Minggu, 31 Juli 2011

BERPUASA DAN BERBUKA BERSAMA PENDUDUK NEGERI

Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz Rahimahullah ditanya:

Sesungguhnya saya berbuka puasa dihari terakhir bulan ramadhan di Irak setelah saya mendengar melalui radio siaran Arab Saudi bahwa hilal (syawal) telah terlihat, demikian pula melalui siaran Radio Suriah, dan yang lainnya. Maka saya pun berbuka puasa (menetapkan satu syawal) dibangun diatas hal tersebut. Perlu diketahui bahwa sayapun tahu bahwa negeri tempat saya bermukim penduduknya masih melanjutkan puasanya. Bagaimana hukum hal ini? Apa yang menjadi sebab perselisihan kaum muslimin tentang bulan ramadhan?

Beliau menjawab:

Yang wajib bagimu untuk tetap bersama penduduk negerimu, jika mereka berbuka maka berbukalah bersama mereka, dan jika mereka berpuasa maka berpuasalah bersama mereka. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

الصَّوْمُ يوم تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يوم تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يوم تُضَحُّونَ

“Berpuasa adalah dihari kalian berpuasa, dan berbuka adalah dihari kalian berbuka, dan berkurban adalah dihari kalian berkurban”.

(HR.Tirmidzi:kitab ash-shaum, bab: ma jaa ash-shaumu yauma tashuumuun wal fithru yauma tufthiruun,no:697)

Dan perselisihan merupakan keburukan. Yang wajib bagimu untuk selalu bersama penduduk negerimu, jika kaum muslimin di negerimu telah berbuka maka berbukalah bersama mereka, dan jika mereka berpuasa maka berpuasalah bersama mereka.

Adapun sebab terjadinya perselisihan adalah karena sebagian terkadang telah melihat hilal sedangkan yang lain belum melihatnya, kemudian orang-orang yang melihat hilal tersebut dipercaya oleh yang lain dan merasa tenang dengannya lalu merekapun mengamalkan ru’yah tersebut, dan terkadang yang lain tidak percaya dengan ru’yah tersebut sehingga mereka tidak mengamalkannya, maka terjadilah perselisihan. Terkadang satu negeri telah melihatnya dan menjadikan itu sebagai ketetapan sehingga mereka berpuasa dengannya, sementara negeri yang lain tidak merasa cukup dengan ru’yah tersebut atau tidak mempercayainya, atau diantara negeri-negeri tersebut terjadi permusuhan, karena terkadang suasana politik cukup memberi pengaruh.

Maksud kami adalah yang wajib bagi kaum muslimin agar mereka berpuasa seluruhnya jika telah terlihat hilal berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

إذا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وإذا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا

“Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya maka berbukalah.”

(HR.Bukhari,kitab ash-shaum, bab: hal yuqaal ramadhaan aw syahru ramadhan,no:1900.Muslim, kitab ash-shiyaam, bab: wujub shaumi ramadhan liru’yatil hilaal,no:108)

Dan sabdanya:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ

“Berpuasalah jika melihatnya dan berbukalah jika melihatnya, dan jika terhalangi oleh kalian mendung maka sempurnakanlah bilangan hari dibulan tersebut.”

(HR.Bukhari ,bab: qaulun nabi Shallallahu Alaihi Wasallam idza ra’itumul hilaal,no:1909. Muslim, kitabus shiyaam, bab: wujub shaumi ramadhan liru’yatil hilal,no:1081)

Hadits ini mencakup seluruh umat. Maka jika seluruh kaum muslimin merasa cukup dengan keabsahan terjadinya ru’yah, dan bahwa itu merupakan ru’yah yang hakiki dan sah. Maka yang wajib bagi kaum muslimin menetapkan puasa dan berbuka dengannya. Namun jika kaum muslimin berselisih –seperti kenyataan yang ada- dan sebagian kurang percaya kepada sebagian yang lain, maka wajib bagimu berpuasa bersama kaum muslimin di negerimu, dan berbuka bersama mereka, sebagai bentuk pengamalan terhadap sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

الصَّوْمُ يوم تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يوم تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يوم تُضَحُّونَ

“Berpuasa adalah dihari kalian berpuasa, dan berbuka adalah dihari kalian berbuka, dan berkurban adalah dihari kalian berkurban”.

(HR.Tirmidzi:kitab ash-shaum, bab: ma jaa ash-shaumu yauma tashuumuun wal fithru yauma tufthiruun,no:697)



Telah tsabit pula dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwa ada seseorang yang mengabarkan kepada Beliau bahwa penduduk negeri Syam berpuasa pada hari jum’at, sementara penduduk Madinah berpuasa pada hari sabtu pada masa Ibnu Abbas yang merupakan generasi pertama. Maka Ibnu Abbas berkata:

“Kami melihat hilal pada hari sabtu, sehingga kami masih terus melanjutkan puasa hingga kami melihat hilal atau menyempurnakan jumlah bulan menjadi tigapuluh hari.”

Beliau tidak merasa cukup dengan ru’yah penduduk negeri Syam disebabkan karena jauhnya negeri Syam dari kota Madinah, dan Beliau melihat bahwa ini merupakan perkara ijtihad. Maka engkau punya contoh dari Ibnu Abbas dalam hal kamu berpuasa bersama penduduk negerimu dan berbuka bersama penduduk negerimu. Semoga Allah memberi taufik.



Adapun hari yang dia berbuka padanya (tidak berpuasa,pen), tidak perlu dia menggantinya, sebab itu bukanlah termasuk bulan ramadhan, sebab telah jelas bahwa itu tidak termasuk bulan ramadhan, namun jika seandainya dia tidak membatalkan puasanya maka hal itu lebih utama. Namun adapun dia sudah terlanjur berbuka, maka tidak perlu ia menggantinya, sebab telah jelas hari itu termasuk bulan syawal dan bukan ramadhan. Namun berpuasanya dia bersama penduduk negerinya dalam hal menjaga agar tidak terjadi perselisihan. Namun jika hal itu sudah terlanjur terjadi, maka tidak ada qadha atasnya –itulah yang kami yakini- sebab hal itu telah disaksikan oleh para saksi bahwa hari itu termasuk bulan syawal.”

(Dari fatawa Nur Ald- Darb, hal:1219)

sumber : http://www.salafybpp.com/fiqh/135-berpuasa-dan-berbuka-bersama-penduduk-negeri.html

baca selanjutnya “BERPUASA DAN BERBUKA BERSAMA PENDUDUK NEGERI”

Hukum - Hukum Seputar Puasa Ramadhan Bagian III

Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Soal 3 : Seseorang yang bekerja sebagai sopir angkutan luar kota pada bulan Romadlon, apakah dia dihukumi sebagai seorang yang bersafar (bepergian) ? Dan bagaimana dengan amalannya?

Jawab : Na'am, dia dihukumi sebagai seorang yang bersafar (bepergian). Berlaku baginya hukum sholat Qoshor, jama' dan berbuka puasa. Apabila dikatakan: "Kapan mereka berpuasa dan beramal secara rutin?"
Kami katakan : "Mereka berpuasa pada hari-hari yang mudah untuk menjalankannya". Adapun sopir dalam kota tidak berlaku atasnya hukum safar dan wajib untuk menjalankan puasa. (Syaikh Ibnu Utsaimin)

(Di terjemahkan oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Kitab Fatawa As Shiyam Syaikh bin Baz dan Syaikh Utasimin, Syarhul Mumthi’ Ibnu Utsaimin, Ijabatus Sail Syaikh Muqbil bin Hadi )

Buletin Da'wah Al-Atsary, Semarang. Edisi 17 / 1427 H
Dikirim via email oleh Al-Akh Dadik
( sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=371 )

baca selanjutnya “Hukum - Hukum Seputar Puasa Ramadhan Bagian III”

Hukum - Hukum Seputar Puasa Ramadhan Bagian II

Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Soal 2 : Apa hukum bagi seorang yang menjalankan puasa Romadlon akan tetapi dia tidur di sepanjang siang ? Seseorang yang tidur dan bangun hanya untuk menjalankan perkara yang difardlukan kemudian tidur kembali ?

Jawab : Ada dua keadaan dalam soal ini :
1.Seseorang yang tidur di sepanjang siang pada bulan Romadlon dalam keadaan dia berpuasa, yang demikian tidak diragukan lagi bahwa dia telah berbuat kejahatan pada dirinya sendiri dan berbuat maksiat kepada Alloh dengan meninggalkan sholat tepat pada waktunya. Apabila dia termasuk ahlul jamaah (orang yang diwajibkan untuk menjalankan sholat berjamaah dimasjid) maka dirinya telah meninggalkan jamaah dan itu adalah haram. Wajib baginya bertaubat kepada Alloh dan menjalankan sholat lima waktu tepat pada waktunya dengan berjamaah di masjid.
2.Seseorang yang tidur pada bulan Romadlon dan bangun hanya untuk menjalankan sholat yang difardlukan tepat pada waktunya dengan berjamaah, yang demikian tidak berdosa akan tetapi dia telah terluput dari amal kebaikan yang banyak. Seyogyanya orang yang berpuasa menyibukkan dirinya dengan sholat, dzikir, doa dan membaca Al-Quran sehingga terkumpul dalam puasanya ibadah-ibadah yang lainnya. Sesungguhnya orang yang berpuasa apabila dia mengembalikan dirinya untuk mengerjakan dan memelihara amalan ibadah maka amal-amal ibadah tersebut akan mudah dia jalankan. Sebaliknya apabila dia mengembalikan dirinya dalam kemalasan, kelemahan dan keadaan yang sulit maka akan mendapatkan dirinya dalam keadaan sulit dan malas untuk menjalankan amalan ibadah. Saya nasehatkan agar memelihara amalan ibadah pada bulan Romadlon, pasti Alloh akan memudahkan amalan kita. (Syaikh Ibnu 'Utsaimin).

(Di terjemahkan oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Kitab Fatawa As Shiyam Syaikh bin Baz dan Syaikh Utasimin, Syarhul Mumthi’ Ibnu Utsaimin, Ijabatus Sail Syaikh Muqbil bin Hadi )



Sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=370
baca selanjutnya “Hukum - Hukum Seputar Puasa Ramadhan Bagian II”

Hukum - Hukum Seputar Puasa Ramadhan Bagian I

Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Soal 1 : Perkara apa yang seyogyanya dikerjakan dan wajib bagi seorang yang menjalankan puasa Romadlon ?

Jawab : Seyogyanya bagi seorang yang menjalankan puasa Romadlon untuk memperbanyak amalan ketaatan dan menjauhi seluruh perkara yang dilarang. Wajib baginya memelihara perkara-perkara yang diwajibkan dan menjauhkan dirinya dari perkara yang diharamkan. Menjalankan sholat lima waktu tepat pada waktunya dengan berjamaah bersama kaum muslimin di masjid. Meninggalkan kedustaan, ghibah, penipuan dan amal riba serta seluruh perkataan dan perbuatan yang diharamkan. (Syaikh Ibnu 'Utsaimin).

(Di terjemahkan oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Kitab Fatawa As Shiyam Syaikh bin Baz dan Syaikh Utasimin, Syarhul Mumthi’ Ibnu Utsaimin, Ijabatus Sail Syaikh Muqbil bin Hadi )


Sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=368
baca selanjutnya “Hukum - Hukum Seputar Puasa Ramadhan Bagian I”

Sabtu, 30 Juli 2011

Introspeksi Diri di Bulan Ramadhan

Penulis: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

Shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ

“Apabila datang Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.”

Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya kitab Ash-Shaum, bab Hal Yuqalu Ramadhan au Syahru Ramadhan no. 1898, 1899. Dikeluarkan pula dalam kitab Bad‘ul Khalqi, bab Shifatu Iblis wa Junuduhu no. 3277. Adapun Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya membawakannya dalam kitab Ash-Shaum, dan diberikan judul babnya oleh Al-Imam An-Nawawi, Fadhlu Syahri Ramadhan no. 2492.

Pintu Kebaikan Terbuka, Pintu Kejelekan Tertutup
Kedatangan Ramadhan akan disambut dengan penuh kegembiraan oleh insan beriman yang selalu merindukan kehadirannya dan menghitung-hitung hari kedatangannya. Banyak keutamaan yang dijanjikan untuk diraih dan didapatkan di bulan mulia ini, di antaranya seperti tersebut dalam hadits yang menjadi pembahasan kita dalam rubrik ‘Hadits’ kali ini. Dan keutamaan yang tersebut dalam hadits di atas didapatkan sejak awal malam Ramadhan yang mubarak sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِرَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ. وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَ ذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ

“Apabila datang awal malam dari bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin yang sangat jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tidak ada satu pintupun yang terbuka, sedangkan pintu-pintu surga dibuka tidak ada satu pintupun yang ditutup. Dan seorang penyeru menyerukan: ‘Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.’ Dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, yang demikian itu terjadi pada setiap malam.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 682 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 1682, dihasankan Asy-Syaikh Albani rahimahullahu dalam Al-Misykat no. 1960)
Pada bulan yang penuh barakah ini, kejahatan di muka bumi lebih sedikit, karena jin-jin yang jahat dibelenggu dan diikat, sehingga mereka tidak bebas untuk menyebarkan kerusakan di tengah manusia sebagaimana hal ini dapat mereka lakukan di luar bulan Ramadhan. Di hari-hari itu kaum muslimin tersibukkan dengan ibadah puasa yang dengannya akan mematahkan syahwat. Juga mereka tersibukkan dengan membaca Al-Qur`an dan ibadah-ibadah lainnya. (Al-Mirqah, Asy-Syaikh Mulla ‘Ali Al-Qari pada ta’liq Al-Misykat 1/783, hadits no. 1961)
Ibadah-ibadah ini akan melatih jiwa, membersihkan dan mensucikannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Karena amal shalih banyak dilakukan, demikian pula ucapan-ucapan yang baik berlimpah ruah, ditutuplah pintu-pintu jahannam dan dibuka pintu-pintu surga. (Shifatu Shaumin Nabiyyi n fi Ramadhan, hal. 18-19)
Makna ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits di atas صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ adalah setan itu dibelenggu. Dan yang dimaksudkan dengan setan di sini adalah مَرَدَةُ الْجِنِّ sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Kata مَرَدَةٌ adalah bentuk jamak (lebih dari dua) dari kata الْمَارِدُ yaitu الْعَاتِي الشَّدِيْدُ , maknanya yang sangat angkuh, durhaka, bertindak sewenang-wenang lagi melampaui batas (lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits). Sehingga yang dibelenggu hanyalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat, adapun setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran.
Kita perlu nyatakan hal ini, kata Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullahu, agar jangan sampai engkau mengatakan: “Kami mendapatkan beberapa perselisihan dan fitnah di bulan Ramadhan (lalu bagaimana dikatakan setan-setan itu dibelenggu sementara kejahatan tetap ada? -pent.).” Kita jawab bahwa yang dibelenggu adalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat. Sedangkan setan-setan yang kecil dan setan-setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran tidak dibelenggu. Demikian pula jiwa yang memerintahkan kepada kejelekan, teman-teman duduk yang jelek dan tabiat yang memang senang dengan fitnah dan pertikaian. Semua ini tetap ada di tengah manusia, tidak terbelenggu kecuali jin-jin yang sangat jahat. (Ijabatus Sa`il ‘ala Ahammil Masa`il, hal. 163)
Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullahu berkata dalam Shahih-nya (3/188): “Bab penyebutan keterangan bahwa hanyalah yang diinginkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ hanyalah jin-jin yang jahat, bukan semua setan. Karena nama setan terkadang diberikan kepada sebagian mereka (tidak dimaukan seluruhnya).”
Di bulan yang mubarak ini ada malaikat yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru untuk mengurangi kejelekan sebagaimana dalam lafadz hadits:

وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ

“Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.”

Hadits-hadits tentang Keutamaan Ramadhan
Selain hadits di atas, banyak lagi hadits lain yang berbicara tentang keutamaan Ramadhan. Di antaranya akan kita sebutkan berikut ini:
1. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 1778)
2. Dari ‘Imran bin Murrah Al-Juhani radhiallahu 'anhu, ia berkata: Seseorang datang menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله، وَأَنَّكَ رَسُوْلَ اللهِ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ، وَأَدَّيْتُ الزَّكاةَ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، فَمِمَّنْ أَنَا؟ قَالَ: مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ

“Wahai Rasulullah, apa pendapat anda bila aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah, aku mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat dan puasa di bulan Ramadhan, maka termasuk dalam golongan manakah aku?” Rasulullah menjawab: “Engkau termasuk golongan shiddiqin dan syuhada.” (HR. Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya, dan lafadz yang disebutkan adalah lafadz Ibnu Hibban. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 989)
3. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ، فَرَضَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ وَتُغَلُّ فِيْهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِيْنِ، لِلَّهِ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ

“Telah datang pada kalian Ramadhan bulan yang diberkahi. Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan atas kalian untuk puasa di bulan ini. Pada bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu setan-setan yang sangat jahat. Pada bulan ini Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang diharamkan untuk mendapatkan kebaikan malam itu maka sungguh ia telah diharamkan.” (HR. Ahmad, 2/385, An-Nasa`i no. 2106, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i. Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 985, Al-Misykat no. 1962)
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الصَّلَوَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةَ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ، إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, apabila dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 549)
Cukuplah kiranya keutamaan bagi Ramadhan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala memilihnya di antara bulan-bulan yang ada untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala turunkan kitab-Nya yang mulia di bulan berkah tersebut, di malam yang penuh kemuliaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dengan yang batil.” (Al-Baqarah: 185)

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur`an itu pada malam Qadar (malam kemuliaan).” (Al-Qadar: 1)

Puasa Semestinya membuahkan Takwa
Hikmah disyariatkannya puasa dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullahu berkata: “Perkara takwa yang dikandung puasa di antaranya:
 Orang yang puasa meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala haramkan kepadanya berupa makan, minum, jima’ dan semisalnya, sementara jiwa itu condong kepada perkara yang harus ditinggalkan tersebut. Semua itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengharapkan pahala-Nya. Ini termasuk takwa.
 Orang yang puasa melatih jiwanya untuk merasakan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta'ala (muraqabatullah), maka ia meninggalkan apa yang diinginkan jiwanya padahal ia mampu melakukannya, karena ia mengetahui pengawasan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadapnya.
 Puasa itu menyempitkan jalan setan, karena setan itu berjalan pada anak Adam seperti peredaran/aliran darah. Dan puasa akan melemahkan jalannya sehingga mengecilkan perbuatan maksiat.
 Orang yang puasa umumnya memperbanyak amalan ketaatan sementara amalan ketaatan termasuk perangai takwa.
 Orang yang kaya jika merasakan tidak enaknya lapar maka mestinya ia akan memberikan kelapangan/memberi derma kepada orang-orang fakir yang tidak berpunya. Ini pun termasuk perangai takwa. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 86)
Dengan demikian sungguh tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa seharusnya momentum Ramadhan dijadikan langkah awal untuk memperbaiki iman dan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, untuk kemudian iman dan takwa itu terus dipupuk dan dirawat di bulan-bulan selanjutnya. Dan jangan dibiarkan terpisah dari jiwa dan raga hingga datang jemputan dari utusan Ar-Rahman (malaikat maut). Khususnya kita –penduduk negeri ini– seharusnya berkaca diri berkaitan dengan segala petaka yang menimpa negeri kita, demikian pula musibah yang datang terus menerus, lagi susul menyusul. Tidaklah semua ini menimpa kita kecuali karena dosa-dosa kita dan jauhnya kita dari iman serta takwa kepada Al-Khaliq.

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan/ulah manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيْرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (Asy-Syura: 30)
Musibah yang menimpa negeri ini berupa gempa, tsunami, meletusnya gunung berapi, tanah longsor, semburan lumpur panas, dan sebagainya bukanlah karena kesialan penguasa/pemerintah sebagaimana tuduhan orang-orang dungu atau pura-pura dungu. Namun justru karena dosa-dosa yang ada di negeri ini. Terlepas apakah bencana ini karena rekayasa asing yang ingin menjatuhkan dan menghancurkan negeri ini sebagaimana analisa sebagian orang, atau murni musibah tanpa rekayasa, toh semuanya ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai teguran bagi kita agar kembali kepada-Nya. Bangkit dari lumpur hitam dosa dan maksiat, untuk kemudian bertaubat dan mohon ampun kepada-Nya.
Yang sangat disesalkan, di antara penduduk negeri ini banyak yang tidak sadar dari maksiat mereka dengan musibah yang menimpa. Mereka malah melakukan praktik-praktik kesyirikan, membuat sesajen penolak bala yang dipersembahkan kepada roh-roh penguasa laut, penguasa gunung, penguasa darat, dan sebagainya. Na’udzubillah min dzalik!!!
Sehubungan dengan momentum Ramadhan sebagai bulan untuk menambah iman dan takwa, serta terkait dengan banyaknya musibah yang menimpa negeri ini, bagus sekali untuk kita nukilkan nasihat dari Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkenaan dengan musibah yang menimpa anak Adam, khususnya gempa bumi1. Mudah-mudahan nasehat ini bisa menjadi renungan bagi anak negeri ini.
Beliau rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Memiliki hikmah Maha Mengetahui terhadap apa yang Dia putuskan dan tetapkan, sebagaimana Dia Maha Memiliki Hikmah lagi Maha Mengetahui dalam apa yang Dia syariatkan dan perintahkan. Dia menciptakan apa yang diinginkan-Nya berupa tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dia tetapkan hal itu untuk menakut-nakuti hamba-Nya dan mengingatkan mereka tentang hak-Nya dan memperingatkan mereka dari kesyirikan, penyelisihan terhadap perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya.”
Selanjutnya beliau menyatakan: “Tidaklah diragukan bahwa gempa yang terjadi pada hari-hari ini di banyak tempat/negeri merupakan sejumlah tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Seluruh musibah gempa yang terjadi dan perkara lainnya yang membuat kemudharatan para hamba dan menyebabkan gangguan bagi mereka, adalah disebabkan kesyirikan dan maksiat.”

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

“Tidaklah satu kebaikan menimpamu melainkan itu dari Allah dan tidaklah satu kejelekan menimpamu melainkan karena ulah dirimu sendiri.” (An-Nisa`: 79)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata: “Yang wajib dilakukan oleh seluruh muslimin adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, istiqamah di atas agamanya dan berhati-hati dari seluruh perkara yang dilarang berupa syirik dan maksiat. Sehingga mereka memperoleh pengampunan, kelapangan, keselamatan di dunia dan di akhirat dari seluruh kejelekan, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menolak dari mereka seluruh musibah, lalu menganugerahkan kepada mereka setiap kebaikan. Sebagaimana Ia berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُوْنَ

“Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa niscaya Kami bukakan bagi mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka malah mendustakan maka Kami pun menyiksa mereka disebabkan apa yang dulunya mereka upayakan.” (Al-A’raf: 96)
Kemudian Syaikh menukilkan ucapan Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu: “Di sebagian waktu Allah Subhanahu wa Ta'ala mengizinkan bumi untuk bernapas panjang. Ketika itu terjadilah gempa/goncangan yang besar, sehingga menimbulkan ketakutan pada hamba-hamba-Nya, lalu mereka kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mencabut diri dari maksiat, tunduk patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menyesali diri, sebagaimana ucapan sebagian salaf ketika terjadi gempa bumi: ‘Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian.’ Ketika terjadi gempa di kota Madinah, ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu berkhutbah dan memberi nasehat kepada penduduk Madinah dan beliau berkata: ‘Kalau gempa ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal bersama kalian di Madinah ini.’
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menasehatkan: “Ketika terjadi gempa bumi dan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala lainnya, gerhana, angin kencang dan banjir, yang wajib dilakukan adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tunduk menghinakan diri kepada-Nya dan memohon maaf/kelapangan-Nya serta memperbanyak mengingat-Nya dan istighfar pada-Nya. Sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Apabila kalian melihat gerhana maka berlindunglah kalian dengan zikir/mengingat Allah, berdoa kepada-Nya dan istighfar.”
Disenangi pula untuk memberikan kasih sayang kepada fakir miskin dan bersedekah kepada mereka dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِي اْلأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Orang-orang yang menyayangi (memiliki sifat rahmah) akan dirahmati oleh Ar-Rahman. Sayangilah orang yang ada di bumi niscaya Yang di langit akan merahmati kalian.”2

مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ

“Siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi/dirahmati.”3
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bahwa beliau mengirim surat kepada gubernur-gubernurnya ketika terjadi gempa agar mereka bersedekah.
Termasuk sebab kelapangan dan keselamatan dari semua kejelekan adalah agar pemerintah bersegera mengambil tangan rakyatnya dan mengharuskan mereka untuk berpegang dengan kebenaran dan menjalankan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala pada mereka serta amar ma’ruf nahi mungkar. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ

“Kaum mukminin dan mukminat sebagian mereka adalah wali/kekasih bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan dirahmati Allah.” (At-Taubah: 71)
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى معْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ

“Siapa yang melepaskan seorang mukmin dari satu bencana/kesulitan dunia niscaya Allah akan melepaskannya dari satu bencana di hari kiamat. Siapa yang memberi kemudahan bagi orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutup kejelekan/cacat seorang muslim, Allah pun akan menutup cacatnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”4
Demikian nasehat dari Asy-Syaikh Ibnu Baz –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan melapangkan beliau di kuburnya, amin–. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati penduduk negeri ini dan menghilangkan musibah dari mereka serta memberi taufik kepada mereka agar bertaubat dan kembali kepada agama-Nya yang benar. Semoga penduduk negeri ini mengambil pelajaran yang berharga di bulan mubarak ini, bulan Ramadhan nan penuh keberkahan, menambah iman dan takwa mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala hingga mereka menjadi , orang-orang yang dibebaskan dari api neraka. Allahumma amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Dinukil secara ringkas dari kitab Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 9/148-152.
2 HR. At-Tirmidzi no. 1924, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 922
3 HR. Al-Bukhari no. 7376
4 HR. Muslim no. 6793

sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=392
baca selanjutnya “Introspeksi Diri di Bulan Ramadhan”

Memperbaiki beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan

Penulis: Admin Darus Salaf

Sebagai orang yang ingin beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan mendapatkan pahala serta ridho-Nya, maka tentunya sebagaimana yang kami ketahui haruslah ibadah tersebut benar, sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah, dan bebas dari adanya kesalahan pada ibadah tersebut. Sehubungan dengan makin dekatnya bulan Ramadhan dan untuk menjaga agar ibadah pada bulan tersebut (khususnya ibadah puasa) lepas dari kesalahan, maka kami mohon penjelasan tentang bentuk-bentuk kesalahan yang ada dan dilakukan orang di bulan Ramadhan ini. Terima kasih.

Jawab :

Sering orang menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan tuntunan syari’at Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang dilakukannya atau apa yang diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi nilai puasanya di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Maka kami akan mencoba menjelaskan beberapa kesalahan yang terjadi di kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi nasehat dan bekal menyambut bulan Ramadhan.

Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain :

Pertama : Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu Falaq atau ilmu Hisab.

Hal ini merupakan suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Allah subhanahu wa ta'ala menegaskan dalam surah Al-Baqarah : 186 :

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

"Maka barang siapa dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia berpuasa".

Dan juga dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :

إِذَا رَأَيْتُمُ الِهلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا

"Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah".

Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara yang lainnya. Kemudian perintah untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal. Hal ini menunjukkan wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal tersebut.

Berkata Al-Bajy ketika membantah orang yang membolehkan menggunakan ilmu Falaq dan ilmu Hisab : "Sesungguhnya kesepakatan para salaf sudah merupakan hujjah (bantahan) atas mereka". Lihat Subulus Salam 2/242.

Dan berkata Ibnu Bazizah menyikapi pendapat orang yang membolehkan menggunakan ilmu falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan : "Ini adalah madzhab yang bathil. Syari’at telah melarang menggunakan ilmu Falaq karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan dugaan dan sangkaan yang tidak jelas". Lihat : Subulus Salam 2/242.

Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/243 : "Jawaban terhadap mereka ini jelas, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ الْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ يَعْنِيْ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ وَالْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِيْ تَمَامَ ثَلاَثِيْنَ

"Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi (yaitu) tak dapat menulis dan tak dapat menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini, beliau menekukkan ibu jarinya pada yang ketiga yakni dua puluh sembilan (hari), dan bulan itu, begini, begini dan begini yakni sempurna tiga puluh (hari)".

Kedua : Kebiasaan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud ihtiyath (berjaga-jaga).

Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

لاَ تَقَدَمُّوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

"Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa sunnat maka hendaknyalah ia berpuasa".

Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/239 : "Ini menunjukkan haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath (berjaga-jaga)".

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160) : "…karena menentukan puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan-...".

Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 (Tuhfathul Ahwadzy) : "Para ‘ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan…".

Berkata Imam An-Nawawy : "Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah". Lihat : Syarah Shohih Muslim 7/158.

Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath, adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa seperti puasa senin-kamis, puasa Daud dan lain-lainnya lalu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan maka itu tidak apa-apa. Wallahu A’lam.

Ketiga : Meninggalkan makan sahur.

Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan dan menyelisihi sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan menyelisihi kesepakatan para ‘ulama tentang disunnahkannya makan sahur.

Kesepakatan para ‘ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat : Syarah Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.

Dan dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali diantaranya, hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim dimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

"Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah".

Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara dunia maupan perkara-perkara akhirat. Dan berkah tersebut bermacam-macam diantaranya :

A Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah.

A Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab.

sebagaimana dalam Shohih Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْرِ

"Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur".

A Menambah kekuatan dan semangat khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa.

A Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdo’a dan meminta rahmat sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat do’a yang makbul.

A Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.

Lihat : Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.
sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1280

baca selanjutnya “Memperbaiki beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan”

Hadits-hadits Palsu dan Lemah yang Sering Disebut di Bulan Ramadhan

Sesungguhnya segala pujian hanya bagi Allah, kami menyanjung-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, memohon ampunan kepada-Nya, dan kami juga berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan dari kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka sungguh dia termasuk orang yang mendapatkan hidayah, dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang bisa memberikan petunjuk kepadanya.

Dan aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.

Adapun setelah itu, bahwasanya sebaik-baik perkataan adalah Kalamullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa’ala alihi wasallam, dan bahwasanya sejelek-jelek perkara adalah segala sesuatu yang diadakan-adakan, dan segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.

Kemudian setelah itu, ketahuilah bahwasanya perbuatan dusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan penyakit berbahaya dan sulit diobati yang telah menyebar (di tengah-tengah umat) seperti menyebarnya api pada tumbuhan yang kering. Pernyakit ini merupakan penjerumus ke dalam kebid’ahan, kesesatan, khurafat, menentang dalil, serta menyimpang dari jalan yang lurus dan jalan kaum mu’minin. Berdusta atas nama nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyebabkan pelakunya pantas untuk mendapatkan ancaman berupa tempat duduk dari neraka.[1]

Saudara pembaca sekalian, akan kami sebutkan untuk anda beberapa hadits yang dusta (palsu) atas nama nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga hadits dha’if (lemah) yang sering disebut pada bulan yang penuh barakah ini, dengan harapan agar anda berhati-hati darinya, tidak mencampuradukkan antara al-haq dengan al-bathil, dan agar urusan (agama) anda benar-benar di atas ilmu.

HADITS PERTAMA

لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَة كُلّهَا

“Kalau seandainya hamba-hamba itu tahu apa yang ada pada bulan Ramadhan (keutamaannya), maka niscaya umatku ini akan berangan-angan bahwa satu tahun itu adalah bulan Ramadhan seluruhnya.”

Hadits ini adalah hadits yang didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (palsu).

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah di dalam Shahihnya [III/190], Abu Ya’la Al-Mushili di dalam Musnadnya [IX/180], dan selain keduanya.

Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Jarir bin Ayyub. Tentang rawi yang satu ini, para ulama telah menjelaskan keadaannya, di antaranya:

Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain mengatakan bahwa dia suka memalsukan hadits.

Al-Bukhari, Abu Hatim, dan Abu Zur’ah mengatakan bahwa dia adalah Munkarul Hadits.

Ibnu Khuzaimah mengatakan: “Jika haditsnya shahih …”[2]

Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhu’at [II/103] dan juga Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah [hal. 74] menghukumi dia (Jarir bin Ayyub) adalah perawi yang suka memalsukan hadits -yakni pendusta-.

Lihat Lisanul Mizan [II/302] karya Ibnu Hajar.

HADITS KEDUA

رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ أمَّتِي

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”

Hadits ini adalah hadits yang didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (palsu).

Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Bakr An-Naqqasy. Tentang rawi yang satu ini, para ulama telah menjelaskan keadaannya, di antaranya:

Thalhah bin Muhammad Asy-Syahid mengatakan bahwa Abu Bakr An-Naqqasy suka memalsukan hadits, dan kebanyakannya tentang kisah-kisah.

Abul Qasim Al-Lalika’i mengatakan bahwa tafsir dari Abu Bakr An-Naqqasy justru akan mencelakakan hati, tidak menjadi obat bagi hati-hati ini.

Dan di dalamnya juga terdapat rawi yang bernama Al-Kisa’i yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi sebagai rawi yang majhul (tidak dikenal).

Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Fath bin Al-Fawaris di dalam Al-Amali dari Al-Hasan Al-Bashri secara mursal.

Al-Hafizh Al-’Iraqi mengatakan dalam Syarh At-Tirmidzi: “Ini adalah hadits dha’if jiddan (sangat lemah), dan dia termasuk hadits-hadits mursal yang diriwayatkan dari Al-Hasan (Al-Bashri), kami meriwayatkannya dari Kitab At-Targhib Wat Tarhib karya Al-Ashfahani, hadits-hadits mursal yang diriwayatkan dari Al-Hasan (Al-Bashri) tidak bernilai (shahih) menurut Ahlul Hadits, dan tidak ada satu hadits pun yang menyebutkan tentang keutamaan bulan Rajab.”

Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhu’at [II/117], Adz-Dzahabi dalam Tarikhul Islam [I/2990], dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah [hal. 95] menghukumi bahwa hadits ini adalah hadits palsu, didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Lihat Lisanul Mizan [VI/202] karya Ibnu Hajar.

HADITS KETIGA

يا أيها الناس انه قد أظلكم شهر عظيم شهر مبارك فيه ليلة خير من ألف شهر فرض الله صيامه وجعل قيام ليله تطوعا فمن تطوع فيه بخصلة من الخير كان كمن أدّى فريضة فما سواه … وهو شهر أوله رحمة وأوسطه مغفرة وآخره عتق من النار

“Wahai sekalian manusia, sungguh hampir datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh barakah, di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, Allah wajibkan untuk berpuasa pada bulan ini, dan Allah jadikan shalat pada malam harinya sebagai amalan yang sunnah, barangsiapa yang dengan rela melakukan kebajikan pada bulan itu, maka dia seperti menunaikan kewajiban pada selain bulan tersebut …, dan dia merupakan bulan yang awalnya adalah kasih sayang, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini adalah hadits munkar, dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah di dalam Shahihnya [III/191], dan beliau mengatakan: “Jika haditsnya shahih.” Maksud ungkapan ini adalah bahwa Al-Hafizh Ibnu Khuzaimah ragu (tidak memastikan) penshahihan hadits ini karena derajat sanadnya yang rendah (tidak sampai derajat shahih), maka jangan ada seorangpun yang mengira bahwa hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah.

Lihat Tadribur Rawi [I/89] karya As-Suyuthi.

Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman [III/305], Al-Harits bin Usamah dalam Musnadnya [I/412], dan yang lainnya.

Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ‘Ali bin Zaid bin Jud’an yang dikatakan oleh para ulama, di antaranya:

Ibnu Khuzaimah mengatakan bahwa dia tidak bsa dijadikan hujjah karena jeleknya hafalan dia.

Al-Bukhari mengatakan bahwa dia tidak bisa dijadikan hujjah.

Di dalam sanadnya juga terdapat rawi yang bernama Iyas bin Abi Iyas yang dikatakan oleh para ulama, di antaranya:

Adz-Dzahabi mengatakan bahwa dia adalah rawi yang tidak dikenal.

Al-’Uqaili mengatakan bahwa dia adalah rawi yang majhul (tidak dikenal) dan haditsnya tidak mahfuzh (yakni syadz/ganjil).

Abu Hatim mengatakan: “Ini adalah hadits Munkar.” (Al-’Ilal karya Ibnu Abi Hatim [I/249]).

Lihat Lisanul Mizan [II/169] karya Ibnu Hajar, As-Siyar [V/207] karya Adz-Dzahabi, dan As-Silsilah Adh-Dha’ifah [II/262] karya Asy-Syaikh Al-Albani.

HADITS KEEMPAT

إذا كان أوَّل ليلة من شهر رمضان نظر الله إلى خلقِهِ الصيَّام فإذا نظر الله إلى عبدٍ لم يعذِّبْهُ أبدًا،ولله عزَّ وجَلَّ في كُلِّ يومٍ ألف عتيقٍ من النَّار

“Ketika malam pertama bulan Ramadhan, Allah melihat makhluknya, ketika Allah melihat kepada seorang hamba, maka Dia tidak akan mengadzabnya selamanya, dan Allah ‘azza wajalla pada setiap harinya memiliki seribu hamba yang dibebaskan dari neraka.”[3]

Hadits ini adalah hadits yang didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (palsu).

Di dalam sanadnya banyak rawi yang majhul (tidak dikenal) dan rawi yang dituduh berdusta yaitu ‘Utsman bin ‘Abdillah Al-Qurasyi Al-Umawi Asy-Syami yang dikatakan oleh para ulama di antaranya:

Al-Juzajani menyatakan bahwa dia adalah kadzdzab (pendusta), suka mencuri hadits.

Abu Mas’ud As-Sijzi menyatakan dia adalah kadzdzab.

Ibnul Jauzi di dalam Al-Maudhu’at [II/104], Ibnu ‘Arraq di dalam Tanzihusy Syari’ah [II/146], Asy-Syaukani di dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah [hal. 85], dan yang lainnya menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Lihat Lisanul Mizan [V/147] karya Ibnu Hajar.

HADITS KELIMA

صُوْمُوا تَصِحُّوا

“Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.”

Ini adalah hadits dha’if, dikeluarkan oleh Al-’Uqaili dalam Adh-Dhu’afa’ [II/92], Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir [1190], dan selain mereka.

Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Zuhair bin Muhammad At-Tamimi, riwayat penduduk negeri Syam dari dia adalah riwayat yang di dalamnya banyak riwayat munkar.

Dalam sanadnya yang lain, terdapat rawi yang bernama Nahsyal bin Sa’id, dan dia adalah rawi yang matruk (ditinggalkan haditsnya). Ishaq bin Rahuyah dan Abu Dawud Ath-Thayalisi menyatakan dia adalah rawi yang kadzdzab (pendusta). Di samping itu sanadnya juga terputus.

Dalam sanadnya yang lain juga terdapat rawi yang bernama Husain bin ‘Abdillah bin Dhamirah Al-Himyari yang dikatakan oleh para ulama di antaranya:

Al-Imam Malik menisbahkan dia sebagai rawi yang pendusta.

Ibnu Ma’in menyatakan bahwa dia adalah kadzdzab (pendusta), tidak ada nilainya sedikitpun.

Al-Bukhari menyatakan bahwa dia adalah munkarul hadits (kebanyakan haditsnya munkar).

Abu Zur’ah menyatakan bahwa dia adalah rawi yang tidak ada nilainya sedikitpun, hinakan haditsnya (yakni yang dia riwayatkan).”

Al-Hafizh Al-’Iraqi melemahkan sanadnya, dan Asy-Syaikh Al-Albani melemahkan hadits ini. [As-Silsilah Adh-Dha’ifah (253)].

HADITS KEENAM

أُعطِيت أمَّتِي خمس خِصالٍ في رمضان لم تُعطهنَّ أمَّةٌ قبلهم:خلوفُ فَمِ الصائم أطيبُ عند اللهِ من ريحِ المِسك،وتستغفرُ لهم الحِيتان حتي يُفطروا

“Umatku ini pada bulan Ramadhan diberi lima perangai yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya: (1) Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma misk,(2) Ikan-ikan memintakan ampun untuk mereka sampai berbuka …”

Ini adalah hadits dha’if jiddan (sangat lemah).

Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya [II/292, 310], Al-Harits bin Usamah dalam Musnadnya [I/410], dan selain keduanya.

Di salam sanadnya terdapat rawi yang bernama Hisyam bin Ziyad bin Abi Zaid yang dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai matrukul hadits (ditinggalkan haditnya).

Asy-Syaikh Al-Albani menghukumi hadits ini sebagai hadits dha’if jiddan (sangat lemah), sebagaimana dalam Dha’if At-Targhib Wat Tarhib [586].

HADITS KETUJUH

إِنَّ شَهْرَ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ لاَ يُرْفَعُ إِلاَّ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ

“Sesungguhnya bulan Ramadhan itu tergantung di antara langit dan bumi, tidaklah bisa diangkat kecuali dengan zakat fitrah.”

Ini adalah hadits dha’if.

Diriwayatkan oleh Ibnu Shishri di dalam Al-Amali dan bagian hadits ini hilang, juga diriwayatkan oleh Ibnu Syahin di dalam At-Targhib, dan Ibnul Jauzi di dalam Al-’Ilal Al-Mutanahiyah [II/499].

Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Muhammad bin ‘Ubaid yang dikatakan oleh Ibnul JAuzi bahwa dia adalah majhul (tidak dikenal). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan setelah menyebutkan hadits ini di dalam Lisanul Mizan [V/276]: “Dia adalah rawi yang tidak ada satupun yang mengikutinya.”

Asy-Syaikh Al-Albani mendha’ifkan hadits ini di dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah (43).

-Ditulis secara ringkas oleh Abu Zur’ah Sulaiman bin ‘Ali bin Syihab As-Salafy-.

Dan diterjemahkan secara ringkas[4] pula dari http://sahab.net/forums/showthread.php?t=380588 ditambah sedikit catatan kaki dari penerjemah.

Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” [Muttafaqun ‘Alaihi dari shahabat Abu Hurairah, Al-Mughirah bin Syu’bah, dan yang lainnya]

[2] Ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa beliau tidak memastikan keshahihan hadits sebagaimana yang akan disebutkan dalam penjelasan hadits ketiga setelah ini. Wallahu a’lam.

[3] Demikian lafazh yang tercantum dalam sumber rujukan. Namun di dalam sebagian referensi, -dengan keterbatasan pengetahuan kami-, ditemukan ada perbedaan lafazh, yaitu tentang jumlah hamba yang dibebaskan dari neraka, di referensi tersebut disebutkan berjumlah satu juta. Wallahu a’lam.

[4] Sengaja bagian yang tidak kami terjemahkan adalah beberapa istilah muhadditsin atau istilah dalam ilmu hadits yang belum bisa kami terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan tepat. Tetapi insya Allah tidak akan mengubah isi dan substansi pembahasan. Wallahu a’lam.

sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=533#more-533
baca selanjutnya “Hadits-hadits Palsu dan Lemah yang Sering Disebut di Bulan Ramadhan”

Beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan

Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.

Islam, dalam banyak ayat dan hadits, senantiasa mengumandangkan pentingnya ilmu sebagai landasan berucap dan beramal. Maka bisa dibayangkan, amal tanpa ilmu hanya akan berbuah penyimpangan. Kajian berikut berupaya menguraikan beberapa kesalahan berkait amalan di bulan Ramadhan. Kesalahan yang dipaparkan di sini memang cukup ‘fatal’. Jika didiamkan terlebih ditumbuhsuburkan, sangat mungkin akan mencabik-cabik kemurnian Islam, lebih-lebih jika itu kemudian disirami semangat fanatisme golongan.

Penggunaan Hisab Dalam Menentukan Awal Hijriyyah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan dalam menentukan awal bulan Hijriyyah dalam hadits-haditsnya, di antaranya:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

“Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan Ramadhan, maka beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (berhenti puasa dengan masuknya syawwal, -pent.) sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan hadits yang semacam ini cukup banyak, baik dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim maupun yang lain.
Kata-kata فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah) menurut mayoritas ulama bermadzhab Hanbali, ini dimaksudkan untuk membedakan antara kondisi cerah dengan berawan. Sehingga didasarkannya hukum pada penglihatan hilal adalah ketika cuaca cerah, adapun mendung maka memiliki hukum yang lain.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, artinya: “Lihatlah awal bulan dan genapkanlah menjadi 30 (hari).”
Adapun yang menguatkan penafsiran semacam ini adalah riwayat lain yang menegaskan apa yang sesungguhnya dimaksud. Yaitu sabda Nabi yang telah lalu (maka sempurnakan jumlah menjadi 30) dan riwayat yang semakna. Yang paling utama untuk menafsirkan hadits adalah dengan hadits juga. Bahkan Ad-Daruquthni meriwayatkan (hadits) serta menshahihkannya, juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dari hadits Aisyah:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُوْمُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ

“Dahulu Rasulullah sangat menjaga Sya’ban, tidak sebagaimana pada bulan lainnya. Kemudian beliau puasa karena ru`yah bulan Ramadhan. Jika tertutup awan, beliau menghitung (menggenapkan) 30 hari untuk selanjutnya berpuasa.” (Dinukil dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar)
Oleh karenanya, penggunaan hisab bertentangan dengan Sunnah Nabi dan bertolak belakang dengan kemudahan yang diberikan oleh Islam.

أَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ

“Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al-Baqarah: 61)

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِيْنُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

“Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia berkata: ‘Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Dan tidak seorangpun memberat-beratkan dalam agama ini kecuali ia yang akan terkalahkan olehnya. Maka berusahalah untuk benar, mendekatlah, gembiralah dan gunakanlah pagi dan petang serta sedikit dari waktu malam’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabul Iman Bab Ad-Dinu Yusrun)
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah atau Dewan Fatwa dan Riset Ilmiah Saudi Arabia:
Apakah boleh bagi seorang muslim untuk mendasarkan penentuan awal dan akhir puasa pada hisab ilmu falak, ataukah harus dengan ru`yah (melihat) hilal?
Jawab: …Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani kita dalam menentukan awal bulan Qomariyah dengan sesuatu yang hanya diketahui segelintir orang, yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Padahal nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah yang ada telah menjelaskan, yaitu menjadikan ru`yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasa kaum muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian juga dalam menetapkan Iedul Adha dan hari Arafah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“…Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قٌلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal. Katakanlah, itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk haji.” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Namun jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah menjadi 30.”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tetapnya (awal) puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka (mengakihiri Ramadhan) dengan melihat hilal Syawwal. Sama sekali Nabi tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang dan orbitnya (termasuk rembulan, -pent.). Yang demikian ini diamalkan sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Khulafa` Ar-Rasyidin, empat imam, dan tiga kurun yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Oleh karena itu, menetapkan bulan-bulan Qomariyyah dengan merujuk ilmu bintang dalam memulai awal dan akhir ibadah tanpa ru`yah adalah bid’ah, yang tidak mengandung kebaikan serta tidak ada landasannya dalam syariat….” (Fatwa ini ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Lihat Fatawa Ramadhan, 1/61)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tentang hisab, tidak boleh beramal dengannya dan bersandar padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Tanya: Sebagian kaum muslimin di sejumlah negara, sengaja berpuasa tanpa menyandarkan pada ru`yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal maka jika mereka tertutup olah awan hendaknya menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun alaihi-
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu adalah demikian, demikian, dan demikian.” –beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan–: “Bulan itu begini, begini, dan begini –serta mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya–.”
Beliau maksudkan dengan itu bahwa bulan itu bisa 29 atau 30 (hari). Dan telah disebutkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 (hari).”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya):
“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah. Dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.”
Masih banyak hadits-hadits dalam bab ini. Semuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru`yah, atau menggenapkannya jika tidak memungkinkan ru`yah. Ini sekaligus menjelaskan tidak bolehnya bertumpu pada hisab dalam masalah tersebut.
Ibnu Taimiyyah1 telah menyebutkan ijma’ para ulama tentang larangan bersandar pada hisab dalam menentukan hilal-hilal. Dan inilah yang benar, tidak diragukan lagi. Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)
Pembahasan lebih rinci tentang hisab bisa dilihat kembali dalam Asy-Syariah edisi khusus Ramadhan tahun 2004.

Imsak sebelum Waktunya
Imsak artinya menahan. Yang dimaksud di sini adalah berhenti dari makan dan minum dan segala pembatal saat sahur. Kapankah sebetulnya disyariatkan berhenti, ketika adzan tanda masuknya subuh atau sebelumnya, yakni adzan pertama sebelum masuknya subuh? Karena dalam banyak hadits menunjukkan bahwa subuh memiliki dua adzan, beberapa saat sebelum masuk dan setelahnya.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Masalah ini, di mana banyak orang (meyakini) bahwa makan di malam hari pada saat puasa diharamkan sejak adzan pertama2 (yakni sebelum masuknya waktu subuh), yang adzan ini mereka sebut dengan adzan imsak, tidak ada dasarnya dalam Al-Qur`an, As-Sunnah dan dalam satu madzhabpun dari madzhab para imam yang empat. Mereka semua justru sepakat bahwa adzan untuk imsak (menahan dari pembatal puasa) adalah adzan yang kedua yakni adzan yang dengannya masuk waktu subuh. Dengan adzan inilah diharamkan makan dan minum serta melakukan segala hal yang membatalkan puasa. Adapun adzan pertama yang kemudian disebut adzan imsak, pengistilahan semacam ini bertentangan dengan dalil Al-Qur`an dan Hadits. Adapun Al-Qur`an, maka Rabb kita berfirman –dan kalian telah dengar ayat tersebut berulang-ulang–…

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مَنَ الْفَجْرِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Ini merupakan nash yang tegas di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala membolehkan bagi orang-orang yang berpuasa yang bangun di malam hari untuk melakukan sahur. Artinya, Rabb kita membolehkan untuk makan dan mengakhirkannya hingga ada adzan yang secara syar’i dijadikan pijakan untuk bersiap-siap karena masuk waktu fajar shadiq (yakni masuknya waktu subuh, -pent.). Demikian Rabb kita menerangkan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan makna ayat yang jelas ini dengan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi mengatakan:

لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ

“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan di waktu malam.”3
Dalam hadits yang lain selain riwayat Al-Bukhari dan Muslim:

لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ لِيَقُوْمَ النَّائِمُ وَيَتَسَحَّرُ الْمَتَسَحِّرُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ

“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan untuk membangunkan yang tidur dan untuk menunaikan sahur bagi yang sahur. Maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan adzan4….” (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 344-345)
Ibnu Hajar (salah satu ulama besar madzhab Syafi’i) dalam Fathul Bari syarah Shahih Al-Bukhari (4/199) juga mengingkari perbuatan semacam ini. Bahkan beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.
Oleh karenanya, wahai kaum muslimin, mari kita bersihkan amalan kita, selaraskan dengan ajaran Nabi kita, kapan lagi kita memulainya (jika tidak sekarang)? (Lihat pula Mu’jamul Bida’ hal. 57)
Di sisi lain, adapula yang melakukan sahur di tengah malam. Ini juga tidak sesuai dengan Sunnah Nabi, sekaligus bertentangan dengan maksud dari sahur itu sendiri yaitu untuk membantu orang yang berpuasa dalam menunaikannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بَكِّرُوا بِاْلإِفْطَارِ، وَأَخِّرُوا السَّحُوْرَ

“Segeralah berbuka dan akhirkan sahur.” (Shahih, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1773)

عَنْ أَبِي عَطِيَّةَ قَالَ: قُلْتُ لِعَائِشَةَ: فِيْنَا رَجُلاَنِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَحَدُهُمَا يُعَجِّلُ اْلإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُوْرَ، وَاْلآخَرُ يُؤَخِّرُ اْلإِفْطَارَ وَيُعَجِّلُ السُّحُوْرَ. قَالَتْ: أَيُّهُمَا الَّذِي يُعَجِّلُ اْلإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُوْرَ؟ قُلْتُ: عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُوْدٍ. قَالَتْ: هَكَذَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ

Dari Abu ‘Athiyyah ia mengatakan: Aku katakan kepada ‘Aisyah: Ada dua orang di antara kami, salah satunya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, sedangkan yang lain menunda berbuka dan mempercepat sahur. ‘Aisyah mengatakan: “Siapa yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur?” Aku menjawab: “Abdullah bin Mas’ud.” ‘Aisyah lalu mengatakan: “Demikianlah dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya.” (HR. At-Tirmidzi, Kitabush Shiyam Bab Ma Ja`a fi Ta’jilil Ifthar, 3/82, no. 702. Beliau menyatakan: “Hadits hasan shahih.”)
At-Tirmidzi mengatakan: Hadits Zaid bin Tsabit (tentang mengakhirkan sahur, -pent.) derajatnya hasan shahih. Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat dengannya. Mereka menyunnahkan untuk mengakhirkan sahur.” (Bab Ma Ja`a fi Ta`khiri Sahur)
Di antara kesalahan yang lain adalah:
Mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian/ihtiyath (Mu’jamul Bida’, hal. 268)
Membunyikan meriam untuk memberitahukan masuknya waktu shalat, sahur, atau berbuka. Al-Imam Asy-Syathibi menganggapnya bid’ah. (Al-I’tisham, 2/103; Mu’jamul Bida’, hal. 268)
Bersedekah atas nama roh dari orang yang telah meninggal pada bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. (Ahkamul Jana`iz, hal. 257, Mu’jamul Bida’, hal. 269)
Dan masih banyak lagi kesalahan lain, yang Insya Allah akan dibahas pada kesempatan yang lain.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Lihat pula Majmu’ Fatawa (25/179)
2 Bila di masyarakat kita tandanya adalah dengan selain adzan, seperti sirine, petasan, atau yang lain yang tidak ada dasar syar’inya sama sekali.
3 Yakni sebelum masuk waktu subuh.
4 Karena Ibnu Ummi Maktum adzan setelah masuk waktu subuh.

sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=391
baca selanjutnya “Beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan”

NIAT PUASA

Penulis: Al-'Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah

Soal :
“Seringkali saya berpuasa tanpa niat sebelumnya pada permulaan puasa. Apakah niat merupakan syarat puasa yang harus di lakukan setiap hari ? Ataukah cukup dengan hanya berniat pada awal bulan ?

Jawab :
Puasa dan amal-amal ibadah lainnnya harus dikerjakan dengan niat. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya amal-amal ibadah itu bergantung kepada niat. Setiap orang akan mendapatkan ganjaran berdasarkan atas apa yang dia niatkan. “(HR. Imam Al-Bukhari (1/2) dari hadits Umar bin Khatthab).
Dalam riwayat lain : “Tidak ada amalan kecuali dengan niat. “ [Lafadz seperti ini diriwayatkan dari Ali Bin Abi Thalib, seperti yang di sebutkan dalam Al-Firdaus bin Ma’tsuril Khithob (5/191)].

Puasa bulan Romadhan wajib di lakukan dengan berniat pada malam harinya, yaitu seseorang harus telah berniat puasa untuk hari itu sebelum terbit fajar. Bangunnya seseorang pada akhir malam kemudian makan sahur menunjukkan telah ada niat pada dirinya (untuk berpuasa). Seseorang tidaklah di tuntut melafadzkan niatnya dengan berucap : “Aku berniat puasa (hari ini)”, karena yang seperti ini adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan !

Berniat puasa selama bulam Ramadhan haruslah dilakukan setiap hari, karena (puasa pada) tiap-tiap hari (dibulan itu) adalah ibadah yang berdiri sendiri yang membutuhkan niat. Jadi, orang yang berpuasa harus berniat dalam hatinya pada masing-masing hari (dalam bulan itu) sejak malam harinya. Kalau misalnya dia telah berniat puasa pada malam harinya kemudian dia tertidur pulas hingga baru terbangun setelah terbitnya fajar, maka puasanya sah, karena dia telah berniat sebelumnya.
Wallahu a’lam.

Maroji’ :
Al-Muntaqo min Fatawa Asy-Syaikh Sholih Al-Fauzan (5/109).

Sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=333
baca selanjutnya “NIAT PUASA”

Perhiasan Mukmin di Bulan Suci

Perhiasan senantiasa dibutuhkan oleh setiap orang dalam kesehariannya: perhiasan lahiriah, maupun batin. Tanpa perhiasan, nilai seseorang di mata orang lain akan menjadi rendah. Di bulan Romadhon, seorang harus menghiasi dirinya dengan perhiasan akhlaq, yaitu adab-adab ketika di bulan Romadhon.


Menjaga Sahur & Mengakhirkannya
Sahur merupakan berkah (kebaikan) dunia dan akhirat kita. Sahur akan menambah kekuatan bagi orang yang berpuasa sehingga kesehatannya bisa terjaga. Selain itu, seorang dengan sahur bisa meraih pahala, karena mengikut sunnah.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِ بَرَكَةً

"Bersahurlah, karena sesungguhnya di dalam sahur terdapat berkah". [HR. Al-Bukhoriy (1923), dan Muslim (1095)]

Satu hal yang perlu dicatat bahwa bersahur sunnahnya diakhirkan sampai menjelang adzan (sekitar 15 atau 20 menit sebelum adzan shubuh), bukan dipercepat. Karenanya, kelirulah sebagian orang yang makan setelah sholat isya’, atau waktu jam 12 malan, atau jam 3 malam.

Perhatikan Zaid bin Tsabit -radhiyallahu anhu- berkata, "Kami sahur bersama Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, lalu beliau bangkit untuk sholat". Anas bertanya (kepada Zaid), "Berapakah (waktu senggang) antara adzan dan sahur?". Zaid menjawab,

قَالَ قَدْرَ خَمْسِيْنَ آيَةً

"Lamanya seperti membaca 50 ayat". [HR. Al-Bukhoriy (1821), dan Muslim (1097)]

Atsar ini menunjukkan bolehnya makan sampai terdengar adzan shubuh. Jika sudah terdengar, maka berhentilah makan. Ini bertentangan dengan kebiasaan kaum muslimin di Indonesia Raya, mereka enggan maka ketika sudah tiba saatnya waktu imsak walaupun belum adzan shubuh, karena berpatokan pada "Jadwal Imsakiyyah" yang disebarkan oleh sebagian orang jahil. Adapun di zaman Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, waktu imsak (menahan diri dari makan, minum, dan lainnya) adalah ketika terdengar adzan yang menunjukkan masuknya waktu sholat fardhu shubuh. Inilah petunjuknya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat.

Amer bin Maimun Al-Jazariy berkata, "Para sahabat Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling cepat berbuka, dan paling lambat bersahur". [HR. Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (7916)]

Jadi, para sahabat cepat berbuka ketika telah melihat matahari tenggelam dengan sempurna yang menunjukkan masuknya waktu maghrib, dan menangguhkan waktu sahur sampai mereka melihat fajar shodiq yang menunjukkan masuknya waktu sholat shubuh.

Memperbanyak Amalan Kebajikan
Seorang muslim dalam kehidupan dunia ini berusaha memperbanyak amal sholeh, seperti memperbanyak shodaqoh, dzikir, sholat malam, membaca Al-Qur’an, membantu orang, memberi makan bagi yang berpuasa. Romadhon merupakan furshoh (kesempatan) memperbanyak amal sholeh sebagaimana halnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan sahabat.

Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma- berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُوْنُ فِيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ وَكَانَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِيْ رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيْحِ الْمُرْسَلَةِ

"Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling pemurah dalam kebaikan, apalagi di bulan Romadhon ketika ditemui oleh Jibril. Dulu Jibril menemui beliau setiap malam di bulan Romadhon sampai selesai. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menghadapkan (mengajarkan) Al-Qur’an kepada Jibril. Jika beliau telah ditemui oleh Jibril –alaihis salam-, maka beliau menjadi orang yang paling pemurah dalam kebaikan dibandingkan angin yang terutus". [HR. Al-Bukhoriy (1803)]

Dalam riwayat Ahmad dalam Al-Musnad (2042), terdapat tambahan,

لَا يُسْئَلُ عَنْ شَيْءٍ إِلَّا أَعْطَاهُ

"Beliau tidak dimintai sesuatu, kecuali beliau berikan".

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata dalam Zaadul Ma’ad (2/32), "Diantara petunjuk beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- di bulan Romadhon, memperbanyak ibadah. Dulu Jibril alaihis sholatu was salam- mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- di bulan Romadhon. Jika beliau ditemui oleh Jibril, maka beliau adalah orang yang paling pemurah dalam kebaikan dibandingkan angin yang berhembus. Beliau adalah manusia yang paling pemurah, apalagi di bulan Romadhon; di dalamnya beliau memperbanyal shodaqoh, berbuat baik, membaca Al-Qur’an, sholat, berdzikir, dan i’tikaf".

Bersungguh-sungguh dalam Melaksanakan Berbagai Bentuk Ibadah
Romadhon adalah waktu "mengencangkan sarung" (bersungguh-sungguh) dalam beribadah kepada Allah seperti dalam cerminan kehidupan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat. Mereka isi malamnya dengan sholat malam dan i’tikaf pada 10 akhir Romadhon di masjid-masjid. A’isyah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرَ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ

"Dulu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- jika memasuki malam sepuluh (terakhir), maka beliau menghidupkan malam (sholat malam), membangunkan keluarganya,bersungguh-sungguh, dan menyingsingkan sarung (bersungguh-sungguh)". [HR. Al-Bukhoriy (2024), dan Muslim (1174)]

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah- berkata dalam Zaadul Ma’ad (2/32), "Diantara petunjuk beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- di bulan Romadhon, memperbanyak ibadah".

Membersihkan Mulut dengan Kayu Siwak
Islam adalah agama yang menjaga kebersihan. Karenanya, Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan ummatnya bersiwak, baik saat puasa, maupun tidak. Sebagian ulama’ menganalogikan bolehnya bersikat gigi dengan bersiwak, sepanjang tidak masuk ke tenggorokan. [Lihat Shiyam Romadhon (hal.21) oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zinu]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَىأُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ

"Andaikan aku tidak (khawatir) memberatkan ummatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka bersiwak setiap kali (hendak) sholat". [Al-Bukhoriy (887), dan Muslim (252)]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

"Siwak merupakan pembersih mulut, dan membuat Robb (Allah) ridho". [HR. An-Nasa’iy (5), Ibnu Majah (289), dan Ahmad (7). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Al-Irwa’ (66)]

Abdur Rahman bin Ghonmin Al-Asy’ariy berkata, "Aku pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal, "Apakah aku boleh bersiwak sedang aku puasa?" Dia menjawab, "Ya". Aku berkata, "Waktu mana aku boleh bersiwak?" Dia jawab, "Waktu mana saja kamu hendak; jika mau pagi (ya, boleh); jika mau siang (ya, juga boleh)" [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (133). Atsar ini dikuatkan oleh Al-Hafizh dalam At-Talkhish (2/202)]

Menjauhkan Diri dari Sesuatu yang Menyalahi Hikmah Puasa
Allah -Ta’ala- berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertaqwa". (QS. Al-Baqoroh: 183)

Jadi, hikmah disyari’atkannya puasa adalah mencapai derajat taqwa. Seorang akan mencapainya jika ia menjauhkan dirinya dari dusta, berkata-kata jorok dan kotor, bertengkar, berkelahi, menghina, menonton aurat wanita (yaitu seluruh tubuh wanita), baik langsung atau lewat TV, dan gambar, dan lainnya. Orang yang melakukan hal-hal ini tak mendapatkan, kecuali penat di dunia, dan akhirat.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِذَا أََصْبَحَ أَحَدُكُمْ يَوْمًا صَائِمًا فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ فَإِنِ امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ

"Jika seorang diantara kalian berpuasa di suatu hari, maka janganlah ia janganlah ia berkata-kata jorok, dan berbuat jahil. Bila ada seseorang yang mencela atau melawannya, maka hendaknya ia berkata, "Sesungguhnya aku sedang puasa, sesungguhnya aku sedang puasa"." [HR.Muslim (1151)]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهَ وَشَرَابَهُ

"Barang siapa yang tidak mau meninggalkan ucapan dusta dan mengerjakannya, maka Allah tidak punya hajat (tidak peduli) ketika ia meninggalkan makan, dan minumnya". [Al-Bukhoriy (1804)]

Ibnu Baththol -rahimahullah- berkata, "Bukan maknanya ia diperintahkan untuk meninggalkan puasanya. Maknanya hanya memberikan peringatan keras dari (bahaya) berkata dusta, dan sesuatu yang bersamanya". [Lihat Fath Al-Bari (4/117)]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْعُ . وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ

"Terkadang orang yang berpuasa tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya, selain lapar; terkadang seorang yang bangun (sholat) malam tidak mendapatkan dari bangunnya, selain begadang". [HR. Ibnu Majah (1690). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (2014)]

Menyegerakan Buka Puasa
Ketika seorang telah melihat matahari tenggelam dengan sempurna, maka hendaknya ia segerakan; jangan ditunda, sekalipun belum terdengar adzan. Menyegerakan buka puasa merupakan kebaikan, karena ia adalah bentu penyelisihan ahlul Kitab yang senang mengakhirkannya. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ

"Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan buka puasa". [Al-Bukhoriy (1957), dan Muslim (1098)]

Ada dua sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang terlupakan ketika kaum muslimin berbuka, yaitu berbuka sebelum sholat maghrib, dan memakan ruthob (korma basah lagi segar), atau korma kering, atau air. Jangan sampai perut kosong sampai usai sholat maghrib. Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- juga berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطََبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

"Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berbuka dengan ruthob (korma basah dan segar), sebelum beliau sholat. Jika tak ruthob, maka dengan tamer (korma kering). Jika tamer juga tak ada,maka beliau meneguk beberapa teguk air". [Abu Dawud (2356), dan At-Tirmidziy (696). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalamAsh-Shohihah(2840)]

Memberi Buka Puasa
Diantara amal sholeh yang terpuji, memberi makan, karena mengharapkan pahala di sisi Allah. Terlebih lagi di bulan Romadhon. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

"Barangsiapa yang memberi buka puasa kepada orang yang berpuasa, niscaya ia akan mendapatkan semisal pahala orang yang puasa itu; Cuma tidak mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun". [ At-Tirmidziy (807).Hadits ini shohih sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ (11361)]

Bersemangat untuk Berpuasa & Sholat Tarawih
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إٍيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barang siapa yang bangun (sholat malam) karena beriman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu . Barangsiapa yang berpuasa di bulan Romadhon karena beriman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu" .. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1802), dan Muslim dalam Shohih-nya (175)]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 29 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

 http://almakassari.com/?p=169#more-169
baca selanjutnya “Perhiasan Mukmin di Bulan Suci”

Adab-Adab Puasa

Penulis: Redaksi assalafy.org

Adab-Adab Puasa

Bagi orang yang berpuasa terdapat beberapa adab yang selayaknya dia jalankan, agar tercapai keselarasan dengan perintah-perintah syari’at dan terealisasi maksud pelaksanaan ibadah tersebut, di samping sebagai latihan bagi jiwa dan pembersihannya. Maka sudah seharusnya seorang yang menjalankan ibadah puasa untuk berupaya serius dalam merealisasikan adab puasa secara sempurna, senantiasa menjaganya dengan baik, karena kesempurnaan ibadah puasanya sangat tergantung dengannya, dan kebahagiaannya sangat terkait dengannya.

Di antara adab-adab syar’i yang harus dijaga oleh seorang yang sedang berpuasa adalah “

Pertama, Menyambut bulan Ramadhan dengan bangga, gembira, dan bahagia. Karena bulan Ramadhan termasuk karunia Allah dan rahmat-Nya kepada umat manusia. Allah Ta’ala berfirman :

( قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ )

Katakanlah dengan keutamaan Allah dan rahmat-Nya maka dengan itu bergembiralah kalian. (Yunus: 58)

Yaitu dalam bentuk : dengan memuji Allah yang telah menyampaikannya kepada bulan Ramadhan, Meminta pertolongan kepada Allah agar Dia membantunya dalam pelaksanaan ibadah puasa, dan mempersembahkan amal-amal shalih dalam bulan Ramadhan. Sebagaimana pula disunnah baginya untuk berdo’a ketika setiap kali melihat hilal untuk bulan apapun dalam satu tahun. Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallah ‘anhuma, berkata : “Dulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat Al-Hilal beliau mengucapkan doa :
اللهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ
وَالتَّوْفِيقِ لِمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللهُ

“Allahu Akbar, Ya Allah terbitkanlah al-hilal kepada kami dengan keamanan dan iman, dengan keselamatan dan Islam, dan taufiq kepada apa yang Engkau cintai dan Engkau Ridhai. Rabbku dan Rabbmu adalah Allah.”

Dengan catatan, tidak boleh sengaja menghadap ke arah hilal ketika membaca doa tersebut, atau mengangkat kepalanya ke arah hilal, atau menunjuk kepada hilal. Namun dalam berdoa menghadap ke arah yang kita menghadap ke arah tersebut ketika shalat. (lihat juga : [1] Doa Ketika Melihat Hilal)

Kedua, Termasuk adab penting adalah seorang muslim tidak memulai pelaksanaan puasa Ramadhannya kecuali berdasarkan ru`yatul hilal dan tidaklah mengakhiri puasa Ramadhannya kecuali berdasarkan ru`yatul hilal. Di samping dalam pelaksanaannya dia selalu bersama dengan pemerintah muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memerintahkan :

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين

Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hila, dan ber’idul fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila hilal terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi 30 hari. Muttafaqun ‘alaihi

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga melarang melaksanakannya kecuali berdasarkan ru`yatul hilal :

لا تصوموا حتى تروه ولا تفطروا حتى تروه، فإن أغمي عليكم فأكملوا العدة ثلاثين

Janganlah kalian melaksanakan shaum sampai kalian berhasil melakukan ru`yatul hilal, dan janganlah kalian ber’idul fithri sampai kalian berhasil melakukan ru`yatul hilal. Apabila hilal terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi 30 hari. Muttafaqun ‘alaihi

Ketiga, senantiasa melaksanakan makan sahur, karena barakah yang ada padanya. Disunnahkan untuk mengakhirkan makan sahur hingga dekat dengan waktu fajr.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِِ بَرَكَةً

Makan sahurlah kalian, karena pada makanan sahur itu terdapat barakah. [2] [1] (Muttafaqun ‘alaihi)

Tentang keutamaan dan barakah padanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :

البَرَكَةُ فِي ثَلاَثَةٍ: فِي الجَمَاعَةِ وَالثَّرِيدِ وَالسَّحُورِ

Barakah itu terdapat pada tiga hal : Al-Jama’ah, Tsarid, dan makan sahur. (Ath-Thabarani. Lihat Ash-Shahihah no. 1045)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga memberitakan :

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى المُتَسَحِّرِين

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya menyampaikan shalawat [3] [2]) kepada orang-orang yang melakukan makan sahur. (HR. Ath-Thabarani dan Ibnu Hibban. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menjadikan makan sahur sebagai pembeda antara puasanya kaum muslimin dengan puasanya ahlul kitab. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

Pembeda antara puasa kita – kaum muslimin – dengan puasanya ahlul kitab adalah makan sahur (Muslim)

Yang afdhal (lebih utama) adalah bersahur dengan tamr (kurma). Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

نِعْمَ سَحُورِ المُؤْمِنِ التَّمْرُ

Sebagus-bagus makanan sahurnya seorang mukmin adalah tamr (kurma) HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban. Lihat Ash-Shahihah no. 562.

Kalau ia kesulitan mendapatkan tamr (kurma), maka makan sahur masih bisa terlaksana dengan makanan-makanan lain, bahkan walaupun hanya dengan seteguk air. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

تَسَحَّرُوا وَلَوْ بِجُرْعَةٍ مِنْ مَاءٍ

Bersahurlah kalian walaupun dengan seteguk air. (Ibnu Hibban. Lihat Shahih At-Targhib)

Waktu sahur dimulai sejak waktu dekat-dekat fajar dan berakhir ketika telah jelas antara benang putih dengan benang hitam, yakni apabila telah terbit fajar.

Disunnahkan untuk mengakhirkan pelaksanaan makan sahur, yakni hingga waktu sangat dekat dengan waktu fajar/shubuh. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

إِنَّا مَعْشَرَ الأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا بِتَعَجيِلِ فِطْرِنَا وَتَأْخِيرِ َسُحُورِنَا وَأَنْ نَضَعَ أَيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِي الصَّلاَةِ

Sesungguhnya kami segenap para nabi, kami diperintahkan untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, serta agar kami meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri kami ketika shalat. (Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah IV/376)

Di antara perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah beliau mengakhirkannya hingga antara waktu selesai makan dengan waktu shubuh sejarak bacaan 50 ayat dari surat yang sedang. Shahabat Anas bin Malik meriwayatkan dari shahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallah ‘anhu :

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحور؟ قَالَ: قَدْرَ خَمْسِينَ آيَةً

“Kami bersahur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, kemudian kami berdiri menunaikan shalat.” Maka saya (Anas) bertanya : berapa jarak antara adzan dengan selesainya sahur? Zaid menjawab : “sejarak bacaan 50 ayat” (Muttafaqun ‘alahih)

Termasuk tradisi para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah mengakhirkan makan sahur. Dari ‘Amr bin Maimun Al-Audi rahimahullah berkata :

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَ النَّاس إفْطَارًا وَأَبْطأَهُمْ سحورًا

“Dulu para shahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang paling bersegera melaksanakan buka puasa, dan paling akhir dalam melaksanakan makan sahur.” (Abdurrazzaq, Al-Baihaqi. Al-Hafizh menyatakan sanad riwayat ini shahih)

Bersambung Insya Allah

(diterjemahkan dari mizah syahri Ramadhan wa fadha`ilish shiyam wa fawa`idihi wa adabihi, Asy-Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus. Diterjemahkan oleh Abu ‘Amr Ahmad – dengan ada perubahan dan penambahan. Sumber [4] http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=361066 )

[5] [1] Diantara barakah yang dikandung pada makan sahur adalah :

1. Ittiba’ As-Sunnah (mengikuti jejak sunnah Rasulullah r),

2. Membedakan diri dengan Ahlul Kitab,

3. Memperkuat diri dalam ibadah,

4. Mencegah timbulnya akhlak yang jelek seperti marah dan lainnya dikarenakan rasa lapar,

5. Membantu seseorang untuk bangun malam dalam rangka berdzikir, berdo’a serta shalat di waktu yang mustajab,

6. Membantu seseorang untuk niat shaum bagi yang lupa berniat sebelum tidur.

Disimpulkan oleh Ibnu Daqiq Al-‘Id bahwa barokah-barokah tersebut ada yang bersifat kebaikan duniawi dan ada yang bersifat kebaikan ukhrawi (lihat Fathul Bari penjelasan hadits no. 1923).

[6] [2] Makna shalawat Allah kepada hamba-Nya adalah Allah menyebut-nyebut si hamba tersebut di hadapan para malaikat-Nya. Sedangkan makna shalawat para malaikat adalah do’a kebaikan para malaikat tersebut untuk si hamba tersebut.

(Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=343&print=1)
baca selanjutnya “Adab-Adab Puasa”

KAJIAN SEPUTAR RAMADHAN

Penulis: Al Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi, Lc
Wajibnya Shaum Ramadhan Berdasarkan Ru’yatul Hilal dan Hukum Menggunakan Ilmu Hisab Dalam Menentukan Hilal

Sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk membiasakan diri menghitung bulan Sya’ban dalam rangka mempersiapkan masuknya bulan Ramadhan karena hitungan hari dalam sebulan dari bulan-bulan hijriyyah 29 hari atau 30 hari sesuai dengan hadits-hadits yang shohih, di antaranya : Hadits ‘Aisyah radliallahu ‘anha, berkata Rasulullah ? :
كَانَ رَسُولُ اللهِ ?يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلاَلِ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ.
Artinya:“Bahwasanya Rasulullah ? bersungguh-sungguh menghitung bulan Sya’ban dalam rangka persiapan Shaum Ramadhan melebihi kesungguhannya dari selain Sya’ban. Kemudian beliau shaum setelah melihat hilal Ramadhan. Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung maka beliau menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudiaan shaum.” (H.R. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud hadits no. 2325).

Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan ummatnya untuk memulai shaum Ramadhan dengan berdasarkan ru’yatul hilal, dan bila terhalangi oleh mendung atau yang semisalnya, maka dengan melengkapkan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkata :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Artinya: “Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah bilangannya menjadi 30 hari.” [HR. Al-Bukhari]

Adapun sabda Rasulullah ? dari jalan Ibnu ‘Umar :
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ [متفق عليه]
Artinya: “Janganlah kalian bershaum kecuali setelah melihat hilal (Ramadhan) dan jangan pula berhari raya kecuali setelah melihat hilal (Syawwal). Jika terhalangi, ‘perkirakanlah’ ” [Muttafaq ‘alaihi],
maka lafadh ( فَاقْدِرُوا لَهُ ) yang secara lughowy artinya ‘perkirakanlah’. Hal ini sebagaimana telah ditafsirkan oleh riwayat sebelumnya dengan lafadh (فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْن) atau (فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ ) yang artinya: “Maka lengkapilah bilangannya menjadi 30 hari” atau “lengkapi bilangan Sya’ban menjadi 30 hari”.
Dan bukanlah makna (فَاقْدِرُوا لَه) adalah (ضَيِّقُوا ), “persingkat (bulan Sya’ban menjadi 29 hari saja)” atau penafsiran lainnya. Sebab sebaik-baik tafsir terhadap suatu hadits adalah hadits yang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar :
(أَوْلَى مَا فُسِّرَ الْحَدِيْثُ بالْحَدِيْثِ) Artinya: “sebaik-baik penafsiran hadits adalah dengan hadits yang lain.”

Dan demikianlah pendapat jumhur ‘ulama. Sebagaimana dikatakan oleh Al Maaziri: “Jumhur ulama mengartikan makna (فَاقْدِرُوا لَه) adalah dengan melengkapi hitungan menjadi 30 hari berdasarkan hadits yang lainnya. Mereka menyatakan : ‘Dan tidak diartikan dengan perhitungan ahli hisab (astronomi) karena jika manusia dibebani untuk itu justru mempersulit mereka disebabkan ilmu tersebut tidak diketahui kecuali oleh orang-orang tertentu. Sedangkan syari’at mengajarkan kepada manusia sesuai dengan yang dipahami oleh kebanyakan mereka.”

Sedangkan ilmu hisab (ilmu perbintangan) tidak boleh dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran untuk menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Tidak diragukan lagi ketetapan tentang dilarangnya bersandar kepada ilmu hisab (perbintangan) dalam As Sunnah dan pandangan para shahabat. Orang yang bersandar kepadanya, dia adalah orang yang sesat dan orang yang berbuat bid’ah dalam agama ini juga telah melakukan kesalahan baik dari segi nalar pikiran (akal) maupun dari segi ilmu perbintangan itu sendiri. Sesungguhnya ahli ilmu perbintangan telah mengetahui bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki, karena adanya pengaruh perbedaan tinggi rendahnya tempat dan lain-lainnya.” [Taudiihul Ahkaam jilid 3 hal. 132 hadits no. 541]

Seluruh anggota Haiah Kibarul ‘Ulama (Majelis ‘Ulama di Arab Saudi) telah bersepakat tidak bolehnya bersandar kepada ilmu falaki dalam menentukan awal bulan. [Taudiihul Ahkaam jilid 3 hal. 132 hadits no. 541]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin memberikan pernyataan yang senada dengan fatwa di atas, beliau menyatakan: “Shaum tidak menjadi wajib dengan keberadaan hisab falaki karena syariat Islam mengaitkan hukum Shiyam dengan perkara yang bisa dicapai oleh indera manusia yaitu ru’yatul hilal.” [Asy-Syarhul Mumti’ jilid 6 hal 314.]
Maka orang yang bersandar kepada hisab falaki adalah orang yang telah menyelisihi Al Haq dan Syariat Islamiyyah. Hal ini dilihat dari beberapa segi:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Quran
?فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ...? [البقرة : 185]
Artinya: “Karena itu barang siapa yang menyaksikan syahru (hilal) Ramadhan maka bershaum lah.” [Al Baqoroh : 185].
Dalam ayat ini Allah mengaitkan shiyam dengan ru’yah dan persaksian hilal.

2. Hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentang ru’yah, seperi hadits Abi Hurairah:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
Artinya: “Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarlan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah 30 hari.” [HR Al-Bukhari]
Kemudian jika kesulitan dalam melakukan ru’yah karena awan atau yang semisalnya maka dengan cara menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari dan tanpa harus menyelisihi Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan menggunakan hisab falaki.

3. Ijma’ para Shahabat, Tabi’in dan para imam setelah mereka.

4. Pernyataan dari para ahli ilmu perbintangan bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki karena perbedaan ketinggian tempat perhitungan dan lain-lainnya.

5. Kenyataan terjadinya perbedaan di kalangan ahli hisab dalam menentukan hilal. Al Hafidh Ibnu Hajar berkata :
“Maka Pembuat Syariat telah menentukan hukum shiyam dan yang lainnya dengan ru’yah hal ini dalam rangka untuk menghilangkan kesulitan dalam menghitung peredaran bintang. Dan hukum ini tetap berlaku dalam shiyam walaupun bermunculan setelah itu orang-orang yang menguasai ilmu perbintangan. Bahkan konteks hadits secara gamblang meniadakan kaitan hukum shiyam dengan hisab falaki. Hal ini dijelaskan dalam hadits yang telah lalu:
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
Artinya : “Jika hilal terhalangi atas kalian maka lengkapilah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari”.
Dan beliau Shalallhu ‘alahi Wasallam tidak mengatakan:“….bertanyalah kepada ahli perbintangan “.

Hikmah dari hal ini bahwa hitungan bulan Sya’ban ketika terhalangi mendung atau yang semisalnya adalah sama untuk seluruh kaum muslimin. Sehingga dengan ketetapan ini hilanglah pertentangan di antara mereka. Di antara kelompok-kelompok yang berpegang dengan perhitungan hisab falaki adalah Syiah Rafidhoh dan sebagian kecil ahli fikih yang sependapat dengan mereka.
Al Baaji menerangkan bahwa Ijma’ para Shahabat dan Salafush Sholih merupakan bantahan atas mereka.
Ibnu Baziizah menyatakan: ‘pendapat itu adalah pendapat yang batil. Sedangkan syariah telah melarang dari mendalami ilmu bintang sebab ilmu ini hanyalah persangkaan belaka saja dan tidak ada padanya kepastian bahkan tidak pula dugaan yang mendekati kebenaran.’
Jika demikian halnya maka mengaitkan hukum shiyam dengan hisab falaki akan memberatkan (kaum muslimin) karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit.” [Fathul Baari Kitabus Shiyam Bab 13 hadits no. 1913].

Rubrik Tanya Jawab
Soal :
Fenomena yang tak bisa dipungkiri bahwa kita selalu berselisih di saat ingin menentukan tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawal. Bagaimanakah sikap kita terutama ketika Pemerintah telah memberikan suatu keputusan dalam hal ini dengan Ru’yatul Hilal ?

Jawab :

Para Ulama berselisih pendapat ketika hilal terlihat di suatu negeri, apakah ru’yah tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia atau masing-masing negeri memiliki ru’yah sendiri.
Pendapat Pertama, Jumhur ulama di antara mereka Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad, berpendapat bahwa ru’yah di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri-negeri yang lain.
Pendapat kedua, Al-Imam Asy-Syaafi’i dan sejumlah ulama salaf berpendapat diperhitungkannya perbedaan mathla’.
Setelah kita mengetahui perbedaan pendapat diantara para ulama dalam masalah penentuan awal bulan, perlu diketahui pula sebuah nasehat yang penting dari Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitabnya Tamamul Minnah untuk kaum muslimin di seluruh negara Islam dan seharusnya kaum muslimin memperhatikannya dan mengamalkannya. Beliau berkata: “…Dan perkara ini (pengkhabaran hasil ru’yatul hilal dari satu negeri ke negeri yang lainnya-peny) adalah hal yang mudah untuk dicapai pada masa sekarang ini dan sudah dimaklumi, namun menuntut perhatian dari negara-negara Islam sehingga bisa terwujud dikemudian hari –Insya Allah ta’ala- bersatunya negara-negara Islam. Maka saya berpendapat bahwa setiap kaum muslimin menjalankan shiyam Ramadhan bersama pemerintahnya masing-masing dan tidak mengikuti pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ada yang menjalankan shaum bersama permerintah dan yang lain tidak, baik mendahului atau membelakangi karena hal ini akan memperluas perpecahan sebagaimana telah terjadi di beberapa negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. وَاللهُ الْمُسْتَعَان” [Tamamul Minnah hal. 298]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan pernyataan yang sama dengan pernyataan Asy-Syaikh Al-Albani di atas dalam kitab beliau Asy-Syarhul Mumti’ ketika menyebutkan pendapat yang ketiga: “Bahwa setiap warga negara hendaknya mengikuti pemerintahnya masing-masing jika pemerintahnya menjalankan ash-shaum maka mereka juga menjalankannya, jika pemerintahnya berhari raya hendaklah rakyatnya berhari raya pula bersamanya. Seandainya ada khilaafah (pemerintahan) yang membawahi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia kemudian ada yang melihat hilal di negerinya, dan khalifah menetapkannya maka wajib setiap kaum muslimin di seluruh penjuru dunia untuk bershaum atau berhari raya (sesuai dengan ketetapan khalifah/pemerintahnya – pen). Hendaklah kaum muslimin mengamalkan yang demikian ini yaitu bila pemerintah menetapkan ru’yah maka seluruh kaum muslimin yang dibawah kekuasaannya mengikuti baik dalam bershaum maupun berhari raya. Dan pendapat ini merupakan pendapat yang kuat jika dipandang dari sisi keutuhan kemasyarakatan (kaum muslimin) . Kalaupun kita membenarkan pendapat kedua yang berdasarkan pada perbedaan mathla’ tetap wajib untuk tidak menampakkan adanya perbedaan dengan mayoritas kaum muslimin.” [Asy-Syarhul Mumti’ jilid 6 hal. 322.]

Sumber : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=387



baca selanjutnya “KAJIAN SEPUTAR RAMADHAN”