinggahannya adalah kubur. Manfaatkanlah kesempatan yang diberikan, semoga kamu selamat dari adzab dan kehinaan. “Dan masa mudamu sebelum tuamu”, yakni lakukan ketaatan di saat kamu mampu sebelum kelemahan usia lanjut menghinggapimu, sehingga kamu akan menyesali apa yang telah kamu sia-siakan dari kewajiban terhadap Allah l. “Dan masa kayamu sebelum fakirmu” yakni manfaatkan untuk bersedekah dengan kelebihan hartamu sebelum dipaparkan kepada musibah yang menjadikanmu fakir, (jika demikian) kamu akan fakir di dunia dan akhirat. Kelima hal ini tidak diketahui kadar besarnya kecuali setelah tidak ada.” (Faidhul Qadir, 2/21)
Telah Datang Peringatan
Terkadang telah datang kepada seseorang peringatan dari tubuhnya sendiri. Suatu hal yang menjadi cambuk supaya menyadari akan keadaannya. Sungguh uban yang meliputi kepala, kulit yang mulai keriput dan kekuatan yang mulai melemah merupakan peringatan bahwa ajal telah dekat. Allah l berfirman:
“Dan apakah kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Fathir: 37)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan firman Allah l di atas: “Dan telah datang kepada kamu peringatan” yakni: uban.
Demikian pula jika Allah l telah memberi umur kepada seseorang hingga 60 tahun, berarti Allah l tidak meninggalkan lagi sebab untuk seorang memiliki alasan. Kesempatan telah Allah l berikan dan umur telah dipanjangkan. Nabi n bersabda:
أَعْذَرَ اللهُ إِلَى امْرِئٍ أُخِّرَ أَجَلُهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّيْنَ سَنَةً
“Allah telah menyampaikan puncak dalam pemberian udzur/alasan kepada seorang yang diakhirkan ajalnya hingga mencapai umur 60 tahun.” (HR. Al-Bukhari no. 6419)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa tidak lagi tersisa alasan baginya, seperti dengan mengatakan: “Kalau dipanjangkan ajalku, niscaya aku akan melakukan apa yang aku diperintah dengannya.” Dijadikannya umur 60 tahun sebagai batas udzur seseorang, karena itu adalah umur yang mendekati ajal dan umur (yang seharusnya) seorang itu kembali kepada Allah l, khusyu’ dan mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang berumur lebih dari 60 tahun hendaklah menekuni amalan-amalan akhirat secara total, karena sudah tidak mungkin lagi akan kembali kepada keadaannya yang pertama ketika masih kuat dan semangat. (Lihat Fathul Bari, 11/240)
Umur Umat Ini
Allah l telah menakdirkan bahwa umur umat ini tidak sepanjang umur umat terdahulu. Yang demikian mengandung hikmah yang terkadang tidak diketahui oleh hamba. Nabi n bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah z:
أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ
“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (Dihasankan sanadnya oleh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari, 11/240)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa keumuman ajal umat ini antara umur 60 hingga 70 tahun, dengan bukti keadaan yang bisa disaksikan. Di mana di antara umat ini ada yang (mati) sebelum mencapai umur 60 tahun. Ini termasuk dari rahmat Allah l dan kasih sayang-Nya supaya umat ini tidak terlibat dengan kehidupan dunia kecuali sebentar. Karena umur, badan dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian kali lipat dibandingkan umat ini. Dahulu ada yang diberi umur hingga seribu tahun, panjang tubuhnya mencapai lebih dari 80 hasta atau kurang. Satu biji gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh orang. Mereka mengambil dari kehidupan dunia sesuai dengan jasad dan umur mereka, sehingga mereka sombong dan berpaling dari Allah l. Dan manusia pun terus mengalami penurunan bentuk fisik, rizki, dan ajal. Sehingga menjadilah umat ini sebagai yang terakhir, yang mengambil rizki sedikit, dengan badan yang lemah dan pada masa yang pendek, supaya mereka tidak menyombongkan diri. Ini termasuk dari kasih sayang Allah l terhadap mereka. Demikian makna ucapan Al-Imam Ath-Thibi t seperti dalam Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir (2/15).
Orang yang Paling Baik
Manusia terbaik adalah yang mengisi waktu-waktunya dengan amalan yang mengantarkan kepada kebaikan dunia dan akhiratnya. Nabi n bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ، وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya. Dan sejelek-jelek manusia adalah orang yang panjang umurnya dan jelek amalannya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Bakrah z, lihat Shahih Al-Jami’ no. 3297)
Orang yang banyak kebaikannya, setiap kali dipanjangkan umurnya maka akan banyak pahalanya dan dilipatgandakan derajatnya. Maka bertambahnya umur akan bertambah pula pahala dan amalannya.
Dahulu ada dua orang datang kepada Nabi n dan sama-sama masuk Islam. Salah satunya lebih semangat beramal dibandingkan temannya. Orang yang lebih semangat itu ikut dalam pertempuran dan terbunuh. Temannya yang satu masih hidup setahun setelahnya, lalu meninggal di atas ranjangnya. Maka ada seorang sahabat bernama Thalhah bin ‘Ubaidillah z bermimpi tentang dua orang tersebut. Dalam mimpinya, keduanya ada di pintu surga. Lalu orang yang matinya di atas ranjangnya dipersilakan untuk masuk surga terlebih dahulu. Setelah itu temannya yang terbunuh dipersilakan masuk. Paginya, Thalhah bercerita kepada orang-orang dan mereka takjub (heran) dengannya. Berita mimpi Thalhah dan takjubnya manusia pun sampai kepada Nabi n. Maka Nabi n mengatakan: “Bukankah (orang yang mati di ranjangnya) ia masih hidup setahun setelah (kematian temannya yang terbunuh di jalan Allah) itu?” Sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah n bertanya lagi: “Dan ia mendapati bulan Ramadhan lalu ia puasa dan shalat sekian dan sekian dalam setahun?” Sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah n bersabda: “Jarak (derajat) antara keduanya lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi.” (Lihat Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3185)
Karena mahalnya umur seorang mukmin, maka dahulu ada seorang salaf mengatakan: “Sungguh, satu jam kamu hidup padanya yang kamu beristighfar kepada Allah l lebih baik daripada kamu mati selama setahun.”
Dan dahulu ada seorang salaf yang sudah tua ditanya: “Apakah kamu ingin mati?” Jawabnya: “Tidak. Karena masa muda dan kejahatannya telah berlalu, dan kini datang masa tua bersama kebaikannya. Jika aku berdiri aku mengucapkan bismillah, jika aku duduk aku mengucapkan alhamdulillah. Aku ingin untuk terus dalam keadaan seperti ini.”
Dan ada (pula) seorang salaf lain yang sudah tua ditanya: “Apa yang masih tersisa dari keinginanmu dalam kehidupan ini?” Ia menjawab: “Menangisi dosa-dosa yang telah aku lakukan.”
Oleh karena itu, banyak dari salaf kita yang menangis ketika mau meninggal. Bukan karena berpisah dengan kenikmatan dunia, namun karena terputus dari amalan-amalan yang biasa dia lakukan berupa shalat malam, puasa, tilawatul Qur`an dan lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi t. (Lihat syarah hadits Allahumma bi’ilmika al-ghaib –karya Ibnu Rajab t hal. 25-26)
Larangan Meminta Kematian
Tidak seyogianya seseorang meminta kematian tanpa ada sebab yang dibenarkan. Di antara sebab yang dibenarkan adalah ketika seorang yakin jika agamanya akan terfitnah dan adanya indikasi yang kuat bahwa cobaan yang dihadapinya akan menjadikannya menyimpang dari agama Allah l. Dalam kondisi seperti ini, perut bumi lebih baik daripada atasnya. Namun orang yang tidak memiliki alasan yang dibenarkan, seperti seseorang yang ditimpa penyakit dan sudah berobat tapi tidak kunjung sembuh atau dililit hutang dan semisalnya, meminta mati dalam keadaan yang seperti ini dilarang. Nabi n bersabda:
لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْـمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْـحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Janganlah salah seorang dari kalian menginginkan kematian karena penderitaan yang menimpanya. Jika mau tidak mau harus berbuat hendaklah ia mengucapkan: ‘Wahai Allah, hidupkanlah aku jika memang hidup lebih baik bagiku. Dan wafatkanlah aku jika kematian lebih baik bagiku.” (HR. Al-Bukhari no. 5671)
Seorang mukmin selalu meminta yang terbaik kepada Allah l. Karena seseorang tidak tahu apakah setelah kematian kondisinya lebih baik atau bahkan sebaliknya. Dengan kematian, seseorang sudah terputus dari beramal dan tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat dan menyesali kesalahan.
Adalah Habib bin ‘Isa Al-Farisi t gusar ketika kematian hendak menjemputnya. Ia mengatakan: “Sungguh aku akan pergi dengan perjalanan yang belum pernah sejauh itu. Aku akan menelusuri jalan yang belum pernah sama sekali aku menelusurinya. Aku akan berkunjung menuju kekasihku (Allah l) yang belum pernah sama sekali aku melihat-Nya. Dan aku akan melihat kedahsyatan yang belum pernah aku saksikan yang seperti itu.” (Syarah hadits Allahumma bi’ilmika al-ghaib- Ibnu Rajab t hal. 32 dan lihat kisahnya pada Hilyatul Aulia`, 6/149-155)
Memohon Dipanjangkan Umur
Panjangnya umur bukan jaminan seorang selamat dari adzab. Lihatlah bagaimana orang Yahudi sangat berambisi untuk diberi umur panjang. Allah l berfirman:
“Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa.” (Al-Baqarah: 96)
Adapun seorang mukmin tidaklah bertambah umur kecuali bertambah kebaikan. Oleh karena itu, boleh bagi seseorang untuk mendoakan panjangnya umur. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi n ketika mendoakan sahabat Anas bin Malik z:
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَأَطِلْ حَيَاتَهُ وَاغْفِرْ لَهُ
“Wahai Allah perbanyaklah hartanya, anaknya dan panjanglah hidupnya (umurnya) serta ampuni baginya.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 508)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Dalam hadits ini, (ada faedah) bolehnya mendoakan panjangnya umur bagi seseorang.” (Syarah Shahih Al-Adab Al-Mufrad, 2/311)
Namun seyogianya doa meminta panjang umur dibarengi dengan permohonan kebaikan dengan panjangnya umur itu. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t berkata: “Tidak sepantasnya seseorang mengucapkan (selamat) panjang umur, karena panjangnya umur terkadang baik dan terkadang jelek. Orang yang jelek adalah yang panjang umurnya namun jelek amalannya. Berdasarkan hal tadi maka tidak mengapa kalau mendoakan: ‘Semoga Allah l panjangkan hidupmu di atas ketaatan kepada Allah l’ dan yang semisalnya.” (Al-Manahi Al-Lafzhiyyah hal. 89)
Para Salaf dalam Melaksanakan Ketaatan dan Menjaga Waktu
Orang yang membuka lembaran kehidupan generasi awal umat ini dalam memanfaatkan umur yang ada akan menganggapnya aneh. Seolah itu adalah dongeng yang tidak ada kenyataannya. Perasaan aneh ini bisa muncul karena sangat jauhnya kita dengan generasi awal umat ini dalam menyikapi hidup dan kehidupan. Mereka adalah generasi yang lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Mereka rela berkorban dengan harta, raga dan bahkan nyawa untuk meninggikan agama Allah l. Suatu generasi yang keridhaan Allah l adalah tujuan dan harapannya, meski harus dimurkai manusia.
Maka, mencermati kehidupan ulama dalam menjaga waktu adalah suatu hal yang mestinya diketahui. Karena dengan mengetahui kisah mereka, semangat akan tumbuh dan kemalasan akan terkikis. Allah l telah menjelaskan kondisi hamba-hamba-Nya yang mendapatkan kemuliaan dengan firman-Nya:
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka beristighfar (memohon ampun kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 17-18)
Lihatlah bagaimana mereka melewati malam-malam yang indah dengan bergadang untuk melakukan berbagai ketaatan di saat umumnya manusia terlelap dalam tidurnya. Namun sudah seperti itu keadaannya, mereka selalu meminta ampun karena masih banyaknya kekurangan dan kesalahan. Demikianlah orang yang baik, menggabungkan antara semangat beramal dengan perasaan takut akan adzab Allah l. Demikian pula Ibrahim dan Isma’il e tatkala selesai membangun Ka’bah, rumah Allah l yang termulia, di tempat yang paling mulia yaitu Makkah. Keduanya berdoa:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا
“Wahai Allah, terimalah dari kami.” (Al-Baqarah: 127)
Berbeda dengan orang yang jelek, mereka menggabungkan antara jeleknya perbuatan dan sikap merasa aman dari adzab Allah l.
Inilah sahabat Abdullah bin Umar c, ketika Abu Hurairah z memberitahukannya tentang hadits Nabi n bahwa orang yang menshalati jenazah akan mendapatkan satu qirath (pahala yang besar) dan barangsiapa yang mengantarnya hingga dikubur akan mendapatkan dua qirath. Abdullah belum pernah mendengar hadits itu, lalu ia mengutus seseorang untuk bertanya kepada ‘Aisyah. Utusan tadi bertanya kepada ‘Aisyah, dan ia menjawab: “Benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.” Ketika utusan tadi telah pulang dan mengabarkannya, Abdullah mengatakan dengan ucapan penyesalan: “Sungguh kita telah menyia-nyiakan qirath yang banyak.” (Lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1040, cet. Al-Ma’arif)
Demikianlah, Abdullah bin Umar c sangat menyesal karena telah terlewatkan kesempatan untuk mendapatkan pahala besar. Namun, pernahkah kita menyesali kesempatan emas yang terlewat tanpa kita manfaatkan? Paling yang kita sesali adalah gemerlapnya dunia yang luput kita dapatkan. Sungguh waktu seseorang adalah modal hidupnya.
Dahulu bila seorang ahli hadits mendiktekan hadits kepada murid-muridnya dan ia berhenti sejenak untuk memberi kesempatan muridnya untuk menulis, ia manfaatkan waktu yang sejenak itu untuk beristighfar dan bertasbih.
Dahulu ada yang menyebutkan tentang Al-Imam Abdullah bin Al-Imam Ahmad t: “Tidaklah aku melihatnya kecuali tersenyum atau sedang membaca atau menelaah.”
Al-Imam Adz-Dzahabi t menyebutkan biografi Abdul Wahhab bin Al-Wahhab bin Al-Amin t bahwa waktunya sangat terjaga. Tidaklah berlalu suatu saat kecuali ia sedang membaca, berdzikir, tahajjud, atau setor hafalan. (Lihat Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi karya Abdul Aziz As-Sadhan, hal. 33-37)
Berlindung kepada Allah l dari Ketuaan/ Kepikunan
Semakin lanjut usia seseorang, semakin berkurang kekuatannya dan melemah fisiknya hingga kembali kepada keadaan yang serupa dengan anak kecil dalam hal lemahnya tubuh, sedikit akalnya, dan tidak adanya pengetahuan. Demikian pula munculnya pemandangan yang tidak bagus serta tidak mampu melakukan banyak ketaatan. Cukuplah seseorang berlindung dari kepikunan karena Allah l telah menamakannya dengan umur yang paling rendah/hina dan menjadi tidak tahu apa-apa yang sebelumnya ia tahu. Adalah Nabi n berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ
“Wahai Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, pengecut, dan kepikunan.” (HR. Al-Bukhari no. 6367)
Orangtua Berjiwa Muda
Ketahuilah bahwa selagi manusia masih ada harapan hidup maka tidak akan terputus harapannya untuk mendapatkan dunia. Bahkan terkadang dirinya tidak mau mencabut diri dari kelezatan dan syahwat yang maksiat. Setan pun selalu membisikkan untuk mengakhirkan taubat hingga akhir umurnya. Sehingga bila ia telah yakin akan mati dan tidak ada harapan lagi untuk hidup, barulah ia sadar dari mabuknya akan syahwat dunia. Ia pun menyesali penyia-nyiaan umurnya dengan penyesalan yang hampir membunuh dirinya. Ia meminta dikembalikan ke dunia untuk bertaubat dan beramal shalih. Namun permintaannya tidak digubris, sehingga berkumpullah padanya sakaratul maut dan penyesalan atas sesuatu yang telah lewat.
Allah l telah memperingatkan hamba-Nya akan hal ini, supaya mereka bersiap-siap menghadapi kematian dengan bertaubat dan beramal shalih sebelum datangnya. Allah l berfirman:
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ. وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ. أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللهِ وَإِنْ كُنْتُ لَـمِنَ السَّاخِرِينَ
“Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang mengatakan: ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah’.” (Az-Zumar: 54-56) [Lihat Latha`iful Ma’arif, Al-Imam Ibnu Rajab t hal. 449-450]
‘Ali bin Abi Thalib z berkata: “Dunia pergi membelakangi, sedangkan akhirat datang menyambut, dan bagi masing-masingnya ada anak-anak (pecinta)nya. Maka jadilah kalian termasuk ahli akhirat dan jangan menjadi ahli dunia. Hari ini (kehidupan dunia) adalah tempat beramal bukan hisab, dan besok (kiamat) hanya ada hisab, tidak ada amal.” (Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq Bab Fil Amal Wa Thulihi)
Nabi n bersabda:
لاَ يَزَالُ قَلْبُ الْكَبِيْرِ شَابًّا فِي اثْنَتَيْنِ: فِي حُبِّ الدُّنْيَا وَطُولِ الْأَمَلِ
“Orang yang sudah tua senantiasa berhati muda pada dua perkara: dalam cinta dunia dan panjangnya angan-angan (yakni panjangnya umur).” (HR. Al-Bukhari no. 6420)
Wallahu a’lam.
 
baca selanjutnya “Umur, Anugrah yang Banyak Diabaikan”

Kejahilan Penyakit Kronis yang Tercela

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)

Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan penyakit kronis dalam pembahasan akhlak kali ini? Sudah mafhum, dalam tinjauan medis, penyakit kronis adalah penyakit menahun yang tak kunjung sembuh atau bahkan sulit tertolong lagi melainkan hanya menunggu detik-detik ajal datang menjemput, kecuali Allah l menghendaki yang lain.

Pada taraf ini, setiap orang atau keluarga yang sakit, umumnya tidak akan berpikir panjang, apapun akan dikorbankan menuju kesembuhan. Namun penyakit kronis apapun, tetaplah suatu penyakit yang masih bisa dideteksi ahlinya.
Tentu kita akan bertanya-bertanya pada diri kita, penyakit kronis apakah yang mengancam keselamatan seluruh jenis manusia namun susah sekali dideteksi itu? Terlebih, keselamatan bila terbebaskan dari penyakit ini bukan tanggung-tanggung yaitu keselamatan dunia dan akhirat?
Namun demikianlah, tabiat manusia menyukai sesuatu yang bersifat menguntungkan sementara dan keselamatan yang bersifat semu serta melupakan yang hakiki. Itulah sifat kelalaian dan lupa yang selalu melekat pada setiap insani kecuali yang dirahmati oleh Allah l.
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami.” (Yunus: 7)
“Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu, supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.” (Yunus: 92)
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum: 7)
Dan Allah l telah mengajarkan kepada kita sebuah sikap dalam bergaul bersama mereka sebagaimana dalam firman-Nya:
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (An-Najm: 29-30)
Al-Imam Al-Qurthubi t di dalam tafsirnya menjelaskan: “Mereka berilmu tentang urusan dunia mereka namun jahil tentang urusan akhirat mereka. Al-Farra` berkata: ‘Allah merendahkan dan menghinakan mereka. Itulah batas akal mereka, mereka mengutamakan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat’.”
Ibnu Katsir t menyatakan: “Mencari dunia dan berusaha untuknya merupakan puncak tujuan pencarian mereka. Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad t dari Ummul Mukminin ‘Aisyah x bahwa Rasulullah n berkata: ‘Dunia merupakan negeri orang yang tidak memiliki negeri dan harta bagi orang yang tidak memilikinya serta yang akan berusaha mengumpulkannya adalah orang yang tidak memiliki akal’.”
Penyakit kronis dalam pembahasan kali ini amat sangat terkait dengan agama dan keselamatan seseorang di dunia dan di akhirat. Sekali lagi, tahukah anda penyakit kronis apakah itu?
Itulah penyakit kejahilan (kebodohan), yang merupakan akhlak tercela serta akhlak orang-orang yang hina.

Kejahilan adalah Penyakit yang Berbahaya
Sedikit sekali orang mengetahui bahwa kejahilan adalah sebuah penyakit yang lebih berbahaya dari segala penyakit kronis. Bahkan bukan sesuatu yang aneh lagi, orang yang dijangkiti penyakit ini tidak merasa kalau dirinya sakit. Justru yang terjadi adalah mengklaim diri sebagai orang yang sehat segala-galanya. Seseorang yang tertimpa penyakit kronis hanya merasakannya di dunia. Namun penyakit kejahilan akan dirasakan pedihnya di dunia dan di akhirat.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179)
Dengan kejahilan, seseorang akan terjatuh dalam perbuatan dosa yang tidak diampuni oleh Allah l, perbuatan kedzaliman yang paling besar, yang akan mengharamkan masuk ke dalam surga serta mengekalkan di neraka. Perbuatan yang akan menghalalkan darah, kehormatan, dan harta pelakunya. Itulah perbuatan menyekutukan Allah l alias syirik.
Al-Imam Al-Albani t ketika menjelaskan tentang menggantung jimat menyatakan: “Dan terus berkesinambungan kesesatan ini, tersebar baik di tengah orang-orang yang tinggal di pegunungan, para petani, maupun sebagian orang yang tinggal di perkotaan. Termasuk dalam kategori jimat adalah kharazat yang diletakkan oleh para sopir di bagian depan mobil mereka yang digantung di atas spion (tengah). Sebagian mereka menggantung sandal yang telah usang di depan atau di belakang mobil mereka. Yang lain menggantungkan sepatu kuda di depan rumah atau toko. Semuanya mereka jadikan sebagai tameng dari kejahatan mata yang jahat –menurut sangkaan mereka– dan selainnya (dari bentuk-bentuk kesyirikan). Semuanya telah tersebar dan menjadi musibah besar, disebabkan kejahilan tentang tauhid dan apa yang dinafikannya berupa segala bentuk kesyirikan dan berhalaisme. Yang tidaklah para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan melainkan untuk membatalkan segala kesyirikan itu serta menghakiminya. Kepada Allah l sajalah kita mengadu akan kejahilan kaum muslimin dan jauhnya mereka dari agama mereka.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah 1/890, no. 492)
Kejahilan juga akan menjatuhkan ke dalam amalan yang paling disukai iblis setelah syirik, yakni perbuatan mengada-ada dalam syariat alias bid’ah, serta segala bentuk penyimpangan syariat lainnya. Hingga seseorang akan menolak kebenaran yang datang dari Allah l dan Rasul-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menyatakan: “Tidaklah engkau menemukan seseorang terjatuh dalam kebid’ahan melainkan karena kurangnya mereka dalam berpegang dengan As-Sunnah, baik ilmu maupun amal. Dan barangsiapa berilmu tentang As-Sunnah lalu mengikutinya, maka tidak terdapat pendorong pada dirinya untuk melakukan kebid’ahan. Maka orang yang jahil tentang As-Sunnah akan terjatuh pada kebid’ahan.” (Syarah Hadits Laa Yazni Az-Zani hal. 35)
Demikianlah orang jahil. Kejahilannya akan menjadi malapetaka dahsyat yang menghampirinya. Kesulitan hidup menjadi terbuka di hadapannya. Kesempurnaan manusia akan menghilang di benaknya sehingga segala gerak-geriknya dikendalikan oleh hawa nafsu. Sungguh betapa malang nasib hidupnya.
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa`: 17)
Ibnu Katsir t menjelaskan: “Mujahid dan selain beliau mengatakan: ‘Barangsiapa bermaksiat kepada Allah l baik karena tersalah atau sengaja maka dia adalah orang jahil, hingga dia mencabut diri dari dosa tersebut’.”
Qatadah t berkata dari Abul ‘Aliyah bahwa dia bercerita bahwa seluruh sahabat nabi g berkata: ‘Segala dosa yang dilakukan oleh seorang hamba adalah karena kejahilan.’
Abdurrazzaq t berkata: Ma’mar menyampaikan kepada kami dari Qatadah, dia berkata: ‘Para sahabat Rasulullah n telah bersepakat bahwa segala sesuatu yang Allah l dimaksiati dengannya, maka itu dilandasi kejahilan baik disengaja ataupun tidak.’
Abu Shalih t meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c bahwa dia berkata: ‘Barangsiapa jahil tentang sesuatu maka dia akan melakukan kejahatan.’ (Tafsir Ibnu Katsir dengan ringkas 1/572)
Ibnul Qayyim  t berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan hidup manusia berkisar pada dua poros, yaitu mengetahui kebenaran dari kebatilan dan mengutamakan kebenaran dari selainnya. Tidaklah terjadi perbedaan kedudukan seorang hamba di hadapan Allah l melainkan perbedaan mereka dalam dua fondasi ini. Dengan kedua hal inilah, Allah l memuji para nabi-Nya di dalam sebuah firman-Nya.
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45)
أُولِي الْأَيْدِي artinya kekuatan dalam menerapkan kebenaran. الْأَبْصَارِ artinya ilmu tentang agama. Allah l menyifati mereka dengan kesempurnaan pengetahuan mereka tentang kebenaran dan kesempurnaan penerapan mereka dengannya.” (Al-Jawabul Kafi hal. 139)
Al-Imam Ahmad l berkata: “Sesungguhnya seseorang melakukan penyelisihan karena sedikitnya pengetahuan mereka tentang segala apa yang datang dari Rasulullah n.” (I’lamul Muwaqqi’in, 1/44)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Kebenaran banyak hilang di tengah orang-orang yang jahil lagi ummi (tidak pandai membaca dan menulis).” (Majmu’ Fatawa 25/129)
Ibnul Qayyim n berkata: “Sebab tertolaknya kebenaran banyak sekali. Di antaranya adalah kejahilan, dan inilah sebab yang mendominasi pada kebanyakan orang. Karena barangsiapa jahil terhadap sesuatu niscaya dia akan menentangnya dan menentang pemeluknya.” (Hidayatul Hayara Fi Ajwibati Al-Yahudi wan Nashara hal. 18)
Setelah ini, tidakkah anda menganggap bahwa kejahilan adalah sebuah penyakit yang kronis dan berbahaya? Tidakkah cukup sebagai bukti bahwa terjatuhnya seseorang pada kesyirikan, kekufuran, kemaksiatan, dan segala bentuk penyelisihan terhadap syariat merupakah akibat dari kejahilan? Bahkan sekte Rafidhah, yang dicetuskan oleh seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam di masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan z, Abdullah bin Saba` Al-Yahudi, di mana mazhab yang diusungnya adalah mazhab paling jahat dan paling sesat yang muncul dan bisa berkembang pesat di tengah kaum muslimin, juga disebabkan kejahilan. Hal ini telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t: “Sesungguhnya yang mencetuskan mazhab Rafidhah adalah seorang zindiq (munafik), mulhid (menyeleweng), musuh Islam dan kaum muslimin. Dan dia, Abdullah bin Saba`, tidak termasuk ahli bid’ah1 yang melakukan penakwilan sebagaimana golongan Khawarij dan Qadariyyah, sekalipun doktrin-doktrinnya berkembang pesat di tengah kaum yang memiliki iman namun terkuasai oleh kejahilan mereka.” (Minhaj As-Sunnah 4/363)
Penyakit kronis ini butuh obat yang ampuh dan mujarab, di mana tidak akan didapati obatnya melalui pemeriksaan medis di belahan dunia manapun.

Obat Penyakit Kronis Kejahilan
Seseorang yang mengerti sedikit ilmu agama niscaya akan mengetahui obat yang manjur bagi penyakit kronis yang sangat berbahaya tersebut. Itulah ilmu agama yang bersumberkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n yang dipahami dengan pemahaman Salafus Shalih. Ilmu yang akan memperbaiki hubungan lahiriah dan batiniah dengan Allah l. Ilmu yang akan membimbing ke jalan yang diridhai Allah l serta menjauhi amalan-amalan yang dimurkai-Nya. Ilmu yang akan membimbing kepada jalan yang benar serta yang akan menjauhkan dari jalan yang batil. Ilmu yang akan membuahkan rasa takut kepada Allah l sehingga mencegah dirinya untuk bermaksiat kepada-Nya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t menjelaskan: “Ilmu adalah mengenal Allah l, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama-Nya dengan dalil-dalil.” (Tsalatsatul Ushul karya beliau)
Ibnul Qayyim t berkata: “Ilmu adalah firman Allah l, sabda Rasulullah n, dan ucapan para sahabat g.”
Al-Auza’i t berkata: “Ilmu adalah apa yang diajarkan oleh para sahabat Muhammad n. Maka yang selainnya tidaklah dikatakan ilmu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar t, 2/29)
Demikian juga yang diucapkan oleh Al-Imam Ahmad t. (Fadhlu Ilmis Salaf ‘alal Khalaf hal. 42)
Al-Junaidi t berkata: “Ilmu kita adalah terikat dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan orang yang tidak membaca Al-Qur`an dan Al-Hadits maka tidak bisa dijadikan panutan dalam ilmu kami.” (idem, hal. 44)
Ibnu Mas’ud z dan selain beliau berkata: “Cukuplah rasa takut kepada Allah l sebagai ilmu dan cukuplah ketertipuan sebagai kejahilan.”2
Sebagian ulama salaf berkata: “Ilmu bukan karena banyak meriwayatkan, akan tetapi ilmu adalah yang akan mendatangkan rasa takut.”
Sebagian mereka menegaskan: “Barangsiapa takut kepada Allah l maka dia adalah orang ‘alim dan barangsiapa bermaksiat maka dia adalah orang jahil.” (idem, hal. 47)
As-Sa’di t menjelaskan dalam sebuah manzhumah-nya: “Ketahuilah –semoga Allah l memberimu hidayah– bahwa seutama-utama pemberian adalah ilmu yang akan menghilangkan keraguan (yaitu syubhat) dan kekotoran (yaitu syahwat). Ilmu yang akan membuka tabir kebenaran bagi yang berakal, dan ilmu yang akan menyampaikan kepada apa yang dicari.”
Kesimpulan kita bahwa ilmu adalah pohon yang akan membuahkan ucapan yang baik dan amal shalih. Sebaliknya, kejahilan adalah pohon yang membuahkan ucapan dan perbuatan yang jelek. (Risalah Qawa’id Fiqhiyyah karya As-Sa’di t hal. 12-13)
Rasulullah n bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah kebaikan, niscaya Allah akan memberikan kefaqihan dalam agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Mu’awiyah z)
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلىَ الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah z)
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Tiadalah suatu kaum berkumpul di rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Al-Kitab (Al-Qur`an) dan mengkajinya, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan orang-orang yang ada di sisi-Nya .” (HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah z)

Dalil-dalil yang Mengecam Kejahilan
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
“Dan kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu. Setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: ‘Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan (berhala).’ Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil yang tidak mengetahui (sifat-sifat Allah)’.” (Al-A’raf: 138)
“Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang bodoh (akibat perbuatanmu).” (An-Naml: 55)
“Katakanlah: ‘Maka apakah kamu menyuruh Aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?’." (Az-Zumar: 64)
“Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan kamu, sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri. Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.’ Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu. Mereka berkata: ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’ Katakanlah: ‘Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.’ Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu serta untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (Ali ‘Imran: 154)
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9)
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنَّ اللهَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ اللهُ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًَا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga bila Allah tidak lagi menyisakan seorang pun dari mereka, lalu orang-orang mengangkat pemimpinnya dari orang jahil kemudian mereka bertanya kepadanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu, sesat lagi menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c)

Akibat bila Terjangkiti Penyakit Kejahilan
1. Bila Dia Seorang Da’i
Tidak ada yang memungkiri bahwa kedudukan seorang da’i di sisi Allah l adalah sangat tinggi. Bahkan Allah l dan Rasul-Nya telah memuji mereka di dalam banyak dalil, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’.” (Fushshilat: 33)
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Rasulullah n bersabda:
وَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, seseorang mendapatkan hidayah dari Allah karenamu maka itu lebih baik daripada kamu memiliki unta-unta merah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Sa’d As-Sa’idi z)
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa menyeru kepada petunjuk maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 2674 dari sahabat Abu Hurairah z)
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti yang mengamalkannya.” (HR. Muslim no. 1493 dari sahabat Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Anshari Al-Badri z)
Bukanlah suatu keanehan jika seorang da’i mendapatkan martabat seperti ini, karena mereka adalah pewaris tugas para nabi. Dan kita mengetahui bahwa tugas mereka adalah berdakwah di jalan Allah l. Oleh karena itu, seseorang dituntut agar bersemangat dalam memikul amanat ini untuk mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah l. Bersamaan dengan realita umat ini yang sangat butuh kepada da’i-da’i yang shalihin, nashihin, dan penuh kasih sayang. Selain itu, juga dengan adanya peperangan yang dikobarkan musuh Islam terhadap pemikiran umat ini, aqidah dan akhlaknya, yang puncaknya mereka terpenjarakan dalam fitnah syahwat dan syubhat.
Kita telah diajarkan oleh agama bahwa berdakwah adalah sebuah amanat besar dan sebuah tanggung jawab. Tidak hanya di dunia, namun juga sebuah tanggung jawab di akhirat. Seorang da’i akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah l, ke mana dia mengajak umat. Dan untuk menyelamatkan diri dari tanggung jawab ini, Allah l mensyaratkan agar berdakwah dilakukan di atas ilmu. Berdakwah di atas ilmu merupakan jalan Rasulullah n dan para pengikut beliau, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah l di dalam firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (Yusuf: 108)
Dari sini kita mengetahui bahwa orang-orang yang tidak berilmu tentang syariat tidak diperbolehkan baginya memosisikan diri sebagai penerus tugas para nabi, terlebih dikenai perintah untuk berdakwah. Karena bila salah menyampaikan atau menyesatkan orang lain, ancamannya sangat besar. Rasulullah n bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no. 2674 dari sahabat Abu Hurairah z)

2. Bila dia seorang pemimpin
Amat bisa dibayangkan jika seorang pemimpin berasal dari orang yang jahil tentang agama. Segala sepak terjangnya akan dibangun di atas kejahilan. Yang tergambar adalah sebuah bentuk kedzaliman, pemerkosaan hak rakyatnya, bahkan akan memperkosa agama dan kaum muslimin, lagi sesat menyesatkan.
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنَّ اللهَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ اللهُ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًَا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga bila Allah tidak lagi menyisakan seorangpun dari mereka, lalu orang-orang mengangkat pemimpinnya dari orang jahil kemudian mereka bertanya kepadanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu, sesat lagi menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c)
3. Bila dia seorang biasa
Jika kejahilan merupakan sebuah akhlak yang tercela, yang akan merusak jati diri seorang da’i dan seorang pemimpin, apatah lagi jika akhlak ini disandang oleh seseorang yang awam tentang agama. Tentu akan semakin rusak dan jahat. Dia akan dijangkiti oleh penyakit kronis lainnya seperti taqlid buta, fanatisme, lancang, menolak kebenaran, membela kebatilan dan berkubang padanya, memusuhi kebenaran dan pelakunya, iri hati, dengki, sombong dan berbagai sifat berbahaya lainnya.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Dan barangsiapa ridha dengan kebid’ahannya, tidak mau mencari dalil-dalil syariat dan tidak mau mencari ilmu yang akan bisa memisahkan antara haq dan batil, serta tidak mau membelanya, menolak apa yang datang dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, dibarengi kejahilan dan kesesatan serta berkeyakinan bahwa dirinya berada di atas kebenaran, maka orang seperti ini termasuk orang dzalim dan fasik. (Derajat kedzaliman dan kefasikannya) sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang dia tinggalkan dan keberanian dirinya melaksanakan keharaman-keharaman Allah l.” (Irsyad Ulil Basha`ir wal Albab hal. 300)

Hindarilah Penyakit Kejahilan!
Asy-Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr berkata: “Ilmu merupakan pokok pangkal segala kebaikan. Sedangkan kejahilan merupakan pokok pangkal segala kejelekan. Cinta kepada kedzaliman, permusuhan, melakukan kekejian dan melanggar larangan-larangan, sebabnya yang pertama adalah kejahilan serta rusaknya ilmu atau rusaknya niat. Dan rusaknya niat disebabkan karena rusaknya ilmu. Kejahilan dan rusaknya ilmu merupakan sebab pertama dalam kerusakan amal dan berkurangnya iman… Nafsu selalu mendorong untuk melakukan sesuatu yang mendatangkan mudarat dan tidak bermanfaat, karena kejahilannya tentang sesuatu yang membahayakannya. Oleh karena itu, barangsiapa mendalami Al-Qur`an maka dia akan menemukan isyarat yang besar bahwa kejahilan merupakan sebab segala dosa dan kemaksiatan.” (Asbab Ziyadatil Iman hal. 62)
Beliau juga menjelaskan: “Jahil tentang Allah l adalah penyakit yang berbahaya dan membinasakan yang akan menggiring pemiliknya menuju kecelakaan dan adzab yang besar. Barangsiapa yang penyakit ini mengakar pada dirinya dan menguasainya, jangan engkau bertanya tentang kebinasaannya (yakni pasti akan binasa). Dia akan berkubang dalam kemaksiatan dan dosa, terjungkir balik dari jalan Allah l yang lurus, pasrah dalam seruan syubhat dan syahwat. Kecuali bila dia dijemput oleh rahmat Allah l dengan siraman hati dan cahaya penglihatan. Itulah kunci kebaikan, yaitu ilmu yang bermanfaat yang akan membuahkan amal shalih. Sebab, tidak ada obat terhadap penyakit itu melainkan ilmu. Dan seseorang tidak akan terlepas dari penyakit ini melainkan bila Allah l mengajarkan kepadanya ilmu yang bermanfaat dan memberikan bimbingan kepadanya. Barangsiapa yang Allah l menginginkan kebaikan kepadanya, Dia akan mengajarkannya ilmu yang bermanfaat dan memberikan kedalaman tentang agama serta memperlihatkan kepadanya segala yang akan menjadikan dia bahagia dan bergembira, kemudian dia keluar dari kubangan kejahilan. Dan kapan saja Allah l tidak menginginkan kebaikan untuknya, maka Allah l akan menetapkan dia di atas kejahilan. Kepada Allah l sajalah kita meminta agar Dia menyirami hati kita dengan ilmu dan iman, serta melindungi kita dari kejahilan dan permusuhan.” (idem hal. 64)
Wallahu a’lam.


1 Karena dia telah kafir.
2 Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad t di dalam kitab Az-Zuhd (no. 158) dan Ath-Thabarani t di dalam Al-Kabir (9/211) namun terdapat kelemahan, serta pada sanadnya ada inqitha` (keterputusan). Lihat ta’liq dan tahqiq Risalah Fadhlu ‘Ilmi As-Salaf hal. 46)

sumber : http://www.asysyariah.com/syariah/akhlak/135-kejahilan-penyakit-kronis-yang-tercela-akhlak-edisi-35.html
baca selanjutnya “Kejahilan Penyakit Kronis yang Tercela”

Menepati Janji

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.)


Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir.
Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.
Sungguh Al-Qur`an telah memerhatikan permasalahan janji ini dan memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah l berfirman:
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….” (An-Nahl: 91)
Allah l juga berfirman:
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)
Demikianlah perintah Allah l kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba kepada Allah l, janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya sendiri seperti nadzar. Masuk pula dalam hal ini apa yang telah dijadikan sebagai persyaratan dalam akad pernikahan, akad jual beli, perdamaian, gencatan senjata, dan semisalnya.
Para Rasul Menepati Janji
Seperti yang telah dijelaskan bahwa menepati janji merupakan akhlak terpuji yang terdepan. Maka tidak heran jika para rasul yang merupakan panutan umat dan penyampai risalah Allah l kepada manusia, menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia ini. Inilah Ibrahim q, bapak para nabi dan imam ahlut tauhid. Allah l telah menyifatinya sebagai orang yang menepati janji. Allah l berfirman:
“Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (An-Najm: 37)
Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim q telah melaksanakan seluruh apa yang Allah l ujikan dan perintahkan kepadanya dari syariat, pokok-pokok agama, serta cabang-cabangnya.
Dan Allah l berfirman tentang Nabi Ismail q:
“Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya” (Maryam: 54)
Yakni tidaklah ia menjanjikan sesuatu kecuali dia tepati. Hal ini mencakup janji yang ia ikrarkan kepada Allah l maupun kepada manusia. Oleh karena itu, tatkala ia berjanji atas dirinya untuk sabar disembelih oleh bapaknya –karena perintah Allah l– ia pun menepatinya dengan menyerahkan dirinya kepada perintah Allah l. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 822 dan 496)
Adapun Nabi Muhammad n, beliau memperoleh bagian yang besar dalam permasalahan ini. Sebelum diutus oleh Allah, beliau n telah dijuluki sebagai seorang yang jujur lagi terpercaya. Maka tatkala beliau n diangkat menjadi rasul, tidaklah perangai yang mulia ini kecuali semakin sempurna pada dirinya. Sehingga orang-orang kafir pun mengaguminya, terlebih mereka yang mengikuti dan beriman kepadanya.
Adalah Nabi n pada tahun keenam Hijriah berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah beserta para sahabatnya. Waktu itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy. Ketika sampai di Al-Hudaibiyah, beliau n dan kaum muslimin dihadang oleh kaum musyrikin. Terjadilah di sana perundingan antara Rasulullah n dan kaum musyrikin. Disepakatilah butir-butir perjanjian yang di antaranya adalah gencatan senjata selama sepuluh tahun, tidak boleh saling menyerang, bahwa kaum muslimin tidak boleh umrah tahun ini tetapi tahun depan –di mana ini dirasakan sangat berat oleh kaum muslimin karena mereka harus membatalkan umrahnya–, dan kalau ada orang Makkah masuk Islam lantas pergi ke Madinah, maka dari pihak muslimin harus memulangkannya ke Makkah.
Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak Suhail –juru runding orang Quraisy– masuk Islam dan ingin ikut bersama sahabat Nabi n ke Madinah. Suhail pun mengatakan kepada Nabi n bahwa jika anaknya tidak dipulangkan kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan. Rasulullah n akhirnya menandatangani perjanjian tersebut dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan, dan muslimin harus membatalkan umrahnya. Namun di balik peristiwa itu justru kebaikan bagi kaum muslimin, di mana dakwah tersebar dan ada nafas untuk menyusun kembali kekuatan. Namun belumlah lama perjanjian itu berjalan, orang-orang kafir lah yang justru mengkhianatinya. Akibat pengkhianatan tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin pada peristiwa pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah) sehingga mereka bertekuk lutut dan menyerah kepada kaum muslimin. Dengan demikian, jatuhlah markas komando musyrikin ke tangan kaum muslimin. Manusia pun masuk Islam dengan berbondong-bondong. Demikianlah di antara buah menepati janji: datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah l. (Zadul Ma’ad, 3/262)
Para Salaf dalam Menepati Janji
Dahulu ada seorang sahabat Nabi n bernama Anas bin An-Nadhr z. Dia amat menyesal karena tidak ikut perang Badr bersama Rasulullah n. Dia berjanji jika Allah l memperlihatkan kepadanya medan pertempuran bersama Rasulullah n, niscaya Allah l akan melihat pengorbanan yang dilakukannya.
Ketika berkobar perang Uhud, dia berangkat bersama Rasulullah n. Dalam perang ini kaum muslimin terpukul mundur dan sebagian lari dari medan pertempuran. Di sinilah terbukti janji Anas. Dia terus maju menerobos barisan musuh sehingga terbunuh. Ketika perang telah usai dan kaum muslimin mencari para syuhada Uhud, didapati pada tubuh Anas bin An-Nadhr ada 80 lebih tusukan pedang, tombak, dan panah, sehingga tidak ada yang bisa mengenalinya kecuali saudarinya. Lalu turunlah ayat Al-Qur`an:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23) [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Ahzab, 3/484 dan Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 3200]
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i z, dia berkata: “Dahulu kami –berjumlah– tujuh atau delapan atau sembilan orang di sisi Nabi n. Maka beliau bersabda: “Tidakkah kalian berbai’at kepada Rasulullah?” Maka kami bentangkan tangan kami. Lantas ada yang berkata: “Kami telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah n, lalu atas apa kami membaiat anda?” Nabi n bersabda:
“Kalian menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya sedikitpun, kalian menegakkan shalat lima waktu, mendengar dan taat (kepada penguasa) –dan Nabi n mengucapkan kalimat yang samar– (lalu berkata), dan kalian tidak meminta sesuatu pun kepada manusia.”
‘Auf bin Malik z berkata: “Sungguh aku melihat cambuk sebagian orang-orang itu jatuh namun mereka tidak meminta kepada seorang pun untuk mengambilkannya.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2334)
Seperti itulah besarnya permasalahan menepati janji di mata generasi terbaik umat ini. Karena mereka yakin bahwa janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah l. Dan tiada kalimat yang terucap kecuali di sisinya ada malaikat pencatat. Intinya, keimanan yang benar itulah yang akan mewariskan segala tingkah laku dan perangai terpuji.
Hal ini sangat berbeda dengan orang yang hanya bisa memberi janji-janji manis yang tidak pernah ada kenyataannya. Tidakkah mereka takut kepada adzab Allah l karena ingkar janji? Tidakkah mereka tahu bahwa ingkar janji adalah akhlak Iblis dan para munafikin? Ya. Seruan ini mungkin bisa didengar, tetapi bagaimana bisa mendengar orang yang telah mati hatinya dan dikuasai oleh setannya.
Iblis Menebar Janji Manis
Semenjak Allah l menciptakan Adam q dan memuliakannya di hadapan para malaikat, muncullah kedengkian dan menyalalah api permusuhan pada diri Iblis. Terlebih lagi ketika Allah l mengutuknya dan mengusirnya dari surga. Iblis berikrar akan menyesatkan manusia dengan mendatangi mereka dari berbagai arah sehingga dia mendapat teman yang banyak di neraka nanti. Berbagai cara licik dilakukan oleh Iblis. Di antaranya dengan membisikkan pada hati manusia janji-janji palsu dan angan-angan yang hampa.
Pada waktu perang Badr, Iblis datang bersama para setan pasukannya dengan membawa bendera. Ia menjelma seperti seorang lelaki dari Bani Mudlaj dalam bentuk seseorang yang bernama Suraqah bin Malik bin Ju’syum. Ia berkata kepada kaum musyrikin: “Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini. Dan aku ini sesungguhnya pelindung kalian.” Tatkala dua pasukan siap bertempur, Rasulullah n mengambil segenggam debu lalu menaburkannya pada wajah pasukan musyrikin sehingga mereka lari ke belakang. Kemudian malaikat Jibril mendatangi Iblis. Ketika Iblis melihat Jibril dan waktu itu tangannya ada pada genggaman seorang lelaki, ia berusaha melepaskannya kemudian lari terbirit-birit beserta pasukannya. Lelaki tadi berkata: “Wahai Suraqah, bukankah kamu telah menyatakan pembelaan terhadap kami?” Iblis berkata: “Aku melihat apa yang tidak kamu lihat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/330 dan Ar-Rahiq Al-Makhtum hal. 304)
Allah l berfirman:
“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: ‘Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’ Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu berbalik ke belakang seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian; sesungguhnya aku melihat apa yang kalian tidak melihatnya; sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (Al-Anfal: 48)
Tanda-tanda Kemunafikan
Menepati janji adalah bagian dari iman. Barangsiapa yang tidak menjaga perjanjiannya maka tidak ada agama baginya. Maka seperti itu pula ingkar janji, termasuk tanda kemunafikan dan bukti atas adanya makar yang jelek serta rusaknya hati.
“Tanda-tanda munafik ada tiga; apabila berbicara dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Khishalul Munafiq no. 107 dari jalan Abu Hurairah z)
Seorang mukmin tampil beda dengan munafik. Apabila dia berbicara, jujur ucapannya. Bila telah berjanji ia menepatinya, dan jika dipercaya untuk menjaga ucapan, harta, dan hak, maka ia menjaganya. Sesungguhnya menepati janji adalah barometer yang dengannya diketahui orang yang baik dari yang jelek, dan orang yang mulia dari yang rendahan. (Lihat Khuthab Mukhtarah, hal. 382-383)
Menjaga Ikatan Perjanjian Walaupun Terhadap Orang Kafir
Orang yang membaca sirah (sejarah) Nabi n dan generasi Salafush Shalih akan mendapati bahwa menepati janji dan ikatan perjanjian tidak terbatas hanya sesama kaum muslimin. Bahkan terhadap lawan pun demikian. Sekian banyak perjanjian yang telah diikat antara Nabi n dan orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan musyrikin, tetap beliau n jaga, sampai mereka sendiri yang memutus tali perjanjian itu. Allah l berfirman:
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 4)
Dahulu antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan c ada ikatan perjanjian (gencatan senjata) dengan bangsa Romawi. Suatu waktu Mu’awiyah bermaksud menyerang mereka di mana dia tergesa-gesa satu bulan (sebelum habis masa perjanjiannya). Tiba-tiba datang seorang lelaki mengendarai kudanya dari negeri Romawi seraya mengatakan: “Tepatilah janji dan jangan berkhianat!” Ternyata dia adalah seorang sahabat Nabi n yang bernama ‘Amr bin ‘Absah. Mu’awiyah lalu memanggilnya. Maka ‘Amr berkata: “Aku mendengar Rasulullah n bersabda (yang artinya): “Barangsiapa antara ia dengan suatu kaum ada perjanjian maka tidak halal baginya untuk melepas ikatannya sampai berlalu masanya atau mengembalikan perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.” Akhirnya Mu’awiyah menarik diri beserta pasukannya. (Lihat Syu’abul Iman no. 4049-4050 dan Ash-Shahihah 5/472 hadits no. 2357)
Kalau hal itu bisa dilakukan terhadap kaum musyrikin, tentu lebih-lebih lagi terhadap kaum muslimin, kecuali perjanjian yang maksiat, maka tidak boleh dilaksanakan. Nabi n bersabda:
“Dan kaum muslimin (harus menjaga) atas persyaratan/perjanjian mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang dihalalkan atau menghalalkan yang haram.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1352, lihat Irwa`ul Ghalil no. 1303)
Menunaikan Nadzar dan Membayar Hutang
Di antara bentuk menunaikan janji adalah membayar hutang apabila jatuh temponya dan tiba waktu yang telah ditentukan. Nabi n bersabda:
“Barangsiapa yang mengambil harta manusia dalam keadaan ingin menunaikannya niscaya Allah akan (memudahkan untuk) menunaikannya. Dan barangsiapa mengambilnya dalam keadaan ingin merusaknya, niscaya Allah akan melenyapkannya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah z, lihat Faidhul Qadir, 6/54)
Adapun menunaikan nadzar, maka Allah l berfirman:
“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (Al-Insan: 7)
Janji yang Paling Berhak Untuk Dipenuhi
Nabi n bersabda:
“Syarat/janji yang paling berhak untuk ditepati adalah syarat yang kalian halalkan dengannya kemaluan.” (HR. Al-Bukhari no. 2721)
Yakni syarat/janji yang paling berhak untuk dipenuhi adalah yang berkaitan dengan akad nikah seperti mahar dan sesuatu yang tidak melanggar aturan agama. Jika persyaratan tadi bertentangan dengan syariat maka tidak boleh dilakukan, seperti seorang wanita yang mau dinikahi dengan syarat ia (laki-lakinya) menceraikan isterinya terlebih dahulu. (Lihat Fathul Bari, 9/218)
Larangan Ingkar Janji terhadap Anak Kecil
Sikap mengingkari janji terhadap siapapun tidak dibenarkan agama Islam, meskipun terhadap anak kecil. Jika ini yang terjadi, disadari atau tidak, kita telah mengajarkan kejelekan dan menanamkan pada diri mereka perangai yang tercela.
Al-Imam Abu Dawud t telah meriwayatkan hadits dari sahabat Abdullah bin ‘Amir c dia berkata: “Pada suatu hari ketika Rasulullah n duduk di tengah-tengah kami, (tiba-tiba) ibuku memanggilku dengan mengatakan: ‘Hai kemari, aku akan beri kamu sesuatu!’ Rasulullah n mengatakan kepada ibuku: ‘Apa yang akan kamu berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab: ‘Kurma.’ Lalu Rasulullah n bersabda:
أَمَا إِنَّكِ لَوْ لـَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ
“Ketahuilah, seandainya kamu tidak memberinya sesuatu maka ditulis bagimu kedustaan.” (HR. Abu Dawud bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498, lihat Ash-Shahihah no. 748)
Di dalam hadits ini ada faedah bahwa apa yang biasa diucapkan oleh manusia untuk anak-anak kecil ketika menangis seperti kalimat janji yang tidak ditepati atau menakut-nakuti dengan sesuatu yang tidak ada adalah diharamkan. (‘Aunul Ma’bud, 13/ 229)
Abdullah bin Mas’ud z berkata:
لَا يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جِدٍّ وَلَا هَزْلٍ، وَلَا أَنْ يَعِدَ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ شَيْئًا ثُمَّ لَا يُنْجِزُ لَهُ
“Kedustaan tidak dibolehkan baik serius atau main-main, dan tidak boleh salah seorang kalian menjanjikan anaknya dengan sesuatu lalu tidak menepatinya.” (Shahih Al-Adabul Mufrad no. 300)
Larangan Menunaikan Janji Yang Maksiat
Menunaikan janji ada pada perkara yang baik dan maslahat, serta sesuatu yang sifatnya mubah/boleh menurut syariat. Adapun jika seorang memberikan janji dengan suatu kemaksiatan atau kemudaratan, atau mengikat perjanjian yang mengandung bentuk kejelekan dan permusuhan, maka menepati janji pada perkara-perkara ini bukanlah sifat orang-orang yang beriman, dan wajib untuk tidak menunaikannya. Nabi n bersabda:
لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak boleh menepati nadzar dalam maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad dari sahabat Jabir z, lihat Shahihul Jami’ no. 7574)
Surga Firdaus bagi yang Menepati Janji
Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman lagi bersih. Dan surga bertingkat-tingkat keutamaannya, sedangkan yang tertinggi adalah Firdaus. Darinya memancar sungai-sungai yang ada dalam surga dan di atasnya adalah ‘Arsy Ar-Rahman. Tempat kemuliaan yang besar ini diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang baik, di antaranya adalah menepati janji. Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)
Nabi n bersabda (yang artinya): “Jagalah enam perkara dari kalian niscaya aku jamin bagi kalian surga; jujurlah bila berbicara, tepatilah jika berjanji, tunaikanlah apabila kalian diberi amanah, jagalah kemaluan, tundukkanlah pandangan dan tahanlah tangan-tangan kalian (dari sesuatu yang dilarang).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Ash-Shahihah no. 1470)
Ingkar Janji Mendatangkan Kutukan dan Menjerumuskan ke dalam Siksa
Siapapun orangnya yang masih sehat fitrahnya tidak akan suka kepada orang yang ingkar janji. Karenanya, dia akan dijauhi di tengah-tengah masyarakat dan tidak ada nilainya di mata mereka.
Namun anehnya ternyata masih banyak orang yang jika berjanji hanya sekedar igauan belaka. Dia tidak peduli dengan kehinaan yang disandangnya, karena orang yang punya mental suka dengan kerendahan tidak akan risih dengan kotoran yang menyelimuti dirinya. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 55-56)
Nabi n bersabda:
لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ عِنْدَ إِسْتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Bagi setiap pengkhianat (akan ditancapkan) bendera pada pantatnya di hari kiamat.” (HR. Muslim bab Tahrimul Ghadr no. 1738 dari Abu Sa’id Al-Khudri z)
Khatimah
Demikianlah indahnya wajah Islam yang menjunjung tinggi etika dan adab pergaulan. Ini sangat berbeda dengan apa yang disaksikan oleh dunia saat ini berupa kecongkakan Yahudi, Nasrani, dan musyrikin serta pengkhianatan mereka terhadap kaum muslimin.
Saat menapaki sejarah, kita bisa menyaksikan, para pengkhianat perjanjian akan berakhir dengan kemalangan. Tentunya tidak lupa dari ingatan kita tentang nasib tiga kelompok Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizhah, Bani An-Nadhir, dan Bani Qainuqa’ yang berkhianat setelah mengikat tali perjanjian dengan Rasulullah n yang berujung dengan kehinaan. Di antara mereka ada yang dibunuh, diusir, dan ditawan.
Mungkin watak tercela itu sangat melekat pada diri mereka karena tidak adanya keimanan yang benar. Tetapi bagi orang-orang yang mendambakan kebahagiaan hakiki dan ditolong atas musuh-musuhnya, mereka menjadikan etika yang mulia sebagai salah satu modal dari sekian modal demi tegaknya kalimat Allah l dan terwujudnya harapan. Yakinlah, Islam akan senantiasa tinggi, dan tiada yang lebih tinggi darinya. Wallahu a’lam.
 
baca selanjutnya “Menepati Janji”

Saudaraku Koreksilah Pergaulanmu

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah)

Sebagai jalan hidup dan agama yang mengemban misi rahmatan lil ‘alamin, Islam tentu mengatur kaidah bermuamalah atau bergaul bagi pemeluknya. Baik itu terhadap sesama muslim maupun pemeluk agama lain. Tidak mengentengkan yakni tidak tenggelam dalam budaya toleransi yang menjebak, namun juga tidak berlebihan semisal melakukan tindak anarkis.

Tentu bukan hal aneh lagi jika kita menjumpai bermacam-macam warna dan perilaku dalam kehidupan masyarakat kita. Ini terjadi dengan sebab yang beragam. Terkadang dilatarbelakangi lingkungan, masyarakat, pergaulan (bebas), teman-teman, dan sebagainya. Semuanya ini menuntut agar kita bisa memosisikan syariat sebagai landasan pergaulan sehingga bisa merangkul semua perbedaan tersebut dengan cara menyingkirkan sesuatu yang tidak ada syariatnya dan mengokohkan yang ada tuntunannya dari Rasulullah n.
Ironinya, perbedaan itu selama ini justru dijadikan sebuah kebanggaan sebagai bentuk keangkuhan dan kesombongan. Bahkan ada yang sudah dijadikan sebagai ajaran yang harus dianut oleh setiap orang. Akhirnya setiap seruan yang mengajak kepada adab dan akhlak Islami menjadi sebuah seruan yang tidak berarti. Atau jika ada orang yang mempraktikkan adab bergaul yang Islami justru dicibir, dianggap aneh dan asing, bahkan dilekati tuduhan yang bukan-bukan. Atau divonis sebagai orang yang melakukan pengrusakan dan kehancuran sebagaimana igauan Fir’aun menanggapi akhlak dan perilaku serta dakwah Nabi Musa q:
"Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): ‘Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi’.” (Ghafir: 26)
Igauan pengikut Fir’aun juga menimpa Nabi Harun q, saudara Musa q:
“Mereka berkata: ‘Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kalian dari negeri kalian dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kalian yang utama’.” (Thaha: 63)
Bahkan kaum munafiqin berusaha cuci tangan dari perbuatan mereka yang jelas-jelas rusak dengan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang melakukan perbaikan.
“Dan bila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’. Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan’.” (Al-Baqarah: 11) [Lihat kitab Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna karya Asy-Syaikh Muqbil v hal. 11]
Padahal Rasulullah n telah memerintahkan agar setiap orang berakhlak di hadapan manusia dengan akhlak yang mulia.
“Dan berakhlaklah kamu kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi no. 1988 dari sahabat Abu Dzar Jundub bin Junadah z dan Abu Abdurrahman Mu’adz bin Jabal z, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani v dalam Shahihul Jami’ no. 96)
Bahkan berbudi pekerti yang baik merupakan tonggak dakwah Rasulullah n:
“Sesungguhnya aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan budi pekerti.” (HR. Al-Imam Ahmad t dalam Musnad beliau, 2/318, dan Al-Imam Al-Bukhari t dalam Al-Adabul Mufrad no. 273, dari Abu Hurairah z)
Bahkan permasalahan budi pekerti inilah yang diwanti-wanti oleh Allah l pada dakwah rasul-Nya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Bahkan Allah l memerintahkan kepada Nabi-Nya Musa dan Harun  e menghadapi sejahat-jahat manusia di permukaan bumi ini, yaitu Fir’aun, dengan penuh kelemahlembutan.
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44)

Manusia Dalam Hidup
Bersikap dan menyikapi manusia serta bergaul bersama mereka membutuhkan ilmu yang dalam tentang syariat, karena manusia memiliki ragam agama dan aliran serta memiliki ragam perangai dan tabiat. Untuk memudahkan kita dalam pembahasan tentang hal bergaul dengan manusia, secara umum kita mengklasifikasikan mereka menjadi dua golongan:
Pertama: Kafir
Kedua: Muslim
Allah l dan Rasul-Nya n telah mengajarkan kepada kita cara bergaul dan bermuamalah bersama mereka, baik yang kafir atau yang muslim. Hal ini menunjukkan kesempurnaan Islam dan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi semesta alam. Allah l berfirman:
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
Sehingga tidak ada lagi alasan untuk salah dalam bergaul bersama mereka, baik yang beriman ataupun yang ingkar kepada Allah l, karena hujjah telah tegak, malamnya bagaikan siangnya (telah demikian jelas).
“Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 42)

Bergaul dengan Orang-Orang Kafir
Dengan kasih sayang Allah l terhadap hamba-hamba-Nya, Dia telah membimbing bagaimana semestinya bergaul bersama orang-orang kafir yang berbeda agama. Allah l telah menjelaskan segala perkara yang merupakan ciri hidup mereka, berikut bentuk kedengkian mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Semuanya ini memiliki hikmah agar kaum mukminin selalu berada di atas kemuliaan pada agamanya, sehingga agama orang-orang kafir rendah dan hina.
Belakangan ini kita tidak bisa memilah antara orang-orang muslim dan kafir dalam banyak perkara. Bahkan perkara yang merupakan prinsip agama, yaitu masalah al-wala` (loyalitas) dan al-bara` (berlepas diri), telah menjadi sesuatu yang pudar dalam kehidupan beragama kaum muslimin.
Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk berpegang dengan prinsip-prinsip aqidah Islamiyah dengan cara berloyalitas terhadap pemeluknya dan memusuhi musuh-musuhnya, mencintai ahli tauhid dan berloyalitas kepadanya, benci terhadap ahli syirik dan memusuhinya. Hal ini termasuk millah Ibrahim dan orang-orang yang beriman bersamanya. Dan Allah l telah memerintahkan kita untuk mencontoh mereka sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah saja’.” (Al-Mumtahanah: 4)
Dan prinsip ini merupakan agama Rasulullah n sebagaimana firman Allah l:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al-Ma`idah: 51) [Lihat Al-Wala` wal Bara` karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 4)
Allah l telah memperingatkan dalam banyak hal dan membongkar kedengkian serta kebencian orang-orang kafir terhadap Islam dan kaum muslimin. Seperti dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian menjadi teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepada kalian, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kalian karena kalian beriman kepada Allah.” (Al-Mumtahanah: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian ambil orang-orang yang di luar kalangan kalian menjadi teman kepercayaan kalian, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya.” (Ali ‘Imran: 118)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang konsep hidup mereka terhadap Islam dan kaum muslimin yang penuh dengan kedengkian serta niat jahat. Maka, tidak pantas seorang muslim menjadikan mereka sebagai sahabat di dalam hidup dan teman bergaul sehari-hari.
Di antara sikap-sikap yang diajarkan Allah l dan Rasul-Nya n terhadap orang-orang kafir adalah sebagai berikut:
1. Tidak menyerupai mereka dalam semua perkara, terlebih dalam masalah aqidah dan ibadah. Rasulullah n telah memperingatkan masalah ini dalam sebuah sabda beliau:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, niscaya dia termasuk dari mereka.” (HR. Al-Imam Ahmad dari sahabat Ibnu ‘Umar c)
2. Larangan menyerupai mereka dalam seluruh perkara, seperti menyerupai mereka dalam pakaian khas mereka, adat/kebiasaan, ibadah, dan akhlak. Seperti mencukur jenggot, memanjangkan kumis, berbicara dengan bahasa mereka tanpa ada keperluan/hajat, cara berpakaian, makan, minum dan sebagainya.
3. Tidak bertempat tinggal di negeri mereka atau pergi ke negeri mereka.
Allah l telah mengancam orang-orang yang tidak mau meninggalkan negeri orang-orang kafir padahal mereka sanggup untuk melakukan hal itu dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (An-Nisa`: 97-98)
Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya diri sendiri di sini ialah muslimin Makkah yang tidak mau hijrah bersama Nabi n padahal mereka sanggup melakukannya. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badr. Akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.
4. Tidak membela mereka dengan mendukung segala permusuhannya terhadap Islam dan kaum muslimin. Membela mereka dengan cara demikian atau sampai ke martabat ini termasuk yang akan mengeluarkannya dari Islam. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab v menyebutkan di antara sepuluh pembatal keislaman adalah membela orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin.
5. Tidak meminta bantuan kepada mereka, memercayai mereka, dan menyerahkan posisi strategis yang menyangkut rahasia kaum muslimin.
Dan banyak lagi cara berhubungan serta bergaul yang bertentangan dengan syariat Allah l dan Rasul-Nya n yang kesimpulannya berujung pada meletakkan wala` (loyalitas) sebagaimana kita berikan kepada saudara kita sesama muslim.

Bergaul dengan Orang-Orang Islam
Berteman karena agama adalah sebuah anjuran, dan mencari teman yang baik adalah sebuah perintah. Sementara berteman dengan orang yang tidak baik justru akan membahayakan bagi diri dan agamanya. Allah l telah menegaskan dalam masalah ini dalam firman-Nya:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (An-Najm: 29-30)
Untuk lebih jelasnya serta agar bisa mendudukkan tuntunan agama dalam bermualah bersama mereka, kita klasifikasikan kaum muslimin menjadi beberapa golongan. Ini (bukan kondisi yang memang harus diterima apa adanya, namun) semata-mata mendekatkan kepada pemahaman.

Pertama: Golongan orang-orang yang benar-benar beriman.
Orang yang beriman kepada Allah l dengan sebenar-benarnya, memiliki kedudukan yang tinggi di sisi-Nya dan mendapatkan nama yang harum. Sungguh betapa banyak ayat-ayat Al-Qur`an yang menjelaskan pujian Allah l terhadap mereka dan mengangkat kedudukan mereka yang tinggi.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (Al-Bayyinah: 7)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr: 1-3)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu`minun: 1-6)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan kedudukan mereka yang mulia di sisi Allah l. Tentunya bergaul bersama mereka dengan pergaulan yang penuh kasih sayang dan cinta, menganggap mereka sebagai saudara dalam agama dan aqidah sekalipun berbeda nasab, berjauhan negeri, dan berbeda zaman. Hal ini dipertegas olah Allah l dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang di antara mereka.” (Al-Fath: 29)
Menganggap mereka adalah saudara dan berusaha mendamaikan bila terjadi perselisihan di antara mereka.
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudara kalian itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kalian mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)
Rasulullah n bersabda:
“Perumpamaan persaudaraan orang-orang yang beriman bagaikan sebuah bangunan yang sebagiannya menguatkan yang lain.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim no. 2585 dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari z)
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta dan berkasih sayang, mereka bagaikan satu jasad yang bila salah satu anggota badannya sakit, seluruh jasadnya merasakan sakit panas dan berjaga.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim no. 2586 dari sahabat An-Nu’man bin Basyir c)
Juga sebagai bentuk penerapan pergaulan kita bersama mereka adalah berloyalitas kepada mereka secara sempurna:
“Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Ma`idah: 55)

Kedua: Golongan Orang-orang yang Bermaksiat
Teman sangat memengaruhi baik tidaknya agama seseorang dan berpengaruh pula terhadap kebahagiaan dunia dan akhirat. Kisah kematian Abu Thalib paman Rasulullah n sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim tentu bukanlah rahasia lagi. Diceritakan bahwa dia memilih tetap bersama agama nenek moyangnya, padahal Rasulullah n di samping ranjang kematiannya mentalqin kalimat Laa ilaha illallah. Ini dikarenakan mengultuskan ajaran nenek moyang dan salah dalam memilih teman bergaul. (Lihat Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab v)
Oleh karena itu, Rasulullah n memperingatkan agar kita berhati-hati dalam mencari teman.
“Seseorang sesuai dengan agama/adat kebiasaan temannya, maka lihatlah teman bergaulnya.” (HR. Abu Dawud no. 4833 dan At-Tirmidzi no. 2379 dari sahabat Abu Hurairah z)
“Perumpamaan teman yang baik dan jelek adalah seperti berteman dengan penjual minyak wangi dan tukang pandai besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim no. 2628 dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari z)
Ada dua atau tiga kemungkinan bagimu jika engkau berteman dengan tukang minyak wangi. (Pertama) engkau membeli wewangian darinya sehingga engkau menjadi wangi, (kedua) dia memberimu, atau (ketiga) engkau mencium bau yang harum. Sebaliknya jika engkau berteman dengan tukang pandai besi hanya ada dua kemungkinan: dia akan membakar pakaianmu dengan percikan api tersebut, atau engkau mencium bau yang tak sedap.
Orang yang bermaksiat kepada Allah l berada dalam murka Allah l. Tentunya jangan dijadikan sebagai teman hidup kecuali dalam batasan agama, seperti mendakwahi mereka dan mengajak untuk meninggalkan kebiasaan mereka yang jelek. Allah l berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Ketiga: Golongan Orang-orang Awam
Orang awam membutuhkan bantuan orang-orang alim untuk mengajari mereka bimbingan agama. Bukan untuk dihakimi dan divonis bila melakukan kesalahan di atas kejahilan/keawaman mereka. Namun untuk diingatkan dan dibimbing ke jalan yang benar. Rasulullah n bersabda:
“Agama itu adalah nasihat.” Mereka berkata: “Bagi siapa, ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Bagi Allah, bagi kitab-kitab-Nya, bagi rasul-rasul-Nya, bagi pemimpin kaum muslimin dan orang umum mereka.” (HR. Muslim no. 55 dari sahabat Tamim bin Aus Ad-Dari z)
Bila kita salah meletakkan sikap terhadap mereka, dikhawatirkan mereka menjauh dari kebenaran bahkan fobi terhadapnya. Bila hal itu terjadi karena diri kita, akan menyebabkan kita terjatuh di dalam dosa, sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah n kepada Mu’adz bin Jabal z dan Abu Musa Al-Asy’ari z: “Berilah mereka kabar gembira dan jangan engkau menyebabkan mereka lari (dari kebenaran).”
Allah l sendiri meletakkan hukum khusus bagi mereka, sebagaimana di dalam firman-Nya:
“Dan kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra`: 15)
Asy-Syaukani v di dalam tafsir beliau berkata: “Allah tidak akan mengadzab hamba-Nya kecuali setelah tegak hujjah dengan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab kepada mereka. Allah l menjelaskan bahwa Dia tidak membiarkan mereka hidup sia-sia dan Allah l tidak akan menyiksa mereka melainkan setelah tegak hujjah atas mereka. Dan pendapat yang rajih adalah bahwa Allah l tidak mengadzab mereka di dunia ataupun di akhirat, kecuali setelah diutusnya para rasul kepada mereka. Demikianlah yang dikatakan oleh sebagian ahli ilmu.” (Fathul Qadir, hal. 956)
Namun orang-orang awam tersebut akan keluar dari hukum khusus di atas apabila keawamannya tersebut disebabkan tiga perkara:
Pertama: Disebabkan istikbar (menyombongkan diri) dengan tidak mau mempelajari kebenaran atau sombong di hadapan kebenaran, maka kejahilan yang disebabkan hal ini tidak akan diampuni oleh Allah l bila dia terjatuh dalam kemaksiatan karenanya.
Kedua: Disebabkan tafrith (mengentengkan dan meremehkan) pengajaran ilmu agama yang benar sehingga tidak mau mempelajarinya terlebih mengamalkannya.
Ketiga: Disebabkan i’radh (berpaling) dari mempelajari ilmu agama sehingga bila dia terjatuh dalam penyelisihan karena kejahilannya, maka tidak akan dimaafkan. (lihat faidah dalam syarah Kasyfus Subhat)
Bergaul bersama mereka dalam tiga sebab kejahilan ini harus ekstra hati-hati dan harus menjauhkan diri dari mereka, karena mereka tidak akan mendatangkan kebaikan sedikitpun bagi agama. Dalam bergaul bersama orang yang benar-benar awam, Rasulullah n menjadi uswatun hasanah dalam hal ini. Abu Hurairah z mengisahkan:
Dari Abu Hurairah berkata: Seorang Badui kencing di masjid, lalu orang-orang bangkit untuk memukulnya (dalam riwayat yang lain mereka menghardiknya). Rasulullah berkata: “Biarkan dia, tuangkan air di atas kencingnya atau satu ember dari air karena sesungguhnya kalian diutus sebagai pemberi kemudahan bukan memberikan kesulitan.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab)

Keempat: Golongan Ahli Bid’ah dan orang yang terjatuh padanya
Kita memaklumi bahwa kemaksiatan yang paling besar setelah dosa kufur dan syirik adalah kebid’ahan di dalam agama. Sebuah kemaksiatan yang paling dicintai dan disukai oleh iblis. Hal ini ditegaskan oleh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri v: “Sesungguhnya kebid’ahan amat sangat disenangi oleh iblis daripada perbuatan maksiat. Karena (orang yang melakukan) perbuatan bid’ah tidak akan (kecil kemungkinan) bertaubat darinya. Sedangkan kemaksiatan akan (memungkinkan pelakunya) bertaubat darinya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v menjelaskan, makna pernyataan bahwa kebid’ahan tidak akan diberi taubat, karena seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) menjadikan sesuatu yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah l dan Rasul-Nya sebagai agama. Dan kebid’ahan itu telah dihiasi dengan kejelekan amalannya sehingga nampaknya baik. Tentunya dia tidak akan bertaubat selama dia menganggap perbuatannya adalah baik, karena awal dari pintu bertaubat adalah mengetahui tentang kejelekan tersebut.” (At-Tuhfatul ‘Iraqiyyah, hal. 7)
Rasulullah n telah memperingatkan dari perbuatan yang disukai iblis ini sebelum terjadinya, dalam banyak sabdanya. Di antaranya:
“Dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru dalam agama, dan setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan itu sesat.”  (HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2678 dan selain beliau berdua dari sahabat ‘Irbadh bin Sariyah z. Dan disebutkan oleh Rasulullah n dalam khutbatul hajah dalam riwayat Al-Imam Muslim dari sahabat Jabir z)
Tentang pelakunya, beliau telah memperingatkan dengan tegas dan keras sebagaimana ucapan beliau tentang Khawarij. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah n mengatakan: “Dari keturunan orang ini muncul suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur`an namun tidak sampai tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya. Mereka membunuh orang-orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Jika saya menjumpai mereka, akan saya perangi mereka sebagaimana Allah memerangi kaum ‘Ad.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)
Dalam kesempatan yang lain beliau n bersabda: “Di mana saja kalian menjumpai mereka maka bunuhlah mereka, karena membunuh mereka mendapatkan pahala bagi pembunuhnya pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat ‘Ali z)
Juga sabda beliau n: “Barangsiapa membunuh mereka maka dialah orang yang paling utama di sisi Allah.” (HR. Abu Dawud no. 4765 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri z dan Anas bin Malik z)
Dalam kesempatan yang lain beliau bersabda: “Berbahagialah orang yang membunuh mereka dan terbunuh oleh mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4765 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)
Dalam kesempatan yang lain beliau bersabda: “(Mereka adalah) sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah kolong langit.” (HR. Ahmad no. 19172 dari sahabat Abdullah bin Abi Aufa z)
Tidak termasuk seorang yang benar imannya jika dia menganggap banyak perkara syariat yang belum disampaikan oleh Rasulullah n. Tidak termasuk berjalan di atas jalan Rasulullah n jika kita bergandengan tangan dengan ahli bid’ah dan duduk bersamanya dalam satu majelis.
Para ulama salaf telah mengajarkan kita sikap bergaul yang baik dengan ahli bid’ah.
Sufyan Ats-Tsauri t berkata: “Barangsiapa mendengar ucapan ahli bid’ah maka dia telah keluar dari pemeliharaan Allah l dan dia dilimpahkan kepada kebid’ahan tersebut.”
Fudhail bin ‘Iyadh t berkata: “Barangsiapa duduk bersama ahli bid’ah maka dia tidak akan diberikan hikmah.” Beliau juga berkata: “Jangan kalian duduk bersama ahli bid’ah karena aku takut laknat menimpamu.“ Beliau berkata pula: “Barangsiapa mencintai ahli bid’ah maka telah batal amalannya dan telah keluar cahaya Islam dari dalam hatinya.” Beliau berkata juga: “Barangsiapa yang duduk bersama ahli bid’ah di sebuah jalan (dan kamu lewat di majelis tersebut) maka hendaklah kamu mengambil jalan yang lain.”
Beliau juga berkata: “Barangsiapa memuliakan ahli bid’ah berarti dia telah membantunya untuk menghancurkan Islam. Barangsiapa memberikan senyumnya kepada ahli bid’ah maka sungguh dia telah menyepelekan apa yang diturunkan kepada Rasulullah n. Barangsiapa yang menikahkan anaknya bersama ahli bid’ah maka sungguh dia telah memutuskan hubungan kekeluargaan. Dan barangsiapa yang mengikuti jenazah ahli bid’ah maka dia terus berada dalam murka Allah l sampai dia kembali.”
Bahkan beliau berkata: “Aku bisa saja makan bersama seorang Yahudi dan Nasrani, namun aku tidak akan makan bersama ahli bid’ah. Aku senang bila ada benteng dari besi antara diriku dengan ahli bida’h.” (Lihat Syarhus Sunnah, Al-Imam Al-Barbahari v hal. 137-139)
Adapun mereka yang terjatuh dalam kebid’ahan dalam keadaan tidak mengetahui itu adalah sebuah kebid’ahan dalam agama. Kita berharap kepada Allah l semoga Allah l memberikan hidayah kepada mereka dan memaafkan kesalahan mereka. Sikap kita kepada mereka adalah sebagaimana sikap kita terhadap orang yang awam, yang butuh diselamatkan dan diajak kepada jalan yang benar.
Terkadang seseorang tergiur dengan sebuah penampilan sunnah seperti pakaian sunnah, jenggot sunnah, ‘imamah sunnah, dan sebagainya. Namun apalah artinya jika engkau menampilkan sunnah sementara engkau tidak berjalan di atas jalan Sunnah Rasulullah n. Engkau tidak beraqidah di atas aqidah beliau, engkau tidak beribadah sesuai dengan tuntunan beliau n dan sebagainya. Butuh alat pembanding dan penilai, itulah kebenaran. Oleh karena itu “kenalilah kebenaran, engkau akan mengenal pemeluk kebenaran.” Wallahu a‘lam bish-­shawab.

sumber : http://www.asysyariah.com/syariah/akhlak/91-saudaraku-koreksilah-pergaulanmu-akhlak-edisi-33.html
baca selanjutnya “Saudaraku Koreksilah Pergaulanmu”